BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.3 Hubungan Antar Variabel
2.3.3 Pengaruh variabel Gross Domestic Product (GDP), Inflasi dan BI
2.3.3.3 Pengaruh variabel BI Rate terhadap Non Performing
BI Rate adalah suku bunga kebijakan yang mencerminkan sikap atau stance kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan diumumkan kepada publik. BI Rate diumumkan oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia setiap Rapat Dewan Gubernur bulanan dan diimplementasikan pada operasi moneter yang dilakukan Bank Indonesia melalui pengelolaan likuiditas (liquidity management) di pasar uang untuk mencapai sasaran operasional kebijakan moneter.
Sasaran operasional kebijakan moneter dicerminkan pada perkembangan suku bunga Pasar Uang Antar Bank Overnight (PUAB O/N). Pergerakan di suku bunga PUAB ini diharapkan akan diikuti oleh perkembangan di suku bunga deposito, dan pada gilirannya suku bunga kredit perbankan (Bank Indonesia). Bank syariah memiliki sistem operasional yang berbeda dengan bank konvensional. Pergerakan tingkat suku bunga deposito bank konvensional mengikuti pergerakan suku bunga acuan LPS, yang mengikuti bunga acuan BI. Sedangkan bank syariah memberikan layanan bebas bunga kepada para nasabahnya. Bank syariah memediasi antara pihak
93
investor yang menginvestasikan dananya di bank syariah dengan pihak yang kekurangan dana. Investor yang menempatkan dananya akan mendapatkan imbalan dari bank dalam bentuk bagi hasil atau bentuk lainnya yang disahkan dalam syariah Islam. Namun, pada kondisi tertentu terjadi Implikasi sistem bagi hasil.
Implikasi sistem bagi hasil pada dana pihak ketiga adalah munculnya kemungkinan bagi hasil tersebut pada bulan-bulan tertentu lebih tinggi daripada tingkat bunga konvensional, dan pada bulan-bulan lainnya lebih rendah daripada tingkat bunga bank konvensional. Dua kondisi ini terjadi pada era 1997-1999 dan era akhir tahun 2004 sampai awal tahun 2005. Kondisi ini membuat bagi hasil deposito bank syariah tidak lagi kompetitif, sehingga mengakibatkan terjadinya migrasi balik dana pihak ketiga dari perbankan syariah kembali ke perbankan konvensional. Kondisi ektrim ini cukup menggambarkan dinamika pergerakan suku bunga deposito bank konvensional dibandingkan dengan bagi hasil deposito syariah.
Dinamika ini berasal dari faktor eksternal dan internal yang nantinya akan menyebabkan bagi hasil dan tingkat suku bunga deposito bank konvensional berada pada tiga kondisi, yaitu: 1. Bagi hasil deposito syariah kurang kompetitif, 2. Bagi hasil deposito syariah at-par (sama dengan tingkat suku bunga deposito konvensional), 3. Bagi hasil deposito syariah lebih kompetitif. Kondisi ketiga ini menimbulkan pemikiran untuk melakukan proses pemerataan distribusi bagi hasil dengan tingkat suku bunga dapat dikelola, yaitu dengan melakukan proses income
smoothing dengan cara pelepasan hak/tanahul haq dan menambahkannya pada bagian
94
yang diterima nasabah berada pada posisi at-par (Karim, 2014). Kemudian, dalam Sukirno (2011:120) dinyatakan bahwa suku bunga dapatlah dipandang sebagai pendapatan yang diperoleh dari melakukan tabungan. Rumah tangga akan membuat lebih banyak tabungan apabila suku bunga tinggi, karena lebih banyak pendapatan dari penabungan yang akan diperoleh. Pada suku bunga yang rendah orang tidak akan begitu suka membuat tabungan karena mereka merasa lebih baik melakukan pengeluaran konsumsi dari menabung. Dengan demikian pada tinggat bunga yang rendah masyarakat cenderung menambah pengeluaran konsumsinya.
