• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT PADA PERIODE TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU BULAT PADA PERIODE TERHADAP SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN LARANGAN EKSPOR KAYU

BULAT PADA PERIODE 1985-1997 TERHADAP

SEKTOR KEHUTANAN INDONESIA

Suatu Analisis Kritis

Paper for The World Bank - Jakarta

Oleh:

E.G. Togu Manurung, Ph.D

.

Fakultas Kehutanan - Institut Pertanian Bogor

Desember, 2002

(2)

Daftar Isi Hal. Executive Summary ………. i - x I. PENDAHULUAN ………. 1 1.1. Latar Belakang ………. 1

1.2. Tujuan dan Manfaat Studi ……… 4

II. METODOLOGI ……….. 5

2.1. Kerangka Analisis ……… 5

2.2. Struktur Model Pasar Produk Perkayuan Indonesia ……… 7

2.3. Data ……….. 9

2.4. Kalibrasi Model ……… 9

III. HASIL SIMULASI ………. 10

3.1. Simulasi Kondisi Pasar Tanpa Larangan Ekspor Kayu Bulat ……. 10

3.2. Pengaruhnya Terhadap Kuantitas dan Harga ……….. 11

IV. LESSONS TO BE LEARNED ………...……… 12

4.1. Pengaruhnya Terhadap Penurunan Harga Kayu Bulat Domestik … 13

4.2. Pengaruhnya Terhadap Efisiensi Ekonomi, Tingkat Persaingan dan Konservasi Hutan Alam ………. 14

4.2.1. Pengaruhnya terhadap penerimaan riil devisa ……… 14

4.2.2. Pengaruhnya terhadap nilai tambah ……… 15

4.2.3. Pengaruhnya terhadap tenaga kerja ……… 15

4.2.4. Pengaruhnya terhadap nilai tegakan ……… 16

4.2.5. Pengaruhnya terhadap daya saing (competitiveness) ……….. 17

4.2.6. Pengaruhnya terhadap konservasi hutan alam ………. 18

4.3. Pengaruhnya Terhadap Penebangan Liar ………..……. 18

4.4. Pengaruhnya terhadap penyelundupan kayu ……….. 23

4.5. Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Kapasitas Industri Pengolahan Kayu ……… 24

4.6. Pengaruhnya Terhadap Jaminan Ketersediaan Bahan Baku Kayu Domestik ………... 25

4.7. Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Hutan Tanaman (skala kecil dan HTI) ……… 26

4.8. Pengaruhnya Terhadap Dorongan Untuk Mengkonversi Hutan Alam .. 28

4.9. Pengaruh Terhadap Keuntungan HPH Sebagai Profit Center atau Sebagai Pemasok Industri Pengolahan Kayu Lanjutan yang Terintegrasi ……….. 29

(3)

4.10. Pengaruhnya Terhadap Kegiatan Penebangan Liar yang Dilakukan Oleh: Pemegang Konsesi HPH, Bukan

Pemegang Konsesi HPH dan Masyarakat Lokal ………... 29 4.11. Pengaruhnya Terhadap Efisiensi Pemanfaatan Hutan Alam ……... 30

4.12. Pengaruh Kebijakan Larangan Ekspor Kayu Bulat Terhadap

Prospek Solusi Alternatif Permasalahan Penebangan Liar …...…….. 31 V. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ……...……….... 32

DAFTAR PUSTAKA ……….………... 36 LAMPIRAN ... 37 -

(4)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pemerintah Indonesia kembali melarang ekspor kayu bulat melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Kehutanan Nomor: 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 292/MPP/Kep/10/2001, tertanggal 8 Oktober 2001. Tujuannya disebutkan untuk mencegah dimanfaatkannya kebijakan ekspor kayu bulat/bahan baku serpih oleh pelaku penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan gelap (illegal trading) yang mengancam kelestarian sumber daya hutan dan kerusakan lingkungan di Indonesia. Tujuan lainnya, yang tidak disebutkan dalam SKB tersebut namun seringkali dikemukakan oleh para pengusaha industri perkayuan dalam berbagai polemik mengenai pro dan kontra kebijakan larangan ekspor kayu bulat, adalah untuk lebih menjamin ketersediaan pasokan bahan baku kayu untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu di dalam negeri.

Keputusan pemerintah melarang ekspor kayu bulat pertama kali diberlakukan pada Mei 1980. Larangan ekspor kayu bulat pada awalnya diberlakukan secara bertahap, kemudian pada tahun 1985 ekspor kayu bulat dihentikan secara total. Bersamaan dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat, pemerintah juga mengambil kebijakan yang “memaksa” pengusaha kehutanan (pemegang ijin konsesi HPH) untuk membangun industri pengolahan kayu di dalam negeri yang berintikan industri kayu lapis. Kedua kebijakan yang diberlakukan oleh pemerintah pada awal dekade 80-an ini menyebabkan terjadinya integrasi vertikal antara industri pengolahan kayu dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dalam suatu Grup perusahaan kehutanan yang sama. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada awal dekade 80-an bertuju80-an untuk: (a) meningkatk80-an peroleh80-an devisa dari ekspor kayu olah80-an, (b) memperluas kesempatan kerja di bidang industri hasil hutan, (c) meningkatkan nilai tambah, dan (d) memacu perkembangan ekonomi regional.

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada awal dekade 80-an ternyata berhasil mengembangkan industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia serta merubah Indonesia dari eksportir kayu bulat tropis terbesar di dunia menjadi eksportir utama kayu olahan (lihat Tabel 1). Namun demikian, meskipun produksi dan ekspor kayu olahan meningkat dengan pesat, kebijakan ini ternyata menurunkan penerimaan riil devisa dari ekspor produk perkayuan (Fitzgerald 1986, Sidabutar 1988, Lindsay

(5)

1989, Manurung 1995). Simulasi terhadap pasar produk perkayuan Indonesia pada periode tahun 1981 sampai 1989 menunjukkan bahwa dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat, total penerimaan riil devisa Indonesia dari ekspor produk perkayuan berkurang sebesar 14% bila dibandingkan dengan tanpa diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat (Manurung dan Buongiorno, 1997).

Untuk menghindari klaim internasional yang menganggap kebijakan larangan ekspor kayu bulat sebagai non-tariff barrier, pada tanggal 27 Mei 1992 pemerintah merubahnya dengan pengenaan pajak ekspor kayu bulat yang tinggi, yaitu sebesar USD 500 – USD 4800 per m3 kayu bulat, tergantung jenis kayu. Dengan pajak ekspor yang sedemikian tinggi, tetap tidak mungkin untuk mengekspor kayu bulat dari Indonesia karena harga jual ekspor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar internasional. Jadi dalam kenyataannya, pengenaan pajak ekspor yang tinggi merupakan larangan ekspor kayu bulat yang efektif, dengan nama yang berbeda.

Krisis moneter sejak Juli 1997 menyebabkan krisis ekonomi multi-dimensi di Indonesia, sehingga mengharuskan pemerintah melakukan perbaikan kebijakan ekonomi, terutama untuk meningkatkan penerimaan negara. Untuk mengatasi krisis ekonomi ini, lembaga keuangan internasional IMF berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk menandatangani 50 butir Nota Kesepakatan (Letter of Intent) RI-IMF pada tanggal 15 Januari 1998. Diantaranya, terdapat butir kesepakatan untuk memperbolehkan ekspor kayu bulat dengan mengenakan pajak ekspor sebesar 40 persen, dan kemudian dikurangi menjadi maksimum 10 persen sebelum akhir Desember 2000 dan nol persen pada tahun 2003.

Setelah ekspor kayu bulat berlangsung, muncul keluhan dari para pengusaha industri pengolahan kayu domestik, utamanya karena semakin mengalami kesulitan mendapatkan bahan baku kayu bulat. Disamping itu, para pengusaha tersebut juga mengeluhkan semakin maraknya ekspor kayu bulat illegal yang menyebabkan Cina, yang dituduh mengkonsumsi kayu bulat selundupan dari Indonesia, dapat menjual produk kayu lapis di pasar internasional dengan harga yang lebih murah dibandingkan dengan total biaya produksi kayu lapis di Indonesia.

Sementara itu, kegiatan penebangan liar di hutan-hutan Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi semakin menjadi-jadi. Diperkirakan jumlah volume kayu bulat dari penebangan liar mencapai 40 juta m3 per tahun (FWI dan GFW, 2002). Pada tahun 2002 volume kayu bulat curian bertambah menjadi tidak kurang dari 51

(6)

juta m3, atau mencapai 80 persen dari total konsumsi kayu bulat (permintaan efektif) yang dibutuhkan oleh industri perkayuan di Indonesia (Manurung, 2002). Sebagai akibatnya, laju kerusakan hutan di Indonesia semakin bertambah parah. Antara tahun 1985 sampai 1998 laju kerusakan hutan diperkirakan rata-rata 1,7 juta hektar per tahun (Walton 2000), dan pada tahun 2000 laju deforestasi di Indonesia meningkat menjadi 2 juta hektar per tahun (FWI dan GFW, 2002).

Ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan bahan baku kayu yang disebabkan oleh kapasitas industri perkayuan yang berlebihan, lemahnya penegakan supremasi hukum, dan praktik KKN yang terus terjadi merupakan penyebab utama maraknya praktik penebangan liar di Indonesia (Manurung, 2002; ITTO, 2001).

