• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Waktu Ekstraksi dan Perbandingan Pelarut

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah teh hitam CTC jenis Powdery (Gambar 7). Untuk mempermudah proses ekstraksi dan meningkatkan kontak antara komponen bahan dengan pelarut, maka bahan harus memiliki ukuran yang kecil dan seragam. Proses perpindahan suatu komponen atau senyawa dari dalam bahan padatan menuju cairan dibantu oleh ukuran padatan yang kecil. Akibat ukuran padatan yang kecil, luas permukaan padatan yang bersentuhan dengan pelarut akan menjadi semakin besar, sehingga proses difusi dari bahan dan pelarut akan semakin optimal.

Gambar 7. Serbuk limbah teh hitam CTC

Bahan limbah teh yang diperoleh dari pabrik teh Gunung Mas ini sudah berbentuk serbuk, sehingga tidak diperlukan proses pengecilan ukuran padatan. Serbuk limbah teh ini diekstraksi menggunakan air dengan cara dipanaskan menggunakan kondensor berpendingin balik. Menurut Katz (1994) kafein dapat larut dengan baik pada air panas. Kelarutan kafein dalam air adalah 2,2 mg/mL pada 25 °C, 180 mg/mL pada 80 °C, dan 670 mg/mL pada 100 °C. Kafein bersifat sangat stabil dan memiliki titik leleh 234 °C, sehingga tidak mengalami perubahan pada proses pemanasan. Penggunaan kondensor berpendingin balik bertujuan agar air yang digunakan untuk ekstraksi tidak habis karena penguapan. Uap air yang dikondensasi ini akan kembali menuju larutan limbah teh yang diekstrak sehingga tidak terjadi pengurangan volume air.

Penelitian ini dilakukan secara bertahap karena bersifat deskriptif, dimana masing-masing tahap bertujuan untuk menentukan kondisi terbaik dari tiap parameter, diantaranya : waktu ekstraksi dan perbandingan filtrat limbah teh dengan pelarut organik (diklorometan) pada tahap I, jenis pelarut organik pada tahap II, dan rasio bahan dengan pelarut (air) pada tahap III. Pada prinsipnya, masing-masing tahap memiliki perlakuan yang sama, akan tetapi parameter yang diukur berbeda-beda.

Pada penelitian tahap I ditentukan waktu ekstraksi dan perbandingan volume filtrat limbah teh dengan pelarut organik (diklorometan) yang terbaik untuk mengekstraksi kafein dari limbah teh. Jacobs (1962) sudah mengekstraksi kafein dari bahan biji kopi dengan rasio antara bahan dan air adalah 1:20 (b/v) selama 2 jam, dan menggunakan pelarut organik kloroform dengan perbandingan filtrat limbah teh dan kloroform 1:1 (v/v). Menurut Jacobs (1962), parameter-parameter yang digunakannya ini dapat melarutkan dengan baik kafein dalam biji kopi dengan menghasilkan rendemen sebesar 0,8 – 2,1 %. Pada penelitian tahap I dan II, rasio antara bahan dan pelarut (air) yang digunakan adalah 1:20 (b/v), sesuai dengan metode Jacobs (1962).

Pada penelitian tahap I, waktu ekstraksi yang digunakan bervariasi, yaitu selama 1 jam, 2 jam dan 3 jam. Pelarut organik yang digunakan pada tahap I ini adalah diklorometan. Adapun perbandingan antara filtrat limbah teh dan diklorometan yang digunakan bervariasi, yaitu 1:1 (v/v), 1:2 (v/v), dan 1:3 (v/v). Air yang digunakan untuk mengekstraksi limbah teh tidak dipanaskan terlebih dahulu agar pada saat pengukuran tidak terjadi penguapan, sehingga volume air yang digunakan menjadi seragam. Pada penelitian tahap I ini rendemen kafein ditentukan berdasarkan kadar Nitrogen secara Mikro Kjeldahl. Penelitian tahap I ini bertujuan untuk menentukan parameter waktu ekstraksi serta perbandingan antara filtrat limbah teh dan diklorometan terbaik, yaitu parameter yang menghasilkan rendemen kafein tertinggi.

Prinsip penelitian pada tahap I sama dengan tahap II dan III, yaitu isolasi kafein dengan cara mengekstraksi limbah teh menggunakan air dan pelarut organik. Sifat dari kedua pelarut ini tidak saling melarutkan sehingga dapat digunakan untuk mengekstraksi komponen dari suatu bahan. Proses pengadukan

(shaker) dilakukan untuk memisahkan kafein dari filtrat limbah teh. Davison (2006) menggambarkan proses yang terjadi pada ekstraksi kafein pada teh menggunakan air dan pelarut organik (diklorometan) seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Ekstraksi kafein menggunakan air dan diklorometan (Davidson, 2006)

