BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Pengaturan Alat Bukti Cyber Crime Antara Undang-Undang
The Australian Cyber Crime Act Of 2001.
Sebelum penulis menganalisis permasalahan yang dirumuskan dalam penulisan hukum ini, terlebih dahulu penulis memberi pijakan agar dalam pembahasan ini terdapat kesesuaian pengkajian tentang masalah yang dibahas.
Sebagaimana penulis kemukakan dalam tinjuan pustaka bahwa cyber crime yang
menjadi kajian penulis ini memiliki batasan-batasan yang sesuai dengan metode pembahasan yang digunakan. Pada pembahasan ini penulis akan mengemukakan pengaturan tentang cyber crime mengenai sistem pembuktian dan alat bukti yang ada dalam kasus cyber crime yang terjadi yang ditinjau dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan The Australian Cyber Crime Act Of 2001.
1. Pengaturan Alat Bukti Cyber Crime menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Sebagaimana telah disebut sebelumnya bahwa perkembangan penggunaan teknologi komputer, telekomunikasi dan informasi mendorong berkembangnya transaksi melalui internet di dunia. Perkembangan pesat pemanfaatan jasa internet tersebut ternyata menimbulkan dampak negatif lain, yaitu dalam bentuk perbuatan kejahatan dan pelanggaran, yang kemudian muncul istilah cyber crime. Maka bagi kasus-kasus kejahatan komputer yang telah terjadi sebelum diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, bagi pelakunya didakwa dengan menggunakan kriteria peraturan hukum pidana konvensional. Perbuatan pidana yang digunakan untuk menjerat pelakunya tersebut adalah penipuan, kecurangan, pencurian, perusakan, dan lainnya yang pada pokoknya dilakukan secara langsung oleh pelaku. Jika dilakukan dengan memanfaatkan sarana komputer saat sekarang telah dapat diterapkan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-Undang
commit to user
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tercantum dalam Bab 7 untuk ”Perbuatan yang Dilarang” (Pasal 27-37).
a. Sistem Pembuktian
Tindak pidana dalam era reformasi yang dimaksud adalah tindak pidana yang memanfaatkan perkembangan teknologi informasi, yaitu sistem komputer dan sarana-sarana pendukungnya. Segala kemampuan untuk melakukan tindak pidana ini tidak terlepas dari perkembangan sistem komputer, dengan sasarannya salah satu komponen penting dalam mendukung berjalannya sistem komputer yaitu program komputer. Tindak pidana terhadap program komputer dapat menyebabkan kerugian yang besar, karena dapat menyebabkan komputer tidak dapat digunakan atau dapat menyebabkan komputer bekerja tidak sesuai dengan prosedur yang dikehendaki.
Contohnya, pencurian program komputer yang dahulu dilakukan dengan cara konvensional mengambil program secara fisik dari pemiliknya, kini dengan bantuan sistem komputer dapat dicuri tanpa pengambilan secara fisik terhadap program komputer, cukup dengan memindahkan ke komputer si pencuri (dalam hal pencurian dilakukan melalui jaringan komputer). Hal ini dapat terjadi tanpa diketahui pembuat komputer, karena pencuri akan dengan mudah menghilangkan jejak serta susah dilacak kembali. Contoh lain, ada seseorang dapat masuk ke dalam sistem komputer orang lain yang berada ribuan mil jauhnya dari tempat tinggalnya dan mengambil data atau program yang diinginkan, cukup dengan menggunakan sistem komputer.