Untuk mengatasi permasalahan penebangan liar dan penyelundupan kayu ini pemerintah kembali memutuskan melarang ekspor kayu bulat. Dalam SKB tentang penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih, tertanggal 8 Oktober 2001, disebutkan bahwa penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih dari seluruh wilayah negara Republik Indonesia berlaku sampai batas waktu yang ditetapkan kemudian. Namun demikian, meskipun belum ada hasil analisis atau evaluasi kritis yang disampaikan kepada publik mengenai keberhasilan kebijakan tersebut dalam mengatasi penebangan liar dan penyelundupan kayu selama tujuh bulan sejak diterbitkannya SKB, pemerintah RI malah memperkuat keputusan tersebut melalui Peraturan Pemerintah No. 34, tertanggal 8 Juni 2002, tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan Penggunaan Kawasan Hutan (seperti tertulis dalam Pasal 76: Hasil hutan berupa kayu bulat dan bahan baku serpih dilarang untuk di ekspor).

Menurut teori ekonomi, larangan ekspor kayu bulat akan mengurangi kompetisi untuk meperoleh kayu bulat dan menekan harga kayu bulat domestik, yang kemudian menyebabkan turunnya nilai tegakan dan pada gilirannya akan menurunkan penerimaan pemerintah dari sumber daya hutan (Margolick dan Uhler 1992, Park and Cox 1985), serta menyebabkan upaya mengkonversi hutan alam untuk pembangunan pertanian dan perkebunan semakin menarik untuk dilakukan. Selanjutnya, perbedaan yang semakin tinggi antara harga kayu bulat domestik dan internasional memberikan dorongan/insentif yang lebih besar untuk menyelundupkan kayu ke luar negeri, dan oleh karenanya tidak secara otomatis mencegah penebangan liar. Disamping itu, harga kayu bulat domestik yang lebih murah memberikan signal

(7)

pasar yang mendorong pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu di dalam negeri dan menyebabkan rendahnya efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu.

1.2. Tujuan dan Manfaat Studi

Studi ini bertujuan untuk mengetahui pelajaran-pelajaran penting apa saja yang dapat diambil dari 13 tahun pengalaman diterapkannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat secara total, yaitu selama periode tahun 1985 sampai 1997. Studi difokuskan pada aspek ekonomi dari pengaruh kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap pasar produk perkayuan Indonesia, yaitu pasar kayu bulat tropis, pasar kayu lapis dan pasar kayu gergajian. Disamping itu, hasil analisis studi ini juga bertujuan untuk mendiskusikan dampak larangan ekspor kayu bulat terhadap penebangan liar dan penyelundupan kayu di/dari Indonesia. Dalam studi ini, penebangan liar dibedakan menjadi dua, yaitu ekstraksi kayu secara illegal, baik yang dilakukan oleh perusahaan HPH atau non HPH, dan eksploitasi illegal lainnya seperti perambahan hutan untuk usaha pertanian skala kecil atau besar.

Adapun pelajaran-pelajaran penting yang ingin diketahui secara spesifik adalah: (1) Berapa besar harga kayu bulat domestik berkurang sebagai akibat diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat? (2) Bagaimana pengaruhnya terhadap efisiensi ekonomi, tingkat persaingan, dan konservasi hutan alam (3) Apakah kebijakan ini dapat mencegah penebangan liar? (4) Sampai seberapa besar larangan ekspor kayu bulat dikalahkan oleh (overcome by) penyelundupan kayu? (5) Apakah kebijakan ini merangsang investasi pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu yang baru? Sampai berapa besar hal ini terjadi akibat para pengusaha industri perkayuan mengasumsikan bertambah banyaknya pasokan kayu atau karena dampak ekonomi yang memungkinkan untuk berproduksi pada tingkat biaya produksi yang rendah? (6) Apakah kebijakan ini dapat menjamin ketersediaan bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu domestik? (7) Bagaimana pengaruh kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap insentif untuk menanam kayu skala kecil dan hutan tanaman industri? (8) Dengan semakin mengurangi nilai sumber daya hutan, apakah kebijakan larangan ekspor kayu bulat meningkatkan opportunity cost pengelolaan hutan alam dan oleh karenanya mendorong berbagai aktor untuk mengkonversi hutan alam untuk keperluan lain seperti misalnya untuk areal perkebunan kelapa sawit? (9) bagaimana pengaruhnya terhadap keuntungan HPH

(8)

sebagai profit center atau sebagai pemasok industri pengolahan kayu lanjutan yang terintegrasi? (10) apa dampaknya terhadap kegiatan penebangan liar yang dilakukan oleh: pemegang konsesi HPH, bukan pemegang konsesi HPH dan masyarakat lokal? (11) bagaimana pengaruhnya terhadap efisiensi pemanfaatan hutan alam seperti limbah yang terjadi di lokasi tebangan atau industri atau pun luas areal yang ditebang? (12) bagaimana pengaruh kebijakan larangan ekspor kayu bulat terhadap prospek alternatif solusi permasalahan penebangan liar?

Mengingat ketiadaan analisis kritis terhadap dampak kebijakan larangan ekspor kayu bulat sejak kebijakan tersebut diberlakukan kembali pada Oktober 2001, pelajaran-pelajaran yang diperoleh dari pengalaman penerapan kebijakan larangan ekspor kayu bulat sebelumnya diharapkan dapat membantu para pembuat keputusan untuk menghindari kegagalan pasar yang semakin parah akibat penerapan kebijakan yang kurang tepat.

II. METODOLOGI

2.1. Kerangka Analisis

Dalam penelitian ini, the classical welfare economics framework in an

opened economy digunakan untuk mempelajari efek dari larangan ekspor kayu bulat

di Indonesia. Analisis yang dilakukan mencakup sintesis dari unsur welfare

economics, international trade, dan theory of derived demand. Pendekatan ini

menggunakan fungsi permintaan dan penawaran jangka panjang tanpa mempertimbangkan adanya externalities. Dengan demikian, nilai marginal dari suatu barang bagi si pembeli dan masyarakat dianggap sama.

Kerangka analisis ini disajikan pada Gambar 1 dimana hanya ada satu

supplier (Indonesia) dan dua konsumen, yaitu permintaan domestik Indonesia dan

permintaan luar negeri, dengan komoditi tunggal yang diperdagangkan berupa kayu bulat. Kurva penawaran kayu bulat Indonesia adalah ss. Kurva permintaannya adalah dd, sedangkan kurva permintaan dunia adalah mm. Permintaan dunia ini merupakan penjumlahan dari permintaan domestik dan permintaan luar negeri. Pada pasar bebas, kurva permintaan dan penawaran berpotongan di titik A, dimana volume kayu yang diproduksi dan diminta adalah Q1 dengan harga P1. Pada harga P1 ini,

volume produksi kayu bulat Indonesia, Q1, lebih besar dari permintaan domestik, Q3.

(9)

diterapkan oleh Indonesia, kurva permintaan yang dihadapi adalah kurva permintaan domestik, dd. Harga kayu bulat Indonesia turun ke P2, tingkat harga pada saat

pasokan kayu bulat sama dengan permintaan domestiknya. Jumlah produksi kayu bulatIndonesia berkurang menjadi Q2. Turunnya harga kayu bulat yang merupakan

bahan baku industri pengolahan kayu, akan menggeser kurva penawaran kayu olahan di pasar kayu olahan (kayu gergajian dan kayu lapis), ke kanan, cateris paribus, sehingga produksi, konsumsi domestik, dan ekspor kayu olahan meningkat, namun harga kayu olahan tersebut turun .

Gambar 1. Equilibrium and welfare, with and without log export ban.

Dampak larangan total ekspor kayu bulat terhadap tingkat kesejahteraan Indonesia juga dapat dijelaskan melalui Gambar 1. Surplus konsumen dari konsumer kayu bulat Indonesia (perusahaan-perusahaan pengolahan kayu) bertambah dari areal

P1Bd ke P2Cd. Sementara produsen kayu bulat yang menerima harga kayu yang

lebih rendah pada tingkat produksi yang juga lebih rendah kehilangan surplus produsen seluas areal P2CAP1. Penurunan surplus produsen yang terjadi lebih besar

dari peningkatan surplus konsumen, yaitu seluas areal segitiga ABC. Ini berarti, tingkat kesejahteraan perekonomian Indonesia secara keseluruhan menurun akibat

Price m s d P1 B A P2 C m s 0 Q3 Q2 Q1 d Quantity Indonesian exports

(10)

kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Tingkat kesejahteraan perekonomian “dunia” juga menurun dari areal segitiga mAo ke dCo.

Perdagangan antara dua negara akan terjadi dan menguntungkan apabila tanpa adanya perdagangan harga relatif di dua negara tersebut berbeda (Kenen 1989). Alokasi sumberdaya yang efisien akan terjadi pada negara yang memiliki

comparative advantage. Negara yang memiliki comparative disadvantage terhadap

suatu produk akan mendapatkan produk tersebut melalui perdagangan. Keseimbangan jumlah produk yang diperdagangkan dan neraca pembayaran diantara mitra dagang direalisasikan melalui nilai tukar uang mereka. Setiap hambatan (restrictions) terhadap perdagangan, baik itu berupa tariff, embargo, ataupun lainnya, akan menyebabkan alokasi sumberdaya yang tidak efisien pada setiap mitra dagang yang berakibat menurunnya total return to resources di dua negara tersebut dimana efeknya akan menurunkan tingkat kesejahteraan total.

2.2. Struktur Model Pasar Produk Perkayuan Indonesia

Model pasar produk perkayuan (timber market model) yang digunakan adalah a non-spatial equilibrium model yang merupakan pengembangan dari Gambar 1. Dalam model ini, specific trade flows antara dua wilayah (eksportir dan importir) tidak dapat diduga, tapi model ini dapat menduga net trade balance. Model dibuat untuk menduga produksi, konsumsi, dan perdagangan setiap tahun, sama dengan model yang digunakan oleh Manurung dan Buongiorno (1997) untuk mempelajari efek larangan ekspor kayu bulat terhadap sektor kehutanan Indonesia.

