• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TINGKAT KEBERAGAMAN STRATEGI POLA NAFKAH TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN MASYARAKAT

Kemiskinan dinilai meluas dengan kedalaman kemiskinan yang memprihatinkan Tain (2011). Sharp AM et al. (1997) mendefinisikan kemiskinan dengan fokus pada hubungan antara kebutuhan minimum seseorang dengan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan tersebut. Sedangkan Taryoto (2014) menjelaskan definisi kemiskinan sebagai kondisi yang menunjukkan adanya kesenjangan antara apa yang seharusnya dimiliki dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam waktu tertentu. Wie (1981) menjelaskan unsur-unsur kebutuhan dasar yang terdiri atas kategori: (a) kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan; (b) jasa-jasa kebutuhan dasar seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, pengangkutan, komunikasi dan saluran air minum yang sehat; (c) lapangan kerja yang produktif yang dapat menjamin yang dapat menjamin pendapatan untuk membiayai kebutuhan dasar; dan (d) partisipasi dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup sendiri.

Berdasarkan beberapa kategori kebutuhan dasar yang disampaikan oleh Wie (1981), beberapa poin kategori yang ditemukan di daerah penelitian terdapat beberapa hal. Kebutuhan sandang, pangan, papan, jasa kebutuhan dasar sudah terpenuhi. Dua poin lainnya seperti lapangan kerja produktif dan partisipasi dalam pengambilan keputusan tidak sepenuhnya didapatkan. Masih terdapat penduduk yang putus sekolah dan belum bekerja, masih terdapat pula pelaku usaha maupun buruh yang tidak terlibat dalam pengambilan keputusan di tempat kerja maupun penerapan kebijakan di daerah penelitian.

Wie (1981) berpendapat bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat di negara berkembang belum mampu menyediakan lapangan kerja produktif bagi pertumbuhan penduduk yang bertambah secara pesat, maupun mengurangi secara pesat kemiskinan yang ada di daerah tersebut. Wie (1981) pun menambahkan bahwa kasus yang terjadi di Pulau Jawa pada 1967-1976 yang mengalami penurunan persentase penduduk miskin, gagal dalam menurunkan jumlah absolut penduduk miskin karena pertumbuhan penduduk yang pesat. Ia pun menambahkan bahwa perubahan pertumbuhan keberhasilan strategi kebutuhan dasar mutlak dilakukan saat pola pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan menurut Taryoto (2014) diukur melalui garis kemiskinan pangan dan bukan pangan, selanjutnya penduduk dengan pendapatan per kapita per bulan lebih kecil dari garis kemiskinan tersebut disebut miskin. Kepemilikan aset, pengeluaran pangan dan non pangan menjadi beberapa indikator yang dilihat dalam menilai tingkat kemiskinan di masyarakat pesisir Desa Bajomulyo.

Kemiskinan di wilayah pesisir memicu destructive fishing yang kemudian mengacaukan mata rantai makanan. Hal ini yang menjadi alasan perlunya peningkatan pendapatan rumah tangga nelayan untuk menjamin pembangunan perikanan yang berkelanjutan (Fauzi 2005). Peningkatan pendapatan tersebut tidak terlepas dari strategi yang diterapkan oleh masyarakat nelayan. Strategi pola nafkah yang dilakukan disajikan dalam bentuk tabel frekuensi untuk mengetahui perbedaan tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi dan tingkat keberagaman strategi pola nafkah rendah.

Berikut adalah tabel frekuensi tingkat keberagaman strategi nafkah baik kelas atas maupun kelas bawah.

Tabel 17 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas Kategori Tingkat Frekuensi Persentase

(%) Persentase Valid (%) Persentase kumulatif (%) Tingkat keberagaman

strategi pola nafkah

Tinggi 13 65,0 65,0 65,0

Rendah 7 35,0 35,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Sumber: data primer 2016

Masyarakat nelayan kelas atas Desa Bajomulyo memiliki tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi dengan persentase 65% dan tingkat keberagaman strategi pola nafkah rendah dengan persentase 35%. Tingkat keberagaman strategi pola nafkah tersebut dilihat melalui intensitas penangkapan ikan, pendapatan, pekerjaan alternatif, keikutsertaan dalam melakukan usaha pada sektor penangkapan ikan, pekerjaan alternatif yang dilakukan, kepemilikan modal sosial berupa pengembangan jejaring, dan keikutsertaan dalam kelembagaan di desa.

