• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Batu Bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Batu Bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar Chapter III V"

Copied!
49
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan merupakan studi intervensional dengan menggunakan metode Quasi Experimental Design dengan pola Non Equivalent Control Group Design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok perlakuan (Sugiyono, 2008).

Dalam penelitian ini kelompok perlakuan adalah kelompok yang diberikan fasilitas kerja berupa meja kerja dan tempat meletakkan hasil cetakan batu bata selama 1 (satu) bulan, dan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak diberikan fasilitas kerja.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi penelitian

(2)

3.2.2. Waktu penelitian

Penelitian ini direncanakan akan berlangsung selama 13 bulan dari bulan Januari 2011 sampai dengan Januari 2012, dengan kegiatan dimulai dengan pengajuan judul, penelusuran perpustakaan, seminar proposal, penyusunan hasil penelitian, seminar hasil dan ujian komprehensif.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah semua perajin wanita di bagian pencetakan batu bata yang ada di Desa Lambada Peukan dan Miruk Taman Kecamatan Darussalam Aceh Besar yang berjumlah 84 orang yaitu 49 orang dari Desa Lambada Peukan dan 35 orang dari Desa Miruk Taman.

3.3.2. Sampel

Besar sampel pada penelitian ini yaitu 84 orang (total populasi) yang kemudian dibagi 2 (dua) untuk kelompok kontrol dan kelompok perlakuan masing-masing 42 orang. Penentuan sampel untuk kelompok kontrol dan kelompok perlakuan dilakukan secara acak.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data primer

(3)

pengrajin batu bata dan melalui wawancara berdasarkan nordic body map questionaire.

3.4.2. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dengan melakukan wawancara langsung dengan Camat, Kepala Desa dan pemilik usaha pembuatan batu bata untuk mengetahui gambaran umum tentang usaha pembuatan batu bata yang ada di Desa Lambada Peukan dan Miruk Taman Kecamatan Darussalam Aceh Besar.

3.5. Variabel dan Definisi Operasional 3.5.1. Variabel penelitian

1. Variabel bebas (X) yaitu sikap kerja

2. Variabel terikat (Y) yaitu keluhan muskuloskeletal

3.5.2. Definisi operasional

1. Keluhan muskuloskeletal adalah suatu keluhan rasa sakit, nyeri atau pegal pada bagian otot rangka yang dirasakan oleh perajin di bagian pencetakan batu bata selama dan/atau setelah melakukan aktivitas kerja yang meliputi pengambilan bahan baku, mencetak batu bata dan meletakkan hasil cetakan batu bata

(4)

3. Fasilitas kerja yaitu peralatan kerja berupa meja kerja dan tempat meletakkan hasil cetakan batu bata yang dirancang berdasarkan data antropometri perajin di bagian pencetakan batu bata.

3.6. Metode Pengukuran

1. Pengukuran keluhan muskuloskeletal dengan menggunakan Standar Nordic Body Map Questionaire (Tarwaka, 2004 dan Santoso, 2004). Pengukuran dilakukan dalam 2 waktu yang berbeda yaitu sebelum bekerja (jam 08.00 WIB), dan setelah selesai bekerja (jam 17.00 WIB). Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Pengukuran dengan Standar Nordic Body Map Questionaire dilakukan dengan menggunakan skoring (skala likert) yaitu :

a. Skor 1 : tidak ada keluhan/kenyerian atau tidak ada rasa sakit sama sekali yang dirasakan oleh pekerja (tidak sakit)

b. Skor 2 : dirasakan sedikit adanya keluhan atau kenyerian pada otot skeletal (agak sakit)

c. Skor 3 : responden merasakan adanya keluhan/kenyerian atau sakit pada otot skeletal (sakit).

d. Skor 4 : Responden merasakan keluhan sangat sakit atau sangat nyeri pada otot skeletal (sangat sakit).

(5)

a. Ringan/rendah, yaitu bila setelah dilakukan penilaian dengan menggunakan standar body map questionnaire didapat total skor keluhan 28 - 49.

b. Sedang, yaitu bila setelah dilakukan penilaian dengan menggunakan standar body map questionnaire didapat total skor keluhan 50 – 70.

c. Berat/tinggi, yaitu bila setelah dilakukan penilaian dengan menggunakan standar body map questionnaire didapat total skor keluhan 71 – 91.

d. Sangat berat/sangat tinggi, yaitu bila setelah dilakukan penilaian dengan menggunakan standar body map questionnaire didapat total skor keluhan 92 – 112.

