• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ornament of 17th Century Terwengkal Artifacts in Batik Banten Motif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Ornament of 17th Century Terwengkal Artifacts in Batik Banten Motif"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

A.04 | 1

RAGAM HIAS ARTEFAK TERWENGKAL ABAD 17 DALAM MOTIF BATIK BANTEN

Ornament of 17th Century Terwengkal Artifacts in Batik Banten Motif

Dina Noventin Maghdalena¹, Yan Yan Sunarya², danImam Santosa²

¹Mahasiswa Magister Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung ²Dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung

Korenspondesi Penulis

Email : dnoventin@gmail.com

Kata kunci: artefak, batik, ragam hias, terwengkal Keywords: artifact, batik, ornament, terwengkal

ABSTRAK

Penemuan artefak Terwengkal abad 17 di wilayah Banten sejalan dengan penemuan ragam hias yang menjadi cikal bakal terbentuknya motif Batik Mukarnas khas Banten. Ditemukan pada 1976 dan ditindaklanjuti pada tahun 2002, artefak Terwengkal memiliki ragam hias yang dekoratif dan khas, unik, serta tidak ditemukan di tempat lain. Oleh sebab itu, artefak Terwengkal disahkan sebagai artefak khas Banten oleh pemerintah pada tahun 2003. Sebagai wujud heritage yang dimiliki Banten dari zaman Kerajaan Islam, kini ragam hias artefak Terwengkal dikembangkan menjadi motif Batik khas Banten oleh Uke Kurniawan melalui Griya Batik Banten. Tujuannya, agar masyarakat Banten sendiri mengetahui ornamen yang terdapat di tanah Banten dan dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat melalui motif batik. Selain itu, Banten belum memiliki motif batik yang khas sebagai identitas daerah. Metode penelitian kualitatif dengan pendekatan estetik digunakan untuk menganalisis ragam hias artefak Terwengkal abad 17 yang terdapat pada motif Batik Banten, khususnya motif sebakingking, motif pancaniti, danmotif surosowan. Pengembangan motif batik khas Banten dilakukan dengan cara menstilasi ragam hias dan kemudian menggabungkannya menjadi satu corak utama dan corak pendukung. Jenis ragam hias yang ditemukan lebih banyak berbentuk flora, geometris, dan alam benda. Banyaknya jumlah dan jenis ragam hias pada artefak Terwengkal memberi kebebasan dalam mengembangkan dan menyusun motif batik, dari corak utama, pinggiran, maupun isen-isen.

ABSTRACT

The discovery of the 17th century Terwengkal artifact in the Banten region was in line with the discovery of the ornament styles that will became the forerunner to the typical Banten Mukarnas Batik motif. First discovered in 1976 and followed up in 2002, The Terwengkal artifact has a unique ornament which is not be found anywhere. Therefore, the Terwengkal artifact was approved as a typical Banten artifact by the government in 2003. As a form of Banten heritage since the Islamic empire era, now the ornamental of terwengkal artifacts has been developed into a typical Banten Batik motif by Uke Kurniawan. Therefore, the people will know about ornaments originated from Banten land and the ornaments can be easily accepted by Bantenese through batik motifs. Banten does not have a batik motif as a regional identity. This research uses qualitative method supported by aesthetic approaches to analyze the ornament terwengkal artifacts found in Banten Batik motifs. Particularly sebakingking motif, pancaniti motif, and surosowan motif. Development were made by stabilizing ornament styles and then combining them into one main and supporting motif. The types of decoration found are mostly in the form of flora, geometric and natural objects. Many types of decoration in abandoned artifacts give freedom in developing and composing batik motifs, from the main pattern, the edges, and isen-isen.

