• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruhnya Terhadap Efisiensi Ekonomi, Tingkat Persaingan

IV. LESSONS TO BE LEARNED

4.2. Pengaruhnya Terhadap Efisiensi Ekonomi, Tingkat Persaingan

4.2.1. Pengaruhnya terhadap penerimaan riil devisa

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat ternyata meningkatkan penerimaan riil devisa Indonesia dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian. Pada periode 1985 sampai 1997, total devisa yang diperoleh Indonesia dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian berturut-turut meningkat sebesar 2 persen dan 16 persen dibandingkan total devisa yang diperoleh tanpa larangan ekspor kayu bulat (lihat Tabel 8). Tetapi peningkatan penerimaan riil devisa dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan devisa akibat dihentikannya ekspor kayu bulat, yaitu sebesar 7,5 milyar USD (nilai konstan 1985).

Dampak kombinasinya menyebabkan penerimaan riil devisa dari ekspor produk perkayuan secara total berkurang sebesar 6 milyar USD, atau dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat penerimaan ekspor Indonesia dari produk perkayuan, dihitung dalam nilai riil, berkurang sebanyak 12 persen. Disamping itu, pemerintah Indonesia juga sesungguhnya mengalami kerugian tambahan , yaitu hilangnya total penerimaan pajak ekspor kayu bulat (export revenue foregone) Temuan ini selaras dengan hasil yang ditemukan oleh Fitzgerald (1986), Sidabutar (1988), Lindsay (1989), dan Manurung dan Buongiorno (1997), yang memperkirakan perolehan Indonesia dari pertambahan ekspor produk kayu olahan lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan ekspor yang hilang karena dilarangnya ekspor kayu bulat.

4.2.2. Pengaruhnya terhadap nilai tambah

Nilai tambah kotor (gross value-added) yang terjadi akibat kayu bulat diolah menjadi kayu lapis atau kayu gergajian dapat diukur dari selisih harga ekspor f.o.b. ekivalen kayu bulat yang dipergunakan untuk menghasilkan kayu olahan tersebut dengan harga ekspor f.o.b. kayu bulat. Tabel 9 menunjukkan bahwa pada periode 1985 sampai 1997 total nilai tambah kotor pada industri kayu lapis dan kayu gergajian selalu lebih tinggi dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Total kumulatif nilai tambah kotor pada industri kayu lapis dan industri kayu gergajian berturut-turut 12 persen (atau 3 milyar USD) dan 9 persen (atau 2,6 milyar USD) lebih tinggi ketika larangan ekspor kayu bulat diberlakukan. Meskipun harga kedua produk tersebut menurun ketika larangan ekspor kayu bulat diberlakukan (Tabel 5), penurunan harga kayu bulat domestik (18 persen) yang lebih tinggi daripada penurunan harga kayu olahan (3 persen untuk kayu lapis dan 1 persen untuk kayu gergajian) menyebabkan peningkatan produksi kayu olahan sehingga total kumulatif nilai tambah kotor ini meningkat.

Besarnya nilai tambah kotor yang sebenarnya diperoleh oleh Indonesia lebih kecil daripada yang disebutkan di atas mengingat nilai tambah kotor tersebut masih harus dikurangi dengan total biaya input yang diimpor, seperti misalnya: biaya mesin, biaya kapital, biaya bahan baku penolong, dan biaya tenaga kerja asing, yang total nilainya tidak diketahui.

4.2.3. Pengaruhnya terhadap tenaga kerja

Tabel 10 menunjukkan jumlah tenaga kerja (number of employees) tahunan yang terlibat langsung dalam kegiatan pembalakan kayu (logging) dan industri pengolahan kayu (sawmilling dan plymilling) pada kondisi dengan dan tanpa larangan ekspor kayu bulat. Jumlah tenaga kerja diturunkan dari angka volume produksi produk perkayuan dikalikan dengan rata-rata input tenaga kerja yang diserap dalam sektor kehutanan Indonesia. Sidabutar (1988) mencatat bahwa jumlah tenaga kerja yang diserap per 1000 m3 kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis, masing-masing sebesar: 2,5; 4,8 dan 12,9 hari orang kerja.

