• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan dan Kebijakan Perubahan Iklim di Indonesia

Komunitas internasional telah merespon isu perubahan iklim dengan UNFCCC dan protokol-protokolnya. Kendati demikian, hal yang lebih penting dan mendesak adalah implementasinya melalui kebijakan nasional (dalam negeri). Indonesia telah meratifikasi UNFCCC melalui Undang-undang Nomor 6 tahun 1994 tentang Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto melalui Undang-undang Nomor 17 tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim.

Indonesia sebagai negara yang memiliki kerentanan terhadap dampak perubahan iklim telah memainkan peran yang signifikan di berbagai forum iklim internasional.76 Sebagai contoh, Indonesia pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan COP ke-13 UNFCCC tahun 2007 di Bali. Indonesia juga

75 European Parliament, “The Paris Agreement: A new Framework for Global Climate Action” http://www.europarl.europa.eu/RegData/etudes/BRIE/2016/573910/EPRS_BRI

merupakan negara berkembang pertama yang mengasosiasikan diri dengan

Copenhagen Accord. Bahkan, Indonesia merupakan negara berkembang yang secara sukarela membuat komitmen untuk menurunkan emisi GRK. Janji tersebut pertama kali diungkapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa bulan sebelum penyelenggaraan COP ke-15 di Copenhagen. Janji tersebut berupa adalah pada tahun 2020 Indonesia telah mampu menurunkan emisi GRK sebesar 26 % jika penurunan emisi dilakukan sendiri dan penurunan emisi sebesar 41 % jika penurunan emisi dilakukan dengan bantuan internasional. Atas dasar janji tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dijuluki climate change hero.77

Secara resmi janji tersebut disampaikan oleh Menteri Rachmat Witoelar kepada Sekretariat Eksekutif UNFCCC pada bulan Januari 2010. Pada COP ke-21 di Paris tahun 2015, komitmen Indonesia dipertegas oleh Presiden Joko Widodo yang menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 % (business as usual) pada tahun 2030 dan 41 % apabila dibantu oleh internasional.78

Tentunya, komitmen tersebut harus diupayakan melalui peraturan perundang-undangan dan kebijakan terkait perubahan iklim nasional.

Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak konstitusional setiap warga negara Indonesia.79 Perubahan iklim tentunya berdampak buruk terhadap kualitas lingkungan, baik di wilayah lokal, regional maupun global. Atas dasar itu, diperlukan pengaturan dan kebijakan nasional untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim.

Selama bertahun-tahun, hanya Undang-undang Nomor 6 tahun 1994 dan Undang-undang Nomor 17 tahun 2004 yang menjadi dasar hukum setingkat undang-undang terkait perubahan iklim di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, perumus Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

76 Andri Gunawan Wibisana, dkk. Assessment of Indonesia’s Climate Change Law, (n.p.: n.a, n.d), hlm. 3.

77 Andri Gunawan Wibisana, Hukum Perubahan Iklim di Indonesia (Bahan Kuliah Ketiga di FHUI tahun 2015), hlm. 10.

78 Liputan 6, “Indonesia Tegaskan Komitmen Penurunan Emisis 29 Persen”

http://news.liputan6.com/read/2378958/indonesia-tegaskan-komitmen-penurunan-emisi-29-persen, diunduh pada tanggal 19 April 2016.

Lingkungan Hidup (UU PPLH) menganggap perlu untuk memberikan dasar hukum yang kuat bagi kebijakan hukum perubahan iklim di Indonesia.80

a. Perubahan Iklim dalam UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH)

Ketentuan-ketentuan tentang perubahan iklim tersebar dalam beberapa bagian dan pasal dari UU PPLH. Pada bagian pertimbangan, UU PPLH menyatakan bahwa pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim, sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Terkait perubahan iklim dipertegas dalam penjelasan umum UU PPLH yang menyatakan bahwa Indonesia berada pada posisi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.

Pasal 4 UU PPLH menyatakan bahwa upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan terdiri atas upaya perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum lingkungan. Salah satu aspek penting dalam perencanaan ini adalah adanya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH).81 Terkait perubahan iklim, UU PPLH menegaskan bahwa RPPLH harus memuat rencana adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.82

Terkait dengan upaya pengendalian, UU menegaskan bahwa pengendalian dilakukan dengan mengambil tindakan dalam pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan,83 yang menjadi tanggung jawab dari pemerintah dan pemerintah daerah serta penaggung jawab usaha atau kegiatan.84 Kemudian, UU menjelaskan bahwa tindakan pengendalian merupakan tindakan untuk mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan air, udara, laut dan kerusakan ekosistem akibat perubahan iklim.85

Kemudian, UU PPLH juga menerapkan instrumen yang disebut Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang merupakan salah satu instrumen pencegahan. KLHS bertujuan untuk memastikan bahwa pembangunan berkelanjutan digunakan sebagai dasar dan diintegrasikan ke dalam kebijakan, rencana dan

80 Andri G. Wibisana, “Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan

Lingkungan” dalam Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, (n.p.: USAID, Kemitraan dan the Asia Foundation, n.t.), hlm. 433.