Secara lengkap tingkat keberagaman strategi pola nafkah kelas bawah yaitu: Tabel 18 Frekuensi tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas bawah Kategori Tingkat Frekuensi Persentase

(%) Persentase Valid (%) Persentase kumulatif (%) Tingkat keberagaman

strategi pola nafkah

Rendah 9 45,0 45,0 45,0

Tinggi 11 55,0 55,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Sumber: data primer 2016

Tingkat keberagaman strategi pola nafkah kelas bawah di atas dapat diketahui bahwa tingkat keberagaman strategi pola nafkah rendah memiliki persentase sebesar 45%, sedangkan tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi memiliki persentase sebesar 55%. Tidak ditemukan selisih yang signifikan antara tingkat keberagaman strategi pola nafkah tinggi dan rendah.

Berkaitan dengan masing-masing kategori yang diukur dalam tingkat keberagaman strategi pola nafkah, berikut ini adalah beberapa kategori tersebut.

Tabel 19 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyaraat nelayan masyarakat kelas atas

Kategori Tingkat Frekuensi Persentase (%) Persentase Valid (%) Persentase kumulatif (%) Intensitas menangkap ikan Rendah 7 35,0 35,0 35,0

Tinggi 13 65,0 65,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Jeda menangkap ikan Rendah 9 45,0 45,0 45,0

Tinggi 11 55,0 55,0 100,0

Keikutsertaan anggota keluarga lain dalam usaha

Ada 9 45,0 45,0 45,0

Tidak 11 55,0 55,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Pekerjaan alternatif Tidak puny 12 60,0 60,0 60,0

Punya 8 40,0 40,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Pendapatan Rendah 18 90,0 90,0 90,0

Tinggi 2 10,0 10,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Keikutsertaan organisasi di desa Tidak 5 25,0 25,0 25,0

Ya 15 75,0 75,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Sumber: data primer 2016

Kategori yang terlihat dominan dapat dilihat pada intensitas menangkap ikan tinggi yaitu sebesar 65%, jeda menangkap ikan tinggi yaitu sebesar 55%, tidak memiliki pekerjaan alternatif sebesar 60% dan tingkat pendapatan rendah sebesar 90%. Persentase tersebut menggambarkan keadaan yang terjadi pada masyarakat kelas atas Desa Bajomulyo bahwa kapal yang dimiliki memiliki waktu sandar singkat yaitu 14 hari, waktu tersebut dimanfaatkan oleh pemilik kapal untuk perawatan mesin dan persiapan perbekalan yang akan dibawa untuk melaut selanjutnya.

Sebesar 60% pemilik kapal tidak memiliki pekerjaan alternatif, pekerjaan alternatif yang dimiliki nelayan antara lain membuka warung, usaha toko bangunan, dan menjadi buruh penarik basket di TPI. Beberapa pemilik kapal yang lain tidak memiliki pekerjaan alternatif dan hanya menggantungkan penghasilan dari mengelola kapal. Tingkat pendapatan pemilik kapal yang berasal dari Desa Bajomulyo pada kelasnya tergolong rendah yaitu dengan persentase sebesar 90%. Persentase tingkat pendapatan sedang tersebut tergolong tinggi karena terdapat pemilik kapal asal Desa Bajomulyo yang memiliki usaha kapal besar dan banyak. Pemilik kapal yang ikut dalam keanggotaan nelayan Bajomulyo diketahui bukan penduduk asli Bajomulyo. Pengusaha kapal besar asal luar Desa Bajomulyo tersebut tidak diikutsertakan sebagai daftar responden karena status sebagai pengelola kapal Bajomulyo hanya untuk pendataan saja.