Prinsip umumnya, pertama, mengembangkan model yang menggambarkan kondisi aktual keseimbangan pasar (kondisi pasar dimana larangan ekspor kayu bulat diberlakukan), yaitu titik C pada Gambar 1, kemudian menggunakannya untuk menduga kondisi keseimbangan pasar dimana larangan ekspor kayu bulat tidak diberlakukan, yaitu titik A pada Gambar 1.

Persamaan-persamaan yang menggambarkan fungsi penawaran, permintaan, dan perdagangan kayu bulat, kayu lapis, dan kayu gergajian dari model ekonomik pasar produk perkayuan Indonesia disajikan pada Tabel 2. Terdapat 6 persamaan fungsi penawaran dan 6 persamaan fungsi permintaan, serta 3 persamaan kondisi keseimbangan pasar yang menggambarkan situasi produksi dan konsumsi pada tahun tertentu.

(11)

Fungsi permintaan kayu lapis untuk Indonesia (DP) merupakan fungsi dari

harga kayu lapis (Pp) dengan koefisien elastisitas b6. Sementara, fungsi penawaran

kayu lapis untuk Indonesia (SP) merupakan fungsi dari harga ekspor kayu lapis (Pp)

dan harga kayu bulat domestik (P0). Harga kayu lapis domestik dianggap sama

dengan harga kayu lapis ekspor atau harga kayu lapis internasional karena kayu lapis yang dihasilkan sebagian besar diperuntukkan untuk ekspor. Sementara itu, harga kayu bulat domestik (P0) lebih rendah dari harga kayu bulat ekspor atau harga kayu

bulat internasional (PL) akibat penerapan larangan ekspor kayu bulat.

Fungsi permintaan (DS) dan penawaran (SS) kayu gergajian serta fungsi

penawaran kayu bulat untuk Indonesia (SL) bentuknya analog dengan fungsi

permintaan dan penawaran untuk kayu lapis. Sementara fungsi permintaan kayu bulat untuk Indonesia (DL) diturunkan dari produksi kayu lapis dan kayu gergajian

melalui two-fixed factor processes, yaitu recovery rate untuk kayu lapis (P) dan kayu gergajian (S).

Persamaan net exports kayu lapis (XP), kayu gergajian (XS), dan kayu bulat

(XL) dari negara-negara tropis lainnya merupakan fungsi dari harga internasionalnya.

Demikian pula untuk persamaan net imports kayu lapis (MP) dan kayu gergajian (MS)

dari negara-negara importir merupakan fungsi dari harga internasionalnya. Net

imports kayu bulat (ML) merupakan fungsi dari harga internasional kayu bulat, kayu

lapis, dan kayu gergajian, namun Manurung dan Buongiorno (1997) menunjukkan bahwa secara ekonometrik hanya harga internasional kayu bulat dan harga kayu lapis saja yang mempengaruhi net imports.

Dalam studi ini, koefisien elastisitas dari fungsi permintaan dan penawaran yang digunakan tidak diduga secara ekonometrik, namun menggunakan koefisien elastisitas yang berasal dari perkiraan fungsi permintaan dan penawaran produk kayu Indonesia serta perkiraan fungsi permintaan impor dan penawaran ekspor produk kayu tropika yang dihasilkan oleh Manurung dan Buongiorno (1997) (Tabel 3).

Perbedaan studi ini dengan studi yang dilakukan Manurung dan Buongiorno (1997) terletak pada periode waktu analisis, harga kayu bulat domestik dan harga kayu bulat ekspor yang digunakan. Dalam studi ini, periode waktu analisis dari tahun 1985 sampai 1997. Harga kayu bulat domestik berasal dari laporan Badan Pusat Statistik Indonesia, sedangkan harga kayu bulat ekspor berasal dari harga ekspor rata-rata tiga negara eksportir utama kayu bulat tropika, yaitu Malaysia,

(12)

Papua New Guinea, dan Gabon, yang mana porsi ekspor mereka bersama mencapai 77 persen sampai 85 persen dari total ekspor kayu bulat dunia pada periode tersebut.

2.3. Data

Data produksi, volume dan nilai ekspor kayu olahan (kayu gergajian dan kayu lapis) Indonesia untuk periode tahun 1985 sampai 1997 diperoleh dari FAO (2002). Konsumsi kayu olahan domestik merupakan selisih dari produksi dan ekspor kayu olahan. Harga ekspor kayu olahan digunakan sebagai proksi harga domestik kayu gergajian dan kayu lapis (asumsi yang masuk akal dalam kondisi perdagangan bebas). Harga ini dihitung dari nilai ekspor kayu olahan dibagi dengan volume ekspornya.

Konsumsi kayu bulat Indonesia diasumsikan sama dengan total kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia (konsumsi kayu bulat oleh industri pulp di Indonesia tidak turut diperhitungkan). Produksi kayu bulat Indonesia sama dengan konsumsi domestik karena pada periode 1985-1997 ekspor kayu bulat dilarang. Harga kayu bulat domestik berbeda dengan harga kayu bulat ekspor. Data harga kayu bulat domestik diperoleh dari BPS (2000), sementara total nilai ekspor kayu bulat dibagi volume ekspor kayu bulat dari tiga negara eksportir utama, Malaysia, Papua New Guinea, dan Gabon, digunakan sebagai penduga harga kayu bulat ekspor atau harga kayu bulat internasional. Data volume dan nilai ekspor kayu bulat untuk ketiga negara tersebut diperoleh dari FAO (2002).

Net exports kayu lapis, kayu gergajian, dan kayu bulat dari negara tropis

lainnya adalah exports dari negara-negara produsen anggota ITTO (Tabel 4), sementara net imports dari negara-negara importir adalah imports dari negara-negara konsumen anggota ITTO (Tabel 4). Data ekspor dan impor negara-negara produsen dan konsumen diperoleh dari FAO (2002). Data GDP deflator indeks untuk Indonesia dan nilai tukar IDR terhadap USD diperoleh dari World Development Indicators, the World Bank (1999).

2.4. Kalibrasi Model

Model pasar produk perkayuan Indonesia dikalibrasi dengan cara mencari nilai konstanta (a) sehingga setiap persamaan fungsi permintaan dan penawaran

(13)

sama dengan data aktual. Prosedur ini sama artinya dengan menduga titik C pada Gambar 1. Ini merupakan prosedur standar dalam computable equilibrium models dimana kalibrasi dilakukan untuk base year. Dalam studi ini, kalibrasi dilakukan setiap tahun dari 1985 sampai 1997.

Persamaan fungsi penawaran kayu lapis, kayu gergajian, dan kayu bulat untuk Indonesia dikalibrasi dengan menggunakan harga kayu bulat domestik (P0),

dimana selama periode analisis nilainya lebih rendah dari harga kayu bulat internasional (PL), sedangkan pada persamaan lainnya menggunakan harga

internasional.

III. HASIL SIMULASI

3.1. Simulasi Kondisi Pasar Tanpa Larangan Ekspor Kayu Bulat

Untuk mensimulasikan bagaimana pasar produk perkayuan Indonesia berubah tanpa adanya larangan ekspor kayu bulat, 12 persamaan dalam Tabel 2 dihitung pemecahannya secara simultan guna mendapatkan nilai harga dan kuantitas untuk setiap tahun, dari tahun 1985 sampai 1997, menggunakan konstanta (a) yang diperoleh dari proses kalibrasi dan koefisien elastisitas serta recovery rate seperti terlihat pada Tabel 3. Prosedur ini berarti menduga titik A pada Gambar 1, yaitu titik keseimbangan pasar tanpa adanya larangan ekspor kayu bulat, dengan cara merubah harga kayu bulat domestik (P2) sama dengan harga kayu bulat internasional (P1).

Harga kayu bulat dibuat sama di Indonesia dan di pasar internasional, yaitu P0 = PL,

sebagaimana seharusnya terjadi bila tidak ada larangan ekspor kayu bulat. Tabel 5 sampai 7 memperlihatkan hasil simulasi pasar produk perkayuan Indonesia tanpa larangan ekspor kayu bulat. Hasil simulasi ini kemudian dibandingkan dengan kondisi aktual pasar produk perkayuan Indonesia dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat.

Harus diakui bahwa perbedaan antara kebijakan “dengan larangan ekspor kayu bulat” dan “tanpa larangan” dihasilkan tidak hanya dari larangan ekspor kayu bulat itu sendiri, tetapi juga dari berbagai kebijakan yang datang bersamaan dengan, dan/atau setelah diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Sebagai contohnya adalah kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan industri perkayuan dengan berintikan industri kayu lapis yang diberlakukan pada bulan April

(14)

1981, dan kebijakan pemerintah mengenakan pajak ekspor yang tinggi terhadap kayu gergajian, yaitu sebesar USD 250 – USD 1000 per m3, pada bulan November 1989.

3.2. Pengaruhnya Terhadap Kuantitas dan Harga

Tabel 5 memperlihatkan besarnya produksi dan harga kayu lapis, kayu gergajian, dan kayu bulat di Indonesia pada keadaan aktual (dengan larangan ekspor kayu bulat) dan hasil simulasi (tanpa larangan ekspor kayu bulat) dari tahun 1985 sampai 1997. Selama kurun waktu ini, dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat, produksi kayu lapis 5 persen lebih tinggi, dan produksi kayu gergajian 3 persen lebih tinggi. Jadi, larangan ekspor kayu bulat mendukung pengembangan industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia. Produksi kayu bulat lebih rendah 18 persen, dengan demikian mendukung klaim yang mengatakan bahwa larangan ekspor kayu bulat menghasilkan manfaat konservasi langsung dengan semakin berkurangnya pembalakan kayu bulat.