Sebagai salah satu komponen sistem komputer perangkat lunak (software) memegang peranan penting bagi komputer agar dapat bekerja sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Perangkat lunak komputer telah mengalami perkembangan pesat dari waktu ke waktu dan dapat diperoleh di dealer-dealer pemegang lisensi (vendor) maupun di toko-toko penjual perangkat lunak setiap saat. Namun, karena harganya yang tidak dapat dikatakan murah, perangkat lunak (software) ini tidak dapat diperoleh semua lapisan pengguna komputer, terutama bagi golongan perorangan. Timbul kemudian apa yang disebut perangkat lunak (software) bajakan yang dijual dengan harga yang jauh lebih
commit to user
murah daripada perangkat lunak yang asli. Perbuatan ini tentu menimbulkan kerugian bagi industri perangkat lunak yang produknya terkena pembajakan. Dalam ketentuan hukum mengenai Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Rights) serta dalam ketentuan Hukum Pidana Indonesia, pembajakan merupakan perbuatan yang termasuk dalam kategori tindak pidana.
Di sisi lain kemajuan teknologi informasi menyebabkan dengan mudahnya orang menggandakan atau mengkopi perangkat lunak untuk dimasukkan (install) ke dalam komputer pribadi. Perbuatan ini juga akan mengakibatkan kerugian bagi pencipta perangkat lunak, karena dengan menggandakan secara tidak sah (tidak dengan seizin pencipta atau pemegang hak cipta) jumlah pembeli akan berkurang. Orang lebih memilih menggandakan karena biaya yang dikeluarkan lebih murah, hanya bermodalkan disket atau CD-ROM yang asli maupun bajakan. Cukup dengan menggandakan ke dalam hard disk, maka program sudah dapat digunakan. Meskipun dalam perangkat lunak yang asli telah dibuat aturan tentang keotentikan (sertifikat) program komputer tersebut dan diberikan nomor registrasi bagi pembelinya, namun dengan menggandakan dari perangkat lunak asli hal itu tidak menjadi masalah lagi.
Berdasarkan hal di atas, perkembangan masyarakat di era reformasi dan semakin berkembangnya teknologi informasi pada akhirnya membuat varian atau bentuk kejahatan dalam era refomasi semakin berkembang. Untuk menjerat jenis kejahatan ini harus diperhatikan ketentuan perundang-undangan yang ada. Sebagian ahli ada yang berpendapat bahwa ketentuan perundang-undangan pidana yang ada saat ini sudah cukup untuk menjerat cyber crime ini. Sebagian lagi berpendapat, diperlukan adanya undang-undang khusus mengenai cyber crime. Terlepas dari pendapat yang bertolak belakang antara para ahli tersebut, yang harus menjadi titik perhatian dalam menerapkan hukum pidana pada cyber crime adalah cara menjerat pelaku kejahatan terhadap program komputer tersebut dengan menggunakan ketentuan perundang-undangan yang ada saat ini.
commit to user
Cepatnya perkembangan dan akseptabilitas internet sebagai infrastruktur modern, tidak berarti eksistensinya tidak memunculkan permasalahan, baik yang bersifat teknis maupun non teknis. Masalah teknis yang dimaksud misalnya masalah realibilitas teknologi elektronik itu sendiri, inti teknologi dan piranti pendukungnya dalam hubungannya dengan penggunaannya sebagai media. Sedangkan masalah non teknis adalah masalah-masalah yang berkaitan dengan implikasi-implikasi yang lahir dari aplikasi teknologi elektronik itu.
Permasalahan dan problematika yang muncul, terbagi dalam : 1) Problematika Substantif
Permasalahan yang sifatnya substantif, yaitu keaslian data massage, keabsahan (validity), kerahasiaan (confidentiality/privacy), keamanan (security), dan ketersediaan (availability).
2) Problematika Prosedural
Permasalahan yang bersifat prosedural, yaitu pengakuan dan daya mengikat putusan hakim suatu negara lain untuk diberlakukan dan dilaksanakan di negara lawan, sekalipun hal ini memakai instrumen-instrumen internasional, seperti Konvensi Brussel, Lugano yang memberikan contoh jurisdiction exorbitant menjadi suatu permasalahan yang cukup kompleks.