Dengan asumsi bahwa jumlah tenaga kerja langsung yang diserap proporsional dengan jumlah produk perkayuan yang dihasilkan, maka pada periode 1985 sampai 1997, dengan larangan ekspor kayu bulat, jumlah tenaga kerja langsung

yang diserap oleh industri kayu lapis dan industri kayu gergajian adalah berturut-turut 4876 tenaga kerja dan 1045 tenaga kerja lebih tinggi. Ini berarti, kebijakan tersebut mampu menciptakan sedikit lapangan pekerjaan melalui pembangunan industri pengolahan kayu. Tetapi, pada periode yang sama, jumlah total lapangan kerja yang diciptakan oleh industri pengolahan kayu tidak mampu mengkompensasi kehilangan sekitar 11791 tenaga kerja pada sektor pembalakan kayu bulat.

Komposisi angkatan kerja juga berubah. Sebelumnya, industri pembalakan kayu sepenuhnya mempekerjakan laki-laki yang biasanya adalah pencari nafkah dalam masyarakat Indonesia. Namun setelah berkembangnya industri kayu lapis lebih dari setengah tenaga kerja adalah perempuan usia muda yang tidak mempunyai keahlian, yang dibayar sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (BPS, 2000). Jadi, sesungguhnya kebijakan larangan ekspor kayu bulat merugikan bila dinilai dari distribusi pendapatan, dan kebijakan tersebut mengeksploitasi perempuan.

Temuan ini menyarankan bahwa dalam hal menciptakan kesempatan kerja, lebih baik bagi Indonesia bila menerapkan kebijakan pengembangan industri pengolahan kayu yang kurang agresif, dengan memperbolehkan ekspor kayu bulat, dan menginvestasikan perolehan penerimaan ekspor produk perkayuan yang lebih besar (yang dapat diperoleh tanpa larangan ekspor kayu bulat) dalam kegiatan ekonomi tertentu guna menciptakan kesempatan kerja yang baru.

4.2.4. Pengaruhnya terhadap nilai tegakan

Nilai tegakan (stumpage value) merupakan nilai implisit dari tegakan pohon di hutan. Nilainya diperkirakan dengan cara mengurangkan nilai kayu olahan yang dapat dihasilkan dari kayu bulat dengan seluruh biaya pemanenan kayu, biaya pengangkutan kayu ke pabrik, dan biaya pengolahan kayu bulat tersebut. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Handadhari (1991), nilai tegakan besarnya sekitar 47 persen dari harga kayu bulat di halaman pabrik. Dengan menggunakan angka ini, Tabel 11 memperlihatkan bahwa pada tahun 1985 sampai 1997, total nilai tegakan di hutan alam berkurang sebesar 33 persen (dalam US dollar nilai tegakan 5,5 milyar USD lebih rendah). Berkurangnya nilai tegakan disebabkan oleh harga kayu bulat domestik yang lebih murah dan berkurangnya jumlah produksi kayu bulat (Tabel 5).

Nilai tegakan yang lebih rendah (harga kayu bulat domestik yang lebih rendah) sebagai akibat diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat telah menjadi insentif untuk membangun kapasitas industri pengolahan kayu baru yang berlebihan dan menambah limbah bahan baku kayu. Disamping itu, nilai tegakan yang lebih rendah juga mengurangi insentif untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan mendorong pemanenan hutan tropis secara sangat selektif (mencari dan menebang pohon-pohon berdiameter besar dan yang mempunyai nilai komersial yang tinggi; high grading) dengan meninggalkan banyak sekali limbah kayu di hutan. Hal ini merupakan contoh kebijakan kehutanan yang menyebabkan cepat habisnya sumber daya hutan. Kurangnya penghargaan terhadap hasil hutan non kayu yang dapat dihasilkan dari hutan tropis memperkuat konsekuensi cepat habisnya sumber daya hutan Indonesia. Lebih lanjut, nilai tegakan yang lebih rendah juga menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah dari timber royalties.

4.2.5. Pengaruhnya terhadap daya saing (competitiveness)

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada awal dekade 80-an ternyata berhasil mengembangkan industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia serta merubah Indonesia dari eksportir kayu bulat tropis terbesar di dunia menjadi eksportir utama kayu tropis olahan. Harga kayu bulat domestik yang lebih murah memberikan keuntungan kepada pengusaha industri pengolahan kayu karena biaya produksi industri pengolahan kayu di dalam negeri menjadi lebih rendah. Sebagai hasilnya, produksi kayu lapis dan kayu gergajian di dalam negeri menjadi lebih menguntungkan seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan produksi kayu lapis (5%) dan produksi kayu gergajian (3%) pada periode 1985-1997 (Tabel 5).

