• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERUBAHAN IKLIM ASPEK ASPEK PENTING DI U (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERUBAHAN IKLIM ASPEK ASPEK PENTING DI U (2)"

Copied!
54
0
0

Teks penuh

(1)

MATA KULIAH HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

PERUBAHAN IKLIM:

ASPEK-ASPEK PENTING DI UNFCCC, KYOTO PROTOCOL, PARIS AGREEMENT

DAN PERAN INDONESIA TERKAIT PERUBAHAN IKLIM

Angky Banggaditya (1306380286 / Reguler)

Aliflanya Arisandi Maghfira (1306381484 / Reguler)

Fadhil Muhammad Indrapraja (1306393370 / Paralel)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pada era awal kehidupan, manusia tidak memiliki ketergantungan terhadap manusia lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada masa itu, tiap-tiap individu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan memanfaatkan apa yang tersedia di alam. Dalam perkembangannya, meningkatnya kualitas ilmu pengetahuan dan teknologi mengakibatkan pergeseran pola hidup masyarakat.

Pergeseran pola hidup masyarakat memicu munculnya revolusi industri. Revolusi industri dianggap dapat meningkatkan produktivitas dalam menghasilkan barang dan jasa. Kendati demikian, revolusi industri tidak sepenuhnya memberikan manfaat. Revolusi industri justru mengakibatkan munculnya beragam masalah, seperti eksploitasi buruh dan lingkungan.

Berbeda dengan eksploitasi terhadap buruh, respon terhadap eksploitasi lingkungan berlangsung lambat. Munadjat Danusaputro menyatakan bahwa hukum yang mengatur mengenai lingkungan merupakan suatu pendatang baru dalam keluarga hukum.1 Baru pada tahun 1960-an, dunia menaruh perhatian lebih terhadap

masalah lingkungan. Mulai dari munculnya buku karya Rachel Carson, yang berjudul the Silent Spring,2 hingga terbentuknya beberapa organisasi lingkungan,

seperti Sierra Club dan National Audubon Society yang menjadi perintis lahirnya berbagai organisasi lingkungan di seluruh dunia.3 Dunia Internasional baru menaruh

perhatian dan menjadikan lingkungan sebagai isu yang perlu ditanggulangi bersama pada tahun 1972 dengan diselenggarakannya Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on the Human Environment) di Stockholm, Swedia.

1 Munadjat Danusaputro, Hukum Lingkungan: Buku I UMUM, cet. 21, (Yogyakarta: Binacipta, 1985), hlm. 207.

2 Andri G. Wibisana, “Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan,” (makalah disampaikan pada perkuliahan Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, November 2015), hlm. 1.

(3)

Dampak revolusi industri bagi lingkungan begitu terasa. Sejak revolusi industri, emisi Gas Rumah Kaca (GRK) meningkat drastis. Hal ini mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata bumi sebesar 0.74 derajat celcius selama abad ke-20.4

Peningkatan suhu rata-rata bumi tersebut mengakibatkan perubahan iklim.

Menurut Ismid Hadad, perubahan iklim merupakan ancaman dan tantangan multidimensi paling serius, kompleks dan dilematis yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21, bahkan hingga abad ke-22. Tidak ada satu negara atau kelompok masyarakat di dunia yang mampu menghindar.5 Dampak dari perubahan

iklim beragam, di antaranya semakin tingginya curah hujan, peningkatan intensitas dan frekuensi badai, peningkatan suhu ketika musim panas (kemarau), gagal panen, penyebaran penyakit, ketersediaan air, musnahnya keragaman hayati, hingga kematian karena gelombang panas. Kemudian, dampak yang mengerikan dapat pula terjadi apabila tidak ada upaya untuk menghambat perubahan iklim, misalnya matinya thermohaline circulation yang dapat menyebabkan turunnya suhu bumi secara drastis atau kolapsnya lapisan es di Greendland dan Antartika bagian barat yang dapat mengakibatkan kenaikan permukaan laut sampai belasan meter.6

Perubahan iklim terjadi akibat peningkatan suhu bumi karena adanya peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer. Pada dasarnya, GRK seperti karbon dioksida, metana dan beberapa GRK lainnya sangat bermanfaat bagi bumi karena berperan untuk menjebak panas di bumi, tanpanya suhu bumi akan lebih dingin sekitar 30 derajat celcius dari suhu rata-rata saat ini.7 Persoalan muncul ketika

kegiatan manusia, khususnya sejak revolusi industri menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer terjadi dengan tajam. Sebagai contoh, sebelum era revolusi industri, konsentrasi karbon dioksida selama ribuan tahun telah mencapai titik stabil pada kisaran 270 ppm (part per million). Sejak revolusi industri,

4 UNFCCC, “Sekilas tentang Perubahan Iklim”

https://unfccc.int/files/meetings/cop_13/press/application/pdf/sekilas_tentang_perubahan_iklim.pdf, diunduh tanggal 13 April 2016..

