• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengasingan di Negeri Belanda

Dalam dokumen Buku Ki Hajar Dewantara (Halaman 53-57)

BAGIAN 2: PRINSIP PENDIDIKAN TAMAN SISWO PADA AWAL

D. Pengasingan di Negeri Belanda

Pada 6 September 1913 tiga serangkai ini, TM, SS bersama isterinya, dan EFE Douwes Dekker beserta isteri dan anak-anaknya berangkat dari pelabuhan Tanjung Priok di Batavia menuju ke negeri Belanda, sebagai tempat pembuangannya melalui Singapura.14 Namun keberangkatannya mengalami pendundaan, sehingga dikhawatirkan batas waktu keberangkatan ke tempat pengungsian akan terlewati. Pada 13 September 1913, kapal mulai meninggalkan pelabuhan Tanjuk Priok. Dari atas kapal Melchior Treub, sebuah kapal milik maskapai pelayaran Jerman, yang akan membawa mereka ke Belanda, SS masih sempat menulis pesan yang disampaikan kepada kawan-kawannya yang mengantarnya dari pelabuhan Tanjung Priok. Pesan itu diberi judul “Vrijheidsherdenking en Vrijheidsberooving” (Peringatan Kemerdekaan dan Perampasan Kemerdekaan). Beberapa saat sebelum kapal bergerak, ia menerima kabar dari kawan-kawannya bahwa uang sumbangan yang telah terkumpul telah dikembalikan kepada para donaturnya.

Sesampainya di negeri Belanda, mereka hidup dengan menggunakan uang yang diperoleh dari sumbangan

teman-14. Lihat HAH Harahap dan BS Dewantara. Ki Hadjar Dewantara Dkk.

Jakarta: PT Gunung Agung, 1980, hlm. 148.Lihat pula “DD Naar Europe” dalam De Sumatra Post, 9 September 1913 lembar ke-2.

teman mereka yang telah membentuk suatu badan pengumpul dana yang diberi nama TADO yang merupakan singkatan dari

Tot Aan De Onafhankelijkheid (Sampai Kemerdekaan Tercapai), yang memberikan uang bantuan beaya hidup bagi para buangan itu. Dari dana TADO ini, untuk keperluan sehari-hari SS dan TM f 150 per bulan. EFE Douwes Dekker bersama isteri dan dua orang anaknya menerima f 250 per bulan. Tentu saja beaya sebesar itu tidak akan mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Oleh karena itu mereka juga memperoleh bantuan dari teman-temannya yang sedang belajar di negeri Belanda yang secara spontan mengirimkan beras, pakaian, serta peralatan rumah tangga.15

Dalam mengatasi kesulitan hidup ini isteri SS, Soetartinah, yang ikut serta mendampingi suaminya melamar untuk bekerja sebagai guru di Fröbel School, sebuah taman kanak-kanak di Weimar, Den Haag. Sementara itu, SS dan TM sibuk dengan urusan jurnalisme yang telah ia tekuni sejak lama.16 Dari honor mereka menulis inilah, mereka dapat menyambung hidupnya di negeri kincir angin tersebut. Namun, TM harus dipulangkan segera ke tanah air pada 27 Juli 1914 akibat penyakit kronis yang dideritanya, walaupun terhadap dirinya tetap diberlakukan kembali Ketetapan Surat Keputusan Hukuman 18 Agustus 1913 berupa “interneering” (pengasingan) ke pulau Banda. Namun

15. Lihat “DD in Holland”, dalam Bataviaasche Nieuwsblad. 22 Oktober 1913, lembar ke-2.

16. Lihat “De Sociaal Democraten en de Bannenlingen” dalam Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch Indie. 10 November 1913, lembar ke-2.

sesampainya di Hindia Belanda, ia diizinkan menetap di kota Solo sebagai seorang dokter swasta di daerah Kusumoyudan Solo.