2. Pengukuran/ penilaian sikap kerja dengan menggunakan metode OWAS, yaitu suatu metode analisa postur kerja dengan melakukan evaluasi postur kerja yang berisiko terhadap cedera muskuloskeletal. Cara penilaian postur tubuh pada saat bekerja ditunjukkan sebagai berikut :

Penilaian pada punggung digunakan nilai 1 sampai dengan 4, yaitu : 1 = Tegak

2 = Membungkuk ke depan atau ke belakang 3 = Berputar dan bergerak ke samping

(6)

Penilaian pada lengan (arm) digunakan nilai 1 sampai dengan 3, yaitu : 1 = Kedua tangan berada di bawah level ketinggian bahu

2 = Satu lengan berada di atas level ketinggian bahu 3 = Kedua lengan berada di atas level ketinggian bahu

Penilaian pada kaki digunakan nilai 1 sampai dengan 7, yaitu : 1 = Duduk

2 = Berdiri dengan keadaan kedua kaki lurus

3 = Berdiri dengan cara beban berada pada salah satu kaki 4 = Berdiri dengan kedua lutut sedikit tertekuk

5 = Berdiri dengan satu lutut sedikit tertekuk 6 = Jongkok dengan satu atau dua kaki 7 = Bergerak atau berpindah

Penilaian pada beban diberikan nilai 1 sampai dengan 3, yaitu : 1 = Beban kurang dari 10 kg

2 = Beban 10 sampai dengan 20 kg 3 = Beban lebih dari 20 kg

Berdasarkan hasil penilaian pada punggung, lengan, kaki dan beban maka dapat disimpulkan analisa kondisi kerja dengan katagori 1 sampai dengan 4 yaitu : 1 = Tidak perlu dilakukan perbaikan

2 = Perlu dilakukan perbaikan

(7)

Tabel 3.1 Penilaian Sikap Kerja (Postur Tubuh Pada Saat Bekerja) Menurut

Sumber : Sulistyadi dan Susanti (2004)

Berdasarkan penilaian dengan metode OWAS, sikap kerja dapat dikatagorikan menjadi 2 (dua) katagori yaitu :

b. Baik, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode OWAS, sikap kerja termasuk dalam analisa kondisi kerja 1 yaitu tidak berisiko terhadap cedera muskuloskeletal sehingga tidak perlu dilakukan perbaikan.

c. Tidak baik, bila setelah dilakukan penilaian dengan metode OWAS,

(8)

berisiko terhadap cedera pada sistem muskuloskeletal sehingga perlu dilakukan perbaikan.

3. Untuk perancangan fasilitas kerja dilakukan pengukuran antropometri tubuh perajin batu bata dengan menggunakan meteran. Ukuran-ukuran tubuh yang diukur meliputi :

a. Tinggi badan berdiri, diukur dari puncak kepala ke telapak kaki pada posisi berdiri dengan belakang kepala berada pada garis vertikal terhadap dinding.

b. Tinggi bahu, diukur dari bagian bahu teratas ke telapak kaki pada posisi berdiri

c. Tinggi siku, diukur dari siku dan lengan bawah pada posisi horizontal ke telapak kaki pada posisi berdiri

d. Tinggi pinggul, diukur dari bagian pinggul teratas ke telapak kaki pada posisi berdiri

e. Jangkauan tangan, diukur jarak horizontal dari punggung sampai ujung jari tengah.

f. Panjang depa, diukur jarak dari ujung jari tangan kanan dan tangan kiri pada posisi depa horizontal

g. Panjang lengan dan tangan, diukur jarak dari ketiak ke ujung jari tengah h. Panjang lengan atas, diukur jarak dari ketiak ke siku

(9)

j. Panjang tangan, diukur jarak dari pergelangan tangan sampai ujung jari tengah (jari terpanjang).

k. Lebar bahu, diukur jarak antara bagian terluar lengan atas kanan dan kiri l. Lebar pinggul, diukur jarak antara bagian terluar pinggul kanan dan kiri

pada posisi berdiri.

Berdasarkan data antropometri tersebut, maka dirancang fasilitas kerja yang dapat digambarkan sebagai berikut :

(10)

Gambar 3.2 Rancangan Tempat Meletakkan Hasil Cetakan 3.6.1. Aspek pengukuran

Tabel 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian

No Variabel Hasil Ukur Alat Ukur Skala Ukur

Analisis data yang digunakan yaitu :

1. Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi masing-masing variabel.

2. Analisis bivariat dilakukan dengan uji t-dependent (berpasangan) dan

(11)

a. Untuk mengetahui perbedaan tingkat keluhan muskuloskeletal pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja dilakukan uji t-dependent (berpasangan) b. Untuk mengetahui perbedaan tingkat keluhan muskuloskeletal antara

kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja dan pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal dilakukan uji t-independent (tidak berpasangan).