5 Ismid Hadad, “Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan: Sebuah Pengantar” Prisma Majalah Pemikiran Sosial Ekonomi: Perubahan Iklim dan Tantangan Peradaban, (April 2010), hlm. 3.

6 Andri G. Wibisana, “Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan

Lingkungan” dalam Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, (n.p.: USAID, Kemitraan dan the Asia Foundation, n.t.), hlm. 423.

(4)

konsentrasi tersebut meningkat tajam, tahun 1999 konsentrasi GRK di atmosfer mencapai 367 ppm.8

Berdasarkan hal tersebut, Intergovernmental Panel on Climate Chane (IPCC) membuat kesimpulan bahwa kegiatan manusia merupakan faktor dominan terhadap percepatan perubahan iklim. Kegiatan manusia yang merupakan penyumbang emisi GRK terbesar di antaranya, pembakaran bahan bakar fosil untuk keperluan energi dan transportasi. Kemudian, alih guna lahan dan pembakaran hutan juga berkontribusi besar dalam peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer.

Dalam ilmu ekologi, manusia adalah satu kesatuan yang terpadu dengan lingkungannya.9 Kesatuan yang terpadu mengartikan bahwa manusia dan lingkungan

memiliki kedudukan yang sama dan mutlak saling membutuhkan. Manusia memiliki daya akal yang seyogyanya berfungsi untuk menentukan tata susunan lingkungan, bukan untuk menguasai lingkungan. Menurut Cicero lingkungan tidak dapat dikuasai, ketika manusia mencoba untuk menguasai lingkungan, maka lingkungan akan memberikan bencana bagi manusia itu sendiri.10

Atas dasar itu, diperlukan upaya strategis, masif dan terpadu untuk mencegah (mitigasi) dan/atau melakukan adaptasi (adaptasi) terhadap perubahan iklim yang berdampak terhadap kualitas lingkungan. Upaya mitigasi dan adaptasi tersebut harus dilakukan melalui komitmen dan kerjasama negara maju dan berkembang.11 Ditinjau

dari perspektif hukum, komunitas internasional merespon isu perubahan iklim melalui United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). UNFCCC menjadi pondasi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim global. Kemudian, UNFCCC dijabarkan lagi ke dalam bentuk kesepakatan lainnya, seperti Kyoto Protocol pada tahun 1997 dan Paris Agreement di tahun 2015.

Berdasarkan pemaparan di atas, dalam penelitian ini akan dijabarkan mengenai instrumen hukum internasional yang mengatur mengenai perubahan iklim,

8 Ibid., hlm. 422.

9 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 43.

10 Munadjat Danusaputro, Op.Cit. hlm. 191.

11 WWF, “Laporan IPCC: Perubahan Iklim Nyata, Umat Manusia Hadapi Ancaman Serius”

(5)

upaya dan kebijakan perubahan iklim di Indonesia serta analisis kasus di dalam dan luar negeri mengenai perubahan iklim.

B. POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan penjelasan diatas, pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaturan mengenai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dalam perspektif hukum internasional?

2. Bagaimana pengaturan mengenai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di negara Indonesia?

3. Bagaimana penerapan peraturan mengenai perubahan iklim yang ditinjau dari studi kasus di dalam dan luar negeri?

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN

Tujuan penulisan menjadi petunjuk terkait apa yang hendak dicapai dari penelitian ini. Berdasarkan topik yang telah ditentukan oleh tim pengajar, maka kami membagi tujuan penulisan dalam karya tulis ini ke dalam dua jenis tujuan, yaitu:

1. Tujuan Umum

Memberikan penjelasan mengenai pengaturan hukum internasional dan hukum nasional Indonesia terkait perubahan iklim. Kemudian, penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai penerapan peraturan terkait perubahan iklim ditinjau dari studi kasus di dalam dan luar negeri yang kami temukan.

2. Tujuan Khusus

a. Menjelaskan mengenai penyebab dan dampak dari perubahan iklim.

b. Menjelaskan ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UNFCCC, Protokol Kyoto dan Kesepakatan Paris (Paris Agreement).

c. Menjelaskan pengaturan dan upaya yang dilakukan negara Indonesia terkait dengan perubahan iklim.