Sebagai pembanding, akan dipaparkan kategori yang sama pada kelas bawah masyarakat pesisir Bajomulyo kategori tingkat keberagaman strategi pola nafkah. Tabel 20 Frekuensi kategori-kategori pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah

masyaraat nelayan masyarakat kelas atas

Kategori Tingkat Frekuensi Persentase (%) Persentase Valid (%) Persentase kumulatif (%) Intensitas menangkap ikan Rendah 15 75,0 75,0 75,0 Tinggi 5 25,0 25,0 100,0 Total 20 100,0 100,0

Jeda menangkap ikan Rendah 9 45,0 45,0 45,0

Tinggi 11 55,0 55,0 100,0

Keikutsertaan anggota keluarga lain dalam usaha

Ada 11 55,0 55,0 55,0

Tidak 9 45,0 45,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Pekerjaan alternatif Tidak

punya 15 75,0 75,0 75,0 Punya 5 25,0 25,0 100,0 Total 20 100,0 100,0 Pendapatan Rendah 11 55,0 55,0 55,0 Tinggi 9 45,0 45,0 100,0 Total 20 100,0 100,0 Keikutsertaan organisasi di desa Tidak 11 55,0 55,0 55,0 Ya 9 45,0 45,0 100,0 Total 20 100,0 100,0

Sumber: data primer 2016

Beberapa poin frekuensi kategori dalam tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan yang memiliki nilai dominan. ABK memiliki intensitas menangkap ikan rendah sebesar 75%, jeda menangkap ikan tinggi sebesar 55%, keikutsertaan anggota keluarga dalam menangkap ikan rendah sebesar 55%, tidak memiliki pekerjaan alternatif sebesar 75% dan tingkat pendapatan rendah sebesar 55%. Intensitas menangkap ikan ditentukan ditentukan dari lama kapal melaut. Pada situasi ini intensitas melaut yang dilakukan ABK bergantung pada kapal tempat ABK tersebut bekerja. Kapal tempat ABK bekerja antara lain kapal pure seine, kapal fisher, kapal holler, dan kapal penangkap cumi-cumi.

Jeda menangkap ikan yang dimiliki ABK juga bergantung pada keputusan pemilik/ pengurus kapal, kapan akan menjalankan kembali kapal yang dimilikinya. Pemilik kapal memerlukan waktu lama untuk mempersiapkan perbekalan dan perbaikan mesin, sehingga waktu jeda berangkat kapal juga lebih lama. Persentase tidak memiliki pekerjaan alternatif oleh ABK besar yaitu sebesar 75%, angka ini menunjukkan bahwa lebih banyak ABK yang hanya memiliki satu pekerjaan saja. Pekerjaan alternatif yang dilakukan oleh ABK antara lain melakukan pekerjaan tambahan ketika berada di tengah laut selain menangkap ikan, seperti sebagai juru masak. Selain itu pekerjaan yang dapat dilakukan adalah berjualan pada saat waktu jeda pulang melaut.

Tingkat pendapatan rendah yang masih terdapat di ABK yaitu sebesar 55%. Tingkat pendapatan rendah yaitu ABK dengan pendapatan per bulan lebih rendah dari Rp. 3.388.422,00, tingkat pendapatan sedang apabila pendapatan rata-rata per bulan dari melaut antar Rp. 3.38.422,00 sampai Rp. 5.161.578,00, dan tingkat pendapatan tinggi apabila pendapatan per bulan lebih dari Rp. 5.161.578,00. Nilai interval untuk menentukan pendapatan ABK tersebut didapatkan dengan menghitung kuartil satu dan tiga berdasarkan standar deviasi yang sudah dihitung menggunakan SPSS versi 22.0.

