• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISOLASI KAFEIN DARI LIMBAH TEH HITAM CTC JENIS POWDERY SECARA EKSTRAKSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISOLASI KAFEIN DARI LIMBAH TEH HITAM CTC JENIS POWDERY SECARA EKSTRAKSI"

Copied!
61
0
0

Teks penuh

(1)

ISOLASI KAFEIN DARI LIMBAH TEH HITAM CTC

JENIS POWDERY SECARA EKSTRAKSI

NURLITA SORAYA F34103124

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ISOLASI KAFEIN DARI LIMBAH TEH HITAM CTC

JENIS POWDERY SECARA EKSTRAKSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh :

NURLITA SORAYA F34103124

2008

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(3)

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ISOLASI KAFEIN DARI LIMBAH TEH HITAM CTC JENIS POWDERY SECARA EKSTRAKSI

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian

Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

NURLITA SORAYA F34103124

Dilahirkan di Cirebon Pada tanggal 18 Juni 1985

Tanggal lulus :

Bogor, 24 Januari 2008 Menyetujui,

Dr. Ir. Erliza Noor Drs. Chilwan Pandji, Apt. Msc. NIP : 131667793 NIP : 130891385

(4)

Nurlita Soraya (F34103124). Isolation of Caffeine from Powdery CTC Black Tea Waste by Extraction. Revised by Erliza Noor and Chilwan Pandji.

SUMMARY

Caffeine is one alkaloid that can be found in tea (Cammelia sinensis), coffee grain (Coffea arabica), and cacao (Theobroma cacao). Caffeine has farmacology effects that clinically useful as medicine for spleen, heart and central nerve desease. Caffeine is specified amount also added to suplement drinks.

From the grading process of the particle size on CTC black tea production, the waste and off-grade particles like powdery and dust consist of 2-3% weight from tea production. This off-grade particles have the same composition with black tea itself. Indonesia was the third bigest tea produser with 20.351 ton production and 593 Kg/Ha productivity on 2006 that estimate can fulfil caffeine demand in the world that reach 14.550 ton.

The aim of this research is to get the best caffeine yield from powdery CTC black tea waste by solvent extraction on a various physical parameter (time) and chemical parameters (ratio and solvent).

Caffeine from tea waste was isolated by multistage extraction using water and organic solvents. At the first step research, tea waste extracted by using water at 1:20 (w/v) ratio of tea and water, in various time level (1, 2, and 3 hours). Then, caffeine in solution is separated by using dichloromethane in the ratio of solution and dichloromethane 1:1, 1:2, and 1:3 (v/v). Pure caffeine was analyzed by Micro Kjeldahl. The highest caffeine yield is 2,2 % obtained at 2 hours extraction using water and dichloromethane ratio of 1:3 (v/v). This best condition used for the next steps.

The second step of the research was to determine the best organic solvent for separating caffeine from water solution. Organic solvent used were chloroform and trichloroethylene. The Micro Kjeldahl analysis showed 1,9 % yield by chloroform and 0,8 % yield by trichloroethylene. These two organic solvents were separated less caffeine compare to dichloromethane solvent. Therefore dichloromethane shows as the best organic solvent for separating caffeine. Caffeine analysis by HPLC shows 1,9 % yield on separation using dichloromethane, 1,2 % yield by chloroform, and 0,8 % yield by trichloroethylene. The caffeine analysis by HPLC shows more selective than Mikro Kjeldahl analysis.

At the third stage of research, using 1:10 (w/v) and 1:30 (w/v) ratio of tea and water. Caffeine analyzed by Micro Kjeldahl shows 1,1 % and 1,9 % yield on each ratio. Caffeine analysis by HPLC shows 0,9 % and 1,3% yield on each ratio. These two ratio give lower caffeine yield than 1:20 (w/v) ratio.

The highest caffeine yield was 1,9 % (HPLC) obtained from 1:20 (w/v) ratio of tea and water, and 2 hours extraction by using dichloromethane in the ratio of 1:3.

(5)

Nurlita Soraya (F34103124). Isolasi Kafein dari Limbah Teh Hitam CTC Jenis Powdery Secara Ekstraksi. Dibawah bimbingan Erliza Noor dan Chilwan Pandji.

RINGKASAN

Kafein adalah salah satu jenis alkaloid yang banyak terdapat di daun teh (Camellia sinensis), biji kopi (Coffea arabica), dan biji coklat (Theobroma cacao). Kafein memiliki efek farmakologis yang bermanfaat secara klinis sebagai bahan obat untuk gangguan limpa, jantung dan saraf pusat. Kafein juga sering ditambahkan dalam jumlah tertentu ke dalam minuman suplemen.

Pada proses pengolahan teh hitam CTC, dari hasil pensortiran terhadap ukuran partikel-partikelnya, diperoleh sejumlah off grade dan limbah teh seperti jenis Powdery dan Dust yang jumlahnya mencapai 2-3 % dari produksi teh. Limbah ini mempunyai bahan penyusun yang sama dengan teh hitam. Indonesia merupakan negara penghasil teh terbesar ketiga dengan angka produksi sebesar 20.351 ton pada tahun 2006 dan produktivitas sebesar 593 Kg/Ha diperkirakan mampu memenuhi kebutuhan kafein dunia yang nilainya mencapai 14.550 Ton.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan rendemen kafein terbaik dari limbah teh hitam CTC jenis powdery dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut pada berbagai parameter fisik (waktu ekstraksi) dan parameter kimia (rasio dan jenis pelarut).

Isolasi kafein dari limbah teh dilakukan melalui proses ekstraksi bertahap menggunakan air dan pelarut organik. Pada penelitian tahap I, ekstraksi limbah teh dilakukan menggunakan air dengan rasio bahan dan air 1:20 (b/v) pada berbagai waktu (1, 2, dan 3 jam), kemudian kafein pada filtrat limbah teh ini dipisahkan menggunakan diklorometan pada perbandingan 1:1, 1:2, dan 1:3 (v/v). Rendemen kafein dihitung dengan menentukan kadar Nitrogen secara Mikro Kjeldahl. Rendemen kafein tertinggi, yaitu sebesar 2,2 % diperoleh pada ekstraksi 2 jam dan perbandingan filtrat limbah teh dengan diklorometan 1:3 (v/v). Parameter waktu dan perbandingan pelarut ini digunakan untuk penelitian tahap selanjutnya.

Pada penelitian tahap II, ditentukan jenis pelarut organik terbaik untuk memisahkan kafein dari filtrat limbah teh. Pelarut organik yang dibandingkan adalah kloroform dan trikloroetilen. Secara Mikro Kjeldahl diperoleh rendemen kafein sebesar 1,9 % pada kloroform dan 0,8 % pada trikloroetilen. Rendemen yang dihasilkan dari kedua pelarut ini lebih kecil dari diklorometan. Hal ini menunjukkan bahwa diklorometan adalah pelarut organik terbaik untuk mengekstrak kafein dari filtrat limbah teh. Analisis kafein secara HPLC menghasilkan nilai rendemen sebesar 1,9 % pada pelarut diklorometan, 1,2 % pada kloroform, dan 0,8 % pada trikloroetilen. Perhitungan kafein secara HPLC ini lebih selektif dibandingkan secara Mikro Kjeldahl.

Pada penelitian tahap III, digunakan rasio bahan dan air 1:10 (b/v) dan 1:30 (b/v). Pada analisis kafein secara Mikro Kjeldahl diperoleh rendemen kafein sebesar 1,1 % dan 1,9 %, sedangkan pada analisis kafein secara HPLC diperoleh rendemen kafein sebesar 0,9 % dan 1,3 %, kedua konsentrasi ini memberikan hasil rendemen kafein yang lebih kecil dibandingkan pada rasio 1:20 (b/v).

(6)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan secara bertahap, maka rendemen kafein tertinggi sebesar 1,9 % (HPLC) diperoleh pada ekstraksi dengan rasio bahan dan air 1:20 (b/v) dan waktu ekstraksi selama 2 jam, serta menggunakan pelarut organik diklorometan dengan perbandingan filtrat limbah teh dan diklorometan sebesar 1:3 (v/v). Proses ekstraksi ini menghasilkan nilai rendemen yang maksimum apabila dibandingkan dengan potensi kafein pada teh (2-4 %).

(7)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul : ISOLASI KAFEIN DARI LIMBAH TEH HITAM CTC JENIS POWDERY SECARA EKSTRAKSI adalah karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.

Bogor, Januari 2008 Yang membuat pernyataan

F34103124 :

NRP

Soraya Nurlita

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 18 Juni 1985 dan merupakan anak kelima dari lima bersaudara dari pasangan Djaelani Bachroni dan Linda Juwita (Alm).

Penulis memulai jenjang pendidikan di SDN Weru Kidul I Cirebon, lalu melanjutkan ke SLTPN I Cirebon Barat serta SMUN I Cirebon. Penulis melanjutkan pendidikan ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur SPMB pada tahun 2003.

Selama pendidikannya di IPB, penulis pernah terlibat dalam beberapa organisasi diantaranya IKC (Ikatan Kekeluargaan Cirebon) serta menjadi anggota HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri). Selain itu penulis juga pernah mengikuti seminar-seminar yang diadakan di IPB.

Pada tahun 2006, penulis melaksanakan Praktek Lapang di PTPN VIII unit kebun Gunung Mas dengan judul ‘Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Pengolahan Teh Hitam CTC (Crushing, Tearing, Curling) di PTPN VIII Unit Kebun Gunung Mas Kabupaten Bogor’.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah menganugerahkan rahmat dan hidayahnya berupa keteguhan hati, kekuatan dan kesabaran untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian berjudul Isolasi Kafein dari Limbah Teh Hitam CTC Jenis Powdery Secara Ekstraksi. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Industri Pertanian IPB Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Erliza Noor sebagai dosen pembimbing yang telah mengarahkan penulis selama menyelesaikan kuliah dan skripsi,

2. Drs. Chilwan Pandji, Apt. Msc. yang telah membimbing selama melaksanakan penelitian,

3. Dr. Ir. Endang Warsiki, MS sebagai dosen penguji atas evaluasi dan sarannya pada skripsi ini,

4. Laboran serta seluruh staf dan karyawan di laboratorium TIN IPB yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian,

5. Bapak dan Ibu (Alm) tercinta, kakak-kakak ( a deden, a dicky, a dino, a ade, teh lia, mba hera, mba nuning, dan kak ida) serta keluarga besar atas dukungan, doa dan saran-saran bijaknya,

6. Candra Luditama yang selalu mendampingi penulis serta memberikan semangat dan dorongan untuk menyelesaikan skripsi ini,

7. Teman-teman TIN 40 dan teman-teman di maharlika belakang, atas kebersamaannya selama penulis menyelesaikan kuliah dan skripsi.

