BAB III PENERAPAN PENGASUHAN ANAK NARAPIDANA DALAM
B. Gambaran Kasus Pengasuhan Anak Narapidana Dalam
1. Pengasuhan anak narapidana AST (kasus pemerkosaan)
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengasuhan adalah proses, cara, perbuatan mengasuh. Sedangkan dalam Islam, menurut Dahlan (1999) dikutip dari Hannah (2014) pengasuhan/hadhanah secara terminologis adalah merawat dan mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.
2. Anak
Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
3. Narapidana
Narapidana adalah orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana); terhukum.
4. Hukum Islam
Hukum Islam adalah peraturan dan ketentuan yang berkenaan dengan
kehidupan berdasarkan Alqur’an dan Hadist.
5. UU No 35 Tahun 2014
Yaitu peraturan yang mengatur tentang segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang, dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang- undang ini merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya yaitu UU No 23 Tahun 2002.
Jadi, pengasuhan anak narapidana dalam perspektif hukum Islam dan UU No 35 Tahun 2014 adalah bentuk pengasuhan seorang ayah yang berstatus sebagai narapidana terhadap anaknya dan bagaimana perspektif hukum Islam serta Undang-undang UU No 35 Tahun 2014 mengenai hal tersebut.
F.Tinjauan Pustaka
Dalam penyusunan proposal skripsi ini, penulis merujuk pada penelitian
sebelumnya yang berjudul Kewajiban Suami Narapidana Terhadap Nafkah
Keluarga karya Dedy Sulistyono dan diterbitkan oleh IAIN Salatiga tahun 2014. Penelitian tersebut mengemukakan tentang bagaimana pemenuhan
nafkah suami narapidana terhadap isteri menurut hukum Islam dan peraturan perundangan. Penelitian ini memiliki objek yang sama dengan penelitian penulis yaitu narapidana, serta memiliki kesamaan dalam teori penelitian yaitu menggunakan hukum Islam dan undang-undang. Namun, yang membedakan adalah masalah penelitian. Penelitian ini cenderung membahas mengenai pemenuhan nafkah suami narapidana terhadap isteri, sedangkan penelitian penulis adalah mengenai pengasuhan anak narapidana. Selain itu, penulis juga menggunakan referensi undang- undang perlindungan anak yang terbaru yaitu UU No 35 Tahun 2014.
G.Metodologi Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini merupakan studi kasus dengan metode penelitian kualitatif. Menurut Moleong (2009:6) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain.
Penelitian kualitatif dimanfaatkan oleh peneliti yang berminat untuk menelaah sesuatu latar belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai, sikap, dan persepsi. (Moleong,2009:7)
2. Sumber Data
Menurut Lofland (1984:47) dikutip dari Moleong (2009:157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya
adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari pihak pertama berupa hasil wawancara dengan subjek penelitian. Dalam hal ini, peneliti
mewawancarai lima narapidana.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang pelengkap yang membantu peneliti dalam melakukan proses penelitian. Dalam penelitian ini, data sekunder berupa UU No 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, beberapa
ayat-ayat Aqur’an dan Hadist tentang pengasuhan anak/ hadhanah.
c. Data Tersier
Data tersier merupakan data penunjang yang dapat memberi petunjuk terhadap data primer dan data sekunder. Dalam hal ini data tersier yang digunakan adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia.
3. Subjek Penelitian
Pengambilan sampel dalam penelitian ini berdasarkan pada subjek yang memiliki kriteria tertentu yang diharapkan memiliki informasi yang
akurat. Menurut Sofyan dalam buku yang berjudul “Metode Penelitian
Hukum Islam” sampel semacam ini disebut purposive or judgemental sampling.
Dalam penelitian ini, yang merupakan subjek penelitian adalah
kurang lebih satu tahun, sudah berkeluarga dan memiliki anak. Menurut data yang didapatkan oleh peneliti, narapidana yang memenuhi kriteria tersebut berjumlah 5 (lima) orang dengan kasus yang berbeda. Penulis mewawancarai lima orang tersebut.