(2)

PENDAHULUAN

Pada masa Kerajaan Islam, Banten mengalami perkembangan dan pembangunan yang pesat karena letak geografis yang strategis dengan adanya pelabuhan, dibawah kepemimpinan Sultan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, dan Sultan Ageng Tirtayasa yang mencapai puncaknya. Perbaikan fasilitas membuat pelabuhan semakin ramai didatangi para pendatang asing maupun nusantara. Mayoritas para pendatang merupakan pedagang karena letaknya yang berada di jalur perdagangan internasional. Kebudayaan Banten semakin berkembang karena adanya pengaruh akulturasi budaya luar yang bersentuhan langsung dari para pendatang, sehingga memberikan keberagaman dalam perkembangan dan peninggalannya, sebagai bukti hasil kegiatan masyarakat yang tak ternilai.

Dalam dinamika budaya nasional, salah satu budaya lokal yang kini menjadi budaya nasional adalah batik. Saat ini, budaya batik dikaitkan dengan citra identitas Indonesia di mata dunia. Nama batik sendiri berasal dari bahasa jawa yaitu

amba

dan

nitik

yang bermakna menulis atau menggambar titik. Batik digunakan sebagai penyaluran ide dan kreasi yang memiliki arti tersendiri, kadang dihubungkan dengan tradisi, kepercayaan dan sumber kehidupan yang berkembang dalam suatu masyarakat (Benito Kodijat dalam Susanto, 1973). Kemudian, dalam tahap selanjutnya batik dapat dijadikan sebagai barang ekonomi berdasarkan nilai fungsinya. Berbicara mengenai batik dan sejarahnya sudah pasti yang terbayang adalah daerah Yogyakarta, Solo, Pekalongan, dan Cirebon karena dikenal sebagai daerah penghasil batik. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nugroho pada

Focus

Group Discussion

, batik yang ada di nusantara adalah hasil dari budaya masyarakat Jawa agraris. Seiring dengan perkembangan jaman, batik dihasilkan tidak hanya dari masyarakat agraris namun sudah luas sampai ke masyarakat pesisir. Sekarang ini, beberapa daerah di Indonesia sudah memiliki batik dengan ciri khas daerahnya sendiri, yang terwujud dalam bentuk motif batiknya. Oleh karena itu, dengan melihat motif pada kain batik, kita dapat mengenali perbedaan budaya dan ciri khas dari berbagai daerah.

Menurut Mundardjito, dkk (1986) pada tahun 1976, arkeolog Universitas Indonesia yang bekerja sama dengan arkeolog nasional melakukan penggalian atau ekskavasi untuk mendapatkan artefak-artefak Terwengkal, yaitu warisan budaya dari masa Kerajaan Islam di Banten abad 17. Lokasi penemuan artefak adalah di wilayah Sukadiri, Panjunan, Banten Lama, dan Banten Girang (Juliadi, 2005). Penemuan artefak saat itu menarik perhatian para arkeolog, tokoh masyarakat dan pemerintah. Kemudian, pada tahun 2002 dilakukan pengkajian guna mengetahui detail dari artefak dan didapatkan hasil 75 ragam hias dengan dekoratif yang khas, unik, dan tidak ditemukan di tempat lain. Guna kegiatan konservasi, maka pemerintah mengesahkan ragam hias artefak Terwengkal sebagai ragam hias khas Banten. Aplikasi ragam hias tersebut juga terdapat pada benda-benda dan arsitektur ketika masa kejayaan pemerintahan Islam Kesultanan Banten.

Sebagai wujud

heritage

yang dimiliki Banten dari zaman Kerajaan Islam, kini ragam hias artefak Terwengkal dikembangkan menjadi motif batik khas Banten. Sebab, Banten belum

(3)

A.04 | 3

memiliki motif batik yang khas sebagai identitas daerah. Hal tersebut diwujudkan oleh Panitia Peneliti dan Pengembang Batik Banten pada tahun 2003. Revitalisasi dilakukan dengan tujuan mengangkat nilai derajat ragam hias tersebut, sekaligus memperkenalkan dan menyampaikan dengan baik kepada masyarakat modern tentang salah satu

heritage

yang dimiliki Banten.