Semoga hasil penelitian pada skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Januari 2008

(10)

DAFTAR ISI Halaman Lembar Pengesahan... Summary... Ringkasan... Lembar Pernyataan... Riwayat Hidup... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Tabel... Daftar Gambar... Daftar Lampiran... I. PENDAHULUAN... A. Latar Belakang... B. Tujuan... C. Manfaat...

II. TINJAUAN PUSTAKA... A. Teh... B. Kafein………... C. Proses Ekstraksi...

III. METODOLOGI... A. Bahan dan Alat... B. Proses Ekstraksi...

a. Tahap I. Penentuan Waktu Ekstraksi dan

Rasio Pelarut Terbaik……… b. Tahap II. Ekstraksi dengan Pelarut

Kloroform dan Trikloroetilen……… c. Tahap III. Penentuan Konsentrasi Bahan Terbaik……….

i ii iii v vi vii viii x xi xii 1 1 3 3 4 4 6 9 12 12 12 12 14 15

(11)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... A. Pengaruh Waktu Ekstraksi dan Perbandingan Pelarut... B. Pengaruh Jenis Pelarut………... C. Pengaruh Rasio Bahan dan Air...

V. KESIMPULAN DAN SARAN... A. Kesimpulan……… B. Saran………... DAFTAR PUSTAKA... LAMPIRAN... 19 19 23 28 31 31 31 32 35

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi nitrogen dalam daun teh…... 4

Tabel 2. Sumber kafein alami………..………... 8

Tabel 3. Kandungan kafein pada beberapa produk………... 8

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Struktur kafein.………... 6

Gambar 2. Proses ekstraksi dengan air…... 13

Gambar 3. Proses ekstraksi dengan pelarut organik... 14

Gambar 4. Diagram alir penelitian tahap I…………... 16

Gambar 5. Diagram alir penelitian tahap II…...…... 17

Gambar 6 Diagram alir penelitian tahap III…....…... 18

Gambar 7. Serbuk limbah teh hitam CTC………...……… 19

Gambar 8. Ekstraksi kafein menggunakan air dan diklorometan……… 21

Gambar 9. Histogram hubungan rendemen kafein pada berbagai waktu ekstraksi dan rasio filtrat teh dan diklorometan... 22

Gambar 10. Larutan kafein dalam pelarut organik……… 26

Gambar 11. Histogram hubungan rendemen kafein pada berbagai pelarut organik.……….. 27

Gambar 12 Histogram hubungan rendemen kafein dengan rasio bahan dan air…...………..………. 29

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Metode Analisa………... 36 Lampiran 2. Rendemen Kafein pada Berbagai Waktu Ekstraksi dan

Rasio Filtrat Teh dengan Diklorometan (Mikro Kjeldahl).. 38 Lampiran 3. Rendemen Kafein pada Berbagai Pelarut Organik……….. 39 Lampiran 4. Rendemen Kafein pada Berbagai Rasio Bahan dan Air

(Mikro Kjeldahl)……….. 40 Lampiran 5. Hasil Analisis HPLC Standar Kafein 102 ppm I………... 41 Lampiran 6. Hasil Analisis HPLC Kadar Kafein pada Diklorometan

(1:3), dengan Rasio 1:20 (b/v) selama 2 jam……... 42 Lampiran 7. Hasil Analisis HPLC Standar Kafein 102 ppm II…...……. 43 Lampiran 8. Hasil Analisis HPLC Kadar Kafein pada Kloroform (1:3),

dengan Rasio 1:20 (b/v) selama 2 Jam……….…...……… 44 Lampiran 9. Hasil Analisis HPLC Kadar Kafein pada Trikloroetilen

(1:3), dengan Rasio 1:20 (b/v) selama 2 Jam... 45 Lampiran 10. Hasil Analisis HPLC Kadar Kafein pada Diklorometan

(1:3), dengan Rasio 1:10 (b/v) selama 2 Jam……...……… 46 Lampiran 11. Hasil Analisis HPLC Kadar Kafein pada Diklorometan

(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Teh diperoleh dari pengolahan daun teh (Camellia sinensis). Indonesia merupakan negara penghasil teh terbesar ketiga dengan angka produksi sebesar 20.351 ton pada tahun 2006 dan produktivitas sebesar 593 Kg/Ha. Pada umumnya teh dapat digolongkan menjadi 3 golongan berdasarkan cara pengolahannya, yaitu : (1) teh yang difermentasikan (fermented) atau teh hitam; (2) teh yang tidak difermentasikan atau teh hijau; dan (3) teh setengah difermentasikan atau oolong (semi fermented). Proses pengolahan teh pada skala pabrik dapat diklasifikasikan menjadi 2 golongan, yaitu kelas CTC (crushing, tearing, curling) dan kelas ortodoks. Komposisi kimia teh terdiri dari kafein, tanin, protein, karbohidrat, dan minyak atsiri.

Pada proses pengolahan teh hitam CTC dilakukan pensortiran terhadap ukuran partikel-partikelnya, sehingga selain diperoleh teh dengan berbagai kelas mutu juga diperoleh sejumlah off grade dan limbah teh. Limbah teh hitam CTC merupakan debu teh yang berukuran sangat halus hasil sortasi 30 mesh pada proses pengolahan teh, serta mempunyai bahan penyusun yang sama dengan teh hitam. Besarnya limbah teh hitam pada proses pengolahan teh di pabrik teh Gunung Mas mencapai 2 – 3 % dari produksi teh tergantung pada kondisi petikan pucuk, semakin kasar petikan pucuk maka kandungan serat kasar akan semakin banyak dan proporsi limbah juga akan semakin besar. Selama ini limbah tersebut hanya digunakan sebagai pupuk atau pakan.

Kafein adalah salah satu senyawa penting yang terdapat dalam teh (2-4 %) dan kopi (1,1-2,2 %). Sifat farmakologi kafein sebagai stimulan dan penyegar, menjadikannya senyawa penting di bidang pengobatan, farmasi, serta sering ditambahkan pada minuman suplemen. Selain kafein, kandungan lain yang terdapat pada teh adalah teofilin dan teobromin yang berfungsi sebagai zat analgesik (penghilang rasa sakit) dan zat antiperetik. Harga kafein bervariasi tergantung dari tingkat kualitas dan derivatnya. Harga kafein murni (Analitical grade) di toko bahan kimia saat ini mencapai Rp 1.020.000,- per 100 g, sedangkan kafein teknis mencapai Rp 250.000,- per Kg (Setiaguna, Bogor).

(16)

Kafein banyak terdapat pada biji kopi dan daun teh. Saat ini sudah terdapat beberapa paten yang meneliti proses dekafeinasi dari beberapa jenis bahan. Menurut penelitian Sand (2002), kafein terdapat pada beberapa jenis minuman seperti Coca-Cola (45.6 mg) dan Pepsi (37.2 mg) per 12 ons kaleng. Kafein juga terdapat pada dark chocolate (20 mg per ons), espresso (100 mg per 2 ons), kopi instan (70 mg per 8 ons) dan pada daun teh sebesar 0,5 g per 25 g (Rajasekaran, 2005). Menurut Hicks (1996) pada setiap gram sampel teh dari bahan teh hitam, teh hijau dan teh oolong mengandung masing-masing kafein sebesar 32.8 mg, 36.6 mg, dan 23.8 mg.

Dari analisa yang pernah dilakukan oleh Pusat Penelitian Teh dan Kina Gambung terhadap berbagai limbah teh jenis Bohea, Pluff dan Sweeping diantaranya diperoleh kandungan kafein pada limbah teh jenis Bohea sebesar 1,18 - 2,37 %, jenis Pluff sebesar 1,19 - 3,16 %, dan jenis Sweeping sebesar 2,36 – 3,14 %. Mengingat jumlah limbah teh yang cukup besar dengan kandungan kafein yang tidak berbeda dengan kandungan di dalam daun teh (2 – 4 %), maka limbah ini berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai penghasil kafein yang mempunyai nilai tambah lebih besar dari penggunaan selama ini.

Efek samping negatif yang banyak terjadi pada konsumsi kafein adalah insomnia. Untuk kebanyakan kasus, hal ini merupakan efek yang diinginkan, namun dapat menganggu siklus natural seseorang. Adanya efek samping tersebut mendorong orang untuk memproduksi dan mengolah biji kopi menjadi produk minuman kopi yang bebas kafein. Proses pengolahan tersebut dikenal sebagai proses dekafeinasi kopi. Ekstraksi dan isolasi pemurnian kafein sendiri pertama kali dilakukan pada tahun 1819 oleh kimiawan Jerman Friedrich Ferdinand Runge (Sivetz, 1979).

Proses ekstraksi merupakan metode utama yang digunakan dalam isolasi produk. Ekstraksi dilakukan untuk memindahkan dan menghilangkan komponen terlarut dalam suatu bahan ke dalam cairan. Ekstraksi juga digunakan untuk menghilangkan zat pengotor dalam suatu larutan. Ekstraksi menggunakan pelarut organik dikenal sebagai salah satu teknik yang mula-mula dilakukan pada proses dekafeinasi kopi dan teh. Untuk itu diperlukan pemilihan kondisi yang tepat untuk mencegah hilangnya aroma dan rasa dari teh dan kopi. Selain pelarut organik,

(17)

ekstraksi juga dapat dilakukan dengan menggunakan air yang relatif lebih murah, namun selain melarutkan kafein, banyak zat lain yang dalam kopi dan teh yang dapat terlarut dalam air.