Berdasarkan pemetaan permasalahan di atas, sebenarnya telah memberikan pengetahuan bahwa kehadiran teknologi komunikasi dan informasi yang memanfaatkan media internet, menuntut adanya perlindungan, baik dari segi teknologi maupun yuridis. Dari segi teknologi, seharusnya penyedia jasa layanan memakai teknologi yang mampu memberikan keamanan kepada penggunanya. Dari segi yuridis, dibutuhkan perangkat hukum yang mengatur hubungan secara elektronik tersebut sebagai alat bukti yang sah.
Dalam cyber crime, khususnya terhadap komputer dan program
komputer, masalah pembuktian ini menjadi bagian yang penting, tetapi juga sulit. Pembuktian merupakan syarat memberikan keyakinan pada hakim agar dapat menjatuhkan putusan. Hakim dilarang memberi putusan jika ia sendiri tidak mendapat keyakinan paling sedikit dua alat bukti sah yang ada.
commit to user b. Alat Bukti
Kejahatan di bidang elektronik dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dengan menggunakan alat elektronik dan dilakukan oleh orang yang mempunyai kemampuan intelektual yang tinggi. Dalam hal ini, untuk mengantisipasi si pelaku kejahatan di bidang elektronik, cyber crime, supaya mereka dapat dijaring dengan ketentuan mengenai kejahatan yang sesuai dengan apa yang mereka lakukan, dan tidak lagi dengan memakai Pasal 362 KUHP (mengenai pencurian) namun dengan pasal-pasal yang lebih memberatkan si pelaku.
Permasalahan lain adalah, mengenai benda sitaan elektronik yang memang diperuntukkan untuk kepentingan pembuktian. Dengan demikian, barang bukti tersebut sudah melekat dalam kasus perkara. Bahwa akhir-akhir ini banyak terjadi tindak pidana yang menggunakan sarana peralatan elektronik, misalnya kejahatan yang dilaksanakan dengan menggunakan sarana perangkat komputer. Contoh, perkara korupsi yang dilakukan bekas pegawai Bank BNI dengan cara menggunakan Personal Computer dan perangkatnya untuk memindahbukukan atau mentransfer uang milik Bank BNI sebesar US$9.199.000 sehingga menimbulkan kerugian negara bagi Bank BNI. Pada kesempatan ini tidak dipermasalahkan mengenai modus operandi terhadap kasus perkara tersebut, akan tetapi bagaimana menyajikan barang bukti peralatan komputer tersebut dengan bukti transfer (surat atau dokumen) yang merupakan hasil rekayasa dengan peralatan komputer.
Untuk mengambil suatu kesimpulan pembuktian bahwa alat bukti surat tersebut merupakan hasil rekayasa yang dilakukan pelaku tindak pidana, maka disket/floppy disk yang digunakan oleh pelaku dapat mengeluarkan kode-kode/dokumen atau surat sebagaimana alat bukti surat tersebut. Dengan demikian, untuk dapat dipakai dalam pembuktian atau pengungkapan diambilnya keuangan negara dalam kasus korupsi dan pengambilan keuangan bank negara dengan mentransfer melalui peralatan komputer, diperlukan dukungan alat bukti lain sebagaimana tersebut di atas. Bahwa dokumen atau surat-surat yang keluar dari hasil printer masih perlu dikaji dan diteliti
commit to user
keasliannya dengan disket aslinya oleh ahlinya. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa dokumen atau surat yang keluar dari printer yang dihasilkan komputer semuanya asli. Permasalahannya, apakah hal tersebut aslinya atau fotokopinya, tetapi dapat diklasifikasi sebagai alat bukti surat.
Berita Acara Pemeriksaan dari penyidik tidak lagi memiliki kekuatan pembuktian. Sehubungan dengan itu, alat bukti keterangan ahli, surat, dan petunjuk menjadi penting artinya bagi proses pembuktian kejahatan terhadap program komputer. Keterangan ahli merupakan bukti terkuat, dengan dasar pemikiran bahwa penggunaan komputer membutuhkan keahlian khusus. Kejahatan terhadapnya dapat dipastikan menggunakan keahlian khusus pula, seperti untuk memecahkan Kode Masuk Pengaman (Security Password). Untuk membuktikan bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan terhadap program komputer, tentu dibutuhkan keterangan ahli komputer di persidangan.