Pemilihan kain sebagai media menurut Al-Bantani (2012) dinilai mudah dan efektif guna melestarikan dan menyebarluaskan ragam hias melalui motif. Sebab, kain merupakan salah satu kebutuhan primer setiap individu. Pemilihan batik sebagai objek baru untuk revitalisasi ragam hias artefak, selain sebagai upaya penghidupan kembali batik di wilayah Banten, juga untuk mengembangkan tradisi membatiknya.

Ungkapan Soekamto (1985) tentang pemaknaan batik yakni orang akan merasakan denyut nadi dari semangat hidup bangsa Indonesia, keyakinannya, pandangan hidupnya, dan tujuan masa depannya. Berdasarkan pernyataan tersebut, menunjukkan betapa dalamnya falsafah yang terkandung dalam motif batik berdasarkan keyakinan, harapan, dan cita-citanya. Sehingga penciptaan motif batik tidak hanya tentang perpindahan ragam hias ke kain. Begitu halnya dengan Batik Banten, melalui penggambaran motifnya terdapat sebuah deskripsi sejarah tentang Banten yang kemudian diberikan sebagai nama motif pada batik. Seperti tempat-tempat bersejarah di Banten, kesultanan di Banten, dan lainnya. Namun belum ditemukan adanya pemaknaan yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat Banten.

Batik Banten dikelola langsung oleh Uke Kurniawan melalui Griya Batik Banten. Motif yang diciptakan dan telah disahkan pada tahun 2004 ditahap awal sebanyak dua belas motif. Diantaranya motif

kapurban

, motif

datulaya

, motif

surosowan

, motif

pasepen

, motif

mandhalika

, motif

srimangati

, motif

kawangsan

, motif

pasulaman

, motif

sabakingking

, motif

pancaniti

, motif

pamaranggen

, dan motif

pejantren

(Kurniawan, 2009). Motif-motif tersebut berhubungan dengan toponim desa, gelar, dan tempat dalam Kesultanan Banten.

Telah dijelaskan di atas bahwa dalam sehelai Batik Banten banyak menyimpan sejarah kebudayaan Banten, khususnya di masa Kerajaan Islam. Melalui pengembangan motif sebagai upaya pelestarian menjadi lagkah yang tepat agar generasi baru di era milenial ini mengetahui sejarah Banten, khususnya masyarakat Banten sendiri. Karena dunia saat ini sudah semakin tak terbatas ruang dan waktunya, budaya luar dapat dengan mudah masuk. Jika suatu masyarakat tidak mengetahui sejarah dan budayanya, secara perlahan mungkin masyarakat setempat akan kehilangan jati diri dan akar budayanya seperti nilai-nilai luhur berbasis kearifan budaya lokal sebagai falsafah dan pedoman hidup.

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan yaitu metode deskriptif dengan analisis data kualitatif. Pendekatan estetik digunakan untuk mengkaji visual ragam hias artefak Terwengkal dalam motif Batik Banten, menguraikan unsur-unsur estetik mencakup bentuk,

(4)

gagasan dan penamaan artefak yang dihubungkan dengan peristilahan dalam Bahasa Banten. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap data. Data-data yang digunakan berupa data primer (data visual) berupa ragam hias artefak Terwengkal dan Batik Banten. Data sekunder menggunakan wawancara, dokumen tertulis dan gambar yang relevan untuk memperkuat hasil analisis data. Teknik analisis data menggunakan cara reduksi, menyajikan, dan menarik kesimpulan dengan merujuk pada teori estetika dan pendekatan estetik.

HASIL DAN PEMBAHASAN Artefak Terwengkal

Pernyataan Koentjaraningrat (2004) tentang tiga wujud dan isi kebudayaan salah satunya adalah artefak berupa material kebudayaan yang dihasilkan dari aktivitas sosial. Maka artefak merupakan warisan sosial yang diturunkan dari kebudayaan terdahulu.

Dalam Bahasa Banten, istilah terwengkal diartikan sebagai potongan genteng untuk mengganjal tungku. Pada artefak Terwengkal, material temuan didapatkan dari gerabah dan keramik lokal, sebagian besar merupakan bagian-bagian dari wadah yang terdiri dari fragmen tepian, dasar, badan, leher, dan sebagian kecil fragmen unsur bangunan seperti memolo/hiasan puncak atap bangunan.