Pada mulanya pelarut yang banyak digunakan adalah benzen, akan tetapi karena sifatnya yang beracun dan mudah terbakar maka penggunaan benzen tergeser oleh pelarut trikloroetilen. Dalam perkembangan selanjutnya, proses pemisahan kafein dilakukan dengan menggunakan pelarut berklor seperti diklorometan dan kloroform. Beberapa pelarut yang juga telah digunakan untuk proses dekafeinasi secara komersial adalah etil asetat, dan minyak kopi atau trigliserida. Karena berbagai pertimbangan seperti harga, toxisitas, dan kelarutan maka banyak orang memilih diklorometan sebagai pelarut organik yang paling aman digunakan untuk isolasi kafein karena memiliki titik didih yang rendah sehingga lebih mudah menguap dan dipisahkan dari bahan.

Kebutuhan dunia akan kafein pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 14.550 ton, dan kebutuhan ini cenderung terus meningkat. Indonesia sendiri saat ini masih mengimpor keperluan kafein yang jumlahnya mencapai 342 ton (Badan Pusat Statistik, 2007). Sebagai salah satu negara penghasil teh terbesar di dunia, Indonesia berpeluang besar untuk memenuhi kebutuhan kafein dalam negeri dan menjadikan kafein sebagai komoditi agroindustri penghasil devisa dengan cara memanfaatkan potensi limbah teh.

B. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan rendemen kafein terbaik dari limbah teh hitam dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut (air, diklorometan, kloroform, dan trikloroetilen) pada berbagai parameter fisik (waktu ekstraksi) dan parameter kimia (nisbah pelarut dan jenis pelarut).

C. Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi mengenai manfaat limbah teh hitam CTC untuk menghasilkan bahan yang berguna.

(18)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Teh

Komposisi kimia teh terdiri dari kafein, tanin, protein, gula, dan minyak atsiri yang berperan dalam proses fermentasi dan menghasilkan aroma serta warna seduhan (Johnson dan Peterson, 1974). Potter (1973) menyatakan bahwa daun teh mengandung tiga komponen penting yang mempengaruhi mutu minuman, yaitu kafein yang memberikan efek stimulan, tanin dan senyawa turunannya yang membentuk warna, kekuatan rasa (strength) serta rasa ketir (astringentcy), serta minyak atsiri yang menghasilkan flavor dan aroma. Komposisi kimia daun teh segar sangat berpengaruh terhadap mutu teh yang dihasilkan. Menurut Eden (1958), daun teh mengandung 4.5-5.0 persen nitrogen dari berat kering, tiga perempat bagian berupa protein dan asam amino dan seperempat bagian sisanya berupa kafein. Komposisi nitrogen dalam daun teh dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Komposisi nitrogen dalam daun teh

Nitrogen Jumlah (%) berat kering

Nitrogen protein yang larut dalam air dan asam amino Nitrogen protein yang tidak larut dalam air

Nitrogen kafein

0.92 2.51 1.07 Eden (1958)

Jenis teh sangat beragam, begitu pula dengan kualitas hasil olahannya. Jenis teh berdasarkan waktu dan lamanya proses fermentasi dibagi menjadi tiga, yaitu teh hijau yang dibuat tanpa proses fermentasi, teh oolong yang dihasilkan melalui proses semi fermentasi, dan teh hitam yang dibuat melalui proses fermentasi. Menurut Wilson (1992), klasifikasi teh yang telah mengalami proses pengolahan dapat dibagi menjadi dua kelas yaitu teh ortodox dan teh CTC (Crushing, Tearing, Curling). Berbeda dengan teh ortodox, teh hitam CTC adalah jenis teh yang mengalami proses penggilingan dan oksidasi enzimatis senyawa polifenol atau lebih dikenal dengan proses fermentasi. Bubuk teh yang telah mengalami oksidasi enzimatis kemudian dikeringkan pada suhu 100-120°C dan

(19)

disortasi untuk mendapatkan berbagai ukuran dan bentuk yang seragam. Menurut Keegel (1958), kefein tidak mengalami perubahan selama pengolahan tetapi dapat membentuk gabungan dengan hasil oksidasi yang mengakibatkan terjadinya pengendapan dari sebagian hasil oksidasi tersebut.

Dari hasil pemrosesan teh hitam, setelah dilakukan pensortiran terhadap ukuran partikel-partikelnya diperoleh sejumlah off grade dan limbah teh seperti Bohea, Pluff, dan Sweeping. Limbah ini berasal dari bagian-bagian teh yang tidak sesuai untuk digunakan sebagai bahan minuman seperti batang/tulang daun dan serat-serat. Jumlah bahan-bahan ini dapat mencapai 5 – 10 % dari total produksi teh hitam (Musalam, 1990). Pada pengolahan teh hitam CTC di pabrik teh Gunung Mas, limbah yang dihasilkan adalah jenis powdery (sortasi 30 mesh) dan jenis dush dari proses pengeringan. Besarnya limbah teh hitam ini dapat mencapai 2-3 % dari produksi teh. Selama ini limbah tersebut hanya digunakan sebagai pupuk atau pakan ternak. Beberapa teknologi yang sudah dilakukan dalam pemanfaatan limbah atau debu teh diantaranya adalah :

1. Pengomposan

Pengomposan telah dilakukan oleh beberapa perkebunan teh seperti perkebunan teh Gunung Mas tanpa tujuan komersil. Cara yang dilakukan adalah dengan penimbunan selama beberapa hari, selanjutnya debu teh yang telah dikomposkan ini dijadikan pupuk penyubur tanah serta untuk meningkatkan kapasitas menahan air pada tanah dan memelihara secara efisien kebutuhan bahan nutrien tanaman (Anonim, 1983).

2. Produksi Pektin

Pektin merupakan polimer asam 1,4 α galakturonat yang terdapat pada teh sekitar 4,0 %. Berguna untuk bahan pembentuk gel dan thickening agent. Kegunaan lain adalah sebagai penawar racun logam berat, pengganti plasma darah dan penyembuh diare (Eden, 1958).

3. Isolasi pigmen

Pigmen adalah salah satu bahan yang tidak hilang selama pengolahan teh, walaupun beberapa diantaranya akan larut jika disedu. Pigmen dalam daun teh selain tanin, juga terdapat turunan Anthoxanthin yaitu Quercetin yang memberikan warna khas kuning hingga jingga, selain itu terdapat pula turunan

(20)

Anthocyanin (Sceerangachar di dalam T. eden, 1958). Isolasi pigmen juga penting untuk diperhatikan karena masih dapat dipergunakan sebagai bahan pewarna tekstil.

4. Pilihan Lain

Debu teh dapat dipergunakan sebagai bahan pengisi pada produk yang menginginkan viskositas tinggi. Salah satu produk yang membutuhkan pengisi untuk meningkatkan viskositas adalah perekat kayu lapis, dimana pada batas tertentu dapat memperbaiki sifat perekatan (Keegel, 1958).

B. Kafein

Kafein adalah salah satu jenis alkaloid yang banyak terdapat di daun teh (Camellia sinensis), biji kopi (Coffea arabica), dan biji coklat (Theobroma cacao). Kafein termasuk salah satu derivat xantin yang mengandung gugus metil dengan rumus kimianya adalah C6H10N4O2 dan nama sistematik kafein adalah

1,3,7-trimetilxanthine atau 3,7-dihidro-1,3,7-trimetil-1H-purin-2,6(3H,7H)-dione. Kafein memiliki sifat fisis seperti berbentuk kristal dengan warna putih, memiliki titik leleh 234° C, larut dengan air (kelarutan 2,17%) dan pelarut organik, serta memiliki rasa agak pahit (Britis Pharmacopeia, 1993).

Gambar 1. Struktur kafein

Secara kimia senyawa kafein dihasilkan dari reaksi metilasi antara teofilin dengan beberapa larutan metil. Kafein bersifat basa monoasidik yang lemah dan dapat memisah dengan penguapan air. Kafein akan membentuk garam apabila direaksikan dengan zat-zat yang bersifat asam, dimana garam yang terbentuk bersifat tidak stabil. Namun apabila direaksikan dengan garam alkali yang berasal

(21)

dari asam lemah, maka garam yang dihasilkan akan stabil. Kafein mudah terurai dengan alkali panas mambentuk kafeinidin (Kirk dan Othmer, 1976)

Mekanisme kerja kafein pada sel saraf berkontribusi pada efek kafein tersebut. Aktivitas sel saraf dipengaruhi oleh senyawa adenosin. Adenosin adalah senyawa nukleotida yang berfungsi mengurangi aktivitas sel saraf saat menempel pada sel tersebut. Senyawa kafein juga menempel pada reseptor yang sama tetapi tidak memperlambat aktivitas sel saraf sebaliknya menghalangi adenosin untuk berfungsi. Kafein mengikat senyawa adenosin di otak, sehingga dampaknya aktivitas otak meningkat dan menyebabkan hormon efinefrin atau adrenalin disebar. Hormon tersebut akan menaikkan detak jantung, meninggikan tekanan darah, menambah penyaluran darah ke otot-otot, dan mengeluarkan glukosa dari hati (Kuschingsky dan Lullman, 1973).

Kafein memiliki efek farmakologis yang bermanfaat secara klinis, seperti menstimulasi susunan syaraf pusat, relaksasi otot polos terutama otot polos bronkus, dan stimulasi otot jantung (Coffeefag, 2001). Berdasarkan efek farmakologis tersebut seringkali kafein ditambahkan dalam jumlah tertentu ke dalam minuman suplemen. Bersama-sama dengan theobromin dan theofilin, kafein merupakan bahan obat penting untuk digunakan pada gangguan limpa, jantung, dan sistem syaraf pusat (Wade, 1974). Kombinasi tetap kafein dengan analgetik misalnya aspirin digunakan untuk pengobatan sakit kepala. Kafein juga digunakan dalam kombinasi dengan alkaloid ergot untuk pengobatan migren (Farmakologi Fakultas Kedokteran UI 2002).

Efek kafein pada tubuh timbul pada pemberian kafein 85-250 mg. Jika dosis pemberian kafein ditingkatkan, maka akan menyebabkan gugup, gelisah, tremor, insomnia, hiperestesia, mual, dan kejang. Intensitas efek kafein ini berbeda untuk setiap organ (Farmakologi Fakultas Kedokteran UI, 2002). Konsumsi kafein sebesar 1 gram atau sekitar 5-10 cangkir kopi dapat menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat dan sistem pernafasan (Sivetz, 1979). Berdasarkan FDA (Food and Drugs Administration) diacu dalam Liska (2004), dosis kafein yang diizinkan adalah sebesar 100-300 mg.