Proses pemisahan suatu senyawa dipengaruhi oleh sifat dari kedua pelarut, diantaranya perbedaan ion, polaritas, ikatan hidrogen, sifat hidrofobik dan hidrofilik. Pada saat pH<pKa senyawa amina berbentuk proton, sedangkan pada pH>pKa senyawa tidak berbentuk proton (Lesley, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka proses pemisahan komponen kafein pada filtrat limbah teh ke dalam pelarut organik dilakukan dengan mengubah pH larutan teh. Pada saat limbah teh diekstraksi menggunakan air (pH=7), senyawa amina (kafein) yang terdapat pada limbah teh tersebut bermuatan positif dan larut dalam air (pelarut polar) sehingga mengikat satu atom Hidrogen. Filtrat limbah teh ini diekstraksi lagi menggunakan pelarut organik. Sebelumnya pH larutan limbah teh dinaikkan terlebih dahulu dengan penambahan basa (Na2CO3), sehingga senyawa amina (kafein) menjadi tidak bermuatan atau netral dan berpindah ke lapisan atau pelarut organik (semi polar).

Waktu ekstraksi menentukan jumlah komponen aktif yang dapat diekstraksi dari bahan. Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar sehingga komponen aktif

dalam bahan dapat terlarut dengan baik. Pada saat terjadi kesetimbangan waktu ekstraksi maka tidak terjadi lagi peningkatan rendemen komponen aktif yang diekstrak. Hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh waktu ekstraksi dan perbandingan pelarut dengan rendemen kafein dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan perhitungannya terdapat pada Lampiran 2.

Gambar 9. Histogram hubungan rendemen kafein pada berbagai waktu ekstraksi dan rasio filtrat limbah teh dan diklorometan

Dari hasil yang diperoleh ini terlihat bahwa waktu ekstraksi yang lebih lama dapat mengekstraksi lebih banyak kafein dalam limbah teh, serta semakin besar volume pelarut organik (diklorometan) yang ditambahkan, maka rendemen yang dihasilkan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Waktu ekstraksi berpengaruh terhadap besarnya energi yang dikeluarkan untuk pengadukan bahan. Pada pemilihan waktu ekstraksi yang lebih singkat, maka penggunaan energi untuk pengadukan dapat dihemat dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ekstrak dapat dipercepat, sehingga dapat menghemat biaya dan waktu ekstraksi secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian, ekstraksi selama 2 jam pada perbandingan filtrat teh dan pelarut organik 1:3 (v/v) menghasilkan rendemen kafein tertinggi, yaitu sebesar 2,2 % (perhitungan terdapat pada lampiran 2).

Apabila dilihat dari jumlah rendemen yang dihasilkan, ekstraksi limbah teh menggunakan air selama 2 jam pada perbandingan filtrat teh dan diklorometan 1:3 (v/v) memberikan nilai yang maksimum dengan menghasilkan rendemen tertinggi. Pada perbandingan filtrat limbah teh dan diklorometan 1:3 (v/v) ini

0 0.5 1 1.5 2 2.5

1 jam 2 jam 3 jam

Waktu ekstraksi R e n d em en ( % ) 1 : 1 1 : 2 1 : 3

ekstraksi limbah teh menggunakan air selama 3 jam menghasilkan rendemen yang tetap dibandingkan ekstraksi selama 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada jam ke-2 larutan sudah mencapai titik jenuhnya, sehingga dapat dikatakan bahwa laju ekstraksi antara jam ke-2 hingga jam ke-3 adalah konstan. Seperti yang terlihat pada Gambar 9, peningkatan rendemen kafein antara jam ke-2 hingga jam ke-3 tidak berbeda secara signifikan.

Berdasarkan nilai rendemen tertinggi tersebut, maka waktu ekstraksi selama 2 jam dan perbandingan 1:3 (v/v) digunakan sebagai parameter untuk tahap selanjutnya. Perbandingan filtrat limbah teh dengan diklorometan 1:3 (v/v) menunjukkan bahwa pelarut organik (diklorometan) yang digunakan adalah sebesar 300 ml, sehingga jenis pelarut organik lainnya (kloroform dan trikloroetilen) yang akan digunakan pada penelitian tahap II adalah dalam jumlah yang sama. Nilai rendemen yang dihasilkan pada perbandingan 1:3 (v/v) ini lebih besar daripada perbandingan 1:1 (v/v) seperti yang dilakukan oleh Jacobs (1962).

Berdasarkan penelitian tahap I, diperoleh hasil bahwa ekstraksi selama 2 jam pada perbandingan filtrat teh dan pelarut organik 1:3 (v/v) menghasilkan rendemen tertinggi, yaitu sebesar 2,2 %, sedangkan rendemen kafein yang diukur menggunakan analisis HPLC diperoleh nilai sebesar 1,9 % (perhitungan terdapat pada lampiran 6). Rendemen kafein yang diperoleh pada analisis Mikro Kjeldahl nilainya lebih besar dibandingkan pada analisis HPLC, hal ini disebabkan pada analisis Mikro Kjeldahl masih terdapat senyawa pengotor yang mengandung Nitrogen seperti teofilin dan teobromin yang ikut terukur, dimana dengan analisis HPLC hanya komponen kafein saja yang teranalisis.

Dokumen terkait