(12)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Industri Batu Bata

Usaha pembuatan batu bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar khususnya di desa Lambada Peukan dan Miruk Taman merupakan salah satu usaha sektor informal yang telah ada sejak ± 20 tahun yang lalu. Jumlah usaha pembuatan batu bata yang ada di 2 desa tersebut yaitu sebanyak 14 usaha. Setiap usaha pembuatan batu bata di kelola oleh seorang pengelola dengan melibatkan 2-4 orang perajin laki-laki dan 6-10 orang perajin wanita. Perajin laki-laki-laki-laki bertanggung jawab dalam pengolahan tanah atau bahan baku sedangkan perajin wanita bertanggung jawab pada bagian pencetakan batu bata. Di bagian pencetakan batu bata, dalam sehari perajin bekerja selama ± 8 jam dan setiap orang dapat mencetak 500 sampai 1000 batu bata.

Proses pembuatan batu bata terdiri dari beberapa tahap yaitu 1. Pembuatan bahan baku

(13)

langsung digunakan untuk mencetak batu bata, maka lumpur ini harus ditutup dengan plastik agar tidak mengeras.

2. Pencetakan batu bata

Proses pencetakan batu bata dilakukan dengan menggunakan cetakan yang terbuat dari besi yang kemudian dialasi kayu saat mencetak. Setiap cetakan hanya menghasilkan 1 batu bata. Pencetakan batu bata dilakukan di atas meja kerja sederhana dengan cara berdiri yang diawali dengan mengambil tanah/lumpur basah lalu dipadatkan baru kemudian di masukkan ke dalam cetakan dengan cara membanting. Sebelumnya cetakan telah taburi tanah kering agar tidak lengket. Kemudian sisa lumpur diratakan dengan sepotong kawat, lalu batu bata dikeluarkan dari cetakan dan diletakkan di atas tanah. Batu bata yang telah selesai dicetak diletakkan di atas tanah selama 2-3 hari kemudian disusun secara zig-zag di pinggir lokasi pencetakan agar areal lokasi pencetakan dapat digunakan kembali untuk meletakkan batu bata yang baru selesai dicetak. Pengambilan bahan baku dan meletakkan hasil cetakan dilakukan dengan cara membungkuk.

3. Pengeringan batu bata

(14)

4. Pembakaran batu bata

Batu bata yang telah kering kemudian dibawa ke tempat pembakaran untuk dibakar. Proses pembakaran batu bata dilakukan selama ± 5 hari yang terbagi dalam 2 tahap, yaitu 3 hari dengan menggunakan api kecil dan 2 hari dengan menggunakan api besar.

5. Penyimpanan

Setelah batu bata selesai dibakar, batu bata dibiarkan dulu selama 2-3 hari sampai dingin. Setelah itu baru dibongkar dan disusun rapi di tempat penyimpanan sambil menunggu permintaan pembeli.

4.2. Data Antropometri Pekerja di Bagian Pencetakan Batu Bata 4.2.1. Pengumpulan Data Antropometri

(15)

4.2.2. Pengolahan Data Antropometri

Tidak semua data antropometri yang diukur dalam posisi berdiri tersebut dipakai untuk perancangan fasilitas kerja. Data yang diperlukan yaitu ; tinggi siku (TS), jangkauan tangan (JT), panjang depa (PD), panjang lengan bawah (PLB) dan panjang tangan (PT). Untuk keperluan perancangan fasilitas kerja, harus dilakukan uji statistik terlebih dahulu agar diketahui kenormalan data, nilai rata-rata, percentile, dan standar deviasi. Nilai ini digunakan untuk mendapatkan ukuran fasilitas kerja yang bisa dipakai oleh sebagian besar atau seluruh perajin di bagian pencetakan batu bata. Dari hasil uji statistik yang dilakukan, diketahui bahwa semua data yang akan dipakai untuk perancangan fasilitas kerja adalah berdistribusi normal

4.2.3. Perancangan Fasilitas Kerja Berdasarkan Data Antropometri

Fasilitas kerja yang akan dirancang adalah meja kerja dan meja tempat meletakkan hasil cetakan. Meja kerja terdiri dari tempat mencetak batu bata, tempat meletakkan tanah kering dan tempat meletakkan bahan baku. 1 meja kerja digunakan oleh 2 orang perajin. Fasilitas kerja tersebut dirancang berdasarkan dimensi tubuh perajin. Ukuran fasilitas kerja tersebut menggunakan percentil 5 dan 95 agar memungkinkan sebagian besar perajin dapat menggunakannya. Ukuran fasilitas kerja tersebut adalah sebagai berikut :

1. Panjang meja kerja

(16)

2. Tingi meja kerja

Tinggi meja kerja (tinggi landasan kerja) disesuaikan dengan tinggi siku (TS) dan jenis pekerjaan. Oleh karena jenis pekerjaan termasuk dalam katagori berat dan perlu penekanan, maka tinggi landasan kerja diambil 20 cm dibawah tinggi siku berdiri (Grandjean, 1988). Untuk tinggi meja kerja digunakan percentil 95 dengan rumus X+1,645 SD kemudian dikurangi 20 cm sehingga didapat ukuran 83,54 cm dibulatkan 84 cm.