(22)

Kafein murni dapat diisolasi dari biji kopi, daun teh, biji kola dan cokelat (Sivetz, 1979). Perbandingan presentasi kafein dari masing-masing jenis tumbuhan tersebut adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Sumber kafein alami

Nama Tumbuhan Bagian Tumbuhan % Berat

Kopi Biji-Arabika Robusta 1.1 2.0 - 2.2 Teh Daun 2 – 4 Kola/cola Biji 1.5 Cokelat Biji 0.1 (Sivetz, 1979)

Saat ini sumber utama kafein adalah dari produk samping pengolahan kopi dekafeinasi dan dari sintesa reaksi antara urea dan asam kloroasetat. Beberapa paten juga telah diijinkan untuk memproduksi kafein. Kandungan kafein pada berbagai produk makanan dan obat-obatan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Kandungan kafein pada beberapa produk

Produk Jumlah Penyajian Kafein per saji (mg)

Tablet kafein 1 tablet 200

Kopi 240 mL 135

Dark chocolate 1 batang (43 gr) 31

Milk chocolate 1 batang (43 gr) 10

Coca-cola 355 mL 34 Teh celup 240 mL 50 Teh hitam 1 gr 32,8 Teh hijau 1 gr 36,6 Teh oolong 1 gr 23,8 (Hicks, 1996)

Metode yang telah dilakukan untuk menghasilkan kopi dekafeinasi komersial adalah menggunakan metode ekstraksi. Ekstraksi kafein menggunakan

(23)

pelarut dilakukan setelah berbagai perlakuan persiapan seperti pemanasan, penambahan asam dan perlakuan alkali (Sivetz, 1979). Pada kenyataannya, penambahan asam jarang dilakukan karena dapat menurunkan cita rasa dan aroma teh atau kopi.

C. Proses Ekstraksi

Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut (Thorpe’s, 1954). Proses perpindahan komponen atau senyawa aktif dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah (Ryberg, 1992). Proses ini akan terus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar diantara kedua fase dan akan berakhir bila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan akan terjadi bila seluruh zat terlarut sudah larut semua di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam.

Menurut Suryandari (1981), semakin besar volume pelarut yang digunakan dibandingkan dengan jumlah bahan yang diekstrak atau semakin rendah konsentrasi bahan, maka rendemen yang dihasilkan juga semakin besar. Semakin banyak pelarut yang ditambahkan maka semakin besar kemampuan pelarut untuk melarutkan bahan sehingga semakin banyak komponen bahan yang dapat terekstrak oleh pelarut. Rendemen hasil ekstraksi akan terus meningkat hingga larutan menjadi jenuh. Setelah titik jenuh larutan, tidak akan terjadi peningkatan rendemen dengan penambahan pelarut.

Bombardelli (1991) menyatakan bahwa lama ekstraksi menentukan jumlah komponen yang dapat diekstraksi dari bahan. Lama ekstraksi berhubungan dengan waktu kontak antara bahan dan pelarut. Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dan pelarut semakin besar sehingga kelarutan komponen solut dalam larutan akan meningkat. Rendemen ekstraksi juga semakin bertambah hingga larutan mencapai titik jenuhnya.

Proses ekstraksi merupakan metode utama yang digunakan dalam memisahkan dan memurnikan produk dari larutan, terutama pada industri farmasi

(24)

(Noor, 2002). Proses pemisahan suatu senyawa dipengaruhi oleh sifat dari kedua pelarut, diantaranya perbedaan ion, polaritas, ikatan hidrogen, sifat hidrofobik dan hidrofilik. Komponen organik akan larut dalam lapisan atau pelarut organik, sedangkan komponen ionik akan larut dalam lapisan encer atau air (Lesley, 2002).

Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan yang berbeda dalam setiap zat pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen tertentu, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan suatu zat pelarut yang secara selektif dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan tersebut. Salah satu faktor penting dan menentukan keberhasilan proses ekstraksi menggunakan pelarut adalah pemilihan jenis pelarut yang digunakan. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis senyawa yang terekstrak karena masing-masing pelarut mempunyai efisiensi dan selektifitas yang berbeda untuk melarutkan komponen aktif dalam bahan. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut (Purseglove et al., 1991).

Proses pengadukan larutan merupakan salah satu faktor penting dalam proses ekstraksi untuk mempercepat pelarutan zat padat dan meningkatkan laju difusi bahan terlarut. Pergerakan pelarut di sekitar bahan akibat pengadukan dapat mempercepat kontak bahan dengan pelarut dan memindahkan komponen dari permukaan bahan ke dalam larutan dengan jalan membentuk suspensi serta melarutkan komponen tersebut ke dalam media pelarut (Larian, 1959).

Pelarut organik yang banyak digunakan dalam proses dekafeinasi kopi dan teh diantaranya adalah diklorometan, kloroform dan tri-chloraethylene (TCE) (Sivetz, 1979). Diklorometan atau Methylene chloride (CH2Cl2) merupakan jenis

pelarut organik yang banyak digunakan pada proses dekafeinasi kopi dan teh, bahan pembakar spray aerosol, dan sebagai blowing agent untuk busa polyurethan. Diklorometan dihasilkan dari reaksi antara metil klorida atau metana dengan gas klorin pada suhu 400-500 °C (www.wikipedia.com).

Kloroform atau Trikloromethane (CHCl3) bersifat tidak mengalami

pembakaran di udara walaupun dapat terbakar apabila dicampur dengan beberapa zat yang mudah terbakar. Kloroform digunakan sebagai pelarut karena dapat larut dengan komponen organik dan mudah menguap sehingga mudah dipisahkan.

(25)

Kloroform merupakan pelarut yang efektif untuk alkaloid dan beberapa komponen tumbuhan (www.wikipedia.com).

Komponen kimia Trikloroetilen atau TCE (C2HCl3) adalah hidrokarbon

klorinasi yang biasa digunakan sebagai pelarut dalam industri. Trikloroetilen adalah pelarut yang efektif untuk komponen organik. Pada tahun 1920 pelarut ini digunakan untuk mengekstrak minyak sayur dari materi tumbuhan seperti kedelai, kelapa dan palem. Pengunaan lainnya adalah untuk dekafeinasi kopi dan pada ekstraksi aroma rempah-rempah (www.wikipedia.com). Beberapa jenis pelarut organik dan parameter utamanya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Beberapa jenis pelarut organik Pelarut organik Struktur Titik didih

(°C, 1 atm) (g/ml) ρ Konstanta dielektrik (20°C) Methylene chloride Chloroform Trichloroethylene Carbon tetrachloride CH2Cl2 CHCl3 C2HCl3 CCl4 39.8 61.2 87 77 1.325 1.48 1.46 1.60 8.9 4.8 3.4 2.2 (www.wikipedia.com)

Kepolaran suatu pelarut dipengaruhi oleh konstanta dielektriknya. Semakin besar nilai konstanta dielektrik maka semakin polar pelarut tersebut. Kepolaran suatu senyawa organik meningkat dengan bertambahnya gugus fungsi dan menurun dengan bertambahnya atom karbon (Gritter et al., 1991).

Nitrogen non protein terdapat pada hampir semua makanan. Untuk menentukan nitrogen protein bahan biasanya diekstraksi dalam kondisi alkali dan diendapkan dengan trichloro acetic acid (TCA) atau sulfocilic acid. Konsentrasi dari asam yang digunakan akan mengendapkan protein yang terdapat dalam bahan tersebut. Pemanasan dapat digunakan untuk membantu pengendapan protein oleh asam, alkohol atau pelarut organik lainnya. Metode dialisis dan ultrafiltrasi serta kromatograpi dapat digunakan untuk memisahkan protein dari substansi kecil non protein (Bradstreet, 1965)

(26)

III. METODOLOGI

A. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah teh hitam jenis powdery yang diperoleh dari proses pengolahan (sortasi 30 mesh) teh hitam CTC di PT. Perkebunan Nusantara VIII unit kebun Gunung Mas Kabupaten Bogor. Untuk bahan ekstraksi digunakan akuades, pelarut organik teknis (diklorometan, kloroform dan trikloroetilen), KOH 1%, Na2CO3. Untuk bahan analisis Mikro

Kjeldahl digunakan TCA 5 %, H2SO4 36 N, katalis Na2SO4-CuSO4 (6 : 5), asam

borat 6 N, indikator metil merah/metilen biru. Untuk HPLC digunakan Pb asetat 35 %, natrium oksalat, metanol, air demineral, dan kafein murni (analitical grade).

Peralatan yang digunakan adalah rotary evaporator, sentrifuse, pemanas, magnetic stirer, kondensor, selang, erlenmeyer, corong pemisah, gelas ukur, labu ukur, labu kjeldahl, buret, pipet volumetrik, saringan, watmant 42, dan HPLC.

B. Proses Ekstraksi (Modifikasi Metode Jacobs, 1962)

a. Tahap I. Penentuan Waktu Ekstraksi dan Rasio Pelarut Terbaik

Isolasi kafein dari limbah teh dilakukan melalui proses ekstraksi menggunakan air dan pelarut organik. Pada penelitian tahap I, ekstraksi limbah teh dilakukan menggunakan air dengan rasio bahan dan air sebesar 1:20 (b/v) pada berbagai waktu (1-3 jam), dilanjutkan dengan proses filtrasi (penyaringan) dan pemekatan dengan cara penguapan, kemudian kafein pada filtrat limbah teh ini dipisahkan menggunakan diklorometan dengan perbandingan filtrat teh dan diklorometan 1:1, 1:2, dan 1:3 (v/v). Waktu dan perbandingan nisbah pelarut terbaik yang dihasilkan tersebut akan digunakan untuk membandingkan pada penelitian tahap selanjutnya.

Adapun metodologi yang dilakukan pada penelitian tahap pertama adalah sebanyak 10 gram bubuk limbah teh jenis powdery dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer dan ditambahkan dengan 200 ml aquades (rasio 1:20 b/v). Ekstraksi dilakukan dengan mendidihkan larutan limbah teh yang ditutup dengan pendingin balik disertai pengadukan menggunakan magnetic stirer. Waktu yang diperlukan terdiri dari 1 jam, 2 jam, dan 3 jam. Hasil ekstraksi ditera dalam labu ukur 250 ml,

(27)

disaring dari ampasnya dan dimasukkan ke dalam gelas piala. Filtrat yang dihasilkan ditambahkan 2 gram Na2CO3 dan diuapkan sambil diaduk dengan

magnetic stirer hingga diperoleh larutan pekat dengan volume kira-kira 100 ml.