81 Lihat pasal 5 UU Nomor 32 tahun 2009.

82 Lihat pasal 10 ayat (4) UU Nomor 32 tahun 2009.

83 Lihat pasal 13 ayat (2) UU Nomor 32 tahun 2009.

84 Pasal 4 dan Penjelasan pasal 13 ayat (3) UU Nomor 32 tahun 2009.

program (KRP) pemerintah.86 Salah satu hal yang harus dibahas dalam KLHS ialah dampak dari perubahan iklim. Dalam hal ini, KLHS harus memuat kajian tentan kerentanan (vulnerability) dan kapasitas adaptasi (adaptability) terhadap perubahan iklim.87

b. Perubahan Iklim dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika

UU Nomor 31 tahun 2009 memuat ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan perubahan iklim. UU ini mendefinisikan perubahan iklim sebagai berubahnya iklim yang diakibatkan, langsung atau tidak langsung, oleh aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan komposisi atmosfer secara global serta perubahan vatiabilitas iklim alamiah yang teramati pada kurun waktu yang dapat dibandingkan.88 UU ini juga memuat definisi terkait mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Mitigasi adalah usaha pengendalian untuk mengurangi resiko akibat perubahan iklim melalui kegiatan yang dapat menurunkan emisi atau meningkatkan penyerapan GRK dari berbagai sumber emisi.89 Adaptasi adalah suatu proses untuk memperkuat dan membangun strategi antisipasi dampak perubahan iklim serta melaksanakannya sehingga mampu mengurangi dampak negatif dan mengambil manfaat positifnya.90 Secara khusus, ketentuan mengenai perubahan iklim terdapat dalam Bab X tentang Perubahan Iklim. Dalam hal ini pemerintah wajib melakukan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.91 Untuk mendukung mitigasi dan adaptasi sebagaimana dimaksud pemerintah wajib melakukan perumusan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim, koordinasi kegiatan pengendalian perubahan iklimm dan pemantauan dan evaluasi penerapan kebijakan tentang dampak perubahan iklim.92 Untuk perumusan kebijakan sebagaimana yang dimaksud dilakukan kegiatan sebagai berikut inventarisasi emisi GRK, pemantauan gejala perubahan iklim dan GRK, pengumpulan data, dan analisis data.

c. Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim tahun 2007

86 Pasal 15 ayat (1) UU Nomor 32 tahun 2009.

87 Pasal 16 UU Nomor 31 tahun 2009.

88 Pasal 1 butir 18 UU Nomor 31 tahun 2009.

89 Pasal 1 butir 19 UU Nomor 31 tahun 2009.

90 Pasal 1 butir 20 UU Nomor 31 tahun 2009.

91 Pasal 65 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 2009.

Pada tahun 2007, Kementerian Lingkungan Hidup menerbitkan Rencana Aksi Nasional tentang Perubahan Iklim (RAN-PI) sebuah dokumen yang berisi arahan bagi lembaga-lembaga dalam rangka melakukan upaya mitigasi perubahan iklim. Dokumen ini juga berisi berbagai langkah kordinasi yang perlu dilakukan oleh pemerintah, terkait upaya mengatasi perubahan iklim. RAN-PI menyebutkan berdirinya Komite Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 206 tahun 2005. Komnas MPB berfungsi sebagai otoritas nasional yang akan memberikan persetujuan pada tingkat nasional terkait proposal CDM.