Produksi kayu lapis dan kayu gergajian yang lebih tinggi akibat diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat sesuai dengan yang diharapkan dari teori ekonomi. Dengan mengurangi permintaan pasar luar negeri, larangan ekspor kayu bulat menekan harga domestik kayu bulat. Hal ini memberikan keuntungan, yaitu biaya produksi industri pengolahan kayu di dalam negeri menjadi lebih rendah karena harga bahan baku kayu yang lebih murah. Sebagai hasilnya, produksi kayu lapis dan kayu gergajian di dalam negeri menjadi lebih menguntungkan, dan mendorong pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu tersebut.

Peningkatan produksi kayu lapis dan kayu gergajian menyebabkan harga ekspor kayu lapis lebih rendah 3 persen dan harga ekspor kayu gergajian lebih rendah 1 persen pada periode 1985 sampai 1997. Hal ini menyebabkan konsumsi Indonesia akan kedua produk kayu olahan tersebut meningkat sebesar 1% (lihat Tabel 6). Bertambahnya produksi kayu lapis dan kayu gergajian ternyata lebih besar dibandingkan peningkatan konsumsi domestik. Oleh karena itu, volume kayu olahan yang tersedia untuk diekspor meningkat. Tabel 6 menunjukkan bahwa pada periode 1985 sampai 1997, ekspor kayu lapis dan kayu gergajian Indonesia meningkat berturut-turut sebesar 5 persen dan 15 persen per tahun akibat kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Dari uraian di atas, terlihat jelas bahwa kebijakan larangan ekspor

(15)

kayu bulat berhasil merangsang pertumbuhan industri pengolahan kayu dan meningkatkan ekspor hasil hutan berupa kayu olahan.

Peningkatan ekspor kayu gergajian dan kayu lapis dari Indonesia menyebabkan rata-rata harga internasional kayu lapis dan kayu gergajian turun berturut-turut sebesar 3 persen dan 1 persen per tahun selama periode 1985 sampai 1997. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat oleh Indonesia juga menyebabkan harga kayu bulat domestik lebih rendah 18 persen, sehingga konsumsi domestik kayu bulat meningkat 4 persen (lihat Tabel 6). Hal sebaliknya terjadi pada harga kayu bulat ekspor, dimana harganya menjadi 44 persen lebih tinggi akibat dihentikannyanya ekspor kayu bulat Indonesia ke pasar kayu bulat dunia.

Peningkatan ekspor kayu lapis dan kayu gergajian dari Indonesia juga mempengaruhi total ekspor kayu olahan dari negara eksportir lain di luar Indonesia, dimana total ekspor kayu lapis dan kayu gergajian mereka menjadi 1 persen lebih rendah (lihat Tabel 7). Sebaliknya terjadi dengan ekspor kayu bulat mereka, yaitu total ekspor kayu bulat dari negara eksportir di luar Indonesia menjadi 24 persen lebih tinggi.

Di lain pihak, harga internasional kayu olahan yang lebih rendah akibat peningkatan ekspor kayu olahan dari Indonesia menyebabkan total impor oleh negara-negara importir meningkat. Total impor kayu lapis dan kayu gergajian oleh negara importir tersebut menjadi berturut-turut 2 persen dan 1 persen lebih tinggi. Sementara, peningkatan harga internasional kayu bulat akibat dihentikannya ekspor kayu bulat dari Indonesia menyebabkan total impor kayu bulat oleh negara-negara importir menjadi 11 persen lebih rendah (Tabel 7).

Rangkaian hubungan sebab-akibat dapat diringkas sebagai berikut: berkurangnya ekspor kayu bulat dari Indonesia menyebabkan harga kayu bulat di pasar internasional lebih tinggi (44 persen lebih tinggi dari tahun 1985 sampai 1997), menurunnya produksi kayu lapis dan kayu gergajian dari negara-negara produsen selain Indonesia, dan meningkatkan ekspor kayu bulat oleh negara-negara pengekspor lainnya.

IV.

LESSONS TO BE LEARNED

Seperti telah dikemukakan pada bab sebelumnya, hasil simulasi pasar tanpa larangan ekspor kayu bulat memperlihatkan perubahan harga dan kuantitas kayu

(16)

bulat, kayu gergajian dan kayu lapis di pasar domestik dan pasar internasional dibandingkan dengan keadaan aktual (historical; dengan larangan ekspor kayu bulat). Informasi mengenai besaran perubahan harga dan kuantitas berdasarkan model pasar produk perkayuan yang dipergunakan dalam studi ini selanjutnya dipergunakan untuk menjawab beberapa butir pertanyaan penelitian yang menjadi tujuan studi ini (seperti disebutkan pada bagian Pendahuluan). Beberapa tujuan studi lainnya yang tidak dapat secara langsung diterangkan dari hasil simulasi model pasar produk perkayuan, dibahas secara terpisah pada bagian berikutnya.

4.1. Pengaruhnya Terhadap Penurunan Harga Kayu Bulat Domestik

Larangan ekspor kayu bulat oleh Indonesia berarti meniadakan permintaan pasar internasional (import) terhadap kayu bulat Indonesia. Sebagai akibatnya, jumlah total permintaan kayu bulat di pasar domestik Indonesia berkurang, dan menekan harga domestik kayu bulat (Gambar 1). Tabel 5 menunjukkan harga kayu bulat domestik, selama periode 1985 sampai 1997, lebih rendah 18 persen akibat kebijakan larangan ekspor kayu bulat.

Kelangkaan kayu bulat akibat semakin berkurangnya (menipisnya) persediaan kayu bulat di hutan seharusnya direfleksikan dengan semakin tingginya harga kayu bulat di dalam negeri (Indonesia) atau di tingkat global. Dampak yang paling merugikan dari diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat adalah dampak distorsi yang disebabkannya terhadap signal harga yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan di pasar kayu bulat. Harga kayu bulat yang murah menjadi insentif untuk membangun kapasitas industri pengoalahan kayu, tetapi sebaliknya menyebabkan disinsentif untuk melakukan pengelolaan hutan secara intensif pada jangka panjang. Selanjutnya, harga kayu bulat yang murah menyebabkan rendahnya efisiensi pemanfaatan bahan baku kayu dan kurangnya insentif ekonomi untuk membangun hutan tanaman. Lebih lanjut mengenai berbagai dampak yang dihasilkan sebagai akibat harga kayu bulat domestik yang murah dibahas pada bagian berikutnya.

. Perlu kita mengerti bahwa sesungguhnya harga kayu bulat domestik yang murah selama periode 1985-1997 juga disebabkan oleh terjadinya “kelimpahan” pasokan kayu bulat yang berasal dari penebangan liar (illegal logging) yang dilakukan oleh perusahaan HPH maupun oleh masyarakat lokal/pendatang yang tidak

(17)

mempunyai ijin konsesi HPH atau pun ijin pemungutan hasil hutan kayu. Disamping itu, produksi kayu IPK (Ijin Pemanfaatan Kayu), yang berasal dari kegiatan konversi hutan alam, menambah “kelimpahan” pasokan kayu bulat sehingga turut menyebabkan murahnya harga kayu bulat domestik.

Sampai seberapa besar turunnya harga kayu bulat disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor kayu bulat, dan oleh terjadinya “kelimpahan” pasokan kayu bulat dari penebangan liar (serta tambahan pasokan dari produksi kayu IPK) tidak dapat dijelaskan oleh model pasar produk perkayuan yang dipergunakan dalam analisis studi ini.

4.2. Pengaruhnya Terhadap Efisiensi Ekonomi, Tingkat Persaingan dan Konservasi Hutan Alam

4.2.1. Pengaruhnya terhadap penerimaan riil devisa

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat ternyata meningkatkan penerimaan riil devisa Indonesia dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian. Pada periode 1985 sampai 1997, total devisa yang diperoleh Indonesia dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian berturut-turut meningkat sebesar 2 persen dan 16 persen dibandingkan total devisa yang diperoleh tanpa larangan ekspor kayu bulat (lihat Tabel 8). Tetapi peningkatan penerimaan riil devisa dari ekspor kayu lapis dan kayu gergajian ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan kehilangan devisa akibat dihentikannya ekspor kayu bulat, yaitu sebesar 7,5 milyar USD (nilai konstan 1985).

Dampak kombinasinya menyebabkan penerimaan riil devisa dari ekspor produk perkayuan secara total berkurang sebesar 6 milyar USD, atau dengan kebijakan larangan ekspor kayu bulat penerimaan ekspor Indonesia dari produk perkayuan, dihitung dalam nilai riil, berkurang sebanyak 12 persen. Disamping itu, pemerintah Indonesia juga sesungguhnya mengalami kerugian tambahan , yaitu hilangnya total penerimaan pajak ekspor kayu bulat (export revenue foregone) Temuan ini selaras dengan hasil yang ditemukan oleh Fitzgerald (1986), Sidabutar (1988), Lindsay (1989), dan Manurung dan Buongiorno (1997), yang memperkirakan perolehan Indonesia dari pertambahan ekspor produk kayu olahan lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan ekspor yang hilang karena dilarangnya ekspor kayu bulat.