Gambar 2. Proses ekstraksi dengan air

Kafein yang terdapat pada filtrat pekat kemudian dipisahkan dengan pelarut oganik (diklorometan) menggunakan labu pemisah. Perbandingan filtrat limbah teh dan pelarut organik (diklorometan) yang digunakan terdiri dari tiga taraf, yaitu 1:1, 1:2, dan 1:3 (v/v). Ini berarti bahwa pelarut organik (diklorometan) yang digunakan adalah sebanyak 100 ml, 200 ml, dan 300 ml. Filtrat pekat yang dihasilkan dari ekstraksi sebelumnya didinginkan hingga suhunya mencapai kurang dari 40ºC kemudian dimasukkan ke dalam labu pemisah. Gelas piala dibilas diklorometan secara berturut-turut sebesar 25 %, 20 %, 15 %, 10 % dan 10 % dari total diklorometan yang digunakan. Cairan bilasan ini masing-masing dimasukkan ke dalam labu pemisah. Ke dalam labu pemisah juga ditambahkan 5 ml KOH 1% kemudian dikocok dan dibiarkan hingga menghasilkan dua lapisan cairan. Cairan bagian bawah yang merupakan larutan kafein dalam diklorometan, dikeluarkan dan ditampung dalam erlenmeyer. Pelarut diklorometan yang tersisa dimasukkan lagi kedalam labu pemisah, kemudian

(28)

dikocok dan dibiarkan sampai kedua lapisan terpisah, selanjutnya cairan bagian bawah dikeluarkan dan ditampung dalam erlenmeyer yang sama.

Gambar 3. Proses ekstraksi dengan pelarut organik

Larutan kafein kemudian diuapkan dengan rotary evaporator dan ditera hingga 100 ml. Larutan kafein 100 ml ini kemudian dibagi menjadi dua, satu bagian sebanyak 50 ml digunakan untuk menentukan kadar N (Nitrogen) secara mikro kjeldahl, sedangkan bagian lainnya digunakan untuk menentukan kadar kafein murni menggunakan HPLC. Pada tahap pertama, rendemen kafein ditentukan dengan menghitung kadar N secara mikro kjeldahl. Waktu dan perbandingan nisbah pelarut terbaik, yaitu yang menghasilkan rendemen kafein tertinggi akan digunakan untuk penelitian tahap selanjutnya. Adapun diagram alir penelitian tahap pertama dapat dilihat pada gambar 4.

b. Tahap II. Ekstraksi dengan Pelarut Kloroform dan Trikloroetilen Pada tahap kedua dilakukan ekstraksi untuk menentukan jenis pelarut organik terbaik. Pelarut organik yang dibandingkan adalah kloroform dan trikloroetilen. Kondisi waktu ekstraksi dan perbandingan antara filtrat limbah teh dengan pelarut organik yang digunakan diperoleh dari hasil terbaik pada tahap pertama, yaitu kondisi perlakuan yang menghasilkan rendemen kafein tertinggi secara Mikro Kjeldahl. Prinsip ekstraksi pada penelitian tahap II sama dengan penelitian tahap pertama. Selanjutnya, jenis pelarut yang menghasilkan rendemen

(29)

kafein tertinggi dinyatakan sebagai pelarut terbaik dan digunakan pada penelitian tahap III. Adapun diagram alir penelitian tahap II dapat dilihap pada gambar 5.

c. Tahap III. Penentuan Rasio Bahan dan Air Terbaik

Pada tahap III, setelah diperoleh kondisi proses (waktu ekstraksi, rasio dan jenis pelarut organik) yang terbaik, maka dilakukan ekstraksi untuk menentukan rasio bahan dan air yang terbaik. Pada tahap ini digunakan rasio bahan dan air 1:10 (b/v) dan 1:30 (b/v), ini berarti bahwa bubuk limbah teh sebanyak 10 gram ditambahkan dengan air sebanyak 100 ml dan 300 ml. Prinsip ekstraksi yang dilakukan pada penelitian tahap III sama dengan penelitian tahap I dan tahap II. Diagram alir penelitian tahap III dapat dilihat pada gambar 6.

(30)

Gambar 4. Diagram alir penelitian tahap I Ekstraksi dengan 200 ml air, tutup dengan pendingin balik dan didihkan selama 1 jam, 2 jam, 3 jam

Pengenceran dengan air sampai volume 250 ml

Penyaringan

Pemanasan filtrat s.d 100 ml

Ekstraksi filtrat teh dengan diklorometan pada rasio 1:1, 1:2, dan 1:3

Pemisahan larutan kafein dari filtrat limbah teh

Penguapan pelarut

Analisis Mikro Kjeldahl Analisis HPLC Pendinginan s.d suhu < 40 °C

10 gram bubuk limbah teh kering (sortasi 30 mesh)

Ampas Filtrat Filtrat teh Larutan kafein Larutan pekat Penambahan Na2CO3

(31)

Gambar 5. Diagram alir penelitian tahap II Ekstraksi dengan 200 ml air, tutup dengan pendingin balik, didihkan selama waktu terbaik pada tahap I

Pengenceran dengan air sampai volume 250 ml

Penyaringan

Pemanasan filtrat s.d 100 ml

Ekstraksi filtrat teh dengan kloroform dan trikloroetilen pada rasio yang terbaik pada tahap I

Pemisahan larutan kafein dari filtrat limbah teh

Penguapan pelarut

Analisis Mikro Kjeldahl Analisis HPLC Pendinginan s.d suhu < 40 °C

10 gram bubuk limbah teh kering (sortasi 30 mesh)

Ampas Filtrat Filtrat teh Larutan kafein Larutan pekat Penambahan Na2CO3

(32)

Gambar 6. Diagram alir penelitian tahap III

Ekstraksi dengan 100 dan 300 ml air, tutup dengan pendingin balik, didihkan selama waktu terbaik pada tahap I

Pengenceran dengan air sampai volume 250 ml

Penyaringan

Pemanasan filtrat s.d 100 ml

Ekstraksi dengan pelarut organik terbaik pada tahap II dengan perbandingan terbaik pada tahap I

Pemisahan larutan kafein dari filtrat limbah teh

Penguapan pelarut

Analisis Mikro Kjeldahl Analisis HPLC Pendinginan s.d suhu < 40 °C

10 gram bubuk limbah teh kering (sortasi 30 mesh)

Ampas Filtrat Filtrat teh Larutan kafein Larutan pekat Penambahan Na2CO3

(33)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengaruh Waktu Ekstraksi dan Perbandingan Pelarut

Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah limbah teh hitam CTC jenis Powdery (Gambar 7). Untuk mempermudah proses ekstraksi dan meningkatkan kontak antara komponen bahan dengan pelarut, maka bahan harus memiliki ukuran yang kecil dan seragam. Proses perpindahan suatu komponen atau senyawa dari dalam bahan padatan menuju cairan dibantu oleh ukuran padatan yang kecil. Akibat ukuran padatan yang kecil, luas permukaan padatan yang bersentuhan dengan pelarut akan menjadi semakin besar, sehingga proses difusi dari bahan dan pelarut akan semakin optimal.

Gambar 7. Serbuk limbah teh hitam CTC

Bahan limbah teh yang diperoleh dari pabrik teh Gunung Mas ini sudah berbentuk serbuk, sehingga tidak diperlukan proses pengecilan ukuran padatan. Serbuk limbah teh ini diekstraksi menggunakan air dengan cara dipanaskan menggunakan kondensor berpendingin balik. Menurut Katz (1994) kafein dapat larut dengan baik pada air panas. Kelarutan kafein dalam air adalah 2,2 mg/mL pada 25 °C, 180 mg/mL pada 80 °C, dan 670 mg/mL pada 100 °C. Kafein bersifat sangat stabil dan memiliki titik leleh 234 °C, sehingga tidak mengalami perubahan pada proses pemanasan. Penggunaan kondensor berpendingin balik bertujuan agar air yang digunakan untuk ekstraksi tidak habis karena penguapan. Uap air yang dikondensasi ini akan kembali menuju larutan limbah teh yang diekstrak sehingga tidak terjadi pengurangan volume air.

(34)

Penelitian ini dilakukan secara bertahap karena bersifat deskriptif, dimana masing-masing tahap bertujuan untuk menentukan kondisi terbaik dari tiap parameter, diantaranya : waktu ekstraksi dan perbandingan filtrat limbah teh dengan pelarut organik (diklorometan) pada tahap I, jenis pelarut organik pada tahap II, dan rasio bahan dengan pelarut (air) pada tahap III. Pada prinsipnya, masing-masing tahap memiliki perlakuan yang sama, akan tetapi parameter yang diukur berbeda-beda.

Pada penelitian tahap I ditentukan waktu ekstraksi dan perbandingan volume filtrat limbah teh dengan pelarut organik (diklorometan) yang terbaik untuk mengekstraksi kafein dari limbah teh. Jacobs (1962) sudah mengekstraksi kafein dari bahan biji kopi dengan rasio antara bahan dan air adalah 1:20 (b/v) selama 2 jam, dan menggunakan pelarut organik kloroform dengan perbandingan filtrat limbah teh dan kloroform 1:1 (v/v). Menurut Jacobs (1962), parameter-parameter yang digunakannya ini dapat melarutkan dengan baik kafein dalam biji kopi dengan menghasilkan rendemen sebesar 0,8 – 2,1 %. Pada penelitian tahap I dan II, rasio antara bahan dan pelarut (air) yang digunakan adalah 1:20 (b/v), sesuai dengan metode Jacobs (1962).

Pada penelitian tahap I, waktu ekstraksi yang digunakan bervariasi, yaitu selama 1 jam, 2 jam dan 3 jam. Pelarut organik yang digunakan pada tahap I ini adalah diklorometan. Adapun perbandingan antara filtrat limbah teh dan diklorometan yang digunakan bervariasi, yaitu 1:1 (v/v), 1:2 (v/v), dan 1:3 (v/v). Air yang digunakan untuk mengekstraksi limbah teh tidak dipanaskan terlebih dahulu agar pada saat pengukuran tidak terjadi penguapan, sehingga volume air yang digunakan menjadi seragam. Pada penelitian tahap I ini rendemen kafein ditentukan berdasarkan kadar Nitrogen secara Mikro Kjeldahl. Penelitian tahap I ini bertujuan untuk menentukan parameter waktu ekstraksi serta perbandingan antara filtrat limbah teh dan diklorometan terbaik, yaitu parameter yang menghasilkan rendemen kafein tertinggi.