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Menurut Sofyan (2013:167) ada empat jenis wawancara yaitu wawancara terstruktur (structured interview), semi terstruktur (semi structured interview), tidak terstruktur (unstructured or focused interview) dan kelompok (group interview).
Wawancara pada penelitian ini lebih mengarah pada jenis wawancara tidak terstruktur (unstructured or focused interview) yaitu wawancara yang dilakukan dengan cara yang lebih terbuka (open-ended character). Pewawancara tidak terpaku pada pedoman wawancara yang dibuat, dalam artian pewawancara dapat melakukan improvisasi. Dengan cara tersebut responden akan leluasa menyatakan pendapat dan
keinginannya sehingga penggalian informasi akan lebih akurat. Dalam penelitian ini penulis juga menggunakan teknik wawancara mendalam (in depth interview). Dengan wawancara mendalam, bisa digali apa yang tersembunyi di sanubari seseorang, apakah yang menyangkut masa lampau, masa kini maupun masa sekarang. (Bungin, 2010 : 67)
Menurut Moleong (2009:175) observasi atau pengamatan
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan dan sebagainya; observasi memungkinkan observer untuk melihat dunia sebagaimana dilihat oleh subjek penelitian.
c. Telaah Dokumen
Dokumen yang dimaksud adalah segala catatan baik berbentuk catatan dalam kertas (hardcopy) maupun elektronik (softcopy). Dokumen dapat berupa buku, artikel media massa, catatan harian, manifesto, undang-undang, notulen, blog, halaman web, foto, dan lainnya. (Sarosa, 2012:61)
5. Teknik Analisis Data
Analisis data dilakukan dalam suatu proses. Proses berarti pelaksanaannya sudah mulai dilakukan sejak pengumpulan data dilakukan dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan penelitian.
(Moleong,2009:281)
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan analisis atau analytical approach
H.Sistematika Penulisan
BAB 1 PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, penegasan istilah, kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan
BAB II PENGASUHAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NO 35 TAHUN 2014
Bab ini berisi tentang pengasuhan anak menurut hukum Islam meliputi pengertian pengasuhan anak, batas usia anak menurut fiqih, dan bentuk-bentuk pengasuhan anak. Selain itu juga membahas tentang pengasuhan anak menurut UU No 35 Tahun 2014 tentang perlindungan anak
BAB III PENGASUHAN ANAK OLEH NARAPIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO 35 TAHUN 2014
Bab ini berisi gambaran umum LAPAS Ambarawa meliputi letak dan keadaan geografis, keadaan narapidana, narapidana berdasarkan agama yang dianut, macam-macam kegiatan narapidana dan kelompok ibadah. Selain itu bab ini juga berisi gambaran kasus pengasuhan anak narapidana dalam perspektif hukum Islam dan UU No 35 Tahun 2014 yang
mengemukakan pengasuhan anak narapidana LAPAS Ambarawa dalam keluarga A & B
BAB IV ANALISIS PENGASUHAN ANAK OLEH NARAPIDANA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN UU NO 35 TAHUN 2014
Bab ini membahas tentang pengasuhan anak narapidana LAPAS Ambarawa dan analisis pengasuhan anak narapidana dalam perspektif hukum Islam dan UU no 35 Tahun 2014
BAB V KESIMPULAN
BAB II
PENGASUHAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
A. Pengasuhan Anak Menurut Hukum Islam
1. Pengertian pengasuhan anak.
Salah satu dari tujuan perkawinan adalah untuk melestarikan keturunan atau menumbuhkan generasi penerus dari pasangan suami istri. Kehadiran anak dalam rumah tangga adalah hal yang sangat diidam-idamkan oleh setiap orang untuk dapat membuat keluarga semakin utuh, sejahtera,serta bahagia lahir maupun batin. Namun hal ini harus diiringi dengan terciptanya kerjasama yang baik antara suami dan istri dalam pengasuhan anak.
Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, pengasuhan adalah perbuatan atau cara mengasuh. Sedangkan pengertian pola asuh anak atau biasa disebut parenting adalah proses membesarkan dan mendukung perkembangan fisik dan mental yang juga meliputi emosional, sosial, spiritual, dan intelektual anak dari bayi hingga dewasa.
( http://www.asuhanak.com/2015/01/pengertian-parenting-dan-gaya.html?m=1)
Pengasuhan anak tentunya bertujuan untuk menciptakan generasi muda yang berkualitas, cerdas secara intelektual, emosional, dan spiritual.
Dalam hal ini orang tua memegang peranan penting sebab perilaku anak akan bergantung pada bagaimana cara orang tua dalam mengasuh anak. Beberapa pola pengasuhan yang diterapkan orang tua akan berpengaruh besar dalam tumbuh kembang anak.
Pada dasarnya pengasuhan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tua. Orang tua berkewajiban dalam mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak seperti yang tertera dalam UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak.
Selain itu, dalam hukum Islam dijelaskan bahwa seorang ibu jauh lebih berhak terhadap pemeliharaan anak daripada seorang ayah. Seorang perempuan lebih didahulukan tentang masalah pemeliharaan, baru berikutnya orang laki-laki.(Usman,2006:351)
Namun pada kenyataannya, seorang ayah juga merupakan figur yang penting bagi anak. Kehadiran ayah sangatlah penting secara fisik maupun psikologis sebagaimana Allah telah menuliskan sebuah surat
khusus dalam Al-Qur’an yaitu surat Luqman yang menceritakan bagaiman
Luqman mendidik anaknya untuk taat kepada Tuhannya.
Negara Indonesia adalah negara yang kekurangan ayah. Secara fisik dia ada dan nampak, namun tidak ada dalam pengasuhan kepada anaknya. (Rinaldi,2014:367) . Begitu banyak ayah diluar sana yang menghabiskan waktunya dalam mencari nafkah. Hal-hal tertentu juga mampu menjadi sebab seorang anak kehilangan figur ayahnya, seperti misalnya seorang
ayah yang harus menjalani hukuman di penjara atas dasar perbuatan yang melanggar hukum.
Hal ini tentu menyebabkan anak tidak mendapatkan hak nya secara maksimal dalam hal kasih sayang orang tua, karena dalam masa pertumbuhan seorang anak sangat membutuhkan peran kedua orang tuanya secara seimbang dan proporsional.
2. Batas Usia Anak Menurut Fiqh
Dapat diketahui bersama bahwa batas usia anak dalam UU No 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak adalah 18 tahun. Namun hal ini berbeda dengan yang tertera dalam hukum Islam. Terdapat beberapa pendapat dalam pembahasan mengenai batas usia dalam pengasuhan anak.
Menurut Al Barry (1977:234) dikutip dari Usman (2006:411), masa mengasuh anak kecil menurut mazhab Hanafi habis kalau anak itu sudah tidak membutuhkan pemeliharaan wanita dan sudah sanggup melaksanakan apa-apa keperluannya yang vital. Untuk anak putri diperpanjang sampai ia dewasa, tanpa adanya ketentuan berapa tahun umurnya menurut pendapat yang lama. Sedangkan di Mesir, menetapkan tujuh tahun bagi anak laki-laki dan sembilan tahun bagi anak perempuan.
Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam pasal 98 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menetapkan bahwa batas pemeliharaan anak sampai usia dewasa atau mampu berdiri sendiri adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah
melangsungkan perkawinan. Dapat diartikan bahwa orang yang cacat fisik maupun mental walaupun sudah berusia 21 tahun masih tetap dianggap dalam pemeliharaan orang tuanya atau kalau sudah pernah melangsungkan perkawinan walaupun belum berusia 21 tahun dianggap tidak berada dalam pemeliharaan orang tuanya.(Usman,2006:212)
3. Bentuk-bentuk pengasuhan anak
Dalam proses pengasuhan anak atau parenting, setiap orang tua pada umumnya memiliki cara yang berbeda-beda. Pola pengasuhan yang diterapkan pada anak akan tercermin pada sikap dan perilaku anak dalam kehidupan sehari-hari. Namun disamping itu, lingkungan sekitar, strata sosial, kesejahteraan, serta budaya orang tua juga akan memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam penerapan pola pengasuhan pada anak. Menurut
Drs. Syaiful Bahri Djamarah, M.Ag. dalam bukunya yang berjudul “Pola
Asuh Orang Tua dan Komunikasi Dalam Keluarga” terdapat lima belas
bentuk atau tipe pola pengasuhan anak sebagai berikut :
1. Gaya Otoriter
Tipe pola asuh otoriter adalah tipe pola asuh orang tua yang memaksakan kehendak. Dalam tipe ini, orang tua cenderung sebagai pengendali atau pengawas (controller), selalu memaksakan kehendak kepada anak, tidak terbuka terhadap pendapat anak, sangat sulit menerima saran dan cenderung memaksakan kehendak dalam perbedaan, terlalu percaya pada diri sendiri sehingga menutup katup musyawarah.
Pola asuh ini sangat cocok untuk anak PAUD dan TK dan masih bisa digunakan untuk anak SD dalam kasus-kasus tertentu.
2. Gaya Demokratis
Tipe pola asuh demokratis adalah tipe pola asuh yang terbaik dari semua tipe pola asuh yang ada. Hal ini disebabkan tipe pola asuh ini selalu mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan individu anak. Tipe ini adalah tipe pola asuh orang tua yang tidak banyak menggunakan kontrol terhadap anak. Pola ini dapat digunakan untuk anak SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi
3. Gaya Laissez-Faire
Tipe pola asuh orang tua ini tidak berdasarkan aturan-aturan. Kebebasan memilih terbuka bagi anak dengan sedikit campur tangan orang tua agar kebebasan yang diberikan terkendali. Orang tua yang menggunakan gaya ini menginginkan seluruh anaknya berpartisipasi tanpa memaksakan atau menuntut kewenangan yang dimilikinya. Tindak komunikasi dari orang tua cenderung berlaku sebagai seorang penghubung yang menghubungkan kontribusi atau sumbang
pemikiran dari anggota keluarga.
Pola asuh ini bisa digunakan untuk anak dalam semua tingkatan usia.
4. Gaya Fathernalistik
Fathernalistik (fathernal=kebapakan) adalah pola asuh
kebapakan, dimana orang tua bertindak sebagai ayah terhadap anak dalam perwujudan mendidik, mengasuh, mengajar, membimbing, dan menasehati. Orang tua menggunakan pengaruh sifat kebapakannya untuk menggerakkan anak mencapai tujuan yang diinginkan meskipun terkadang pendekatan yang dilakukan bersifat sentimental.
Pola asuh ini cocok digunakan untuk anak PAUD dan TK dalam kasus tertentu dan sangat pas digunakan untuk anak usia 0-2 tahun.
5. Gaya Karismatik
Tipe pola asuh karismatik adalah pola asuh orang tua yang memiliki kewibawaan yang kuat. Kewibawaan itu hadir bukan karena kekuasaan atau ketakutan, tetapi karena adanya relasi kejiwaan antara orang tua dan anak. Adanya kekuatan internal luar biasa yang
diberkahi kekuatan gaib oleh Tuhan dalam diri orang tua sehingga dalam waktu singkat dapat menggerakkan anak tanpa bantahan. Pola asuh ini baik selama orang tua berpegang teguh pada nilai-nilai moral dan ahlak yang tinggi dan hukum yang berlaku.
Pola asuh ini dapat diberdayagunakan terhadap anak usia SD, SLTP, SLTA, dan perguruan tinggi.