Turunnya biaya produksi kayu lapis dan kayu gergajian menyebabkan daya saing produk perkayuan Indonesia di pasar internasional meningkat, sehingga pangsa pasar (market share) ekspor kayu olahan Indonesia meningkat selama dekade 80-an dan awal dekade 90-an. Untuk produk kayu lapis (hardwood plywood), pangsa pasar ekspor Indonesia meningkat dengan pesat, yaitu dari mendekati nihil pada tahun 1977 menjadi 11 persen pada tahun 1981, kemudian meningkat menjadi 46 persen pada tahun 1985, dan pada tahun 1992 meningkat menjadi 54 persen (FAO, 1994). Sementara itu, untuk produk kayu gergajian (hardwood sawnwood) pangsa pasarnya meningkat dari 6 persen pada tahun 1977 menjadi 16 persen pada tahun

1981, kemudian meningkat menjadi 27 persen pada tahun 1985. Namun, setelah diberlakukannya pajak ekspor kayu gergajian yang sangat tinggi pada Nopember 1989 pangsa pasar ekspor kayu gergajian Indonesia kembali turun. Pada tahun 1992 pangsa pasar ekspor kayu gergajian Indonesia hanya 7 persen (FAO, 1994).

Namun demikian, peningkatan daya saing (meningkatnya pangsa pasar ekspor) tersebut, yang utamanya disebabkan oleh biaya produksi kayu olahan yang lebih murah akibat harga bahan baku kayu bulat yang murah, harus dibayar dengan rusaknya sumber daya hutan Indonesia. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini disampaikan pada bagian tulisan berikutnya.

4.2.6. Pengaruhnya terhadap konservasi hutan alam

Tabel 5 memperlihatkan “dengan larangan ekspor kayu bulat” produksi kayu bulat Indonesia 18 persen lebih rendah dibandingkan “tanpa larangan ekspor kayu bulat”. Jadi, kebijakan larangan ekspor kayu bulat menghasilkan dampak langsung yang positip terhadap konservasi karena pembalakan kayu bulat berkurang. Namun demikian, seperti yang telah diterangkan pada bagian sebelumnya, turunnya harga kayu bulat domestik menyebabkan berbagai dampak negatif (disinsentif) terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan Indonesia, dan menyebabkan penghancuran sumber daya hutan Indonesia.

Fakta terjadinya kehancuran sumber daya hutan Indonesia dengan laju deforestasi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (khususnya selama periode berlakunya kebijakan larangan ekspor kayu bulat: 1985 sampai 1997, laju deforestasi rata-rata mencapai 1,6 – 1,8 juta hektar per tahun) menunjukkan bahwa manfaat langsung konservasi sebagai akibat berkurangnya produksi kayu bulat dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat dikalahkan oleh berbagai dampak negatif yang dihasilkan sebagai akibat harga kayu bulat domestik yang murah.

4.3. Pengaruhnya Terhadap Penebangan Liar

Dalam studi ini diasumsikan bahwa seluruh reported log production oleh HPH dipergunakan sebagai bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergajian. Volume kayu bulat hasil penebangan liar pada periode 1985 sampai 1997 berasal dari jumlah unreported log production oleh HPH ditambah dengan perkiraan volume kayu bulat hasil penebangan liar yang dilakukan oleh non-HPH dan masyarakat

lokal. Perkiraan jumlah total volume kayu bulat hasil penebangan liar yang dilakukan oleh non-HPH dan masyarakat lokal diasumsikan sama dengan jumlah kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian dikurangi oleh reported

and unreported log production oleh HPH pada periode tersebut, ditambah dengan

volume kayu bulat selundupan. Perlu diperhatikan bahwa volume kayu bulat hasil penebangan liar di sini tidak memperhitungkan volume kayu bulat hasil penebangan liar yang diserap oleh industri pulp dan kertas.