3. Lebar meja kerja

Untuk lebar meja kerja digunakan percentil 5 dari data jangkauan tangan (JT), kemudian dikali 2 karena 1 meja kerja digunakan oleh 2 orang perajin secara berhadapan sehingga didapat ukuran 124, 5 cm dibulatkan 125 cm.

4. Lebar tempat tanah kering

Untuk panjang tempat tanah kering disesuaikan dengan ukuran panjang tangan mengambil percentil 95 dan didapat ukuran 17,34 dibulatkan menjadi 17 cm.

5. Lebar tempat bahan baku

Panjang tempat bahan baku menggunakan percentil 5 dari data jangkauan tangan (JT) sehingga didapat ukuran 62,3 cm dibulatkan 62 cm.

6. Tinggi tempat tanah kering dan bahan baku

(17)

7. Kedalaman tempat tanah kering

Kedalaman tempat tanah kering menggunakan percentil 5 dari data panjang tangan (PT) sehingga didapat ukuran 15,90 cm dibulatkan 16 cm.

8. Kedalaman tempat bahan baku

Kedalaman tempat bahan baku disesuaikan dengan panjang lengan bawah (PLB) menggunakan percentil 5 sehingga didapat ukuran 38,86 cm dibulatkan 39 cm.

9. Panjang meja tempat meletakkan hasil cetakan.

Panjang meja tempat meletakkan hasil cetakan disesuaikan dengan luas lokasi kerja. Untuk memudahkan pada saat penempatan, panjang masing-masing meja dibuat 2 m dan jumlah mejanya disesuaikan dengan luas lokasi kerja. 10.Lebar meja tempat meletakkan hasil cetakan

Untuk lebar meja tempat meletakkan hasil cetakan digunakan percentil 5 dari data jangkauan tangan (JT) yaitu 62,24 cm dibulatkan 62 cm.

11.Tinggi meja tempat meletakkan hasil cetakan

(18)

Untuk lebih jelasnya, ukuran fasilitas kerja yang akan dirancang dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 4.1 Rancangan Meja Kerja

(19)

Gambar 4.3 Meja Kerja

(20)

4.3. Hasil Penelitian 4.3.1. Analisis Univariat

4.3.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan Umur

Distribusi kelompok umur responden dibagi menjadi 3 kategori yaitu kelompok umur < 30 tahun, 30-40 tahun, dan >40 tahun. Berdasarkan kategori tersebut, diketahui bahwa sebagian besar responden berumur 30-40 tahun yaitu sebanyak 52 orang (61,9%). Responden yang berumur <30 tahun adalah 21 orang (25,0%), sedangkan yang berumur > 40 tahun sebanyak 11 orang (13,1%).

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Umur pada Usaha Pembuatan Batu Bata di Kecamatan Darussalam

No Umur Jumlah Persentase (%)

1 < 30 tahun 21 25,0

2 30-40 tahun 52 61,9

3 > 40 tahun 11 13,1

Total 84 100

4.3.1.2. Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

(21)

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan pada Usaha Pembuatan Batu Bata di Kecamatan Darussalam

No Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD 34 40,5

2 SMP 14 16,7

3 SMA 33 39,3

4 PT 3 3,6

Total 84 100

4.3.1.3. Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja

Distribusi masa kerja responden dibagi menjadi 3 kategori yaitu 1-5 tahun, 6-10 tahun, dan 11-15 tahun. Berdasarkan kategori tersebut diketahui bahwa sebagian besar responden telah bekerja selama 6-10 tahun yaitu sebanyak 39 orang (46,4%). 34 orang (40,5%) responden telah bekerja selama 1-5 tahun dan 11 orang (13,1%) responden telah bekerja selama 11-15 tahun.

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja pada Usaha Pembuatan Batu Bata di Kecamatan Darussalam

No Masa Kerja Jumlah Persentase (%)

1 1-5 tahun 34 40,5

2 6-10 tahun 39 46,4

3 11-15 tahun 11 13,1

(22)

4.3.1.4. Jumlah Rata-rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi

4.3.1.4.1 Jumlah Rata-rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok Kontrol

Pada tabel 4.4, terlihat bahwa jumlah batu bata yang dapat dicetak pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi hampir sama. Sebagian besar responden dapat mencetak batu bata yang jumlahnya berkisar antara 600-800 buah, yaitu 26 orang (61,9%) sebelum intervensi dan 27 orang (64,3%) sesudah intervensi.