Banyak karya yang dihasilkan selama SS berada di pembuangan, antara lain ia sempat mendirikan Indonesisch Pers Bureau, dengan sekretariat di jalan Fahrenheitstraat 473 di Den Haag. Pendirian pers nasional di Belanda ini berhasil didirikan berkat pinjaman uang dari H. Van Kol seorang Belanda yang pernah bekerja di Departemen Pekerjaan Umum di Jawa. Uang pinjaman sebesar f 500 akan dikembalikan dengan cara diangsur.17

Diilhami oleh pekerjaan isterinya, di samping kesibukannya bekerja mengurus masalah pers, SS masih menyempatkan diri untuk mengikuti kuliah singkat di Lager Onderwijs (Sekolah Guru), yang diselenggarakan oleh Kementerian Dalam Negeri Belanda di Den Haag. Pada 12 Juni 1915, ia memperoleh ijazah Akte van bekwaam als Onderwijzer

(Ijazah Kepandaian Mengajar). Mendengar berita kelulusan SS, sahabatnya EFE Douwes Dekker menyarankan agar ia tidak lagi membuat onar di bidang politik.18 Namun himbauan sahabatnya itu tidak dapat dipenuhi, sehingga ia tetap menulis artikel yang dimuat di koran-koran Belanda. Kegiatan dalam bidang pendidikan pun yang semula merupakan kegiatan iseng dengan

17. Lihat “Van Kol over I.P” dalam Bataviaasch Nieuwsblad. 3 Oktober 1913, lembar ke-2.

18. Lihat “De Banneling Soewardi” dalam Leeuwarder Courant, 17 Juni 1915, lembar ke-1.

tujuan untuk memperoleh hasil tambahan untuk biaya hidup, akhirnya mempengaruhi hampir seluruh kehidupannya. Ia sependapat dengan isterinya bahwa perjuangan dapat dilakukan tidak hanya dengan berperang, atau tindakan kekerasan lainnya. Perjuangan dapat dilakukan dengan mempersiapkan bangsanya untuk merdeka melalui pendidikan. Banyak buku pendidikan yang telah dibacanya, termasuk sistem pendidikan yang digagas oleh tokoh Montessori, seorang pendidik dari Italia, yang mengarahkan anak-anak didik pada kecerdasan budi. Ia juga membaca buku tentang Rabindranath Tagore, tokoh pendidikan dari India yang menekankan pentingnya pendidikan keagamaan yang baik sebagai alat untuk memperkokoh kehidupan manusia. Beberapa prinsip dasar pendidikan nasional sudah dipikirkannya, antara lain dengan menggunakan bahasa ibu, dan bukan bahasa kolonial.

Kemantapan dirinya untuk menjadi pendidik semakin tertanam dalam dirinya, tatkala anak pertamanya lahir, yang diberi nama Asti pada 24 Agustus 1915. Asti lahir dengan berkebutuhan khusus. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh hubungan darah yang masih dekat dengan isterinya (saudara sepupu). SS yang semula adalah seorang jurnaslis sekaligus politikus mulai tertarik dan berniat untuk mendidik angkatan muda dalam jiwa kebangsaan Indonesia. Ia sangat sadar bahwa pendidikan merupakan dasar perjuangan untuk meninggikan derajat rakyat di tanah airnya, sekaligus melihat kelemahan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda. SS meletakkan dasar kemerdekaan melalui pendidikan anak-anak

karena ia sadar bahwa mengisi jiwa anak-anak merupakan suatu keharusan agar mereka berani untuk berjuang, yang merupakan senjata yang paling ampuh untuk merebut kemerdekaan. Sistem pendidikan kolonial membuat anak-anak selalu bergantung kepada bangsa Barat.19

Setelah menjalani hukuman buang di negeri Belanda, keluarga SS yang terdiri atas isterinya dan dua anak mereka (Asti dan adiknya Broto) direncanakan akan meninggalkan Belanda pada 24 Mei 1917 dengan menaiki kapal Rinjani. Namun, pada saat menjelang keberangkatannya, anak pertama mereka sakit keras, sehingga harus dirawat di rumah sakit. Tentu saja dengan kejadian ini keluarga SS membatalkan keberangkatannya untuk kembali ke tanah air. Namun rencana kepulangan ini menjadi tertunda cukup lama sebagai akibat dari pecahnya Perang Dunia I di Eropa. Hampir dua tahun berselang, pada 6 Juli 1919 Asti yang sakit dinyatakan sembuh, dan pada 26 Juli 1919, keluarga SS meninggalkan negeri Belanda dengan menaiki kapal Rinjani.

Perjalanan ke tanah air ditempuhnya selama 51 hari. Pada 15 September 1919, keluarga SS merapat di Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia.

Dalam dokumen Buku Ki Hajar Dewantara (Halaman 53-57)