Tabel 12 memperlihatkan selama periode 1985-1997, dengan larangan ekspor kayu bulat, total konsumsi kayu bulat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergajian sebanyak 414 juta m3. Ekspor logs dilarang total. Sementera itu, jumlah produksi kayu bulat yang dilaporkan oleh HPH sebanyak 253 juta m3. Dengan demikian kekurangannya sebesar 161 juta m3 dianggap dipasok dari hasil penebangan liar. Dari total volume kayu bulat hasil penebangan liar ini, 150 juta m3 berasal dari penebangan liar yang dilakukan oleh HPH (yaitu sebanyak unreported log production HPH selama periode waktu tersebut), sedangkan kekurangannya sebanyak 11 juta m3 diasumsikan berasal dari penebangan liar yang dilakukan oleh non HPH dan/atau masyarakat lokal. Selanjutnya, dengan memperhitungkan total volume kayu bulat yang tercatat diselundupkan ke luar negeri (yaitu sebanyak 0,8 juta m3 (FAO, 2002); jumlah total volume kayu bulat yang sesungguhnya diselundupkan dan tidak tercatat selama periode 1985-1997 tidak diketahui), maka total volume kayu hasil penebangan liar selama periode 1985-1997 jumlahnya 161,8 juta m3, atau rata-rata 12,5 juta m3 per tahun (tanpa memperhitungkan kebutuhan kayu bulat oleh industri pulp dan kertas).

Tanpa larangan ekspor kayu bulat total produksi kayu bulat Indonesia selama periode 1985-1997 sebesar 506 juta m3, dimana 399 juta m3 dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu bulat untuk memproduksi kayu lapis dan kayu gergajian, sedangkan total volume kayu bulat yang diekspor sebanyak 107 m3. Sementera itu, jumlah produksi kayu bulat yang dilaporkan oleh HPH selama periode tersebut sebanyak 253 juta m3. Dengan demikian total volume kayu bulat hasil penebangan liar jumlahnya 253 juta m3 (atau rata-rata 19,5 juta m3/tahun) dimana 150 juta m3 berasal dari penebangan liar yang dilakukan HPH (unreported log

production), dan 103 juta m3 berasal dari penebangan liar yang dilakukan oleh non HPH dan/atau masyarakat lokal.

Jadi, total volume kayu bulat hasil penebangan liar jumlahnya lebih kecil dengan diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat, yaitu berkurang dari 253 juta m3 (tanpa larangan ekspor kayu bulat) menjadi 161,8 juta m3 (dengan larangan ekspor kayu bulat). Kesimpulannya, larangan ekspor kayu bulat dapat mengurangi penebangan liar, namun tidak dapat meniadakan penebangan liar. Dengan perkataan lain, penebangan liar di Indonesia tetap terjadi dengan atau tanpa larangan ekspor kayu bulat.

Penyebab utama terjadinya penebangan liar di Indonesia sesungguhnya karena supremasi hukum selama ini tidak dapat ditegakkan dan praktik KKN terus marak berlangsung. Praktik penebangan liar bahkan sudah terjadi sejak awal dimulainya kegiatan operasi pembalakan HPH. Permasalahan lain yang menyebabkan terjadinya penebangan liar adalah karena ketidakjelasan hak kepemilikan lahan hutan (land tenurial right problems) dan karena hak masyarakat adat (indigenous people) selama ini tidak dihormati dalam peraturan perundangan yang berlaku dan/atau mengatur tentang kehutanan di Indonesia.

Disamping itu, harga kayu bulat domestik yang murah sebagai akibat dari resultante berbagai kebijakan pemerintah yang salah (yang menyebabkan distorsi pasar produk perkayuan Indonesia) mendorong pembangunan kapasitas industri perkayuan yang berlebihan, sehingga kebutuhan bahan baku kayu meningkat tajam. Dipihak lain, harga kayu bulat yang murah menyebabkan praktek pengelolaan hutan lestari tidak dilakukan sehingga menyebabkan sumber daya hutan semakin hancur, dan persediaan kayu di hutan semakin menipis. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang (semakin) besar antara permintaan dan pasokan kayu bulat di dalam negeri, sehingga mendorong terjadinya pencurian kayu (penebangan liar) di hutan-hutan Indonesia.

Sementara itu, “dirangsang” oleh murahnya harga bahan baku kayu, total kapasitas industri perkayuan terus bertambah selama dekade 90-an, khususnya dengan meningkat pesatnya kapasitas industri pulp dan kertas di Indonesia. Pada waktu yang bersamaan tetap tidak ada perbaikan yang berarti dalam upaya merehabilitasi hutan alam yang telah rusak, sedangkan realisasi pembangunan hutan tanaman industri berjalan lambat. Kenyataan di atas bersamaan dengan fakta penegakkan hukum yang sampai sekarang masih terus lemah (bahkan sesungguhnya “tidak ada”) dan praktik penyakit kronis KKN yang terus marak berlangsung sampai

saat ini menyebabkan penebangan liar semakin bertambah besar. Disamping itu, penyelundupan kayu ke luar negeri pun semakin merajarela (tentang hal ini dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya). Pada tahun tahun 2000, volume kayu penebangan liar diperkirakan mencapai 40 juta m3 per tahun (FWI/GFW, 2002).