Gambar 1. Ragam Hias pada Gerabah/keramik lokal

Ragam hias artefak Terwengkal terdapat nomer yang berfungsi sebagai penanda untuk membedakan antara satu jenis ragam hias dengan ragam hias lainnya, karena memang belum diketahui nama atau istilahnya. Hal tersebut diperjelas oleh Drs. Sonny Chr. Wibisono, M.A., DEA. dan rekannya yang menjelaskan bahwa dalam pemberian nama pada ragam hias bukanlah ranah wajib para arkeolog. Selain itu laporan penjelasan temuan ragam hias artefak Terwengkal pada tahun 1976 disusun dalam Berita Penelitian Arkeologi No. 18. Penjelasan tersebut terkait lokasi penemuan terwengkal, penemuan anatomi terwengkal, teknik pembuatan hiasan, dan klasifikasi bentuk ragam hias.

(5)

A.04 | 5

Gambar 2. 75 Ragam Hias Artefak Terwengkal

Dahulu, ragam hias artefak Terwengkal tidak hanya diaplikasikan pada gerabah saja, namun juga ditemukan pada tempat tinggal, tempat peribadahan kuno, makam kuno, dan wilayah pemerintahan atau perkantoran. Selain pada bangunan kuno, ragam hias ditemukan juga pada bangunan baru seperti gerbang di alun-alun Kota Serang dan Museum Banten.

(6)

Gambar 3. Aplikasi Ragam Hias Artefak Terwengkal pada Bangunan dan Mebel

Dalam wawancara bersama Uke Kurniawan (2019) dijelaskan bahwa ragam hias artefak Terwengkal dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu kategori keramik/guci, kategori kehidupan laut, serta kategori kebutuhan dan kehidupan manusia.

1. Kategori keramik/guci. Ragam hias pada kategori ini sering ditemukan sebagai ragam hias gerabah, didominasi oleh bentuk kembang dan

bunder

. Ragam hias yang termasuk dalam kategori ini adalah no. 1 sampai dengan no. 31.

2. Kategori kehidupan laut, wujud ragam hias pada kategori ini didominasi oleh bentuk yang berkaitan dengan laut dan sekitarnya, seperti kerang-kerangan dan gelombang, yang termasuk dalam kategori ini adalah ragam hias no. 32 sampai dengan no. 41, serta no. 60.

3. Kategori kebutuhan dan kehidupan manusia. Wujud ragam hias pada kategori ini berkaitan dengan manusia (dalam hal ini adalah masyarakat Banten) baik kebutuhan, kehidupan, maupun anatominya. Ragam hias yang termasuk dalam kategori ini adalah ragam hias no. 42 sampai dengan no. 59. dan no. 61 sampai dengan no. 75.

Proses Pengembangan Ragam Hias Artefak Terwengkal

Pengembangan ragam hias artefak Terwengkal menghasilkan pola motif batik yang dilakukan dengan cara eksperimentasi penggabungan beberapa ragam hias tunggal hingga menjadi satu kesatuan ragam hias tunggal yang baru. Contohnya pada ragam hias nomer 63, digabungkan dengan ragam hias kreasi bentuk daun panjang hingga menghasilkan bentuk berupa bunga tangkai. Kemudian penggabungan antara ragam hias nomer 66 dengan nomer 52.

Pada ragam hias yang baru kemudian dilakukan pengulangan hingga menghasilkan sebuah pola dengan pendekatan cara

unitary

pattern

(ragam hias tunggal) dan

repeating

pattern

(pola pengulangan yang dapat diprediksi), dengan menggunakan pola susunan berputar. Alur pengecapan

raport

pada kain menggunakan pola jalan sama.

