• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP TANGGUNG JAWAB SOSIAL

A. Pengaturan CSR Sebelum dan Setelah Berlakunya

Salah satu tujuan pembentukan pemerintahan negara adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Amanat tersebut, antara lain telah dijabarkan dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan merupakan amanat konstitusi yang mendasari pembentukan seluruh peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian. Konstitusi mengamanatkan agar pembangunan ekonomi nasional harus berdasarkan prinsip demokrasi yang mampu menciptakan terwujudnya kedaulatan ekonomi Indonesia.

Berkaitan dengan hal tersebut, penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional dan ditempatkan sebagai upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, mendorong pembangunan ekonomi kerakyatan, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing.

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain

melalui perbaikan koordinasi antarinstansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi, serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha. Dengan perbaikan berbagai faktor penunjang tersebut, diharapkan realisasi penanaman modal akan membaik secara signifikan.109

Iklim investasi di Indonesia relatif berkembang pesat sejak Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968 diberlakukan. Hal ini karena adanya pengaturan beberapa insentif yang meliputi perlindungan dan jaminan investasi, terbukanya lapangan kerja bagi tenaga kerja asing, dan adanya insentif di bidang perpajakan. Situasi politik dan keamanan pada saat itu relatif lebih stabil yang mendorong investasi sehingga mengalami peningkatan yang cukup siqnifikan. Bahkan pada awal tahun 1970-an sampai akhir 1980-an, Jepang melakukan investasi besar-besaran di Indonesia.110

Pertumbuhan penanaman modal tersebut (investasi langsung) terus berlangsung hingga tahun 1996 seiring dengan berbagai kebijakan liberalisme di bidang keuangan dan perdagangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Namun pertumbuhan investasi tersebut mengalami kemerosotan yang berujung dengan terjadinya krisis ekonomi pada akhir tahun 1997 yang menjadi krisis multidensional yang berpengaruh terhadap stabilitas politik. Menurut Bismar Nasution, bagi

109 Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. 110 http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=9 diakses tanggal 07 Agustus 2009

Indonesia yang perekonomiannya bersifat terbuka akan terpengaruh dengan prinsip perekonomian global dan prinsip liberalisasi perdagangan tersebut. Karena perekonomian Indonesia akan berhadapan dengan perekonomian negara lain atau perekonomian mitra dagang Indonesia seperti ekspor-impor, investasi, baik yang bersifat investasi langsung maupun tidak langsung; serta pinjam-meminjam. Pengaruh perekonomian ini menjadi tantangan bagi perumusan kebijaksanaan nasional, dunia ekonomi dan pelaku ekonomi.111

Hak, kewajiban, dan tanggung jawab penanam modal diatur secara khusus guna memberikan kepastian hukum, mempertegas kewajiban penanam modal terhadap penerapan prinsip tata kelola perusahaan yang sehat, memberikan penghormatan atas tradisi budaya masyarakat, dan melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Pengaturan tanggung jawab penanam modal diperlukan untuk mendorong iklim persaingan usaha yang sehat, memperbesar tanggung jawab lingkungan dan pemenuhan hak dan kewajiban tenaga kerja, serta upaya mendorong ketaatan penanam modal terhadap peraturan perundang-undangan.

Sebelum diatur secara eksplisit dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, konsep CSR sebenarnya telah diatur dalam beberapa Undang-undang dan peraturan di Indonesia. Mengingat definisi dan cakupan CSR yang luas, yaitu termasuk bidang lingkungan, konsumen, ketenagakerjaan dan lain-lain, maka di

111

Bismar Nasution, Reformasi Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi, Disampaikan pada “Diskusi Pembangunan Hukum Dalam Rangka Era Globalisasi Ekonomi,” di Fakultas Hukum USU Medan, tanggal 25 September 1999.

bawah ini diuraikan tentang beberapa Undang-undang dan peraturan yang di dalamnya secara tidak langsung mengatur tentang konsep CSR.

1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman.112 Pasal 47 ayat (3) : Badan usaha diarahkan untuk bekerja sama secara terpadu dengan masyarakat petani dalam melakukan usaha budidaya tanaman.