Jolly et al. (1993) menjelaskan dalam bukunya yang berjudul Economics of Aquaculture bahwa populasi di negara kurang berkembang diperkirakan mangalami kemiskinan absolut atau kemiskinan relatif. Lebih dari 80% penduduk miskin tersebut berasal dari pedesaan. Jolly et al. (1993) juga menggambarkan bahwa kemiskinan dapat dilihat dari lemahnya nutrisi, tempat tinggal yang tidak memadai dan standar kesehatan rendah. Ketiga hal tersebut dianggap sebagai faktor yang memengaruhi kualitas hidup dan produktifitas masyarakat pedesaan. Budidaya air dapat menjadi salah satu solusi untuk menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat miskin desa. Budidaya

ikan juga dapat ditemui di sekitar Sungai Silugonggo terletak di dekat tempat pemindangan.

Berkaitan dengan penanggulangan kemiskinan, Taryoto (2014) menemukan bahwa upaya pemberantasan kemiskinan pada masyarakat pedesaan lebih lambat dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Begitupun pada masyarakat pertanian, Taryoto (2014) menyebutkan keberhasilan penanggulangan kemiskinan pada sektor pertanian lebih lambat dibandingkan dengan sektor di luar pertanian. Sebagai gambaran tingkat kemiskinan yang ada di Desa Bajomulyo, akan dipaparkan data persentase tingkat kemiskinan pada kelas bawah dan kepemilikan aset kelas atas di sektor penangkapan ikan. Berikut ini adalah frekuensi tingkat kemiskinan kelas atas dan kelas bawah.

Tabel 21 Frekuensi tingkat kepemilikan aset masyarakat kelas atas Kategori Tingkat Frekuensi Persentase

(%)

Persentase Valid (%)

Persentase kumulatif (%)

Tingkat kemiskinan Rendah 10 50,0 50,0 50,0

Tinggi 10 50,0 50,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Sumber: data primer 2016

Sebagai pembanding akan dipaparkan pula persentase pada tingkat kemiskinan masyarakat pesisir Desa Bajomulyo pada kelas bawah.

Tabel 22 Frekuensi tingkat kemiskinan masyarakat kelas bawah Kategori Tingkat Frekuensi Persentase

(%)

Persentase Valid (%)

Persentase kumulatif (%) Tingkat kemiskinan Rendah 11 55,0 55,0 55,0

Tinggi 9 45,0 45,0 100,0

Total 20 100,0 100,0

Sumber: data primer 2016

Kelas sosial pada penelitian ini dibedakan atas pemilik dan pengelola kapal sebagai kelas atas dan ABK sebagai kelas bawah. Perbedaaan antara kedua kelas tersebut salah satunya berdasarkan sumberdaya yang mereka miliki. Perbedaan tingkat tersebut dipengaruhi karena perbedaan kecenderungan dalam mengumpulkan sumberdaya modal. Indonesia mengalami perbedaan pembagian pendapatan yang disebabkan oleh faktor-faktor pembagian harta, strategi pembangunan dan kebijakan fiskal (Wie 1981). Sharp AM et al. (1997) mengatakan bahwa mereka yang termotivasi kuat untuk melupakan konsumsi hari ini bertujuan untuk mendapatkan pendapatan yang lebih hebat pada masa depan. Sebaliknya mereka yang fokus pada standar konsumsi terkini tidak menyimpan dan mengumpulkan sumberdaya modal yang dapat digunakan untuk keperluan masa depan. Berkaitan dengan apa yang dijabarkan oleh Sharp AM et al. (1997), terdapat pernyataan terkait pola mengumpulkan sumberdaya modal yang dilakukan oleh masyarakat. Pernyataan terkait pengumpulan modal dalam pola hidup disampaikan oleh MGY (57 tahun):

“...Terkait kebutuhan tergantung pola hidup, pola hidup iku yo kanggo minum, kanggo karaoke. Tinggal karek awake dewe ngroso bersyukur. Nek

aku nduwe 100 ewu sedino, tak nggo mangan 40% sisane dinggo kebutuhan liya, dinggo nabung...”.

“...Terkait kebutuhan tergantung pola hidup, pola hidup ya untuk minum (minuman keras), karaoke. Tinggal bagaimana cara kita bersyukur, saat aku punya 100 ribu sehari, dipakai makan 40% sisanya dipakai untuk kebutuhan lain, untuk menabung...”.