(18)

4.2.2. Pengaruhnya terhadap nilai tambah

Nilai tambah kotor (gross value-added) yang terjadi akibat kayu bulat diolah menjadi kayu lapis atau kayu gergajian dapat diukur dari selisih harga ekspor f.o.b. ekivalen kayu bulat yang dipergunakan untuk menghasilkan kayu olahan tersebut dengan harga ekspor f.o.b. kayu bulat. Tabel 9 menunjukkan bahwa pada periode 1985 sampai 1997 total nilai tambah kotor pada industri kayu lapis dan kayu gergajian selalu lebih tinggi dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Total kumulatif nilai tambah kotor pada industri kayu lapis dan industri kayu gergajian berturut-turut 12 persen (atau 3 milyar USD) dan 9 persen (atau 2,6 milyar USD) lebih tinggi ketika larangan ekspor kayu bulat diberlakukan. Meskipun harga kedua produk tersebut menurun ketika larangan ekspor kayu bulat diberlakukan (Tabel 5), penurunan harga kayu bulat domestik (18 persen) yang lebih tinggi daripada penurunan harga kayu olahan (3 persen untuk kayu lapis dan 1 persen untuk kayu gergajian) menyebabkan peningkatan produksi kayu olahan sehingga total kumulatif nilai tambah kotor ini meningkat.

Besarnya nilai tambah kotor yang sebenarnya diperoleh oleh Indonesia lebih kecil daripada yang disebutkan di atas mengingat nilai tambah kotor tersebut masih harus dikurangi dengan total biaya input yang diimpor, seperti misalnya: biaya mesin, biaya kapital, biaya bahan baku penolong, dan biaya tenaga kerja asing, yang total nilainya tidak diketahui.

4.2.3. Pengaruhnya terhadap tenaga kerja

Tabel 10 menunjukkan jumlah tenaga kerja (number of employees) tahunan yang terlibat langsung dalam kegiatan pembalakan kayu (logging) dan industri pengolahan kayu (sawmilling dan plymilling) pada kondisi dengan dan tanpa larangan ekspor kayu bulat. Jumlah tenaga kerja diturunkan dari angka volume produksi produk perkayuan dikalikan dengan rata-rata input tenaga kerja yang diserap dalam sektor kehutanan Indonesia. Sidabutar (1988) mencatat bahwa jumlah tenaga kerja yang diserap per 1000 m3 kayu bulat, kayu gergajian dan kayu lapis, masing-masing sebesar: 2,5; 4,8 dan 12,9 hari orang kerja.

Dengan asumsi bahwa jumlah tenaga kerja langsung yang diserap proporsional dengan jumlah produk perkayuan yang dihasilkan, maka pada periode 1985 sampai 1997, dengan larangan ekspor kayu bulat, jumlah tenaga kerja langsung

(19)

yang diserap oleh industri kayu lapis dan industri kayu gergajian adalah berturut-turut 4876 tenaga kerja dan 1045 tenaga kerja lebih tinggi. Ini berarti, kebijakan tersebut mampu menciptakan sedikit lapangan pekerjaan melalui pembangunan industri pengolahan kayu. Tetapi, pada periode yang sama, jumlah total lapangan kerja yang diciptakan oleh industri pengolahan kayu tidak mampu mengkompensasi kehilangan sekitar 11791 tenaga kerja pada sektor pembalakan kayu bulat.

Komposisi angkatan kerja juga berubah. Sebelumnya, industri pembalakan kayu sepenuhnya mempekerjakan laki-laki yang biasanya adalah pencari nafkah dalam masyarakat Indonesia. Namun setelah berkembangnya industri kayu lapis lebih dari setengah tenaga kerja adalah perempuan usia muda yang tidak mempunyai keahlian, yang dibayar sekitar 30 persen lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki (BPS, 2000). Jadi, sesungguhnya kebijakan larangan ekspor kayu bulat merugikan bila dinilai dari distribusi pendapatan, dan kebijakan tersebut mengeksploitasi perempuan.

Temuan ini menyarankan bahwa dalam hal menciptakan kesempatan kerja, lebih baik bagi Indonesia bila menerapkan kebijakan pengembangan industri pengolahan kayu yang kurang agresif, dengan memperbolehkan ekspor kayu bulat, dan menginvestasikan perolehan penerimaan ekspor produk perkayuan yang lebih besar (yang dapat diperoleh tanpa larangan ekspor kayu bulat) dalam kegiatan ekonomi tertentu guna menciptakan kesempatan kerja yang baru.

4.2.4. Pengaruhnya terhadap nilai tegakan

Nilai tegakan (stumpage value) merupakan nilai implisit dari tegakan pohon di hutan. Nilainya diperkirakan dengan cara mengurangkan nilai kayu olahan yang dapat dihasilkan dari kayu bulat dengan seluruh biaya pemanenan kayu, biaya pengangkutan kayu ke pabrik, dan biaya pengolahan kayu bulat tersebut. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Handadhari (1991), nilai tegakan besarnya sekitar 47 persen dari harga kayu bulat di halaman pabrik. Dengan menggunakan angka ini, Tabel 11 memperlihatkan bahwa pada tahun 1985 sampai 1997, total nilai tegakan di hutan alam berkurang sebesar 33 persen (dalam US dollar nilai tegakan 5,5 milyar USD lebih rendah). Berkurangnya nilai tegakan disebabkan oleh harga kayu bulat domestik yang lebih murah dan berkurangnya jumlah produksi kayu bulat (Tabel 5).

(20)

Nilai tegakan yang lebih rendah (harga kayu bulat domestik yang lebih rendah) sebagai akibat diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat telah menjadi insentif untuk membangun kapasitas industri pengolahan kayu baru yang berlebihan dan menambah limbah bahan baku kayu. Disamping itu, nilai tegakan yang lebih rendah juga mengurangi insentif untuk melakukan pengelolaan hutan secara berkelanjutan, dan mendorong pemanenan hutan tropis secara sangat selektif (mencari dan menebang pohon-pohon berdiameter besar dan yang mempunyai nilai komersial yang tinggi; high grading) dengan meninggalkan banyak sekali limbah kayu di hutan. Hal ini merupakan contoh kebijakan kehutanan yang menyebabkan cepat habisnya sumber daya hutan. Kurangnya penghargaan terhadap hasil hutan non kayu yang dapat dihasilkan dari hutan tropis memperkuat konsekuensi cepat habisnya sumber daya hutan Indonesia. Lebih lanjut, nilai tegakan yang lebih rendah juga menyebabkan turunnya penerimaan pemerintah dari timber royalties.

4.2.5. Pengaruhnya terhadap daya saing (competitiveness)

Kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada awal dekade 80-an ternyata berhasil mengembangkan industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia serta merubah Indonesia dari eksportir kayu bulat tropis terbesar di dunia menjadi eksportir utama kayu tropis olahan. Harga kayu bulat domestik yang lebih murah memberikan keuntungan kepada pengusaha industri pengolahan kayu karena biaya produksi industri pengolahan kayu di dalam negeri menjadi lebih rendah. Sebagai hasilnya, produksi kayu lapis dan kayu gergajian di dalam negeri menjadi lebih menguntungkan seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan produksi kayu lapis (5%) dan produksi kayu gergajian (3%) pada periode 1985-1997 (Tabel 5).

Turunnya biaya produksi kayu lapis dan kayu gergajian menyebabkan daya saing produk perkayuan Indonesia di pasar internasional meningkat, sehingga pangsa pasar (market share) ekspor kayu olahan Indonesia meningkat selama dekade 80-an dan awal dekade 90-an. Untuk produk kayu lapis (hardwood plywood), pangsa pasar ekspor Indonesia meningkat dengan pesat, yaitu dari mendekati nihil pada tahun 1977 menjadi 11 persen pada tahun 1981, kemudian meningkat menjadi 46 persen pada tahun 1985, dan pada tahun 1992 meningkat menjadi 54 persen (FAO, 1994). Sementara itu, untuk produk kayu gergajian (hardwood sawnwood) pangsa pasarnya meningkat dari 6 persen pada tahun 1977 menjadi 16 persen pada tahun

(21)

1981, kemudian meningkat menjadi 27 persen pada tahun 1985. Namun, setelah diberlakukannya pajak ekspor kayu gergajian yang sangat tinggi pada Nopember 1989 pangsa pasar ekspor kayu gergajian Indonesia kembali turun. Pada tahun 1992 pangsa pasar ekspor kayu gergajian Indonesia hanya 7 persen (FAO, 1994).

Namun demikian, peningkatan daya saing (meningkatnya pangsa pasar ekspor) tersebut, yang utamanya disebabkan oleh biaya produksi kayu olahan yang lebih murah akibat harga bahan baku kayu bulat yang murah, harus dibayar dengan rusaknya sumber daya hutan Indonesia. Pembahasan lebih lanjut mengenai hal ini disampaikan pada bagian tulisan berikutnya.

4.2.6. Pengaruhnya terhadap konservasi hutan alam

Tabel 5 memperlihatkan “dengan larangan ekspor kayu bulat” produksi kayu bulat Indonesia 18 persen lebih rendah dibandingkan “tanpa larangan ekspor kayu bulat”. Jadi, kebijakan larangan ekspor kayu bulat menghasilkan dampak langsung yang positip terhadap konservasi karena pembalakan kayu bulat berkurang. Namun demikian, seperti yang telah diterangkan pada bagian sebelumnya, turunnya harga kayu bulat domestik menyebabkan berbagai dampak negatif (disinsentif) terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan Indonesia, dan menyebabkan penghancuran sumber daya hutan Indonesia.

Fakta terjadinya kehancuran sumber daya hutan Indonesia dengan laju deforestasi yang semakin meningkat dari tahun ke tahun (khususnya selama periode berlakunya kebijakan larangan ekspor kayu bulat: 1985 sampai 1997, laju deforestasi rata-rata mencapai 1,6 – 1,8 juta hektar per tahun) menunjukkan bahwa manfaat langsung konservasi sebagai akibat berkurangnya produksi kayu bulat dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat dikalahkan oleh berbagai dampak negatif yang dihasilkan sebagai akibat harga kayu bulat domestik yang murah.