6. Gaya Melebur Diri
Tipe pola asuh melebur diri (affiliate) adalah tipe kepemimpinan orang tua yang mengedepankan keharmonisan hubungan dan membangun kerjasama dengan anak dengan cara menggabungkan diri. Ini tipe yang berusaha membangun ikatan yang kuat antara orang tua dan anak, berupaya menciptakan perasaan cinta, membangun kepercayaan, dan kesetiaan antara orang tua dan anak.. keakraban orang tua dan anak terjalin sangat harmonis.
Pola asuh ini bisa dipakai untuk anak PAUD dan TK. Tetapi untuk anak SLTP hanya sampai batas-batas tertentu.
7. Gaya Pelopor
Tipe pola asuh orang tua yang satu ini biasanya selalu berada di depan (pelopor) untuk memberikan contoh atau suri teladan dalam kebaikan bagi anak dalam keluarga. Orang tua benar-benar tokoh yang patut diteladani karena sebelum menyuruh atau memerintah anak,ia harus lebih dulu berbuat. Dengan kata lain orang tua lebih banyak sebagai pelopor di segala bidang demi kepentingan pendidikan anak.
Pola asuh ini dapat digunakan untuk anak dalam semua tingkatan usia.
8. Gaya Manipulasi
Tipe pola asuh ini selalu melakukan tipuan,rayuan,memutar balik kenyataan. Agar apa yang dikehendaki tercapai, orang tua
menipu dan merayu anak agar melakukan yang dikehendakinya. Orang tua selalu memutarbalikkan fakta atau memanipulasi keadaan sebenarnya.
Pola asuh ini sampai batas-batas tertentu dan sangat hati-hati masih bisa digunakan untuk anak PAUD dan TK karena mereka cenderung belum bisa diberi pengertian dan sangat tidak cocok untuk
anak SD’SLTP, dan SLTA.
9. Gaya Transaksi
Pola asuh orang tua tipe ini selalu melakukan perjanjian (transaksi), dimana antara orang tua dan anak membuat kesepakatan dari setiap tindakan yang diperbuat. Orang tua menghendaki anaknya mematuhi dalam wujud melaksanakan perjanjian yang telah
disepakati. Ada transaksi tertentu yang dikenakan kepada anak jika suatu waktu anak melanggar perjanjian tersebut. Pola asuh ini cocok digunakan untuk anak SD dan SLTP.
10. Gaya Biar Lambat Asal Selamat
Pola asuh orang tua tipe ini melakukan segala sesuatunya sngat berhati-hati. Orang tua berprinsip biar lambat asal selamat. Biar pelan tapi pasti melompat jauh ke depan. Orang tua tidak mau terburu-buru, tapi selalu memperhitungkan secara mendalam sebelum bertindak. Dalam berbicara orang tua menggunakan bahasa lemah lembut, sopan dalam kata-kata, santun dalam untaian kalimat.
Pola asuh ini cocok digunakan untuk anak PAUD, TK, SD, dan SLTP.
11. Gaya Alih Peran
Gaya alih peran adalah tipe kepemimpinan orang tua dengan cara mendelegasikan wewenang dan tanggung jawab kepada anak. Pola asuh ini dipakai oleh orang tua untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk mengemban tugas dan pera tertentu. Oran tua hanya memfasilitasi dan membantu ketika solusi atas masalah tidak ditemukan oleh anak. Meski tidak diberikan arahan secara detail apa yang harus anak lakukan, tetapi tanggung jawab dan proses
pengambilan keputusan sebagian besar diserahkan kepada anak. Pola asuh ini bisa digunakan untuk anak SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.
12. Gaya Pamrih
Tipe pola asuh ini disebut pamrih karena setiap hasil kerja yang dilakukan ada nilai material. Bila orang tua ingin menggerakkan anak untuk melakukan sesuatu, maka ada imbalan jasanya dalam bentuk material. Jadi, karena ingin mendapatkan imbalan jasa itulah anak terdorong melakukan sesuatu yang diperintah oleh orang tua.