Tabel 4.4 Jumlah Rata-Rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi

4.3.1.4.2. Jumlah Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada Kelompok Perlakuan

(23)

Tabel 4.5 Jumlah Rata-Rata Batu Bata Sebelum dan Sesudah Intervensi Pada

4.3.1.5.1. Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Sebelum Intervensi

(24)

Gambar 4.5 Contoh Analisa Kondisi Kerja saat Mengambil Bahan Baku

Pada gambar di atas analisa kondisi kerjanya sebagai berikut : 1. Punggung : membungkuk ke depan dan diberi kode 2

2. Lengan : kedua lengan berada di bawah level ketinggian bahu dan diberi kode 1

(25)

Gambar 4.6 Contoh Analisa Kondisi Kerja saat Mencetak Batu Bata

Pada gambar di atas analisa kondisi kerjanya sebagai berikut : 1. Punggung : tegak dan diberi kode 1

2. Lengan : kedua lengan berada di bawah level ketinggian bahu dan diberi kode 1

(26)

Gambar 4.7 Contoh Analisa Kondisi Kerja saat Meletakkan Hasil Cetakan Batu Bata

Pada gambar di atas analisa kondisi kerjanya sebagai berikut : 1. Punggung : membungkuk ke depan dan diberi kode 2

2. Lengan : kedua lengan berada di bawah level ketinggian bahu dan diberi kode 1

3. Kaki : berdiri dengan kedua lutut sedikit tertekuk dan diberi kode 4 4. Beban : kurang dari 10 kg dan diberi kode 1

(27)

penilaian postur kerja menurut OWAS. Angka yang ditebalkan/dihitamkan pada tabel 4.6 menunjukkan penilaian/kode setiap postur kerja.

Tabel 4.6 Penilaian Sikap Kerja (Postur Tubuh Pada Saat Bekerja) Menurut OWAS

(28)

Pada tabel 4.7 diketahui distribusi frekuensi analisa kondisi kerja sebelum intervensi. Pada kelompok kontrol saat mengambil bahan baku, 31 orang (73,8%) responden termasuk ke dalam katagori 2 yaitu kondisi kerja yang berisiko terhadap cedera muskuloskeletal dan perlu dilakukan perbaikan. 11 orang (26,2%) termasuk ke dalam katagori 3 yaitu kondisi kerja yang berisiko terhadap cedera muskuloskeletal dan perlu dilakukan perbaikan secepat mungkin. Saat mencetak batu bata, sebagian besar responden (88,1%) termasuk ke dalam katagori 1 yaitu kondisi kerja yang aman, hanya ada 5 orang responden (11,9%) yang termasuk ke dalam katagori 2. Pada saat meletakkan hasil cetakan, 27 orang responden (64,3%) termasuk ke dalam katagori 2 dan 15 orang responden (35,7%) termasuk ke dalam katagori 3.

(29)

Tabel 4.7 Analisa Kondisi Kerja Berdasarkan Metode OWAS Sebelum

(30)

kondisi kerja yang berisiko terhadap cedera muskuloskeletal sehingga perlu dilakukan perbaikan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui distribusi frekuensi sikap kerja responden pada kelompok kontrol dan perlakuan. Dari tabel 4.8 diketahui bahwa seluruh responden pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan menunjukkan sikap kerja yang tidak baik saat mengambil bahan baku dan meletakkan hasil cetakan. Sedangkan saat mencetak batu bata, sebagian besar responden yaitu 37 orang (88,1%) pada kelompok kontrol dan 38 orang (90,5%) pada kelompok perlakuan menunjukkan sikap kerja yang baik

(31)

4.3.1.5.2. Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Sesudah Intervensi

Sesudah dilakukan intervensi, kondisi kerja pada kelompok kontrol cenderung sama dengan sebelum intervensi, sedangkan pada kelompok perlakuan kondisi kerja berubah menjadi lebih baik. Berdasarkan tabel 4.9 diketahui pada kelompok kontrol saat mengambil bahan baku, 29 orang responden (69,0%) termasuk ke dalam katagori 2 dan 13 orang (31,0%) termasuk ke dalam katagori 3. Sedangkan pada kelompok perlakuan, tidak ada lagi kondisi kerja yang berisiko, semua responden yaitu 42 orang telah berada dalam kondisi kerja yang aman (katagori 1). Pada saat mencetak batu bata, sebagian besar responden baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan termasuk ke dalam katagori 1 yaitu 38 orang (90,5%) pada kelompok kontrol dan 39 orang (92,9%) pada kelompok perlakuan. Saat meletakkan hasil cetakan, 31 orang responden (73,8%) pada kelompok kontrol termasuk ke dalam katagori 2 dan 11 orang (26,2%) termasuk ke dalam katagori 3. Sedangkan pada kelompok perlakuan, kondisi kerja seluruh responden (42 orang) termasuk ke dalam katagori 1.