RAN-PI secara khusus memuat rencana aksi terkait sektor Land Use, Land Use Change Forestry (LULUCF) yang dibagi ke dalam tiga kategori target, pertama ialah target penurunan emisi dan peningkatan kapasitas penyerapan karbon. Menurut RAN-PI penurunan emisi dari sektor kehutanan akan dilakukan melalui aksi pemberantasan penebangan liar, pencegahan kebakaran hutan, penerapan penebangan pohon secara berkelanjutan, penguatan pengelolaan area konservasi dan pembuatan arah kebijakan bagi pelaksanaan REDD. Terkait dengan peningkatan kapasitas rosot karbon, RAN-PI menargetkan adanya rehabilitasi 36,31 juta hektar dari total 53,9 juta hektar hutan kritis yang harus dicapai pada tahun 2025. Kategori kedua ialah implementasi pemberian insentif untuk sektor LULUCF. Dalam hal ini RAN-PI mengemukakan program “Menuju Indonesia Hijau”. Kategori ketiga ialah pengembangan kebijakan pendukung. Termasuk ke dalam kategori ini adalah rencana tata ruang nasional dan wilayah, upaya pengentasan kemiskinan, kegiatan penelitian dan pengembangan, serta upaya persiapan dan rekayasa sosial.

d. National Communication

National communication adalah penyampaian laporan kondisi dan prediksi emisi GRK seperti yang diamanatkan oleh UNFCCC. Indonesia telah dua kali menyerahkan laporan national communication pada tanggal 27 Oktober 1999 dan 11 Januari 2011. Laporan tersebut berisikan emisi GRK masa lampau dan prediksi emisi GRK di masa yang akan datang, kemudian juga berisikan upaya-upaya yang akan ditempuh untuk menurunkan emisi GRK Indonesia.

Dalam national communication yang kedua, terdapat beberapa langkah yang akan diambil terkait mitigasi GRK, yaitu:

- Pada sektor energi, melalui upaya konservasi energi serta melalui pengembangan sumber energi baru dan terbarukan, misalnya melaui peningkatan pemanfaatan geothermal, pengembangan pembangkit micri-hydro (PLTA skala kecil), produksi dan pemanfaatan bahan bakar non fosil (bio-fuel), serta penggunaan limbah biomas, matahari, dan angin sebagai sumber energi.

- Pada sektor industri, melalui upaya peningkatan efisiensi dalam proses produksi, pengenalan teknologi baru atau melalui upaya perubahan bahan baku (misalnya dengan menggunakan sampah sebagai bahan baku). Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pendanaan dari proyek CDM atau pihak swasta. - Pada sektor pertanian, melalui upaya penerapan pelarangan penggunaan

teknik pembakaran dalam pembukaan lahan, pengembangan sistem peringatan dini bagi kebakaran (khususnya daerah gambut), pengenalan varietas padi rendah metana, peningkatan pemanfaatan limbah pertanian untuk bio-energy dan kompos, pengembangan wilayah pertanian baru yang diarahkan pada lahan tidak produktif, misalnya padang rumput atau lahan terlantar, melalui upaya revitalisasi rencana tata ruang pertanian.

- Pada sektor kehutanan, melalui pemberantasan penebangan dan perdagangan kayu ilegal, revitalisasi industri kehutanan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya kehutanan, pengembangan kegiatan ekonomi bagi masyarakat yang hidup di sekitar atau tergantung pada hutan, serta stabilisasi wilayah hutan bagi pengembangan dan penguatan pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

- Pada sektor pengelolaan limbah, melalui konservasi praktek open dumping

menjadi pengelolaan sampah yang berkelanjutan, seperti urug saniter yang dilengkapi dengan sistem pembakaran dan pemanfaatan gas.

e. Rencana Aksi Nasional Tahun 2011 terkait Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK)

Melalui Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), dimuat RAN-GRK sebagai rencana kerja untuk melakukan berbagai kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung akan mengurangi emisi GRK Indonesia. RAN-GRK terdiri atas

kegiatan utama di sektor pertanian, kehutanan dan lahan gambut, energi dan transportasi, industri, pengelolaan limbah dan kegiatan pendukung lainnya.

RAN-GRK ini diharapkan berfungsi sebagai arahan bagi kementerian dan lembaga pemerintah untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi berbagai tindakan terkait penurunan emisi GRK. Selain itu, RAN-GRK juga berfungsi untuk memberikan arahan kepada pemerintah daerah dalam penyusunan rencana aksi daerah untuk penurunan emisi GRK. Pada tingkat nasional, penurunan emisi GRK dilakukan di bawah kordinator Menteri Kordinator Bidang Ekonomi.