Selanjutnya, menurut Lewis dan Algaoud (2001:174) dalam Muttaqiena (2013:26), beberapa kesulitan akan dihadapi bank Islam yang beroperasi dalam suatu lingkungan perbankan konvensional. Pasar bank Islam sudah tidak lagi dalam masa pertumbuhan, dan bank Islam tidak bisa menarik nasabah hanya berdasarkan keyakinan akan keharaman bunga. Sejumlah studi yang dibahas oleh Lewis dan Algaoud juga menunjukkan bahwa di Yordania, Malaysia, dan Singapura, agama tidak muncul sebagai motif utama yang mendorong orang untuk mempergunakan jasa bank Islam. Semua studi itu menunjukkan bahwa efisiensi menjadi faktor utama, karena orang-orang menginginkan transaksi mereka diselesaikan secepat dan seefisien mungkin.
Hal ini sesuai dengan penelitian Muttaqiena (2013), Pasaleori (2012) dan Saifulloh (2012) yang menunjukkan bahwa suku bunga berpengaruh positif signifikan terhadap dana pihak ketiga pada bank syariah. Dalam Firlandari (2013:19) dinyatakan bahwa semakin besar dana pihak ketiga, maka peran bank untuk
95
menyalurkan dana dari pihak ketiga untuk dikembalikan lagi ke pihak yang kekurangan dana melalui pemberian kredit/pembiayaan semakin meningkat.
Penjelasan Pasal 37 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyatakan bahwa kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya harus memerhatikan asas-asas perkreditan dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Risiko-risiko tersebut dapat mengakibatkan timbulnya pembiayaan bermasalah (non
performing financing/NPF) (Djamil, 2012:72&73). Non performing financing (NPF)
merupakan istilah untuk pembiayaan yang bermasalah, dapat diartikan juga sebagai pembiayaan yang kualitasnya dalam golongan non lancar mulai dari kurang lancar sampai dengan macet. Jika hal ini terjadi maka kemungkinan besar bank akan mengalami kerugian karena ketidakmampuan nasabah untuk mengembalikan pinjamannya alias macet. Semakin tinggi rasio non performing financing menunjukkan bahwa kualitas pembiayaan yang semakin tidak sehat.
Karim dalam Anshari (2011:55-56) menyatakan pembiayaan merupakan bentuk investasi bank syariah yang memberikan penghasilan tertinggi sehingga bank syariah akan melakukan investasi dana pihak ketiga secara maksimal untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal dalam bentuk pembiayaan dan memberikan imbalan yang maksimal pula kepada nasabah dari dana pihak ketiga. Hal ini akan mengakibatkan semakin tinggi dana pihak ketiga (DPK) akan semakin tinggi penyaluran dana (pembiayaan) dan meningkatnya pembiayaan akan mempengaruhi pembiayaan bermasalah (NPF) atau sebaliknya, hal ini didorong tingginya dana yang
96
menganggur untuk memproduktifkan dana yang menganggur tersebut. Ketika dana pihak ketiga (DPK) tersebut tinggi memaksa bank syariah menyalurkannya dalam bentuk pembiayaan. Sehingga dengan adanya target tersebut terkadang bank kurang selektif dalam menganalisis calon nasabah penerima pembiayaan. Hal ini akan berdampak pada pengembalian pembiayaan tidak lancar yang berarti pembiayaan bermasalah (NPF) meningkat. Temuan yang sesuai telah dilakukan oleh Prasanna (2014), Wardhani (2012) dan Anshari (2011) yang menyatakan bahwa jumlah dana pihak ketiga berpengaruh signifikan terhadap non performing financing (NPF).
Sehingga dapat ditarik hipotesis sebagai berikut:
H3.3 = Terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel BI Rate terhadap variabel Non Performing Financing (NPF) dengan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebagai variabel intervening
97