(32)

Tabel 4.9 Lanjutan 2 Kondisi Kerja Saat

Mencetak Batu Bata

- Aman 38 90,5 39 92,9 - Perlu Perbaikan 4 9,5 3 7,1 - Perbaikan Segera 0 0 0 0 - Perbaikan Sekarang 0 0 0 0 Total 42 100,0 42 100,0 3 Kondisi Kerja Saat

Meletakkan Hasil Cetakan Batu Bata

- Aman 0 0 42 100,0 - Perlu Perbaikan 31 73,8 0 0 - Perbaikan Segera 11 26,2 0 0 - Perbaikan Sekarang 0 0 0 0 Total 42 100,0 42 100,0

(33)

Tabel 4.10 Distribusi Frekuensi Sikap Kerja Responden Sesudah Intervensi

4.3.1.6. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal

4.3.1.6.1. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Sebelum Intervensi

(34)

Sebagian besar responden pada kelompok kontrol sebelum dilakukan intervensi mengalami keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang yaitu sebanyak 29 orang (69%). Responden yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan ringan hanya sebanyak 6 orang (14,3%) dan tingkat keluhan berat sebanyak 7 orang (16,7%).

Berdasarkan tabel 4.11 dapat dilihat bahwa sebagian besar responden pada kelompok perlakuan sebelum dilakukan intervensi mengalami keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang yaitu sebanyak 29 orang (69%). Responden yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan ringan hanya sebanyak 4 orang (9,5%) dan tingkat keluhan berat sebanyak 9 orang (21,4%).

Tabel 4.11 Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor Sebelum Intervensi

No Tingkat Keluhan Kelompok N

4.3.1.6.2. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Sesudah Intervensi

(35)

dirasakan oleh 6 orang responden (14,3%) dan tingkat keluhan berat dirasakan oleh 6 orang (14,3%).

Tabel 4.12 Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor Sesudah Intervensi

No Tingkat Keluhan Kelompok N

Sesudah dilakukan intervensi, terlihat ada perbedaan tingkat keluhan yang dirasakan responden pada kelompok perlakuan dimana sebagian besar responden merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan ringan yaitu sebanyak 22 orang (52,4%). Hanya 5 orang responden (11,9%) yang masih merasakan keluhan dengan tingkat keluhan berat, sedangkan yang mengalami keluhan dengan tingkat keluhan sedang juga berkurang menjadi 15 orang (35,7%).

4.4. Analisis Bivariat

4.4.1. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal pada Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Intervensi

(36)

muskuloskeletal pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi dapat dilihat pada tabel 4.13 di bawah ini.

Tabel 4.13 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Kelompok Kontrol

Variabel Mean SD SE P value

Tingkat Keluhan

1. Sebelum Intervensi 62,95 8,900 1,373 0,895 2. Sesudah Intervensi 62,98 8,764 1,352

Setelah dilakukan uji statistik pada tingkat kepercayaan 95% dengan menggunakan uji t- berpasangan didapat nilai probability (p) sebesar 0,895. Nilai ini

lebih besar dari nilai α (0,05) atau p > α. Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat

kepercayaaan 95%, tidak terdapat perbedaan tingkat keluhan muskuloskeletal pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi.

4.4.2. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal pada Kelompok Perlakuan Sebelum dan Sesudah Intervensi

(37)

Tabel 4.14 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal Sebelum dan Sesudah Intervensi pada Kelompok Perlakuan

Variabel Mean SD SE P value

Tingkat Keluhan

1. Sebelum Intervensi 62,81 8,852 1,366 0,000 2. Sesudah Intervensi 45,81 14,772 2,279

Dengan melakukan uji statistik pada tingkat kepercayaan 95% dengan uji t-berpasangan, didapat nilai p sebesar 0,000 (p < α). Hal ini menunjukkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, terdapat perbedaan yang signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara sebelum dan sesudah intervensi pada kelompok perlakuan, dimana sesudah intervensi tingkat keluhan muskuloskeletal yang dirasakan responden berkurang dari tingkat keluhan sedang menjadi tingkat keluhan ringan.

4.4.3. Perbedaan Tingkat Keluhan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Sebelum Intervensi

(38)

Tabel 4.15 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal antara Kelompok Kontrol dan Perlakuan Sebelum Intervensi

Variabel Mean SD SE P Value N

Kelompok

1. Kontrol 62,95 8,900 1,373 0,941 42

2. Perlakuan 62,81 8,852 1,366 42

Dengan uji t-tidak berpasangan pada tingkat kepercayaan 95% didapat nilai p sebesar 0,941 (> 0,05) atau p > α, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat perbedaan yang signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan.