Desain Batik Banten banyak menggunakan motif geometris, oleh karena itu dalam pembuatan batiknya dapat menggunakan teknik cap. Penggunaan cap dilakukan dengan membagi bidang menurut pembagian

raport

. Gambar dibawah ini adalah contoh dari

(7)

A.04 | 7

pembagian

raport

yang menjadi desain untuk membuat canting cap. Garis kotak-kotak digunakan sebagai ukuran agar motif yang dibuat pada canting cap presisi.

Tabel 1. Proses Pengembangan Ragam Hias Artefak Terwengkal

Proses Sketsa gambar

Penggabungan Ragam Hias Nomer 63

Penggabungan Ragam Hias Nomer 66 dan nomer 52

Pengulangan Ragam Hias Tunggal Menjadi Motif Baru

Pengulangan Motif Menjadi Sebuah Pola

Ragam Hias Artefak Terwengkal dalam Motif Batik Banten

Ragam hias termasuk dalam hasil karya manusia yang memiliki nilai-nilai estetik atau keindahan. Selain nilai estetik, ragam hias juga memiliki nilai non estetik. Secara visual, nilai estetik pada ragam hias artefak Terwengkal dibagi menjadi dua. (1) Berdasarkan bentuk ragam hias artefak Terwengkal. Masing-masing bentuk dari ragam hias berbeda dan beragam sehingga banyak deskripsi dan jenis dari masing-masing bentuk. Perbedaan setiap bentuk dapat diamati berdasarkan titik, garis, bidang, dan tekstur. (2) Bentuk asal ragam hias. Setiap bentuk ragam hias memiliki bentuk asal yang menjadi inspirasi terciptanya bentuk baru melalui dekorasi, stilasi, penghalusan, dan abstraksi. Pada pembahasan non estetik adalah penamaan dari bentuk ragam hias. Ragam hias artefak Terwengkal belum memiliki nama, hanya ada nomor pada masing-masing ragam hias. Maka dari itu, pembahasan dalam ranah non estetik juga bertujuan untuk mendapatkan nama dari bentuk ragam hias artefak Terwengkal yang dibahas. Pemberian nama pada ragam hias diambil berdasarkan tumbuhan, alam benda, bentuk manusia, dan bentuk geometris seperti yang diperlihatkan pada Tabel 3, Tabel 5, dan Tabel 7.

(8)

Pembahasan secara umum terkait gerabah adalah warna dan komposisi. Warna pada gerabah biasanya didominasi warna merah-merah kecoklatan-coklat, tergantung dari kondisi tanah liat sebagai bahan produksi dan pembakaran. Sedangkan pada gambar ragam hias hanya ada hitam dan putih. Pemberian hitam dan putih berguna untuk menunjukan posisi tingkat kedalaman pada garis dan bentuk ragam hias. Komposisi dari ragam hias biasanya sejajar mengelilingi grabah, jika ukuran dari ragam hias kecil. Namun, jika ukuran ragam hias besar, hanya menempel pada satu sisi bagian gerabah.

Motif yang dibahas pada penelitian adalah motif yang disahkan pada tahun 2004 (pengesahan motif pada tahap pertama). Fokus pemilihan motif batik berdasarkan kategorisasi ragam hias artefak Terwengkal pada kelompok kehidupan dan kebutuhan manusia. Pada uraian artefak Terwengkal, wujud ragam hias kelompok kehidupan dan kebutuhan tentu berkaitan dengan manusia seperti kebutuhan, kehidupan, maupun anatominya. Ragam hias yang termasuk dalam kategori kehidupan dan kebutuhan adalah ragam hias no. 42 sampai dengan no. 59. dan no. 61 sampai dengan no. 75.

Ragam Hias pada Motif

Sabakingking

Tabel 2. Bagian Kain pada Motif Sabakingking

Motif Sabakingking Badan Kain Corak Utama

Produksi : 2019 Bahan : katun prima

Teknik : batik cap Ukuran : 2,3 m x 11,5 m Fungsi : kain panjang, kain

bawahan, bahan pakaian

Corak Tambahan

Pinggiran Kain Corak Pinggir

(9)

A.04 | 9

Penempatan ragam hias pada kain batik motif

sabakingking

dibagi berdasarkan (1) badan kain, dan (2) pinggiran kain. Penggunaan ragam hias artefak Terwengkal pada bagian badan kain terdapat corak utama dan corak tambahan (

isen

). Ragam hias yang menjadi corak utama adalah ragam hias no. 61 dan ragam hias no. 20. Sedangkan

isen-isen

adalah

bejek-bejek

(titik-titik),

bejek telu

(titik tiga), dan

putik sari

. Posisi ragam hias jika dilihat dari arah vertikal dan horizontal yaitu sejajar.