Dalam menghadapi berbagai kendala sebagaimana di atas, perlu diupayakan jalan keluar dengan mengoptimalkan sarana hukum yang tersedia. Optimalisasi sarana hukum tersebut antara lain menyangkut hal-hal sebagai berikut :
a) Dalam hal alat-alat bukti yang ada belum memenuhi aturan yang ada, maka alat bukti elektronik seperti rekaman hasil faksimile atau fotokopi dapat dijadikan petunjuk;
b) Apabila alat bukti tersebut ditunjang dengan keterangan ahli di bidangnya, misalnya ahli pita suara atau ahli lainnya yang menyatakan keaslian rekaman tersebut maka dapat dijadikan bukti yang sah;
c) Dalam hal hasil faksimile, yaitu dengan pernyataan dan pengiriman faksimile yang menyatakan keaslian faksimile tersebut yang dibuat oleh pejabat resmi, misalnya notaris atau Perwakilan Indonesia di Luar Negeri (Kedutaan atau Konsulat), apabila faksimile tersebut berasal dari luar negeri;
d) Demikian pula halnya untuk fotokopi, harus diikuti pernyataan serupa. Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, maka telah secara sah berlaku pula
commit to user
alat bukti elektronik pada tahap penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, terhadap setiap orang yang melakukan perbuatan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang tersebut, baik di wilayah hukum Indonesia, yang memiliki akibat hukum di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah hukum Indonesia dan merugikan kepentingan Indonesia (Pasal 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008).
Pengaturan Alat Bukti dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik :
Pasal 44
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan undang-undang ini adalah sebagai berikut :
a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan, dan
b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Pasal 1
Angka1 :Informasi Elektronik adalah salah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Angka 4 : Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirim, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka,
commit to user
kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Pasal 5
(1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan / atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
(4) Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk:
a. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk
tertulis, dan
b. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat
dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.
2. Pengaturan Alat Bukti Cyber Crime Menurut The Australian Cyber Crime Act Of 2001
The Australian Cyber Crime Act Of 2001 memuat berbagai amandemen KUHP Australia tahun 1995 untuk memperbarui pelanggaran komputer, dengan cara-cara berdasarkan Persemakmuran bersama, negara bagian dan Territory Model Pidana Kerusakan Kode dan Komputer Laporan Pelanggaran (Januari 2001), bersama dengan perubahan lain untuk otorisasi kegiatan intelijen tertentu. Keprihatinan muncul pada bahasa yang luas dari undang-undang dan kemungkinan penyalahgunaan ketentuannya oleh lembaga keamanan. Undang-undang tidak membuat beberapa perbaikan substantif. Namun ada keraguan untuk memenuhi sesuatu dari peran simbolik yang sama di dunia maya sebagai tempat yang lebih teratur dan lebih aman untuk ditinggali.
commit to user
Sebagai contoh, salah satu dari banyak hal yang tampaknya ditargetkan oleh perubahan tersebut adalah masalah yang disebut “denial of service” yaitu bentuk-bentuk serangan terhadap situs web. Sering melibatkan ketidaktahuan mengenai perangkat lunak jahat dari ratusan bahkan ribuan sistem komputer yang tidak bersalah untuk membombardir situs web dengan permintaan informasi yang begitu banyak. Serangan tersebut sangat sulit untuk ditanggulangi karena hampir mungkin mustahil untuk membedakan antara permintaan akses yang sah dan tidak sah.
a. Sistem Pembuktian
Kebijakan Pemerintah Australia dalam dunia maya didasarkan pada prinsip sebagai berikut :
1) Kepemimpinan Nasional : Ukuran dan kompleksitas tantangan keamanan dunia maya memerlukan kepemimpinan nasional yang kuat.