Penebangan liar (illegal logging) merupakan pembalakan kayu bulat yang melawan hukum dan peraturan yang ada/berlaku di Indonesia. Ada tiga kategori pelaku penebangan liar, yaitu: 1) penebangan liar yang dilakukan oleh perusahaan HPH, 2) penebangan liar yang dilakukan oleh “cukong pencuri kayu” yang tidak mempunyai ijin konsesi HPH dan/atau ijin pemungutan hasil hutan kayu, dan 3) penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk mata pencarian hidupnya. Dua kategori pelaku pertama melakukan penebangan liar dengan tujuan komersil, yaitu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Perusahaan pemegang ijin konsesi HPH sejak awal dimulainya kegiatan HPH biasa melakukan penebangan liar (over-cutting ), yaitu dengan cara memanen pohon di luar areal kerja yang telah ditentukan dalam suatu RKT (Rencana Karya Tahunan) HPH. Disamping itu, perusahaan HPH biasa melaporkan kepada pemerintah (Departemen Kehutanan) hasil produksi kayu bulat yang lebih rendah daripada yang sesungguhnya. Hariadi (2002) memperkirakan selama periode tahun 1977 sampai 1998, produksi kayu bulat yang tidak dilaporkan oleh perusahaan HPH (unreported

log production) rata-rata sebesar 12,8 juta m3 per tahun. Bentuk praktik penebangan liar lainnya yang biasa dilakukan oleh perusahaan HPH adalah “cuci mangkok”

(re-logging), yaitu melakukan kembali pembalakan kayu bulat di lokasi tebangan areal

kerja RKT tahun sebelumnya, sebelum masa konsesi HPH berakhir. Bahkan belakangan, ada perusahaan HPH yang melakukan praktik “cuci gudang”

(re-re-logging), yaitu kembali melakukan operasi pembalakan kayu bulat di bekas lokasi

tebangan “cuci mangkok” (Manurung, 2002).

Cukong pencuri kayu dan masyarakat lokal (pendatang) seringkali melakukan penebangan liar di areal konsesi HPH yang masih aktif, atau di areal konsesi HPH yang telah habis masa berlakunya (logged-over area). Disamping itu, penebangan liar juga dilakukan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

Keseluruhan volume kayu bulat yang berasal dari penebangan liar ini menambah jumlah pasokan kayu bulat di dalam negeri sehingga menyebabkan

“kelimpahan” pasokan kayu bulat domestik (kelimpahan semu), yang menyebabkan harga kayu bulat menjadi semakin murah.

Kebijakan pemerintah, selama dekade 80-an dan 90-an, yang secara resmi mengijinkan konversi hutan alam untuk berbagai keperluan program pembangunan (misalnya untuk program transmigrasi, pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar, pembangunan hutan tanaman industri) turut menambah pasokan kayu bulat domestik, yaitu melalui produksi kayu IPK (ijin pemanfaatan kayu). Tambahan pasokan kayu IPK ini semakin menyebabkan “kelimpahan semu” pasokan kayu bulat domestik sehingga mengakibatkan harga kayu bulat domestik menjadi (semakin) murah.

Pada akhir dekade 90-an hingga sekarang ini, kayu bulat hasil penebangan liar dilaporkan dijual seharga Rp 250 ribu/m3, sedangkan harga kayu bulat hasil operasi pembalakan kayu bulat resmi oleh HPH harganya sekitar Rp 600 ribu rupiah (Kompas, berbagai tanggal penerbitan). Penebangan liar menyebabkan potensi persediaan kayu di hutan semakin menipis akibat over-eksploitasi hutan yang sangat berlebihan selama bertahun-tahun, sementara rehabilitasi hutan praktis hampir tidak ada hasilnya. Hasil ini seharusnya menyebabkan kelangkaan kayu bulat. Menurut teori ekonomi, harga suatu barang (seharusnya) bertambah mahal bila terjadi kelangkaan. Namun demikian, karena pasokan kayu bulat hasil penebangan liar menyebabkan “kelimpahan semu” pasokan kayu bulat, maka yang terjadi adalah harga kayu bulat yang semakin murah. Konsekuensi logis atau harga yang harus dibayar adalah kehancuran sumber daya hutan Indonesia, bahkan bisa hancur total karena dikuras habis melalui kegiatan penebangan liar. Penegakan supremasi hukum yang lemah dan praktik KKN yang masih terus marak menyebabkan penebangan liar sulit untuk diberantas dan mempercepat proses kehancuran hutan.