Tabel 3. Identifikasi Ragam Hias Artefak Terwengkal pada Motif Batik Sabakingking

No. Rag-am Hias Sketsa Ragam Hias Ragam Hias di Gerabah Deskripsi Bentuk Ragam Hias Bentuk Asal / Sumber Ragam Hias Jenis Ragam Hias Nama Ragam Hias 20 Bunga berbentuk persegi dengan 6 kelopak, garis ditengah kelopak, 2 lingkaran polos ditengah (1 garis tebal, 1 garis paling tengah tipis). Serta 2 lingkaran diluar, atas-bawah Ragam hias flora Kembang mlati 61 Berupa tumpal berbulu. yang terinspirasi dari tunas bambu (pucuk rebung) Ragam

hias flora Tumpal sorot

Pengembangan ragam hias pada motif

sabakingking

, menggunakan penggabungan ragam hias itu sendiri dengan teknik cermin kemudian menambahkan

isen

cecek-cecek

di dalamnya (no. 61) dan perubahan serta penambahan bentuk baru (no. 19).

(10)

Gambar 4. a) Pengembangan Ragam Hias No. 61 (Tumpal Sorot), b) Pengembangan Ragam Hias No. 20 (Kembang Mlati)

Ragam Hias Pada Motif

Pejantren

Tabel 4. Bagian Kain pada Motif Pejantren

Motif Pejantren Badan Kain Corak Utama

Produksi : 2019 Bahan : katun prima

Teknik : batik cap Ukuran : 2,3 m x 11,5 m Fungsi : kain panjang, kain

bawahan, bahan pakaian

Corak Tambahan

Pinggiran Kain Corak Pinggir

Corak Tambahan

Penempatan ragam hias pada kain batik motif

pejantren

dibagi berdasarkan (1) badan kain, dan (2) pinggiran kain. Penggunaan ragam hias artefak Terwengkal pada bagian badan kain terdapat corak utama dan corak tambahan (

isen

). Ragam hias yang menjadi corak utama adalah ragam hias nomer 6, 19, 24, dan 66. Sedangkan

isen-isen

terdiri dari

sulur

,

(11)

A.04 | 11

Tabel 5. Identifikasi Ragam Hias Artefak Terwengkal pada Motif Batik Pejantren

No. Rag-am Hias Sketsa Ragam Hias Ragam Hias di Gerabah Deskripsi Bentuk Ragam Hias Bentuk Asal / Sumber Ragam Hias Jenis Ragam Hias Nama Ragam Hias 6 Belah ketupat berbentuk bunga dan 2 lingkaran diluar, atas-bawah Ragam hias flora Godong ati 19 Persegi berbentuk daun dengan 4 kelopak dan menggunakan garis zigzag. Ada dua lingkaran polos diluar, atas-bawah Ragam hias flora Wit kestelē 24 Berbentuk lingkaran bunga dengan 8 kelopak dan 2 lingkaran polos diluar, atas-bawah Ragam hias flora Kembang lawang 66 Semua sisi bergaris gelombang, pada bagian atas terdapat lima gelombang dengan bagian sisi kanan-kiri melengkung lebih dalam. pada bagian bawah terdapat 3 gelombang. ditengah bidang terdapat 3 garis. Ragam hias flora Kembang cengkeh

(12)

Pengembangan ragam hias yang terdapat pada motif batik

pejantren

dilakukan dengan cara eksperimentasi dan kreativitas dalam menggabungkan bentuk baru dan penambahan isen-isen. Ragam hias yang dijadikan corak utama, pada bagian tepi luar ditambahkan isen

godong tumpuk

sehingga menjadi satu kesatuan ragam hias tunggal yang baru dan keselarasan visual ketiga corak utama dalam motif batik

pejantren

.