Tingkat keberagaman strategi pola nafkah dan tingkat kemiskinan masyarakat pesisir diuji dengan metode uji regresi linear menggunakan SPSS versi 22.0 untuk mengetahui pengaruh antara kedua variabel tersebut. Berikut ini adalah hasil uji pengaruh antara variabel tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat nelayan dan tingkat kemiskinan masyarakat nelayan.

Tabel 23 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kepemilikan aset masyarakat pesisir kelas atas

Variabel terpengaruh: tingkat kemiskinan Sumber: data primer 2016

Tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kepemilikan aset. Hal tersebut diketahui dari angka signifikansi hasil analisis lebih besar dari α (0,05) sehingga Ho diterima. Angka signifikansi pada variabel independen tersebut yaitu sebesar 0,845. Penerimaan Ho tersebut berarti menolak hipotesis uji, artinya tingkat keberagaman strategi pola nafkah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kepemilikan aset masyarakat lapisan atas. Berikut ini adalah hasil uji pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah dengan tingkat kemiskinan masyarakat kelas bawah.

Tabel 24 Pengaruh tingkat keberagaman strategi pola nafkah terhadap tingkat kemiskinan masyarakat pesisir kelas bawah

Variabel terpengaruh: tingkat kemiskinan Sumber: data primer 2016

Tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas bawah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal tersebut diketahui dari angka signifikansi hasil analisis lebih besar dari α (0,05) sehingga Ho diterima. Angka signifikansi pada variabel independen tersebut yaitu sebesar 0,393. Penerimaan Ho tersebut berarti menolak hipotesis uji sehingga tingkat keberagaman strategi pola nafkah tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan masyarakat lapisan Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta (Constant) 34,192 4,283 7,982 0,000 Strategi nafkah -,039 0,196 -,047 -,198 0,845 Model Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients t Sig. B Std. Error Beta (Constant) 25,011 15,340 1,630 0,120 Strategi nafkah 0,633 0,723 0,202 0,876 0,393

bawah. Pengelola kapal kelas atas turut membantu menanggulangi kemiskinan dengan memberikan lapangan pekerjaan dan memberikan santunan pada waktu tertentu.

PENUTUP

Kesimpulan

Tingkat akses terhadap sumberdaya pendidikan memiliki pengaruh signifikan pada tingkat keberagaman strategi pola nafkah masyarakat kelas atas sebesar 0,001 dan tidak memiliki hubungan signifikan pada kelas bawah pada uji regresi linier berganda. Tingkat akses lembaga keuangan, lembaga pemasaran dan teknologi pada kelas atas tidak memiliki hubungan signifikan, secara berurutan nilai signifikansi pengaruhnya yaitu 0,913; 0,257; dan 0,296. Tingkat akses lembaga keuangan, lembaga pemasaran dan teknologi pada kelas bawah tidak memiliki hubungan signifikan, secara berurutan nilai signifikansi pengaruhnya yaitu 0,440; 0,130; dan 0,378. Secara keseluruhan tingkat akses sumberdaya pada kelas atas memiliki pengaruh terhadap tingkat keberagaman strategi pola nafkah dengan nilai signifikansi sebesar 0,006.

Tingkat akses pendidikan tinggi pada kelas atas memiliki nilai lebih tinggi yaitu 55% daripada tingkat akses rendah dengan persentase 45%. Selain itu tingkat akses lembaga keuangan tinggi sebesar 40%, tingkat akses rendah sebesar 60% dan tingkat akses pemasaran tinggi 60% dan tingkat akses pemasaran rendah 40%. Tingkat akses teknologi pada kelas atas yaitu 20% akses tinggi dan 80% akses rendah.

Frekuensi pada kelas bawah menunjukkan tingkat akses teknologi tinggi sebesar 30%, tingkat akses teknologi rendah sebesar 70% dan tingkat akses keuangan tinggi sebesar 65%, tingkat akses keuangan rendah 35%. Tingkat akses lembaga pemasaran dan pendidikan pada kelas bawah memiliki nilai sama antara tingkat akses tinggi dan rendah yaitu 50%.