Para pelaku dan kaki tangan yang terlibat dalam kegiatan penebangan liar, diantaranya: pembeli kayu illegal, pemegang HPH, investor yang mencari keuntungan cepat, pengusaha domestik maupun mancanegara yang berkolusi dalam perdagangan dan ekspor kayu illegal lintas batas, serta unsur-unsur dari instansi penegak hukum yang tidak jujur (Manurung 2001; ITTO 2001).

ITTO (2001) lebih lanjut mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penebangan liar kedalam dua kelompok, yaitu (a) penyebab langsung, seperti permintaan kayu bulat yang tidak dapat dipenuhi, keuntungan besar yang

diperoleh karena biaya produksinya rendah akibat tidak membayar iuran/pungutan dan tidak mengeluarkan biaya untuk perencanaan dan pembangunan infrastruktur, keinginan investor untuk memperoleh keuntungan dalam waktu yang singkat, lemahnya penegakan hukum, dan adanya pasar di luar negeri yang menampung kayu

illegal, dan (b) penyebab tidak langsung, seperti rendahnya resiko melakukan

kegiatan illegal, kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, konflik masalah tenurial, kurangnya koordinasi diantara sektor-sektor terkait, dan hak masyarakat hukum adat pada tingkatan lokal yang tidak dihormati atau tidak mendapatkan pengakuan.

4.4. Pengaruhnya Terhadap Penyelundupan Kayu

Besarnya volume kayu bulat yang diselundupan ke luar Indonesia tidak dapat diterangkan oleh hasil simulasi model pasar perkayuan Indonesia. Seperti yang telah dikemukakan pada bagian butir 4.3. di atas, tanpa larangan ekspor kayu bulat jumlah ekspor kayu bulat Indonesia selama periode 1985-1997 sebanyak 107 juta m3. Ekspor kayu bulat tanpa kebijakan larangan ekspor kayu bulat diasumsikan semuanya berasal dari hasil produksi HPH yang resmi (yaitu sebanyak 253 juta m3). Hal ini masuk akal untuk menghindari tuduhan konsumen (importer) melakukan ekspor kayu bulat illegal, yang dapat mengakibatkan “diboikot”-nya ekspor kayu bulat Indonesia oleh negara pengimpor (konsumen di luar negeri). Disamping itu, harga kayu bulat ekspor yang tinggi mendorong perusahaan HPH untuk memprioritaskan mengekspor kayu bulat, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu dalam negeri dipasok dari produksi kayu bulat HPH setelah dikurangi dengan volume kayu bulat yang diekspor. Kekurangan pasokan kayu bulat yang dibutuhkan untuk industri kayu lapis dan kayu gergajian dipasok dari hasil penebangan liar yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan penerimaan yang bisa dihasilkan dari ekspor kayu bulat ke pasar international.

Larangan ekspor kayu bulat menyebabkan harga kayu bulat yang lebih murah di dalam negeri (sebagai akibat diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat), sehingga ada perbedaan yang sangat besar dibandingkan dengan harga kayu bulat di pasar internasional. Hal ini menjadi pendorong untuk menyelundupkan kayu karena keuntungan yang dapat diperoleh dari kayu bulat yang berhasil diselundupkan sangat besar.

Kesimpulannya, larangan ekspor kayu bulat dapat menyebabkan penyelundupan kayu menjadi lebih besar karena keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu yang berhasil diselundupkan besar. Praktek penegakkan supremasi hukum yang lemah, dan terus maraknya praktik KKN yang dilakukan oleh petugas bea dan cukai serta aparat penegak hukum lainnya menyebabkan penyelundupan kayu sulit untuk diberantas.

4.5. Pengaruhnya terhadap Pembangunan Kapasitas Industri Pengolahan Kayu

Tabel 13 dan 14 memperlihatkan perkembangan pembangunan kapasitas industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia pada periode waktu sebelum dan sesudah diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Kapasitas industri kayu lapis dan kayu gergajian bertumbuh dengan pesat sejak diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada Mei 1980, bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah yang “memaksa” perusahaan HPH untuk membangun industri pengolahan kayu dengan inti industri kayu lapis.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dampak yang paling merugikan dari

Dokumen terkait