Pasal ini menjelaskan bahwa perusahaan perkebunan diharuskan mengembangkan kemitraan di bidang pertanian. Ini artinya, pihak korporasi tidak hanya maju dan berkembang sendiri, meninggalkan kemiskinan di sekitar perusahaannya tetapi berusaha bersama-sama maju dan berkembang dalam pola kebersamaan dan saling menguntungkan.

Berbagai perusahaan sudah melakukan kebijakan Undang-undang tersebut apalagi dengan munculnya konsep Corporate Social Responsibility (CSR) adalah sebuah program yang mencoba mengimplementasikan tanggungjawab sosial sebuah perusahaan kepada masyarakat luas. Menyikapi hal tersebut PT Asian Agri, melalui anak usaha Asian Agri, PT Inti Indosawit Subur (IIS) di Provinsi Jambi mengelola lahan milik petani plasma seluas 24.520 hektar, dikarenakan peran perusahaan untuk memberikan manajemen ‘hidup’ juga harus dilakukan maka tidak salah jika Asian Agri tidak hanya membantu lewat program CSR dalam bentuk hasil tanam saja, tetapi juga dalam bentuk-bentuk lainnya Di satu sisi lewat program CSR Asian Agri, masyarakat sangat terbantu, namun di sisi yang lain jika pendapatan masyarakat meningkat dan tingkat ekonomi masyarakat juga naik serta pendidikan masyarakat di sekitar juga terjamin maka ini juga menguntungkan Asian Agri. Saling menguntungkan inilah yang harusnya menjadi ikatan perusahaan dengan masyarakat sekitar, sehingga penerimaan masyarakat terhadap perusahaan sangat terbuka, dan akhirnya keamanan perusahaan tidak lagi perlu dijaga karena masyarakat sendirilah yang akan menjaga perusahaan tersebut dari ‘tangan-tangan usil’ orang lain. Inilah beberapa hal yang telah dilakukan Asian Agri untuk duduk bersama dengan masyarakat yang ada

disekitarnya. Maka perusahaan yang baik adalah selalu merangkul masyarakat dengan program saling menguntungkan.113

2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan

Hidup.114

Pasal 6 (1) : Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan.

Pasal 6 (2) : Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban memberikan informasi yang benar dan akurat mengenai pengelolaan lingkungan hidup.

Pasal 16 (1) : Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan limbah hasil usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 17 (1) : Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun.

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.115

Undang-undang ini banyak mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab perusahaan terhadap konsumennya.

Pasal 3 ayat (e) : Perlindungan konsumen bertujuan menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha.

Pasal 7 : Kewajiban pelaku usaha adalah :

113

http://johannessimatupang.wordpress.com/2009/06/08/memeriksa-tanggung-jawab-sosial-perusahaan/ diakses tanggal 11 Agustus 2009.

114 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 115 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

a) beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b) memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c) memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d) menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau

diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e) memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g) memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Bab IV (Pasal 8 - 17) : Mengatur tentang Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha.

Bab V (Pasal 18) : Mengatur tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku. Bab VI (Pasal 19 – 28) : Mengatur tentang Tanggung Jawab Pelaku Usaha.

4. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.116 Pasal 4 : Pembangunan ketenagakerjaan bertujuan :

a) memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;

b) mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;

c) memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan

kesejahteraan;

d) meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

5. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara.117 Pasal 88 : BUMN dapat menyisihkan sebagian laba bersihnya untuk keperluan pembinaan usaha kecil/koperasi serta pembinaan masyarakat sekitar BUMN. Dalam Undang-undang BUMN dinyatakan bahwa selain mencari keuntungan, peran BUMN adalah juga memberikan bimbingan bantuan secara aktif kepada pengusaha golongan lemah, koperasi dan masyarakat.

Selanjutnya Peraturan Menteri Negara BUMN No. : Per-05/MBU/2007 mengenai Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL). Permen Negara BUMN menjelaskan bahwa sumber dana PKBL berasal dari penyisihan laba bersih perusahaan sebesar 2 persen yang dapat digunakan untuk Program Kemitraan ataupun Bina Lingkungan. Peraturan ini juga menegaskan bahwa pihak-pihak

116 Undang-undang Nomor. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

yang berhak mendapat pinjaman adalah pengusaha beraset bersih maksimal Rp 200 juta atau beromset paling banyak Rp 1 miliar per tahun.