Akses teknologi dirasakan oleh kedua kelas, kelas atas mendapatkan akses sebagai pemilik, kelas bawah mendapatkan akses operasional kapal. Akses keuangan pada kelas atas digunakan untuk modal pengembangan usaha, sedangkan akses keuangan pada kelas bawah bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Lembaga pemasaran menjadi tempat menjual hasil tangkap yang digunakan untuk menentukan penghasilan berdasarkan proporsi antara pemilik, ABK, nahkoda, dan perbekalan. Tingkat akses pendidikan tinggi kelas atas lebih tinggi daripada kelas bawah.

Tingkat keberagaman strategi pola nafkah yang dilihat melalui pendekatan kualitatif memberikan beberapa hal yang dijadikan sebagai strategi nafkah masyarakat pesisir Desa Bajomulyo, antara lain: (1) melakukan pekerjaan alternatif dengan berprofesi sebagai sebagai penarik basket bagi kelas atas; (2) perhitungan matang dalam meminjam uang untuk mengembangkan modal usaha pada masyarakat kelas atas; (3) melakukan pekerjaan tambahan di tengah laut bagi ABK; (4) usaha perikanan non tangkap bagi warga Bajomulyo pemindang ikan; (5) mengikuti suatu komunitas untuk mendapatkan manfaat perlindungan dari keikutsertaan tersebut bagi kelas atas dan bawah; (6) meningkatkan teknologi penyimpanan dalam kapal bagi pemilik kapal untuk meningkatkan mutu ikan sampai kepada konsumen.

Tingkat keberagaman strategi pola nafkah dan tingkat kemiskinan tidak memiliki pengaruh signifikan saat diuji dengan uji regresi linier. Angka signifikansi pada uji kedua variabel tersebut pada kelas bawah secara berurutan yaitu 0,393. Pengaruh tingkat keberagaman strategi dengan tingkat kepemilikan aset pada kelas atas yaitu sebesar 0,845.Secara kualitatif terdapat beberapa perkembangan aset responden yang terjadi secara bertahap dari penghasilan di sektor penangkapan ikan. Pengelola

kapal turut membantu kelas bawah dalam menanggulangi kemiskinan dengan memberikan lapangan pekerjaan dan santunan pada waktu tertentu.

Saran

Saran untuk pengembangan masyarakat pesisir Desa Bajomulyo merujuk pada kesimpulan yang didapatkan, ditujukan kepada tiga pemangku kepentingan yaitu akademisi, pengambil kebijakan, dan masyarakat.

1. Perlu penelitian lebih lanjut oleh akademisi maupun dinas terkait sistem pembagian hasil antara ABK dan nelayan, peran setor perikanan non tangkap secara kuantitatif, serta kerjasama modal dalam usaha perkapalan di Desa Bajomulyo.

2. Sebelum menerapkan suatu kebijakan pemerintah harus melakukan survei di kawasan yang terkena dampak kebijakan, mendengar apa kesulitan masyarakat akibat kebijakan yang diterapkan, menyiapkan pendamping supaya apa kebijakan yang disampaikan pemerintah selaras dengan apa yang dipahami masyarakat sasaran kebijakan, serta menyediakan beragam lapangan pekerjaan bidang perikanan.

3. Masyarakat pesisir kelas bawah sebaiknya memiliki pekerjaan alternatif, sebab ketidakpastian hasil ikan memengaruhi pendapatan dan menimbulkan kerentanan. Pola hidup yang merugikan kesehatan dan menghabiskan penghasilan dalam waktu dekat seperti meminum minuman keras sebaiknya dihindari. Masyarakat kelas atas sebaiknya memerhatikan lama masa sekolah anak- anaknya sehingga angka putus sekolah Desa Bajomulyo tidak meningkat. Pembagian hasil antara ABK, nahkoda dan pemilik kapal sebaiknya dilakukan secara transparan dengan menunjukkan bukti catatan hasil tangkapan dan perbekalan kapal yang harus dikurangkan pada hasil penjualan sebelum dibagi dengan proporsi tertentu.

Dokumen terkait