2) Tanggung jawab bersama : Semua pengguna, dalam menikmati manfaat dunia maya, harus mengambil langkah-langkah yang wajar untuk mengamankan sistem mereka (para pengguna), perawatan latihan dalam komunikasi dan penyimpanan informasi sensitif dan memiliki kewajiban untuk menghormati sistem informasi dari pengguna lain.
3) Kemitraan : Mengingat tanggung jawab bersama, pendekatan kemitraan untuk kemanan dunia maya di semua Pemerintah Australia, sektor swasta dan masyarakat Australia yang lebih luas sangat penting.
4) Keterlibatan aktif yang bersifat internasional : Mengingat sifat transnasional dari internet, dimana keamanan dunia maya terkoordinasi efektif membutuhkan aksi global, Australia harus mengadopsi pendekatan aktif untuk keterlibatan internasional tentang keamanan dunia maya. 5) Manajemen resiko : Dalam dunia global dimana semua sistem yang
tersambung ke internet berpotensi rentan akan serangan dunia maya yang sulit untuk dideteksi, tidak ada hal seperti keamanan dunia maya yang bersifat mutlak. Autralia karena itu harus menerapkan pendekatan berbasis resiko untuk menilai prioritas dan sumber daya kegiatan keamanan dunia maya.
commit to user
6) Melindungi nilai-nilai keamanan Australia : Australia harus mengejar kebijakan keamanan dunia maya yang meningkatkan keamanan individu dan kolektif dengan tetap menjaga hak Australia atas privasi dan nilai-nilai fundamental lainnya.
Mempertahankan keseimbangan ini merupakan tantangan untuk semua demokrasi modern yang berusaha untuk memenuhi tantangan keamanan dunia maya yang lebih kompleks di masa depan.
The Australian Cyber Crime Act Of 2001 menyelidiki implikasi bahwa Undang-Undang ini berlaku untuk semua orang Autralia yang bekerja di industri Teknologi Informasi. Serta menghadapkan profesional Teknologi
Informasi untuk sebuah tingkat kerentanan terhadap penuntutan.
Perkembangan yang digembar-gemborkan oleh The Australian Cyber Crime Act of 2001 akan mengancam profesional Teknologi Informasi dengan pidana keyakinan. Meskipun kelompok-kelompok advokasi Teknologi Informasi seperti Australia Computer Society (ACS), Electronic Frontiers Australia (EFA) dan banyak lainnya, mereka semua prihatin dengan implikasi yang dimiliki Undang-Undang untuk para profesional dalam Teknologi Informasi di Australia.
b. Alat Bukti
“E-discovery” atau penemuan elektronik adalah bagian dari proses penemuan yang berfokus pada penemuan bukti dalam bentuk elektronik, yang biasanya berasal dari komputer. Komputer forensik adalah suatu disiplin ilmu yang didedikasikan untuk mengumpulkan bukti komputer yang ditujukan untuk kepentingan peradilan. Munculnya komputer forensik sebagai suatu disiplin ilmu dapat ditelusuri kembali ke tahun 1989 dengan penciptaan kursus pertama “forensik ilmu komputer” di US Federal Hukum.
Komputasi forensik mencakup empat unsur kunci :
1) Identifikasi bukti digital : Merupakan langkah pertama dalam proses forensik, untuk mengetahui bukti yang ada, di mana disimpan dan bagaimana disimpan sangat penting untuk menentukan proses apa yang akan digunakan untuk memfasilitasi pemulihannya. Selain itu, pemeriksa
commit to user
forensik komputer harus mampu mengidentifikasi jenis informasi yang disimpan dalam perangkat dan format yang akan disimpan sehingga teknologi yang tepat dapat digunakan untuk mengeluarkannya.
2) Pelestarian bukti digital : Mengingat kemungkinan pengawasan peradilan dalam pengadilan hukum, adalah penting bahwa setiap pemeriksaan yang disimpan data elektronik. Ada beberapa situasi dimana perubahan terhadap data yang tidak dapat dihindari. Dalam situasi dimana perubahan tidak bisa dihindari adalah sifat dan alasan perubahan dapat dijelaskan.