RAN-GRK merupakan suatu langkah positif yang diambil oleh Pemerintah Indonesia. Hal ini dikarenakan RAN-GRK memuat rencana kegiatan-kegiatan dengan target yang jelas, misalnya pada sektor transportasi yang mana terdapat rencana pembangunan jalur khusu bus di 12 kota besar, dsb. yang dijalankan pada periode tahun 2010-2020.

f. Clean Development Program (CDM) di Indonesia

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar bagi pelaksanaan proyek-proyek CDM. Potensi tersebut berasal dari sektor energi, industri, transportasi, maupun sektor kehutanan. Dalam sektor energi misalnya, potensi penurunan emisi GRK dapat berasal dari perbaikan tahapan pertimbangan migas atau proyek terkait penyediaan sumber energi yang terbarukan. Dalam sektor industri, proyek dapat dikerjakan melalui upaya penghematan energi atau perubahan sumber energi dari bahan bakar fosil ke sumber lain yang lebih ramah lingkungan. Dalam sektor transportasi, dapat dilakukan dengan melakukan perubahan moda transportasi atau perubahan bahan bakar dari fosil ke sumber lain yang lebih ramah lingkungan.93

Sebagai upaya mendorong potensi tersebut, maka pada bulan Juli 2005, Kementerian Lingkungan Hidup mengeluarkan Keputusan Menteri Nomor 206 tentang Pembentukan Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) yang bertugas sebagai lembaga yang memiliki otoritas persetujuan untuk proposal CDM di Indonesia.Dalam hal penerapan CDM di Indonesia, Komnas MPB berperan dalam melakukan penilaian (assesment), evaluasi, dan monitoring proposal

serta pelaksanaan dari proyek CDM di Indonesia. Komnas MPB berwenang untuk memberikan persetujuan terhadap proposal CDM, sebelum proyek CDM tersebut divalidasi di tingkat internasional. Kemudian, Komnas MPB juga berperan untuk memberikan laporan tahunan ke Sekretariat UNFCCC terkait implementasi proyek CDM di Indonesia. Pada saat ini, Komnas MPB dihapus dan kewenangannya diberikan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Pada sektor kehutanan Protokol Kyoto hanya mengakui proyek CDM dalam bentuk aforestasi atau proyek reforestasi. Aforestasi ialah menghutankan kembali lahan hutan yang sedikitnya selama 50 tahun telah menjadi lahan non hutan. Reforestasi ialah menghutankan kembali lahan yang selama kurang dari 50 tahun telah menjadi lahan non hutan. Terdapat dua peraturan di sektor kehutanan yang terkait dengan CDM, yakni PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang telah diubah menjadi PP No. 3 tahun 2008 yang menentukan bahwa kegiatan usaha terkait penyeraoan dan/ atau penyimpanan karbon hanya dapat dilakukan pada hutan lindung dan hutan produksi. Peraturan yang kedua ialah Peraturan Menteri Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi dan Reforestasi dalam Kerangka Mekanisme Pembangunan Bersih. \

g. Persoalan Terkait Keberlakuan PP Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

Dalam PP Nomor 41 tahun 1999 gas-gas rumah kaca seperti CO2, CH4, N2O, CFC,HFC, SF6 dan PFC sebagaimana yang dimuat dalam annex A Protokol Kyoto tidak digolongkan sebagai polutan atau gas-gas pencemar udara. Hal ini akan bertolak belakang dengan upaya pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisi sebagai upaya mencegah perubahan iklim.

h. Reducing Emissions from Deforestation and fores Degradation (REDD) di Indonesia

Indonesia menjadi negara yang melaksanakan berbagai aktivitas REDD yang disokong oleh organisasi internasional, swasta ataupun negara asing. Proyek-proyek tersebut misalnya dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,

Aceh, dan Papua. Salah satu, kerjasama REDD dengan negara asing yang paling fenomenal ialah disepakatinya Letter of Inten (LoI) antara Indonesia dan Norwegia yang mana nilai bantuan yang dijanjikan Norwegia mencapai 1 milliar Dollar Amerika. Beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan REDD di Indonesia, di antaranya:

1. Peraturan Presiden Nomor 19 tahun 2010 2. Instruksi Presiden Nomor 10 tahun 2011 3. Peraturan Presiden Nomor 62 tahun 2013

4. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 68 tahun 2008 5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 tahun 2009 6. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 36 tahun 2009 i. Pembentukan Badan Restorasi Gambut

Baru-baru ini pemerintah Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut melalui Peraturan Presiden Nomor 1 tahun 2016 tentang Badan Restorasi Gambut. Badan ini dibentuk dengan pertimbangan dalam rangka percepatan pemulihan kawasan dan pengembalian fungsi hidrologis gambut akibat kebakaran hutan dan lahan secara khusus, sistematis, terarah, terpadu dan menyeluruh.94

Badan Restorasi Gambut adalah lembaga non struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden dan dipimpin langsung oleh Kepala Badan Restorasi Gambut. Badan Restorasi Gambut bertugas untuk mengkordinir dan memfasilitasi restoras gambut di Provinsi Riau, Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Barat, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Papua.