Prinsip penelitian pada tahap I sama dengan tahap II dan III, yaitu isolasi kafein dengan cara mengekstraksi limbah teh menggunakan air dan pelarut organik. Sifat dari kedua pelarut ini tidak saling melarutkan sehingga dapat digunakan untuk mengekstraksi komponen dari suatu bahan. Proses pengadukan

(35)

(shaker) dilakukan untuk memisahkan kafein dari filtrat limbah teh. Davison (2006) menggambarkan proses yang terjadi pada ekstraksi kafein pada teh menggunakan air dan pelarut organik (diklorometan) seperti yang terlihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Ekstraksi kafein menggunakan air dan diklorometan (Davidson, 2006)

Proses pemisahan suatu senyawa dipengaruhi oleh sifat dari kedua pelarut, diantaranya perbedaan ion, polaritas, ikatan hidrogen, sifat hidrofobik dan hidrofilik. Pada saat pH<pKa senyawa amina berbentuk proton, sedangkan pada pH>pKa senyawa tidak berbentuk proton (Lesley, 2002). Berdasarkan hal tersebut maka proses pemisahan komponen kafein pada filtrat limbah teh ke dalam pelarut organik dilakukan dengan mengubah pH larutan teh. Pada saat limbah teh diekstraksi menggunakan air (pH=7), senyawa amina (kafein) yang terdapat pada limbah teh tersebut bermuatan positif dan larut dalam air (pelarut polar) sehingga mengikat satu atom Hidrogen. Filtrat limbah teh ini diekstraksi lagi menggunakan pelarut organik. Sebelumnya pH larutan limbah teh dinaikkan terlebih dahulu dengan penambahan basa (Na2CO3), sehingga senyawa amina (kafein) menjadi

tidak bermuatan atau netral dan berpindah ke lapisan atau pelarut organik (semi polar).

Waktu ekstraksi menentukan jumlah komponen aktif yang dapat diekstraksi dari bahan. Semakin lama waktu ekstraksi maka kesempatan untuk bersentuhan antara bahan dengan pelarut semakin besar sehingga komponen aktif

(36)

dalam bahan dapat terlarut dengan baik. Pada saat terjadi kesetimbangan waktu ekstraksi maka tidak terjadi lagi peningkatan rendemen komponen aktif yang diekstrak. Hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh waktu ekstraksi dan perbandingan pelarut dengan rendemen kafein dapat dilihat pada Gambar 9, sedangkan perhitungannya terdapat pada Lampiran 2.

Gambar 9. Histogram hubungan rendemen kafein pada berbagai waktu ekstraksi dan rasio filtrat limbah teh dan diklorometan

Dari hasil yang diperoleh ini terlihat bahwa waktu ekstraksi yang lebih lama dapat mengekstraksi lebih banyak kafein dalam limbah teh, serta semakin besar volume pelarut organik (diklorometan) yang ditambahkan, maka rendemen yang dihasilkan menunjukkan kecenderungan yang meningkat. Waktu ekstraksi berpengaruh terhadap besarnya energi yang dikeluarkan untuk pengadukan bahan. Pada pemilihan waktu ekstraksi yang lebih singkat, maka penggunaan energi untuk pengadukan dapat dihemat dan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan ekstrak dapat dipercepat, sehingga dapat menghemat biaya dan waktu ekstraksi secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian, ekstraksi selama 2 jam pada perbandingan filtrat teh dan pelarut organik 1:3 (v/v) menghasilkan rendemen kafein tertinggi, yaitu sebesar 2,2 % (perhitungan terdapat pada lampiran 2).

Apabila dilihat dari jumlah rendemen yang dihasilkan, ekstraksi limbah teh menggunakan air selama 2 jam pada perbandingan filtrat teh dan diklorometan 1:3 (v/v) memberikan nilai yang maksimum dengan menghasilkan rendemen tertinggi. Pada perbandingan filtrat limbah teh dan diklorometan 1:3 (v/v) ini

0 0.5 1 1.5 2 2.5

1 jam 2 jam 3 jam

Waktu ekstraksi R e n d em en ( % ) 1 : 1 1 : 2 1 : 3

(37)

ekstraksi limbah teh menggunakan air selama 3 jam menghasilkan rendemen yang tetap dibandingkan ekstraksi selama 2 jam. Hal ini menunjukkan bahwa pada jam ke-2 larutan sudah mencapai titik jenuhnya, sehingga dapat dikatakan bahwa laju ekstraksi antara jam ke-2 hingga jam ke-3 adalah konstan. Seperti yang terlihat pada Gambar 9, peningkatan rendemen kafein antara jam ke-2 hingga jam ke-3 tidak berbeda secara signifikan.

Berdasarkan nilai rendemen tertinggi tersebut, maka waktu ekstraksi selama 2 jam dan perbandingan 1:3 (v/v) digunakan sebagai parameter untuk tahap selanjutnya. Perbandingan filtrat limbah teh dengan diklorometan 1:3 (v/v) menunjukkan bahwa pelarut organik (diklorometan) yang digunakan adalah sebesar 300 ml, sehingga jenis pelarut organik lainnya (kloroform dan trikloroetilen) yang akan digunakan pada penelitian tahap II adalah dalam jumlah yang sama. Nilai rendemen yang dihasilkan pada perbandingan 1:3 (v/v) ini lebih besar daripada perbandingan 1:1 (v/v) seperti yang dilakukan oleh Jacobs (1962).

Berdasarkan penelitian tahap I, diperoleh hasil bahwa ekstraksi selama 2 jam pada perbandingan filtrat teh dan pelarut organik 1:3 (v/v) menghasilkan rendemen tertinggi, yaitu sebesar 2,2 %, sedangkan rendemen kafein yang diukur menggunakan analisis HPLC diperoleh nilai sebesar 1,9 % (perhitungan terdapat pada lampiran 6). Rendemen kafein yang diperoleh pada analisis Mikro Kjeldahl nilainya lebih besar dibandingkan pada analisis HPLC, hal ini disebabkan pada analisis Mikro Kjeldahl masih terdapat senyawa pengotor yang mengandung Nitrogen seperti teofilin dan teobromin yang ikut terukur, dimana dengan analisis HPLC hanya komponen kafein saja yang teranalisis.

B. Pengaruh Jenis Pelarut

Pada penelitian tahap II ditentukan jenis pelarut terbaik untuk mengekstraksi kafein dari limbah teh. Pelarut terbaik adalah pelarut yang secara selektif mampu melarutkan komponen kafein dalam limbah teh dalam jumlah yang lebih banyak dibandingkan pelarut lain. Kemampuan pelarut untuk melarutkan komponen kafein ditunjukkan dengan nilai rendemen hasil ekstraksi. Semakin tinggi nilai rendemen hasil ekstraksi suatu pelarut dibandingkan dengan

(38)

rendemen hasil ekstraksi dari pelarut lainnya, maka semakin ideal penggunaan pelarut tersebut untuk ekstraksi bahan yang bersangkutan.

Menurut Ketaren (1985), syarat-syarat pelarut yang digunakan dalam ekstraksi adalah sebagai berikut :

1. Dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan secara selektif, cepat dan optimal, serta sesedikit mungkin melarutkan bahan pengotor seperti lilin, pigmen dan senyawa albumin.

2. Mempunyai titik didih yang tidak terlalau rendah dan tidak terlalu tinggi. 3. Tidak larut dalam air

4. Bersifat inert terhadap bahan baku, sehingga tidak bereaksi dengan komponen yang diekstrak.

5. Mempunyai titik didih seragam agar tidak meninggalkan residu dalam bahan.

Pelarut organik yang digunakan dalam penelitian tahap II ini terdiri dari dua jenis pelarut yaitu kloroform dan trikloroetilen. Seperti halnya dengan diklorometan, pelarut yang digunakan adalah jenis pelarut teknis, dengan pertimbangan harganya lebih murah namun mampu melarutkan kafein dengan baik. Pelarut-pelarut tersebut secara komersial telah digunakan untuk mengekstraksi kafein seperti dalam proses dekafeinasi kopi dan teh. Disamping itu, ketiga jenis pelarut ini bersifat tidak mudah terbakar (flammable), sehingga aman digunakan dalam skala laboratorium maupun industri. Beberapa patent yang melakukan proses dekafeinasi juga menggunakan pelarut organik jenis lain seperti trigliserida dan etil asetat. Pelarut organik ini dapat menghasilkan produk hidrolisis seperti etanol dan asam asetat dalam jumlah kecil yang tidak berbahaya. Namun demikian, pelarut ini memiliki harga yang mahal sehingga tidak digunakan pada penelitian ini. Pemilihan pelarut untuk ekstraksi harus mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya titik didih, toxisitas, harga pelarut, dan reaktivitas pelarut dengan komponen yang diekstrak.

Pada proses dekafeinasi ini, limbah teh diekstraksi menggunakan air dan pelarut organik untuk memisahkan kafeinnya. Proses pemisahan suatu senyawa dipengaruhi oleh sifat dari kedua pelarut, diantaranya perbedaan ion, polaritas, ikatan hidrogen, sifat hidrofobik dan hidrofilik. Berdasarkan teori, komponen

(39)

organik akan larut dalam lapisan atau pelarut organik, sedangkan komponen ionik akan larut dalam lapisan encer atau air (Lesley, 2002). Dalam hal ini, komponen organik yang terdapat dalam limbah teh adalah kafein, sedangkan komponen ioniknya berupa klorofil, tanin, dan pigmen flavanoid yang dapat larut dalam air namun tidak larut dalam pelarut organik.

Menurut Ryberg et.al. (2003), kafein memiliki kepolaran yang mendekati pelarut organik, sehingga akan lebih larut dalam pelarut organik dibandingkan air. Kepolaran suatu bahan atau pelarut dipengaruhi oleh nilai konstanta dielektriknya. Semakin besar nilai konstanta dielektrik maka semakin polar pelarut tersebut. Kepolaran suatu senyawa organik meningkat dengan bertambahnya gugus fungsi dan menurun dengan bertambahnya atom karbon (Gritter et al., 1991). Nilai konstanta dielektrik air adalah sebesar 80 pada 20 °C, nilai ini jauh lebih tinggi dibandingkan konstanta dielektrik pelarut organik yang bersifat semi polar.