Gambar 9. Pengembangan Ragam Hias No. 19 (Wit Kestelē) dan Ragam Hias No. 6 (Godong Ati)

Gambar 10. Pengembangan Ragam Hias No. 24 (Kembang Tanjung)

Gambar 11. Pengembangan Ragam Hias No. 66 (Kembang Cengkeh)

Ragam Hias Pada Motif

Srimanganti

Tabel 6 Bagian Kain pada Motif Srimanganti

Motif Srimanganti Badan Kain Corak Utama

Produksi : 2018 Bahan : katun prima

Teknik : batik cap

(13)

A.04 | 13 Ukuran : 2,3 m x 11,5 m

Fungsi : kain panjang, kain bawahan, bahan pakaian

Pinggiran Kain Corak Pinggir

Corak Tambahan

Penempatan ragam hias pada kain batik motif

srimanganti

dibagi berdasarkan (1) badan kain, dan (2) pinggiran kain. Penggunaan ragam hias artefak Terwengkal pada bagian badan kain terdapat corak utama dan corak tambahan (

isen

). Corak utama dalam motif

srimanganti

dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian 1) ragam hias no. 57, 2) ragam hias no. 37, dan 3) ragam hias no. 53. Sedangkan

isen-isen

adalah

gringsing

,

bejek-bejek

(titik-titik),

bejek pitu

(titik tujuh), ragam hias no. 52 dan ragam hias no. 64.

Tabel 7. Identifikasi Ragam Hias Artefak Terwengkal pada Motif Batik Srimanganti

No. Rag-am Hias Sketsa Ragam Hias Ragam Hias di Gerabah Deskripsi Bentuk Ragam Hias Bentuk Asal / Sumber Ragam Hias Jenis Ragam Hias Nama Ragam Hias 37 Garis lengkung setengah lingkaran yang diletakkan sejajar dan berhadapan (cembung dan cekung) Ragam hias geometris Tanjak Mundun 52 Bentuk api dengan 3 gelombang di tengah Ragam hias alam benda Kembang gēni 53 Gabungan Tumpal bergerigi segi empat dan setengah bulatan Ragam hias alam benda Kelambi Ajeg

(14)

57 - Berbentuk tumpal bergerigi ganda dan ceplok lingkaran serta setengah bulatan dalam lingkaran Ragam hias alam benda Kelambi Lan Periasan 64 Garis gelombang sejajar atas-bawah Ragam hias geometris Ombak-ombakan

Pengembangan ragam hias pada motif batik

srimanganti

dilakukan dengan cara eksperimentasi perubahan bentuk ragam hias tunggal dan penggabungan

isen-isen

hingga menjadi satu kesatuan ragam hias tunggal yang baru (sebagai corak utama). Untuk mencapai kesatuan dan keselarasan pada motif, terdapat

isen

cecek-cecek

pada setiap coraknya.

Gambar 12. Pengembangan Ragam Hias No. 57 (Kelambi lan Periasan)

Gambar 13. Pengembangan Ragam Hias No. 37 (Tanjak Mundun)

(15)

A.04 | 15

Gambar 15. Pengembangan Ragam Hias No. 64 (Banyu Ombak)

Gambar 16. Pengembangan Ragam Hias No. 52 (Kembang Geni)