4.3. Pengaruhnya Terhadap Penebangan Liar

Dalam studi ini diasumsikan bahwa seluruh reported log production oleh HPH dipergunakan sebagai bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergajian. Volume kayu bulat hasil penebangan liar pada periode 1985 sampai 1997 berasal dari jumlah unreported log production oleh HPH ditambah dengan perkiraan volume kayu bulat hasil penebangan liar yang dilakukan oleh non-HPH dan masyarakat

(22)

lokal. Perkiraan jumlah total volume kayu bulat hasil penebangan liar yang dilakukan oleh non-HPH dan masyarakat lokal diasumsikan sama dengan jumlah kayu bulat yang dikonsumsi oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian dikurangi oleh reported

and unreported log production oleh HPH pada periode tersebut, ditambah dengan

volume kayu bulat selundupan. Perlu diperhatikan bahwa volume kayu bulat hasil penebangan liar di sini tidak memperhitungkan volume kayu bulat hasil penebangan liar yang diserap oleh industri pulp dan kertas.

Tabel 12 memperlihatkan selama periode 1985-1997, dengan larangan ekspor kayu bulat, total konsumsi kayu bulat Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri kayu lapis dan kayu gergajian sebanyak 414 juta m3. Ekspor logs dilarang total. Sementera itu, jumlah produksi kayu bulat yang dilaporkan oleh HPH sebanyak 253 juta m3. Dengan demikian kekurangannya sebesar 161 juta m3 dianggap dipasok dari hasil penebangan liar. Dari total volume kayu bulat hasil penebangan liar ini, 150 juta m3 berasal dari penebangan liar yang dilakukan oleh HPH (yaitu sebanyak unreported log production HPH selama periode waktu tersebut), sedangkan kekurangannya sebanyak 11 juta m3 diasumsikan berasal dari penebangan liar yang dilakukan oleh non HPH dan/atau masyarakat lokal. Selanjutnya, dengan memperhitungkan total volume kayu bulat yang tercatat diselundupkan ke luar negeri (yaitu sebanyak 0,8 juta m3 (FAO, 2002); jumlah total volume kayu bulat yang sesungguhnya diselundupkan dan tidak tercatat selama periode 1985-1997 tidak diketahui), maka total volume kayu hasil penebangan liar selama periode 1985-1997 jumlahnya 161,8 juta m3, atau rata-rata 12,5 juta m3 per tahun (tanpa memperhitungkan kebutuhan kayu bulat oleh industri pulp dan kertas).

Tanpa larangan ekspor kayu bulat total produksi kayu bulat Indonesia selama periode 1985-1997 sebesar 506 juta m3, dimana 399 juta m3 dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku kayu bulat untuk memproduksi kayu lapis dan kayu gergajian, sedangkan total volume kayu bulat yang diekspor sebanyak 107 m3. Sementera itu, jumlah produksi kayu bulat yang dilaporkan oleh HPH selama periode tersebut sebanyak 253 juta m3. Dengan demikian total volume kayu bulat hasil penebangan liar jumlahnya 253 juta m3 (atau rata-rata 19,5 juta m3/tahun) dimana 150 juta m3 berasal dari penebangan liar yang dilakukan HPH (unreported log

production), dan 103 juta m3 berasal dari penebangan liar yang dilakukan oleh non HPH dan/atau masyarakat lokal.

(23)

Jadi, total volume kayu bulat hasil penebangan liar jumlahnya lebih kecil dengan diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat, yaitu berkurang dari 253 juta m3 (tanpa larangan ekspor kayu bulat) menjadi 161,8 juta m3 (dengan larangan ekspor kayu bulat). Kesimpulannya, larangan ekspor kayu bulat dapat mengurangi penebangan liar, namun tidak dapat meniadakan penebangan liar. Dengan perkataan lain, penebangan liar di Indonesia tetap terjadi dengan atau tanpa larangan ekspor kayu bulat.

Penyebab utama terjadinya penebangan liar di Indonesia sesungguhnya karena supremasi hukum selama ini tidak dapat ditegakkan dan praktik KKN terus marak berlangsung. Praktik penebangan liar bahkan sudah terjadi sejak awal dimulainya kegiatan operasi pembalakan HPH. Permasalahan lain yang menyebabkan terjadinya penebangan liar adalah karena ketidakjelasan hak kepemilikan lahan hutan (land tenurial right problems) dan karena hak masyarakat adat (indigenous people) selama ini tidak dihormati dalam peraturan perundangan yang berlaku dan/atau mengatur tentang kehutanan di Indonesia.

Disamping itu, harga kayu bulat domestik yang murah sebagai akibat dari resultante berbagai kebijakan pemerintah yang salah (yang menyebabkan distorsi pasar produk perkayuan Indonesia) mendorong pembangunan kapasitas industri perkayuan yang berlebihan, sehingga kebutuhan bahan baku kayu meningkat tajam. Dipihak lain, harga kayu bulat yang murah menyebabkan praktek pengelolaan hutan lestari tidak dilakukan sehingga menyebabkan sumber daya hutan semakin hancur, dan persediaan kayu di hutan semakin menipis. Hal ini menyebabkan kesenjangan yang (semakin) besar antara permintaan dan pasokan kayu bulat di dalam negeri, sehingga mendorong terjadinya pencurian kayu (penebangan liar) di hutan-hutan Indonesia.

Sementara itu, “dirangsang” oleh murahnya harga bahan baku kayu, total kapasitas industri perkayuan terus bertambah selama dekade 90-an, khususnya dengan meningkat pesatnya kapasitas industri pulp dan kertas di Indonesia. Pada waktu yang bersamaan tetap tidak ada perbaikan yang berarti dalam upaya merehabilitasi hutan alam yang telah rusak, sedangkan realisasi pembangunan hutan tanaman industri berjalan lambat. Kenyataan di atas bersamaan dengan fakta penegakkan hukum yang sampai sekarang masih terus lemah (bahkan sesungguhnya “tidak ada”) dan praktik penyakit kronis KKN yang terus marak berlangsung sampai

(24)

saat ini menyebabkan penebangan liar semakin bertambah besar. Disamping itu, penyelundupan kayu ke luar negeri pun semakin merajarela (tentang hal ini dibahas lebih lanjut pada bagian berikutnya). Pada tahun tahun 2000, volume kayu penebangan liar diperkirakan mencapai 40 juta m3 per tahun (FWI/GFW, 2002).

Penebangan liar (illegal logging) merupakan pembalakan kayu bulat yang melawan hukum dan peraturan yang ada/berlaku di Indonesia. Ada tiga kategori pelaku penebangan liar, yaitu: 1) penebangan liar yang dilakukan oleh perusahaan HPH, 2) penebangan liar yang dilakukan oleh “cukong pencuri kayu” yang tidak mempunyai ijin konsesi HPH dan/atau ijin pemungutan hasil hutan kayu, dan 3) penebangan liar yang dilakukan oleh masyarakat lokal untuk mata pencarian hidupnya. Dua kategori pelaku pertama melakukan penebangan liar dengan tujuan komersil, yaitu untuk mendapatkan keuntungan ekonomi.

Perusahaan pemegang ijin konsesi HPH sejak awal dimulainya kegiatan HPH biasa melakukan penebangan liar (over-cutting ), yaitu dengan cara memanen pohon di luar areal kerja yang telah ditentukan dalam suatu RKT (Rencana Karya Tahunan) HPH. Disamping itu, perusahaan HPH biasa melaporkan kepada pemerintah (Departemen Kehutanan) hasil produksi kayu bulat yang lebih rendah daripada yang sesungguhnya. Hariadi (2002) memperkirakan selama periode tahun 1977 sampai 1998, produksi kayu bulat yang tidak dilaporkan oleh perusahaan HPH (unreported

log production) rata-rata sebesar 12,8 juta m3 per tahun. Bentuk praktik penebangan liar lainnya yang biasa dilakukan oleh perusahaan HPH adalah “cuci mangkok”

(re-logging), yaitu melakukan kembali pembalakan kayu bulat di lokasi tebangan areal

kerja RKT tahun sebelumnya, sebelum masa konsesi HPH berakhir. Bahkan belakangan, ada perusahaan HPH yang melakukan praktik “cuci gudang”

(re-re-logging), yaitu kembali melakukan operasi pembalakan kayu bulat di bekas lokasi

tebangan “cuci mangkok” (Manurung, 2002).

Cukong pencuri kayu dan masyarakat lokal (pendatang) seringkali melakukan penebangan liar di areal konsesi HPH yang masih aktif, atau di areal konsesi HPH yang telah habis masa berlakunya (logged-over area). Disamping itu, penebangan liar juga dilakukan di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung.

Keseluruhan volume kayu bulat yang berasal dari penebangan liar ini menambah jumlah pasokan kayu bulat di dalam negeri sehingga menyebabkan

(25)

“kelimpahan” pasokan kayu bulat domestik (kelimpahan semu), yang menyebabkan harga kayu bulat menjadi semakin murah.

Kebijakan pemerintah, selama dekade 80-an dan 90-an, yang secara resmi mengijinkan konversi hutan alam untuk berbagai keperluan program pembangunan (misalnya untuk program transmigrasi, pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar, pembangunan hutan tanaman industri) turut menambah pasokan kayu bulat domestik, yaitu melalui produksi kayu IPK (ijin pemanfaatan kayu). Tambahan pasokan kayu IPK ini semakin menyebabkan “kelimpahan semu” pasokan kayu bulat domestik sehingga mengakibatkan harga kayu bulat domestik menjadi (semakin) murah.