4.4.4. Perbedaan Tingkat Keluhan antara Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan Sesudah Intervensi

(39)

Tabel 4.16 Perbedaan Skor Keluhan Muskuloskeletal antara Kelompok Kontrol dan Perlakuan Sesudah Intervensi

Variabel Mean SD SE P Value N

Kelompok

1. Kontrol 62,98 8,764 1,352 0,000 42

2. Perlakuan 45,81 14,772 2,279 42

(40)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Batu Bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar

Sikap tubuh dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, susunan dan penempatan peralatan serta perlengkapan kerja (Suma’mur, 2009).

Sikap kerja yang tidak alamiah dan cara kerja yang tidak ergonomis dalam bekerja harus dihindarkan karena dapat menyebabkan nyeri otot pada daerah-daerah tubuh tertentu (Ramandhani, 2008).

Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergelangan tangan terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat, dan sebagainya. Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitasi tubuh, maka semakin tinggi pula terjadinya keluhan musculoskeletal. Di Indonesia, sikap kerja yang tidak alamiah lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidaksesuaian antara dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja (Tarwaka, 2010).

(41)

tersedianya fasilitas kerja yang memadai. Sikap kerja perajin sebelum intervensi dapat dilihat pada gambar di bawah ini :

Gambar 5.1 Sikap Kerja saat Mengambil Gambar 5.2 Sikap Kerja saat Bahan Baku Sebelum Mencetak Batu Bata Intervensi Sebelum Intervensi

Gambar 5.3 Sikap Kerja saat Meletakkan Hasil Cetakan Sebelum Intervensi

(42)

ketidakstabilan tubuh. Kondisi ketidakstabilan ini dapat memberikan tekanan berlebih pada syaraf-syaraf di sekitar tulang belakang terutama pada L5 dan S1 sehingga menyebabkan terjadinya kenyerian umum akibat dari ketegangan otot dan ligamen pada masing-masing vertebrae tersebut. Kenyerian ini terjadi pada saat tulang belakang membungkuk satu arah terlalu jauh, membungkuk secara berulang atau membungkuk dengan membawa beban (Tarwaka, 2010). Kenyerian yang terjadi secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan cedera atau penyakit pada tulang belakang. Penyakit tulang belakang yang paling sering dijumpai yaitu hernia pada discus intervertebralis yaitu keluarnya inti intervertebral yang disebabkan oleh rusaknya lapisan pembungkus pada intervertebral disk.

Dari hasil observasi pada perajin di bagian pencetakan batu bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar, diketahui bahwa sebagian besar perajin yaitu 69,0% merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang, tingkat keluhan berat 19,0% dan tingkat keluhan ringan dirasakan oleh 11,9% perajin. Keluhan tersebut dirasakan pada otot-otot di seluruh tubuh dan keluhan yang paling berat dirasakan yaitu pada otot bahu, lengan, tangan, punggung dan pinggang.

(43)

pada kelompok perlakuan terjadi perubahan sikap kerja karena diberikan fasilitas kerja baru.

Sebelum intervensi diketahui bahwa tidak terlihat adanya perbedaan tingkat keluhan antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Sebagian besar perajin (69%) baik pada kelompok kontrol maupun perlakuan merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan sedang. Dengan uji t-independent (tidak berpasangan), didapat nilai p sebesar 0,895 (> 0,05) atau p > α, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat kepercayaan 95%, tidak terdapat perbedaan yang signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan sebelum intervensi.

(44)

Gambar 5.4 Sikap Kerja saat Mengambil Bahan Baku Sesudah Intervensi

Gambar 5.5 Sikap Kerja saat Mencetak Batu Bata Sesudah Intervensi

(45)

Gambar 5.6 Sikap Kerja saat Meletakkan Hasil Cetakan Sesudah Intervensi

Pada kelompok perlakuan dengan perbaikan sikap kerja, jumlah rata-rata batu bata yang dapat dicetak oleh seorang perajin setiap harinya bertambah. Sebelum intervensi, jumlah rata-rata batu bata dalam kisaran 600-800 buah, sedangkan sesudah intervensi sebagian besar perajin dapat mencetak >800 batu bata setiap harinya.Hal ini menunjukkan ada peningkatan produktivitas perajin dalam mencetak batu bata. Suma’mur (2009) mengatakan bahwa perbaikan sikap badan saat kerja dan/atau cara bekerja sehingga pekerjaan dilakukan lebih ergonomis ternyata mampu menaikkan produktivitas sebesar 10%, bahkan suatu penelitian melaporkan kenaikan produktivitas yang diukur dari peningkatan hasil kerja adalah sebesar 20%.