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Pengembangan motif batik yang terinspirasi dari ragam hias artefak Terwengkal abad 17 memiliki keunggulan, seperti dalam hal keunikan, kelangkaan, kebudayaan, warisan leluhur, dan kekayaan daerah. Tujuan utama tentu sebagai upaya pelestarian warisan seni dan budaya yang terdapat di tanah Banten. Artefak Terwengkal yang dimaksud berupa potongan-potongan gerabah. Ragam hias yang terdapat pada gerabah berfungsi sebagai ornamen dan dekorasi. Jenis ragam hias yang ditemukan lebih banyak berbentuk flora, geometris, dan benda alam. Banyaknya jumlah dan jenis ragam hias pada artefak Terwengkal memberi kebebasan dalam mengembangkan dan menyusun motif batik, dari corak utama, pinggiran, maupun isen-isen. Seperti pengembangan ragam hias menjadi corak pada motif batik

sabakingking

, motif batik

pejantren

, dan motif batik

srimanganti

banyak dilakukan dengan eksperimen perubahan, penggabungan, dan penambahan ragam hias tunggal ataupun dengan

isen-isen

.

Saran

Beberapa contoh ragam hias artefak Terwengkal abad 17 yang diaplikasikan menjadi motif Batik Banten dari penelitian ini masih terbatas, baik identifikasi ragam hias artefak maupun susunan ragam hias sebagai motif batik. Sehubungan dengan hal itu, perlu dilakukan kajian lanjutan terkait sejarah ragam hias artefak Terwengkal abad 17 di Banten untuk mengetahui keabsahan ragam hias tersebut.

KONTRIBUSI PENULIS

Dina Noventin Maghdalena, Yan Yan Sunarya, dan Imam Santosa selaku kontributor utama dalam penulisan ini.

(16)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing Bapak Dr. Yan Yan Sunarya S.Sn.,M.Sn. selaku Pembimbing I dan Dr. Imam Santosa M.Sn. selaku Pembimbing II. Kepada Program Studi Magister Desain Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung, pihak pemberi beasiswa, Griya Batik Mukarnas Banten, Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama, dan pihak yang telah banyak membantu dalam kegiatan penulisan artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Bantani, T. N. (2012). Batik Banten Mukarnas: Transformasi Motif Terwengkal ke Motif Kain. Banten: Yayasan Sengpho Banten.

Juliadi., dkk. (2005). Ragam Pusaka Budaya Banten. Serang: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang

Koentjaraningrat. (2004). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kurniawan, U. (2009). These Clothes Tell Stories. Banten: Penerbit Pribadi.

Mundardjito., Ambary, H. M., Djafar, H., (1986). Berita Penelitian Arkeologi No. 18: Laporan Penelitian Arkeologi Banten 1976. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.

Susanto, S. (1973). Seni Kerajinan Batik Nusantara. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan LPI.

Gambar

Gambar 1. Ragam Hias pada Gerabah/keramik lokal
Gambar 3. Aplikasi Ragam Hias Artefak Terwengkal pada Bangunan dan Mebel
Tabel 1. Proses Pengembangan Ragam Hias Artefak Terwengkal
Tabel 2. Bagian Kain pada Motif  Sabakingking
+6

Referensi

Dokumen terkait

Namun pada PM 24 Tahun 2015, mengenai Standar Keselamatan Perkeretaapian, Pasal 45, disebutkan bahwa untuk ketentuan pengamanan dan keselamatan harus disediakan

Demikian pula sebaliknya, adanya investasi yang terlalu kecil dalam persediaan akan mempunyai efek yang menekan keuntungan perusahaan karena kekurangan bahan baku,

Prostaglandin dalam lambung merupakan sitoprotektor, akibat sintesisnya yang berkurang karena hambatan aspirin maka ketahanan mukosa (faktor defensif) lambung

bahwa berdasarkan hasil kaji i~lang dinyatakan bal-wva Standar Nasiot~al 11-~donesia (SNI) yany sudah tidak layak, tidak diperlukan, dan tidak sesuai dengan

Berdasarkan pada uraian ini, baik studi kelayakan maupun evaluasi proyek sama-sama bertujuan untuk menilai kelayakan suatu gagasan usaha/proyek dan hasil dari penilaian kelayakan

Similarly, the concept of the symbolic use of knowledge tends towards the dominance of political rationality as it assumes the relevant politico- administrative actors tap and

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh variabel kualitas sumber daya manusia, sistem informasi pengelolaan keuangan daerah, pemanfaatan teknologi informasi