3) Analisis bukti digital : Ekstraksi, pengolahan dan interpretasi data digital pada umumnya dianggap sebagai elemen utama komputasi forensik. Setelah diekstrak, bukti digital masih memerlukan pengolahan lagi sebelum orang dapat membacanya.
4) Penyajian bukti digital : Melibatkan presentasi aktual dalam pengadilan hukum. Termasuk cara penyajian, keahlian dan kualifikasi proses yang digunakan untuk menghasilkan bukti yang disajikan.
Pengaturan Alat Bukti dalam The Australian Cyber Crime Act Of 2001: Divisi 476 Angka 1
(1) Dalam bagian ini :
Akses ke data dalam komputer berarti :
(A) Tampilan data dengan komputer atau keluaran lain data dari komputer, atau
(B) Menyalin atau memindahkan data ke tempat lain dalam komputer atau ke perangkat lain dalam komputer atau ke perangkat penyimpanan data, atau
(C) Dalam kasus eksekusi program-program. Komputer Persemakmuran
berarti komputer yang dimiliki, disewakan atau dioperasikan oleh entitas Persemakmuran.
Data mencakup :
(a) Informasi dalam bentuk apapun, atau
commit to user Data dalam komputer meliputi :
(a)Data dalam perangkat penyimpanan data removable untuk
sementara waktu ditahan di komputer, atau
(b) Data dalam perangkat penyimpanan data pada jaringan komputer yang komputer bentuk bagian (partisi dalam hard disk).
Data perangkat penyimpanan berarti apa-apa (misalnya disk atau file server) yang berisi atau dirancang untuk berisi data untuk digunakan oleh komputer.
Komunikasi elektronik berarti komunikasi informasi dalam bentuk apapun dengan cara dipandu atau elektromagnetik terarah energi.
Modifikasi, sehubungan dengan data komputer, berarti : (a)Perubahan atau penghapusan data, atau
(b) Penambahan data.
Penurunan nilai komunikasi elektronik ke atau dari komputer meliputi : (a)Pencegahan komunikasi tersebut, atau
(b) Penurunan tersebut pada elektronik link atau jaringan yang digunakan oleh komputer; tetapi tidak termasuk intersepsi sekedar apapun seperti komunikasi.
Divisi 476 Angka 2 (1) Dalam bagian ini :
(A) Akses data dalam komputer, atau
(B) Modifikasi data ke dalam komputer, atau
(C) Penurunan komunikasi elektronik ke atau dari komputer; atau (D) Penurunan nilai keamanan, keandalan atau operasi apapun.
Data diadakan pada disk komputer, kartu kredit atau perangkat lain yang digunakan untuk menyimpan data melalui sarana elektronik; oleh seseorang tidak sah jika orang tersebut tidak berhak untuk menyebabkan bahwa akses, modifikasi atau penurunan nilai.
(2) Setiap modifikasi, atau gangguan yang disebabkan oleh orang tidak sah hanya karena ia memiliki tujuan yang tersembunyi.
commit to user
(3) Untuk tujuan pelanggaran di bawah Bagian ini, menyebabkan setiap orang seperti akses modifikasi, tidak sah atau penurunan jika seseorang melakukan substansial memberikan kontribusi untuk itu.
(4) Untuk tujuan ayat (1), apabila :
(a) Seseorang menyebabkan setiap akses, modifikasi atau gangguan dari jenis yang disebutkan dalam ayat itu; dan
(b) Orang tersebut tidak jadi di bawah surat perintah yang dikeluarkan berdasarkan hukum.
Mencermati tentang pengaturan alat bukti yang ada dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan The Australian Cyber Crime Act Of 2001, ada persamaan dan perbedaan antara kedua undang-undang ini. Persamaannya ialah adanya alat bukti elektronik seperti email,
data-data dalam harddisk komputer, telegram dan sejenisnya. Sedangkan
perbedaannya adalah pengaturan alat bukti cyber crime dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik cakupannya