Ekstraksi menggunakan air dapat melarutkan senyawa kafein yang terdapat dalam limbah teh, akan tetapi selain melarutkan kafein air juga dapat melarutkan senyawa pengotor lainnya. Oleh sebab itu larutan limbah teh ini diekstraksi kembali menggunakan pelarut organik dengan tujuan untuk memisahkan kafeinnya sehingga diperoleh rendemen kafein dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi. Pada penelitian ini, ekstraksi menggunakan pelarut organik dilakukan secara bertahap. Pelarut organik yang digunakan untuk mengekstrak kafein tidak dimasukkan secara sekaligus ke dalam labu pemisah, akan tetapi beberapa kali ekstraksi dengan pembagian pelarut organik yang beragam, diantaranya 25%, 20%, 15%, 20%, 10% dan 10% dari total pelarut organik yang digunakan. Masing-masing bagian ini ditampung dalam wadah yang sama.

Berdasarkan teori, ekstraksi akan lebih efektif apabila dilakukan beberapa kali dengan jumlah pelarut yang lebih sedikit (Lesley, 2002). Ekstraksi beberapa kali akan meningkatkan kontak antara bahan dengan pelarut, sehingga komponen-komponen yang belum terlarut pada ekstraksi pertama kali akan terlarut pada ekstraksi berikutnya. Dengan demikian proses ekstraksi akan lebih efisien dan menghasilkan recovery yang lebih tinggi. Larutan kafein pada berbagai pelarut organik dapat dilihat pada Gambar 10.

(40)

Gambar 10. Larutan kafein dalam pelarut organik

Metode analisis yang digunakan untuk menentukan kadar kafein pada penelitian tahap II ini terdiri dari analisis Mikro Kjeldahl dan analisis HPLC. Apabila ditinjau dari penggunaan energi, waktu dan biaya, metode analisis Mikro Kjeldahl lebih efisien dibandingkan dengan metode analisis HPLC. Walaupun demikian, metode analisis HPLC lebih selektif dalam menentukan kadar kafein murni. Pada metode analisis Mikro Kjeldahl, rendemen kafein ditentukan dengan menghitung total Nitrogen sehingga Nitrogen dari senyawa pengotor lainnya juga ikut terhitung. Pada analisis HPLC digunakan larutan standar kafein dengan kualitas analitical grade. Besarnya kadar kafein yang terdapat pada larutan sampel ditentukan berdasarkan waktu retensi pada saat diinjeksikan ke dalam alat HPLC. Komponen suatu bahan yang memiliki waktu retensi sama dengan larutan standar terhitung sebagai komponen kafein.

Pada penelitian tahap II ditentukan jenis pelarut terbaik untuk mengekstraksi kafein dari limbah teh. Hasil penelitian yang menunjukkan kadar kafein pada berbagai pelarut organik (diklorometan, kloroform dan trikloroetilen) berdasarkan analisis Mikro Kjeldahl dan analisis HPLC terdapat pada Gambar 11, sedangkan perhitungan secara lengkap terdapat pada Lampiran 3.

(41)

Gambar 11. Histogram hubungan rendemen kafein pada berbagai pelarut organik

Berdasarkan gambar diatas, filtrat limbah teh yang diekstraksi menggunakan diklorometan dengan rasio 1:3 v/v menghasilkan rendemen kafein sebesar 2,2 % (Mikro Kjeldahl, perhitungan pada Lampiran 2) atau sebesar 1,9 % (HPLC, perhitungan pada Lampiran 6), nilai ini merupakan nilai tertinggi dibandingkan ekstraksi menggunakan jenis pelarut lainnya dengan rasio yang sama.

Kelarutan suatu senyawa organik dalam pelarut terutama dipengaruhi oleh persamaan kepolaran antara pelarut dengan senyawa yang diekstrak. Semakin dekat tingkat kepolaran pelarut dengan tingkat kepolaran senyawa yang diekstrak maka semakin tinggi rendemen yang dihasilkan. Kafein merupakan senyawa polar yang larut dalam air (polar) dan pelarut organik (semi polar). Berdasarkan Tabel 4, nilai konstanta dielektrik diklorometan adalah sebesar 8,9 pada 20°C, lebih tinggi daripada kloroform yang mempunyai nilai konstanta dielektrik sebesar 4,8 atau trikloroetilen yaitu sebesar 3,4. Dengan nilai konstanta dielektrik yang besar, diklorometan memiliki sifat yang lebih polar dibandingkan dengan pelarut lain, sehingga dapat melarutkan kafein lebih banyak dibandingkan kloroform dan trikloroetilen.

Disamping menghasilkan rendemen yang tinggi, diklorometan juga memiliki titik didih yang rendah (40 °C) sehingga mudah dipisahkan (recovery) dari padatannya. Penggunaan pelarut bertitik didih tinggi akan mempersulit proses pemisahan pelarut karena memerlukan suhu yang tinggi untuk proses penguapan, sehingga dapat memperbesar jumlah energi yang digunakan.

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Diklorometan Kloroform Trikloroetilen

Jenis Pelarut R e n d em en ( % ) Mikro Kjeldahl HPLC

(42)

Pada perhitungan kafein secara HPLC terdapat kesamaan urutan jenis pelarut terbaik bila dibandingkan dengan analisis kafein secara mikro kjeldahl, perbedaan kadar kafein dari kedua metode analisis ini juga hanya sebesar 0,059-0,746 %, hal ini membuktikan bahwa perhitungan kafein dengan menentukan total Nitrogen secara Mikro Kjeldahl dapat digunakan sebagai metode analisis untuk menentukan rendemen kafein pada beberapa bahan.

C. Pengaruh Rasio Bahan dan Air

Konsentrasi bahan juga dapat menentukan banyaknya komponen atau senyawa aktif yang dapat terlarut. Bila perbandingan bahan dan pelarut semakin kecil atau semakin banyak jumlah pelarut yang ditambahkan, maka konsentrasi bahan semakin kecil, sehingga kemampuan pelarut untuk melarutkan senyawa aktif dalam bahan akan bertambah karena luasnya kontak antara bahan dan pelarut, akibatnya rendemen hasil ekstraksi juga akan meningkat. Kelarutan suatu komponen dalam pelarut akan bertambah seiring dengan penambahan jumlah pelarut. Rendemen hasil ekstraksi juga akan terus meningkat hingga larutan menjadi jenuh. Pada saat larutan jenuh tidak terjadi peningkatan rendemen dengan penambahan pelarut akibat persamaan konsentrasi antara kedua fase.

Proses perpindahan suatu komponen atau senyawa dari dalam bahan padatan menuju cairan juga dibantu oleh ukuran padatan yang kecil dan pengadukan pelarut. Akibat ukuran padatan yang kecil, luas permukaan padatan yang bersentuhan dengan pelarut akan menjadi semakin besar, sehingga proses difusi dari bahan dan pelarut akan semakin optimal. Pengadukan menimbulkan pergerakan pelarut disekitar bahan sehingga dapat mempercepat kontak antara bahan dan pelarut. Pergerakan pelarut juga menyebabkan pelarut yang telah jenuh dengan komponen akan digantikan dengan pelarut yang belum jenuh, sehingga proses ekstraksi akan menjadi lebih efektif.

Pada tahap I dan II diperoleh kondisi terbaik, diantaranya waktu ekstraksi selama 2 jam, serta jenis dan nisbah pelarut organik yang digunakan yaitu diklorometan dengan perbandingan filtrat limbah teh dan diklorometan sebesar 1:3 (v/v). Pada tahap I dan II ini rasio bahan dan air yang digunakan adalah sebesar 1:20 (b/v), konsentrasi ini sesuai dengan metode Jacobs (1962). Penelitian

(43)

tahap III bertujuan untuk menentukan rasio bahan dan air terbaik untuk proses ekstraksi limbah teh. Pada tahap III ini volume air yang dibandingkan adalah sebesar 100 dan 300 ml air untuk 10 gram limbah teh, atau dengan rasio 1:10 (b/v) dan 1:30 (b/v). Pada tahap III ini perlakuan untuk waktu ekstraksi serta perbandingan filtrat limbah teh dan diklorometan sama dengan yang dilakukan pada tahap I dan II, yaitu selama 2 jam dan perbandingan 1:3 (v/v).

Hasil penelitian yang menunjukkan pengaruh rasio bahan dan air terhadap rendemen kafein (Mikro Kjeldahl dan HPLC) dapat dilihat pada Gambar 12 dan Lampiran 4. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa semakin besar volume air yang digunakan pada proses ekstraksi dibandingkan dengan jumlah bubuk limbah teh yang diekstraksi, maka rendemen yang dihasilkan menunjukkan peningkatan.

Gambar 12. Histogram hubungan rendemen kafein dengan rasio bahan dan air (b/v)

Dari nilai persentasi kafein yang dihasilkan oleh tiga perlakuan rasio bahan dan air, rasio 1:20 (b/v) memberikan nilai yang maksimum dengan menghasilkan rendemen tertinggi yaitu sebesar 2,2 % yang diperoleh pada ekstraksi selama 2 jam dengan perbandingan filtrat limbah teh dan diklorometan 1:3. Pada rasio 1:30 (b/v) dengan waktu ekstraksi yang sama (2 jam), rendemen kafein menunjukkan penurunan, hal ini dikarenakan komponen solut belum terlarut sempurna dalam air. Pada rasio 1:30 (b/v) ini larutan menjadi lebih encer, sehingga membatasi kontak dan mengurangi waktu kontak antara bahan dan

0 0.5 1 1.5 2 2.5 1:10 1:20 1:30

Rasio Bahan dan Air (b/v)

R e nde m e n ( % ) Mikro Kjeldahl HPLC

(44)

pelarut (air). Penambahan jumlah pelarut mengakibatkan berkurangnya kemampuan pelarut untuk melarutkan komponen bahan termasuk kafein, sehingga tidak semua komponen tersebut dapat terekstrak. Kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan penambahan waktu ekstraksi, sehingga dapat dengan efektif melarutkan seluruh komponen limbah teh termasuk kafein. Pada penelitian ini, waktu ekstraksi selama 2 jam mampu melarutkan secara optimal komponen organik dalam limbah teh pada rasio 1:20 (b/v). Rendemen hasil ekstraksi akan bertambah hingga terjadi kesetimbangan antara konsentrasi dan waktu ekstraksi.