Pada akhir dekade 90-an hingga sekarang ini, kayu bulat hasil penebangan liar dilaporkan dijual seharga Rp 250 ribu/m3, sedangkan harga kayu bulat hasil operasi pembalakan kayu bulat resmi oleh HPH harganya sekitar Rp 600 ribu rupiah (Kompas, berbagai tanggal penerbitan). Penebangan liar menyebabkan potensi persediaan kayu di hutan semakin menipis akibat over-eksploitasi hutan yang sangat berlebihan selama bertahun-tahun, sementara rehabilitasi hutan praktis hampir tidak ada hasilnya. Hasil ini seharusnya menyebabkan kelangkaan kayu bulat. Menurut teori ekonomi, harga suatu barang (seharusnya) bertambah mahal bila terjadi kelangkaan. Namun demikian, karena pasokan kayu bulat hasil penebangan liar menyebabkan “kelimpahan semu” pasokan kayu bulat, maka yang terjadi adalah harga kayu bulat yang semakin murah. Konsekuensi logis atau harga yang harus dibayar adalah kehancuran sumber daya hutan Indonesia, bahkan bisa hancur total karena dikuras habis melalui kegiatan penebangan liar. Penegakan supremasi hukum yang lemah dan praktik KKN yang masih terus marak menyebabkan penebangan liar sulit untuk diberantas dan mempercepat proses kehancuran hutan.

Para pelaku dan kaki tangan yang terlibat dalam kegiatan penebangan liar, diantaranya: pembeli kayu illegal, pemegang HPH, investor yang mencari keuntungan cepat, pengusaha domestik maupun mancanegara yang berkolusi dalam perdagangan dan ekspor kayu illegal lintas batas, serta unsur-unsur dari instansi penegak hukum yang tidak jujur (Manurung 2001; ITTO 2001).

ITTO (2001) lebih lanjut mengelompokkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penebangan liar kedalam dua kelompok, yaitu (a) penyebab langsung, seperti permintaan kayu bulat yang tidak dapat dipenuhi, keuntungan besar yang

(26)

diperoleh karena biaya produksinya rendah akibat tidak membayar iuran/pungutan dan tidak mengeluarkan biaya untuk perencanaan dan pembangunan infrastruktur, keinginan investor untuk memperoleh keuntungan dalam waktu yang singkat, lemahnya penegakan hukum, dan adanya pasar di luar negeri yang menampung kayu

illegal, dan (b) penyebab tidak langsung, seperti rendahnya resiko melakukan

kegiatan illegal, kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, konflik masalah tenurial, kurangnya koordinasi diantara sektor-sektor terkait, dan hak masyarakat hukum adat pada tingkatan lokal yang tidak dihormati atau tidak mendapatkan pengakuan.

4.4. Pengaruhnya Terhadap Penyelundupan Kayu

Besarnya volume kayu bulat yang diselundupan ke luar Indonesia tidak dapat diterangkan oleh hasil simulasi model pasar perkayuan Indonesia. Seperti yang telah dikemukakan pada bagian butir 4.3. di atas, tanpa larangan ekspor kayu bulat jumlah ekspor kayu bulat Indonesia selama periode 1985-1997 sebanyak 107 juta m3. Ekspor kayu bulat tanpa kebijakan larangan ekspor kayu bulat diasumsikan semuanya berasal dari hasil produksi HPH yang resmi (yaitu sebanyak 253 juta m3). Hal ini masuk akal untuk menghindari tuduhan konsumen (importer) melakukan ekspor kayu bulat illegal, yang dapat mengakibatkan “diboikot”-nya ekspor kayu bulat Indonesia oleh negara pengimpor (konsumen di luar negeri). Disamping itu, harga kayu bulat ekspor yang tinggi mendorong perusahaan HPH untuk memprioritaskan mengekspor kayu bulat, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan kayu dalam negeri dipasok dari produksi kayu bulat HPH setelah dikurangi dengan volume kayu bulat yang diekspor. Kekurangan pasokan kayu bulat yang dibutuhkan untuk industri kayu lapis dan kayu gergajian dipasok dari hasil penebangan liar yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan penerimaan yang bisa dihasilkan dari ekspor kayu bulat ke pasar international.

Larangan ekspor kayu bulat menyebabkan harga kayu bulat yang lebih murah di dalam negeri (sebagai akibat diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat), sehingga ada perbedaan yang sangat besar dibandingkan dengan harga kayu bulat di pasar internasional. Hal ini menjadi pendorong untuk menyelundupkan kayu karena keuntungan yang dapat diperoleh dari kayu bulat yang berhasil diselundupkan sangat besar.

(27)

Kesimpulannya, larangan ekspor kayu bulat dapat menyebabkan penyelundupan kayu menjadi lebih besar karena keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan kayu yang berhasil diselundupkan besar. Praktek penegakkan supremasi hukum yang lemah, dan terus maraknya praktik KKN yang dilakukan oleh petugas bea dan cukai serta aparat penegak hukum lainnya menyebabkan penyelundupan kayu sulit untuk diberantas.

4.5. Pengaruhnya terhadap Pembangunan Kapasitas Industri Pengolahan Kayu

Tabel 13 dan 14 memperlihatkan perkembangan pembangunan kapasitas industri kayu lapis dan kayu gergajian di Indonesia pada periode waktu sebelum dan sesudah diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat. Kapasitas industri kayu lapis dan kayu gergajian bertumbuh dengan pesat sejak diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat pada Mei 1980, bersamaan dengan diberlakukannya kebijakan pemerintah yang “memaksa” perusahaan HPH untuk membangun industri pengolahan kayu dengan inti industri kayu lapis.

Seperti telah dikemukakan sebelumnya, dampak yang paling merugikan dari diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat adalah dampak distorsi yang disebabkannya terhadap signal harga yang menyeimbangkan permintaan dan pasokan di pasar kayu bulat. Supaya industri perkayuan berkembang melalui jalan yang berkelanjutan, industri pengolahan kayu domestik seharusnya memberikan respon terhadap signal kelangkaan ini. Namun, karena larangan ekspor kayu bulat menekan signal-signal harga ini, harga kayu bulat yang (lebih) murah menciptakan kesan persediaan cadangan kayu (timber stock) yang berlebih, yang pada gilirannya menyebabkan pembangunan kapasitas industri perkayuan yang berlebihan, karena pabrik-pabrik pengolahan kayu membayar bahan baku kayu bulat yang secara

artificial rendah.

Tabel 5 memperlihatkan bahwa tanpa larangan ekspor kayu bulat produksi kayu lapis dan kayu gergajian tetap mengalami peningkatan seperti yang terjadi dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat (produksi kayu gergajian mengalami penurunan setelah tahun 1989 sebagai akibat diberlakukannya pajak ekspor kayu gergajian yang sangat tinggi). Namun, dengan diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat terjadi peningkatan produksi kayu lapis dan kayu gergajian yang lebih tinggi. Pertumbuhan kapasitas industri kayu lapis dan kayu

(28)

gergajian yang tetap terjadi walaupun tanpa diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat utamanya disebabkan oleh “paksaan” dari pemerintah kepada para pengusaha HPH untuk membangun industri pengolahan kayu berintikan industri kayu lapis. Terjadinya integrasi vertikal antara HPH dan industri pengolahan kayu, yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, menyebabkan tidak terjadinya mekanisme pasar kayu bulat di Indonesia, dan mengakibatkan harga bahan baku kayu bagi industri pengolahan kayu murah, sehingga mendorong pembangunan kapasitas industri pengolahan kayu domestik yang berlebihan, walaupun tanpa larangan ekspor kayu bulat.

4.6. Pengaruhnya Terhadap Jaminan Ketersediaan Bahanbaku Kayu Domestik

Tabel 15 menunjukkan rata-rata kapasitas produksi kayu lapis dan kayu gergajian yang digunakan pada periode 1985 sampai 1997 berturut-turut diperkirakan 88% dan 81% dari kapasitas terpasang yang diijinkan (permitted installed-capacity). Penggunaan kapasitas terpasang ini akan lebih rendah apabila kayu bulat dapat diekspor, yaitu 84% untuk industri kayu lapis dan 78% untuk industri kayu gergajian.

Tabel 15 juga menunjukkan kapasitas terpasang industri kayu lapis meningkat dari 6,3 juta m3 pada tahun 1985 menjadi 12,6 juta m3 pada tahun 1996 dan kemudian menurun menjadi 9.8 juta m3 pada tahun 1997. Sementara itu, kapasitas terpasang industri kayu gergajian meningkat dari 8.8 juta m3 pada tahun 1985 menjadi menjadi 11,6 juta m3 pada tahun 1997. Berdasarkan kapasitas terpasang industri kayu lapis dan kayu gergajian, bahan baku kayu bulat yang dibutuhkan oleh kedua industri tersebut dari tahun 1985 sampai 1997 diperkirakan sebesar 492 juta m3 (Tabel 13). Sementara itu, berdasarkan realisasi produksi kayu lapis dan kayu gergajian, bahan baku kayu bulat yang dibutuhkan oleh kedua industri tersebut untuk periode yang sama berjumlah 414 juta m3 (atau 84% dari kebutuhan bahan baku pada kapasitas terpasang). Lebih lanjut, berdasarkan realisasi produksi kayu lapis dan kayu gergajian hasil simulasi, bahan baku kayu bulat yang dibutuhkan oleh kedua industri tersebut pada periode yang sama tanpa larangan ekspor kayu bulat sebesar 399 juta m3 (atau 81% dari kebutuhan bahan baku pada kapasitas terpasang). Ketiga angka tersebut jelas jauh lebih besar daripada realisasi produksi kayu bulat yang dilaporkan untuk periode yang sama, yaitu sebesar 253 juta m3.

(29)

Log balance yang terjadi dari tahun 1985 sampai 1997 berdasarkan realisasi

produksi kayu lapis dan kayu gergajian diperkirakan 161 juta m3 dimana defisit ini dipenuhi oleh kayu bulat hasil penebangan liar seperti yang diuraikan di atas.