(46)

sedang, sedangkan pada kelompok perlakuan sebagian besar perajin (52,4%) merasakan keluhan muskuloskeletal dengan tingkat keluhan ringan, tingkat keluhan sedang menurun sebesar 33,3%, dan tingkat keluhan berat menurun sebesar 9,5%. Hasil uji statistik dengan uji t-independent (tidak berpasangan) didapatkan nilai p

adalah 0,000 (< α 0,05) yang berarti bahwa pada α 5% terdapat perbedaan yang

signifikan tingkat keluhan muskuloskeletal antara perajin yang sikap kerjanya baik (kelompok perlakuan) dengan perajin yang sikap kerjanya tidak baik (kelompok kontrol). Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh sikap kerja terhadap tingkat keluhan muskuloskeletal.

Hasil penelitian ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Sukmawati (2007) dalam penelitiannya yang mengatakan bahwa perbaikan kursi kerja dapat menurunkan keluhan muskuloskeletal sebesar 42,22% dan meningkatkan produktivitas kerja sebesar 38,54% pada perajin destar di Desa Gerih.

Hal serupa juga didapat oleh Masrah (2009) dalam penelitiannya yang menyatakan bahwa setelah diberikan alat bantu kerja berupa kereta beroda sederhana, terjadi perbaikan postur kerja dan penurunan tingkat keluhan muskuloskeletal pada pekerja industri pencetakan batu bata di desa Paya Lombang Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Begadai.

(47)

sehingga pekerjaan dilakukan lebih ergonomis ternyata mampu mengurangi tingkat keluhan muskuloskeletal pada pekerja.

5.2. Keterbatasan Penelitian

Pada saat penelitian, peneliti mengalami kesulitan saat melakukan pengumpulan data karena responden tidak berada pada 1 lokasi pembuatan batu bata melainkan di beberapa lokasi. Selain itu tidak semua pengelola usaha dan perajin di bagian pencetakan batu bata mau bekerjasama dengan baik pada saat penelitian dilakukan.

(48)

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Sebelum intervensi, seluruh perajin di bagian pencetakan batu bata di Desa Lambada Peukan dan Miruk Taman Kecamatan Darussalam Aceh Besar menunjukkan sikap kerja yang tidak baik pada saat mengambil bahan baku dan meletakkan hasil cetakan batu bata. Sedangkan pada saat mencetak batu bata, sebagian besar perajin sudah menunjukkan sikap kerja yang baik.

2. Sesudah intervensi, terjadi perbaikan sikap kerja pada kelompok perlakuan saat mengambil bahan baku dan meletakkan hasil cetakan batu bata.

3. Ada pengaruh sikap kerja terhadap tingkat keluhan muskuloskeletal pada perajin di bagian pencetakan batu bata di Kecamatan Darussalam Aceh Besar. Dengan perbaikan sikap kerja pada kelompok perlakuan, tingkat keluhan muskuloskeletal menurun dari tingkat keluhan sedang menjadi ringan.

6.2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat disarankan :

(49)

menerapkan metode kerja baru dengan fasilitas kerja yang ergonomis sehingga dapat dicapai kenyamanan dalam bekerja.

Gambar

Tabel 3.1 Penilaian Sikap Kerja (Postur Tubuh Pada Saat Bekerja) Menurut        OWAS
Gambar 3.1 Rancangan Meja Kerja
Tabel 3.2 Aspek Pengukuran Variabel Penelitian
Gambar 4.3 Meja Kerja
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada indikator mampu menentukan pasar untuk hasil usahatani, diperoleh skor 3,68 GHQJDQ NDWHJRUL ³7HUFDSDL´ ,QL EHUDUWL WXMXDQ penyuluhan dalam memberdayakan petani agar mereka

W a tt (W). Fluks magnetik yang menghubungkan rangkaian dalam 1 putaran, menghasilkan didalamnya suatu gaya gerak listrik sebesar 1 volt kemudian berkurang menjadi nol pada tingkat

Rasio perputaran aktiva tetap pada tahun 2014 sebesar 0,2 kali, angka ini menunjukkan bahwa dalam satu tahun rata-rata dana yang tertanam dalam aktiva t etap berputar 0,2 kali..

1. Mochamad Edris, Drs, MM. selaku Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas Muria Kudus, yang telah memberi izin untuk mengadakan penelitian dalam penulisan skripsi. selaku

Peningkatan Keterampilan Membaca Pantun Melalui Model Cooperative Integrated, Reading And Composition Berbantuan Komik Strip Pada Siswa Kelas IV SD 2

Berdasarkan hasil analisis koefisien determinasi diperoleh sebesar 69.7% artinya hasil variabel kreativitas mahasiswa memberikan sumbangan yang positif dan signifikan

Berdasarkan tabel 4.3 diketahui bahwa sebagian besar kesiapan menjadi orang tua pada remaja yang menikah dini di Dusun Tanuditan Trirenggo Bantul Yogyakarta Tahun

Tidak ada dosen bila tidak ada mahasiswa Tidak perlu kurikulum... tanpa kehadiran dosen dan