Hal serupa juga terjadi pada perhitungan rendemen kafein secara HPLC. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada ekstraksi limbah teh dengan air pada rasio 1:20 (b/v) selama 2 jam serta menggunakan diklorometan dengan perbandingan 1:3 (v/v), kelarutan kafein telah mencapai nilai maksimum karena keseimbangan konsentrasi antara pelarut dan bahan telah tercapai, sehingga tidak akan terjadi kenaikan jumlah rendemen dengan penambahan jumlah pelarut.

(45)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilakukan secara bertahap, rendemen kafein tertinggi yaitu sebesar 1,9 % (HPLC) diperoleh pada ekstraksi limbah teh dengan rasio bahan dan air 1:20 (b/v) selama 2 jam, menggunakan pelarut organik diklorometan dengan rasio antara filtrat limbah teh dan diklorometan 1:3 (v/v). Kafein yang diperoleh pada penelitian ini sudah cukup tinggi apabila dilihat dari kadar kafein yang terdapat dalam daun teh (2-4%).

Nilai rendemen kafein yang diperoleh dari hasil analisis Mikro Kjeldahl tidak berbeda jauh dengan hasil analisis HPLC, sehingga untuk menghemat energi, waktu dan biaya maka rendemen kafein ini dapat dihitung dengan menentukan kadar N secara Mikro Kjeldahl.

B. Saran

Apabila ditinjau secara ekonomi, harga kafein murni adalah Rp. 1.020.000,- per 100 gram, maka rendemen kafein yang dihasilkan pada penelitian ini bernilai Rp. 1.938,-. Oleh karena itu diperlukan proses recovery pelarut untuk menghemat dan menekan biaya produksi.

Perlunya dilakukan pemilihan jenis pelarut lain yang lebih efisien untuk mengekstraksi kafein dari limbah teh, serta proses pemurnian yang ideal untuk mendapatkan ekstrak kafein.

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1983. Tea Technology. A Consultancy Division of Tropag Services Ltd.

Badan Pusat Statistik. 2007. Rekapitulasi Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Perkebunan Rakyat Tahun 2006. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Barat.

Bombardelli, E. 1991. Technologies for The Processing of Medicinal Plants. Di dalam R. O. B. Wijesekera. The Medicinal Plant Industry. CRC Press, Boca Raton.

Bradsreet R.B. 1965. The Kjeldahl Method for Organic Nitrogen. Academic Press. New York, San Fracisco, London.

British Pharmacopeia. 1993. British Pharmacopeia Jilid 1. British Pharmacopeia, London.

Coffeefag. 2001. Frequently Asked Questions About Caffeine.

http://coffeefag.com//

Davidson. 2006. Isolation of Caffeine from Tea and Identification of an Unknown Analgesic. http://www.chm.davidson.edu/erstevens.pdf

Eden, T. 1958. Tea. Longmans, Green and Co. London, New York, Toronto.

Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 2002. Farmakologi dan Terapi. Edisi ke-4. Gaya Baru, Jakarta.

Gritter, R.J., James M. B. dan Arthur E. S. 1991. Pengantar Kromatografi. Edisi 2. Terjemahan. Penerbit ITB, Bandung.

Hicks, M.B., Y.H. Peggy, dan L.N. Bell. 1996. Tea Preparation and Its Influence on Methylxanthine Concentration. Food Research International. Vol. 29.

Jacobs, M. 1962. The Chemical Analysis of Foods and Food Products, 3rd ed. D. Van Nostrand Company, Inc. New York.

(47)

Katz, S.N. 1994. Decaffeination of Coffee. Di dalam Coffee Technology Vol II. Clarke, R.J. dan R. Macrae (eds.). Blackie Academis and Professional, London.

Keegel, E. L. 1958. Tea Manufacture in Ceylon. 2nd (rev) ed. Monographas on Tea Production in Ceylon. The Tea Research Institut of Ceylon.

Ketaren, S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Balai Pustaka, Jakarta.

Kirk, B.E. dan Othmer. 1976. Caffein Encyclopedia of Chemical Technology 2. The Encyclopedia Inc., New York.

Kuschinsky, G. and H. Lullman. 1973. Textbook of Pharmacology. Academic Press. New York, London.

Larian, M.G. 1959. Fundamental of Chemical Engineering Operation. Marusen Co. Ltd., Tokyo.

Lesley, S. 2002. The Molecular World. Separation, Purification, and Identification. The Open University, Walton Hall, Milton Keynes.

Liska, K. 2004. Drugs and the Body with Implication for Society. Edisi ke-7. Pearson, New Jersey.

Musalam, Y. 1990. Potensi Limbah Industri Teh Hitam sebagai Sumber Kafein dan Prospek Pengolahannya di Indonesia. Prosiding Simposium Teh V. Februari 1990 : 461-467.

Noor, E. 2002. Bahan Pengajaran Proses Hilir. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, IPB, Bogor.

Potter, N.N. 1973. Food Science. The AVI Publishing Co. Inc., Wesport, Connecticut.

Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green dan S.R.J. Robbins. 1981. Spice. Volume II. Longman Inc., New York.

Rajasekaran, A. 2005. Extraction of Caffeine from Tea Leaves. www.wikipedia.com.

Ryberg, J., C. Musikas dan G. R. Chopping. 2003. Principles dan Practices of Solvent Extraction. Marcel Dekker Inc., New York.

(48)

Sand, B.J. 2002. Analysis of Caffeine. US Patent & Trademark Office 2,192,834. www.wikipedia.com.

Sivetz, M. 1979. Coffee technology. AVI Publishing Company, Inc, Westport, Connecticut.

Sudarmadji, S., Bambang H. dan Suhardi. 1997. Prosedur Analisa untuk Bahan Makanan dan Pertanian. Edisi ke-3. Liberty, Yogyakarta.

Suryandari, S. 1981. Pengambilan Oleoresin Jahe dengan Cara Solvent Extraction. BPIHP, Bogor.

Thorpe’s, J.F. dan M.A. Whiteley. 1954. Thorpe Dictionary of Applied Chemistry. Volume II. 4thed. Longmans, Green and Co., London.

Wade, A. 1974. Martindale : The Extra Pharmacopeia 11th Edition. The Pharmaceutical Press, London.

Wilson, K.C. dan M.N. Clifford. 1992. Tea : Cultivation to Consumption. Chapman and Hall, London, New York.

(49)
(50)

Lampiran 1. Metode Analisa a. Kadar Air (AOAC, 1995)

Sebanyak 5 gram serbuk bahan ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan aluminium kering yang telah diketahui bobotnya. Cawan berisi serbuk dikeringkan dalam oven suhu 105°C selama 6 jam. Setelah itu cawan dimasukkan ke dalam desikator hingga suhunya sama dengan suhu kamar. Cawan kemudian ditimbang untuk mengetahui bobot akhir. Setelah bobot konstan, kadar air dapat dihitung dengan rumus :

b. Kadar Nitrogen secara Mikro Kjeldahl

Sebelum melakukan uji mikro kjeldahl, larutan kafein dicampur dengan 5 ml larutan TCA (Trichloro acetic acid) 5% untuk mengendapkan protein yang ikut terlarut kemudian disentrifuse selama 10 menit dengan kecepatan 3000 rpm. Larutan kafein yang sudah disentrifuse dipindahkan ke dalam labu kjeldahl dan ditambahkan 2,5 ml H2SO4 36 N dan katalis Na2SO4-CuSO4 (6 : 5), kemudian

didestruksi sampai jernih. Larutan kemudian didestilasi dan dititrasi menggunakan H2SO4 0.02 N untuk mendapatkan jumlah nitrogen non protein. Kadar nitrogen

dari hasil titrasi dan kadar kafein yang ditentukan berdasarkan kada N secara mikro Kjeldahl dapat dihitung dengan rumus :

% N = (ml H2SO4 sampel – ml H2SO4 blangko) × N H2SO4 ×14 × 100 %

gram sampel × 1000

% Kafein (C8H10N4O2) dalam bahan = % N × 3,464 (faktor konversi)

Ket : C = 12 H = 1 N = 14 O = 16 Bobot jenis kafein (C8H10N4O2) = 194

= % 100 (gram) Awal Berat (gram) Akhir Berat -(gram) Awal Berat Air Kadar = × 3,464 56 194 = nitrogen jenis bobot kafein jenis bobot konversi Faktor =

Gambar

Tabel 1.  Komposisi nitrogen dalam daun teh
Gambar 1. Struktur kafein
Tabel 3. Kandungan kafein pada beberapa produk
Tabel 4. Beberapa jenis pelarut organik  Pelarut organik  Struktur  Titik didih
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kotak kemasan yang sudah dibentuk, dalamnya dialasi dengan kertas irsad.Tujuan pemberian kertas irsad ini adalah agar produk yang sudah dikemas dapat menyerap

dengan visualisasi rambut yang tergerai indah dan seakan-akan menghipnotis para penontonnya untuk menginginkan dapat memiliki rambut indah seperti Anggun.. endorser yang

Nilai MSE dari model estimasi Kernel konvensional adalah 639203.308 lebih besar dari nilai MSE model estimasi Kernel hasil transformasi prewhitening yaitu

1) Ketidak sanggupan keluarga mengenal masalah penyakit hipertensi berhubungan dengan ketidaktahuan tentang gejala hipertensi. 2) Ketidaksanggupan keluarga dalam mengambil

Pada pengujian kuratif dan preventif perlakuan ekstrak daun kangkung 20% tidak berpengaruh nyata terhadap masa inkubasi penyakit busuk buah Fusarium pada buah tomat

Perlu anda ketahui, bahwasanya port yang terhubung pada komputer adalah jenis A- Male, sementara port arduino UNO membutuhkan jenis B-Male. Jadi perhatikan baik-baik jenis port

Namun instrumen pelayanan kesehatan hewan gratis yang diberlakukan tidak mendukung tujuan yang telah ditetapkan karena membatasi pelayanan yang diberikan kepada peternak;

Perilaku spesies Anopheles yang diamati adalah perilaku menggigit (biting behavior) dan istirahat (resting behavior). Perilaku menggigit spesies Anopheles disebut