Pola asuh ini cocok digunakan untuk anak PAUD, TK, SD, SLTP, tetapi hanya dalam hal tertentu.
13. Gaya Tanpa Pamrih
Tipe pola asuh ini disebut tanpa pamrih karena asuhan yang dilaksanakan orang tua kepada anak mengajarkan keikhlasan dalam perilaku dan perbuatan. Tidak pamrih berarti tidak mengharapkan sesuatu pun kecuali mengharapkan ridha Allah. Pola asuh ini dapat digunakan untuk anak dalam semua tingkatan usia.
14. Gaya Konsultan
Tipe pola asuh ini menyediakan diri sebagai tempat keluh kesah anak, membuka diri menjadi pendengar yang baik bagi anak. Orang tua siap sedia bersama anak untuk mendengarkan cerita, informasi, kabar, dan keluhan tentang berbagai hal yang telah dibawa anak dari pengalaman hidupnya. Komunikasi dua arah terbuka antara orang tua dan anak, dimana keduanya dengan posisi dan peran yang berbeda, orang tu berperan sebagai konsultan dan anak berperan sebagai orang yang menyampaikan pesan.
Pola asuh ini dapat digunakan untuk anak dalam berbagai tingkatan usia.
15. Gaya Militeristik
Pola asuh militeristik adalah tipe kepemimpinan orang tua yang suka memerintah. Tanpa dialog, anak harus mematuhi
perintahnya,tidak boleh dibantah, harus tunduk pada perintah dan larangan. Dalam keadaan tertentu ada ancaman, dalam keadaan berbahaya, tipe ini sangat tepat digunakan untuk menggerakkan anak,
karena harus secepatnya dan tepat dalam mengambil keputusan demi keselamatan anak.
Dalam hal-hal tertentu, pola asuh ini pola asuh ini dengan kebijakan orang tua dan sangat hati-hati bisa digunakan untuk anak PAUD, TK, dan SD.
4. Pengasuhan anak menurut Hukum Islam
Dalam Islam, pemeliharaan anak disebut dengan hadhanah. Secara
etimologis, hadhanah berarti “di samping” atau berada “di bawah ketiak”.
(Nurudin & Tarigan,2006:292).
Sedangkan secara terminologisnya, hadhanah adalah merawat dan
mendidik seseorang yang belum mumayyiz atau yang kehilangan kecerdasannya, karena mereka tidak bisa memenuhi keperluannya sendiri.(Dahlan,1999:415)
Para ulama sepakat bahwasanya hukum hadhanah adalah wajib,
tetapi mereka berbeda dalam hal, apakah hadhanah ini menjadi hak orang tua (terutama ibu) atau hak anak. Ulama mazhab Hanafi dan Maliki
misalnya, berpendapat bahwa hak hadhanah itu menjadi hak ibu sehingga
ia dapat saja menggugurkan hak nya. Tetapi menurut jumhur ulama, hadhanah itu menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Al Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah, dan anak. Jika terjadi pertengkaran maka yang didahulukan adalah hak atau kepentingan si anak.(Dahlan,1999:415)
Hadhanah merupakan kewajiban orang tua dalam mendidik dan memelihara anak dengan sebaik-baiknya dalam hal pendidikan, ekonomi, dan segala kebutuhan pokok si anak, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqoroh ayat 233 sebagai berikut:
Artinya:
“para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan
jika kamu ingin anakmu disukai oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepad Allah dan ketahuilah bahwa Allah maha Melihat
apa yang kamu kerjakan ”.
Ayat tersebut menegaskan kepada seluruh orang tua untuk dapat memenuhi hak-hak anak berupa pangan dan sandang.
Syarat wajibnya nafkah atas kedua ibu bapak keapada anak ialah apabila si anak masih kecil, atau sudah besar tetapi tidak mampu berusaha