Tanggung jawab sosial perusahaan di dalam Undang-Undang Penanaman Modal Asing (PMA) tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) tahun 1968 tidak ada mengatur mengenai tanggung jawab sosial perusahaan. Mengingat selama ini, pelaksanaan CSR di Indonesia hanyalah merupakan sebuah tindakan sukarela dari perusahaan yaitu CSR sangat tergantung dari komitmen dan norma etika perusahaan untuk turut memikirkan kondisi sosial sekitarnya. Sehingga, wacana CSR tidak pernah menjadi prioritas utama bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia. Maka pemerintah dan DPR membuat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang di dalam undang-undang tersebut ada mengatur ketentuan tanggung jawab sosial perusahaan. Hal ini didasari karena banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di Indonesia melepaskan diri dari tanggung jawabnya menjaga lingkungan di Indonesia seperti industri pertambangan, baik di Papua maupun di daerah lain, dan juga karena peristiwa bencana lingkungan yang disebabkan oleh Lapindo Brantas.

Implementasi dari prinsip CSR tersebut berupa tanggung jawab sosial perusahaan yang pada Pasal 15 huruf (b) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal menyatakan bahwa tanggung jawab sosial perusahaan adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaaan penanaman modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Asas ini juga

memperkuat prinsip legitimasi yang menyatakan bahwa sudah menjadi suatu kewajiban sosial bagi perusahaan yang berada di tengah-tengah masyarakat melepaskan diri dari prinsip yang individualistis, terisolasi, dan tidak mau tahu dengan masyarakat sekitarnya. Hal ini juga berarti dalam pengelolaan SDA, kerusakan-kerusakan lingkungan yang timbul dapat diantisipasi dan ada biaya pemulihan terhadap lingkungan yang rusak.

Di dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal disebutkan juga aturan mengenai sanksi yaitu sanksi administratif berupa peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal dan pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal. Selain dikenai sanksi administratif, badan usaha atau usaha perseorangan dapat dikenai sanksi lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari pengaturan-pengaturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab perusahaan telah ditambah, bukan lagi hanya kepada pemilik modal semata, melainkan juga kepada lingkungan hidup, karyawan dan keluarganya, konsumen dan masyarakat sekitar.

Setelah adanya Undang-Undang Nomor 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal, ada lagi pengaturan mengenai CSR yaitu Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan. Pasal 74 ayat (1) menyatakan bahwa perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Penjelasan Pasal 74 Ayat (1),

ketentuan ini bertujuan untuk tetap menciptakan hubungan perseroan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Dengan demikian tanggung jawab sosial dan lingkungan yang bertujuan mewujudkan pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat bagi perseroan itu sendiri, komunitas setempat, dan masyarakat pada umumnya. Hal ini dalam rangka mendukung terjalinnya hubungan perseroan yang serasi, seimbang dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang sumber daya alam” adalah Perseroan yang kegiatan usahanya mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam. Yang dimaksud dengan “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam” adalah Perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber daya alam.

Pasal 74 Ayat (2) menyatakan bahwa kewajiban tersebut diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Pasal ini mengandung makna bahwa perusahaan sendirilah yang melaksanakan CSR sesuai dengan prinsip kepatutan dan kewajaran. Selanjutnya Pasal 74 Ayat (3) menyebutkan perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana yang dimaksud ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang terkait. Kemudian ayat (4) menyatakan ketentuan lebih

lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Tanggung jawab sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) tersebut merupakan kewajiban perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah. Kemudian pada

Pada konteks ini nilai hakiki dari tanggung jawab sosial dan lingkungan tersebut dengan adanya penetapan biaya perseroan yang dilaksanakan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran. Anggaran itu harus dimuat dalam laporan tahunan perseroan.

B. Penerapan CSR di Indonesia dan Negara Lain

Dokumen terkait