Dalam menyelenggarakan tugas dan fungisnya, Badan Restorasi Gambut menyusun rencana dan pelaksanaan restorasi gambut untuk jangka waktu lima tahun seluas kurang lebih dua juta hektar lahan. Badan Restorasi Gambut melaksanakan tugas selama lima tahun dan berakhir pada tanggal 31 Desember 2020. Setelah masa tugasnya berakhir, kegiatan Badan Restorasi Gambut menjadi tanggung jawab menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan.

94 Diakses dari situs http://setkab.go.id/inilah-perpres-no-1-tahun-2016-tentang-badan-restorasi-gambut/

D. Contoh Kasus

PUTUSAN MASSACHUSETTS V. ENVIRONTMENTAL PROTECTION AGENCY

Massachusetts dan 11 negara bagian di Amerika Serikat, mengajukan permohonan kepada EPA (Environtmental Protection Agency) untuk membuat aturan yang mengatur mengenai emisi, termasuk karbon dioksida, berdasarkan Pasal 202 (a) (1) Undang-undang Kebersihan Udara yang mengatur bahwa EPA harus melakukan pengaturan terkait standar emisi yang dapat dikeluarkan oleh kendaraan bermotor. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menjada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Undang-undang tersebut menjelaskan bahwa pengertian pencemar udara

(air pollutant) mencakup seluruh alat atau sumber yang memancarkan atau melepaskan polusi ke seluruh ruang udara baik itu dalam bentuk fisik, kimia, atau substansi lainnya.

Namun permohonan tersebut di tolak oleh EPA karena pertama, undang-undang itu sendiri tidak mengizinkan untuk di keluarkannya regulasi terkait perubahan iklim global, dan yang kedua, meskipun EPA berwenang untuk menetapkan standar terkait emisi gas rumah kaca, namun tetap dirasa tidak tepat untuk dilakukan, karena hubungan dan keterkaitan antara gas rumah kaca dengan peningkatan suhu di permukaan udara secara global belum diatur secara tegas. Selanjutnya, EPA menjelaskan bahwa peraturan-peraturan yang dikeluarkannya terkait dengan emisi kendaraan bermotor yang merupakan pendekatan bertahap kepada perubahan iklim, dapat bertentangan dengan program Presiden berupa dukungan terhadap inovasi teknologi, pembentukan program-program non-regulatory untuk mendorong keterlibatan secara sukarela dari swasta dalam pengurangan emisi gas rumah kaca, dan terkait penelitian dalam perubahan iklim. Selain itu hal ini juga dapat menghambat kinerja Presiden dalam menarik negara-negara berkembang untuk melakukan pengurangan emisi.

Dalam putusan, terihat perbedaan pendapat yang di sampaikan oleh hakim-hakim dalam memutuskan. Dari 3 hakim-hakim yang ada, 2 hakim-hakim sepakat bahwa EPA dianggap benar mengeluarkan diskresinya dengan penolak pembuatan regulasi seperti apa yang dimohonkan sebelumnya. Namun satu hakim berpendapat bahwa tindakan EPA yang menetapkan bahwa suatu pencemar dapat dicegah untuk

membahayakan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, dapat mengacu pada ilmu yang tidak pasti seperti faktor-faktor lain, termasuk terkait dengan pengaturan di Amerika Serikat mengenai emisi kendaraan bermotor, dapat melemahkan usaha negara lain untuk melakukan pengurangan emisi gas rumah kaca. Hakim kedua berpendapat bahwa permohonan tersebut telah gagal untuk menyampaikan apa yang menjadi kerugian yang mana seharusnya hal tersebut harus dijelaskan secara jelas seperti apa yang diatur dalam pasal 3. Kasus ini berkorelasi erat dengan konteks perubahan iklim karena jenis-jenis gas rumah kaca sebagaimana yang diatur dalam

annex A Protokol Kyoto tidak diatur dalam undang-undang kebersihan udara (clean air act) tersebut. Kondisi ini mirip dengan Indonesia. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, gas-gas rumah kaca sebagaimana yang dimuat dalam annex A Protokol Kyoto tidak termasuk sebagai gas-gas yang dikategorikan sebagai polutan (pencemar udara).

BAB III

Dokumen terkait