Hasil simulasi juga menunjukkan terjadi peningkatan konsumsi bahan baku kayu bulat oleh industri kayu lapis dan kayu gergajian sebesar 15 juta m3 (atau 4%) akibat peningkatan produksi kayu olahan tersebut yang disebabkan oleh kebijakan larangan ekspor kayu bulat. Peningkatan konsumsi ini diduga dipenuhi oleh kayu bulat yang berasal dari hasil penebangan liar yang tadinya untuk diekspor.

Dari uraian di atas, jelas terlihat bahwa kebijakan larangan ekspor kayu bulat tidak mampu menjamin ketersediaan bahan baku kayu untuk industri pengolahan kayu domestik.

4.7. Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Hutan Tanaman (skala kecil dan HTI)

Harga kayu bulat domestik yang murah sebagai akibat dari diberlakukannya kebijakan larangan ekspor kayu bulat (dan sebagai akibat dari resultante berbagai kebijakan lainnya yang diberlakukan oleh pemerintah bersamaan dan/atau setelah diberlakukannya larangan ekspor kayu bulat pada dekade 80-an) menyebabkan disinsentif untuk membangun hutan tanaman skala kecil dan hutan tanaman industri. Dalam perkembangannya, pembangunan HTI skala besar baru mulai dilakukan pada awal tahun 1990. Namun demikian, pembangunan HTI tersebut sesungguhnya terjadi karena adanya “insentif ekonomi” yang berasal dari suntikan dan/atau fasilitas dana murah serta penyertaan modal pemerintah yang berasal dari Dana Reboisasi (DR). Dana murah ini diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN yang hendak membangun HTI. Tanpa adanya suntikan dana DR untuk membangun HTI, dan sebagai akibat harga kayu bulat domestik yang murah, sesungguhnya tidak ada insentif ekonomi untuk membangun HTI.

Sementara itu, perusahaan swasta murni yang besar, khususnya yang terkait dengan perusahaan pulp dan kertas, malah ternyata lebih berhasil dalam membangun HTI-pulp walaupun tanpa menggunakan fasilitas DR. Namun demikian, walaupun perusahaan tersebut tidak memanfaatkan dana murah yang berasal dari DR, sesungguhnya (grup) perusahaan tersebut mendapatkan insentif ekonomi yang terselubung, yaitu mendapatkan keuntungan besar dari hasil kayu IPK yang

(30)

diperolehnya dari kegiatan konversi hutan alam (melalui kegiatan land clearing) di areal konsesi HTI yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan tersebut.

Pasokan kayu IPK, selama dekade 90-an, yang berasal dari kegiatan konversi hutan alam untuk berbagai keperluan pembangunan pertanian dan perkebunan membuat harga kayu bulat domestik tetap murah, sehingga tidak ada insentif ekonomi untuk membangun hutan tanaman, khususnya HTI-kayu pertukangan untuk memproduksi bahan baku kayu untuk industri kayu lapis dan kayu gergajian. Demikian pula halnya dengan pembangunan HTI-pulp selama ini berjalan lambat. HTI-pulp yang berhasil dibangun (dengan jenis tanaman utama yang dominan

Acacia mangium) adalah HTI-pulp yang langsung terkait dengan pabrik pulp yang

dimiliki oleh grup perusahaan yang sama. Perilaku para pengusaha yang menikmati keuntungan besar dari hasil kayu IPK, namun kemudian tidak merealisasikan pembangunan HTI merupakan praktek nyata yang banyak terjadi di lapangan sejak dimulainya program pembangunan HTI sampai dengan sekarang ini. Tidak adanya penegakan supremasi hukum terhadap peraturan perundangan yang mengatur tentang HTI, dan tidak adanya “hukuman” terhadap para pengusaha yang tidak merealisasikan pembangunan HTI-nya setelah mendapatkan keuntungan besar dari kayu IPK menyebabkan realisasi pembangunan HTI rendah, dan mengakibatkan jutaan hektar lahan semak-belukar dan/atau alang-alang yang terlantar dan tidak produktif (Manurung, 2000).

Sampai akhir Desember 2000 realisasi pembangunan HTI dilaporkan mencapai 1.851.165 ha atau 23,5% dari total 7.851.165 ha luas konsesi Hak Pengusahaan HTI yang telah diberikan oleh pemerintah kepada 175 perusahaan, yang terdiri dari 3 jenis HTI, yaitu: HTI pulp, HTI kayu pertukangan dan HTI-pola transmigrasi. Sampai dengan akhir Desember 2000, HTI-pulp yang telah dibangun dilaporkan seluas 1.167.811 ha atau 23,5 % dari total 4.960.328 ha areal konsesi HTI-pulp yang telah diberikan kepada 29 perusahaan, HTI kayu Pertukangan yang telah dibangun seluas 374.147 ha atau 18,1% dari total luas 2.065.088 ha yang telah diberikan kepada 79 perusahaan, sedangkan HTI Trans yang dilaporkan telah ada realisasi tanamannya seluas 309.207 ha atau 37% dari total luas 835.835 ha yang telah diberikan kepada 67 perusahaan (Direktorat Hutan Tanaman Industri, 2001; FWI/GFW, 2002). Dalam kenyataannya di lapangan, banyak diantara tanaman HTI yang kualitas tumbuhnya kurang (tidak) baik. Sebagian ada yang mati, termasuk

(31)

yang telah dilalap oleh api pada waktu kejadian kebakaran hutan, khususnya pada tahun 1997 dan 1998. Disamping itu, dalam kenyataannya HTI trans yang dilaporkan telah direaliasikan tanamannya ternyata sebagian besar tidak berhasil. Hal ini terjadi utamanya karena memang dari awalnya HTI pola transmigrasi ini merupakan program “paksaan” yang diwajibkan oleh seorang menteri kehutanan kepada para pemilik konsesi HPH.

4.8. Pengaruhnya Terhadap Dorongan Untuk Mengkonversi Hutan Alam

Larangan ekspor kayu bulat menyebabkan terjadinya penurunan nilai tegakan hutan. Penurunan total nilai tegakan ini terjadi akibat menurunnya produksi dan harga kayu bulat domestik (Tabel 5).

Jika total nilai tegakan yang diperoleh selama periode tersebut dibagi dengan total luas tebangan yang terjadi (Tabel 17), maka besarnya nilai tegakan hutan alam produksi adalah USD 505 per hektar (harga konstan 1985), atau 18% lebih rendah dibandingkan nilai tegakan tanpa larangan ekspor kayu bulat ditiadakan, yaitu USD 618 per hektar (harga konstan 1985). Ini konsisten dengan penurunan harga kayu bulat domestik sebesar 18% akibat larangan ekspor kayu bulat (Tabel 5). Jelas terlihat bahwa kebijakan larangan ekspor kayu bulat menaikkan opportunity cost dari pengelolaan hutan alam, dan oleh karena itu mendorong untuk melakukan konversi hutan alam ke berbagai bentuk penggunaan lainnya (misalnya untuk bisnis usaha pertanian ataupun perkebunan).

Elias (2002) dalam studinya di areal HPH PT. Narkata Rimba (Alas Kusuma Group), Kalimantan Timur, memperkirakan total nilai kerusakan dan perbaikan tegakan tinggal hutan alam dalam satu siklus penebangan sebesar USD 438 per hektar (harga konstan 1985). Apabila nilai kerusakan dan perbaikan ini (stumpage

cost) diperhitungkan terhadap nilai tegakan, jelas hal ini akan lebih menaikkan opportunity cost dari pengelolaan hutan alam, karena biaya pengelolaan hutan alam

bertambah mahal.

Besarnya willingness to pay for bare land pengelolaan hutan alam bila hanya menggunakan nilai tegakan saja (belum memperhitungkan stumpage cost, dan manfaat bagi lingkungan dan sosial yang dapat diperoleh dari hutan) diperkirakan sebesar USD 577 per hektar (harga konstan 1996; tingkat suku bunga 10%). Angka ini jauh lebih rendah daripada, sebagai contoh, net present value dari investasi

Gambar

Gambar 1.  Equilibrium and welfare, with and without log export ban.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan percepatan pada kuartal ketiga, belanja modal pemerintah diperkirakan meningkat sebesar 21,4 persen secara riil dalam sembilan bulan pertama tahun 2015 dibanding periode

Komisi mengadakan pertemuan setiap 2 (dua) tahun atau pada waktu yang disepakati bersama oleh Para Pihak, secara bergantian di Republik Indonesia dan

Berdasarkan hasil simulasi perangkat lunak PVSyst 7.0 PLTS skala perkantoran berkapasitas di lokasi penelitian dengan berbagai variasi dapat dibuat tabel 8 sebagai

Sebuah artikel dalam komunikasi alam dari sebuah kelompok riset di Lund, Swedia pada bulan November 2011 telah ditemukan petunjuk untuk mekanisme analgesik

Sehubungan dengan Evaluasi Seleksi Umum Pengadaan Barang/Jasa pada Dinas Perumahan Kawasan Pemukiman Dan Penataan Ruang Kota Medan Tahun Anggaran 2017 Paket Pekerjaan Penyusunan

(5) Saksi calon dalam penghitungan suara sebagaimana dimaksud pada ayat (2), harus membawa surat mandat dari calon yang bersangkutan dan menyerahkannya kepada

Perihal batasan keterangan saksi secara eksplisit Pasal 1 angka 27 KUHAP menentukan, bahwa keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang

Uji Aktivitas Antibakteri Ekstrak Daun Belimbing Wuluh ( Averrhoa Bilimbi Linn) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus Aureus Penyebab Infeksi Nifas.. Care: Jurnal Ilmiah