(6)

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk menambah pemahaman mengenai isu perubahan iklim. Pemahaman yang baik diharapkan dapat memberikan solusi dalam hal mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

D. METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis penelitian kepustakaan. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif karena melakukan analisis yang merujuk pada instrumen-instrumen hukum internasional yang terkait perubahan iklim dan perundang-undangan nasional. Jenis data dalam penelitian ini ialah data sekunder karena data-data yang digunakan merupakan hasil studi kepustakaan yang mana alat pengumpulan data berupa studi dokumen atau bahan pustaka.

Dalam penelitian ini, digunakan tipe penelitian deskriptif analitis. Tipe penelitian ini bermakna bahwa penelitian memberikan pemaparan mengenai pengaturan perubahan iklim yang dihubungkan dengan kasus di dalam dan luar negeri terkait perubahan iklim.

(7)

PEMBAHASAN

A. PENGANTAR PERUBAHAN IKLIM

I. Gas Rumah Kaca (Green House Gases)

Pemanasan global merupakan fenomena aktual yang disebabkan oleh efek Gas Rumah Kaca (GRK). GRK adalah gas-gas di atmosfer yang memiliki fungsi seperti panel-panel kaca di rumah kaca yang bertugas menangkap energi panas matahari agar tidak dilepas seluruhnya ke atmosfer. Pada keadaan normal, energi matahari yang diserap (adsorbsi) bumi akan dipantulkan kembali dalam bentuk sinar infra merah, namun karena adanya GRK sebagian besar sinar infra merah yang dipancarkan bumi tertahan oleh GRK tersebut. GRK dapat ditemukan mulai dari permukaan bumi sampai ketinggian 15 km.

Menurut IPCC, gas-gas utama yang dikategorikan sebagai GRK ialah Karbon dioksida (CO2) dan Metana (CH4). Hal ini dikarenakan gas CO2 dan CH4

mendominasi konsentrasi GRK di atmosfer. Namun, terdapat pula GRK lain yang lebih berbahaya dibandingkan gas CO2 dan CH4 dalam jumlah konsentrasi yang

kecil. Gas-gas tersebut, di antaranya Nitrous Oxide (N2O), Hydrofluorocarbons

(HFCs), Perfluorocarbons (PFCs), Chlorofluorocarbons (CFCs) dan Sulphur Hexafluoride (SF6).

Fluorinated Gases (HFCs, PFCs, CFCs) memiliki porsi konsentrasi paling kecil di atmosfer, namun jauh lebih berbahaya dibandingkan C02. F-Gases yang

memiliki dampak paling berbahaya ialah HFCs.12 II. Pemanasan Global dan Perubahan Iklim

Sebelum membahas mengenai pemanasan global dan perubahan iklim, diperlukan pemahaman mengenai perbedaan cuaca dan iklim. Cuaca adalah suatu gejala alam yang terjadi dan berubah dalam waktu singkat. Gejala alam tersebut dapat kita rasakan dari menit ke menit, misalnya perubahan harian suhu, kelembaban dan angin. Iklim adalah rata-rata peristiwa cuaca di suatu daerah tertentu, termasuk

12 Greenpeace, “Other Greenhouse Gases”

(8)

perubahan ekstrem musiman dan variasinya dalam waktu yang relatif lama, baik secara lokal, regional dan global.13

Berdasarkan hal tersebut, tentu bukan hal yang mudah untuk menentukan benar atau tidaknya dunia mengalami perubahan iklim. Tony Eggleton menyatakan bahwa analisis ilmiah mengenai perubahan iklim sangat tergantung terhadap akurasi dan ekstensif ilmu pengetahuan tentang cuaca di segala variasinya, dari rata-rata lokal dan dari fenomena cuaca di seluruh dunia. Perubahan iklim tidak bisa ditentukan apabila tidak didasarkan atas pengetahuan tentang sejarah perkembangan iklim yang perlu ditinjau dari skala waktu singkat (100 tahun), medium (1000 tahun) dan panjang (100.000 tahun).14

Berdasarkan laporan IPCC pada tahun 2001 dapat diketahui bahwa terjadi peningkatan suhu rata-rata bumi. Variasi peningkatan suhu rata-rata bumi dapat ditinjau pada data di bawah ini:15

Pada dasarnya, faktor alam mempengaruhi peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer yang mengakibatkan peningkatan suhu rata-rata bumi, namun yang menjadi perhatian utama ialah peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer yang meningkat

13 WWF, “Seputar Perubahan Iklim: Iklim dan Energi“

http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/iklim_dan_energi/solusikami/kampanye/powerswitch /spt_iklim/, diunduh tanggal 17 April 2016.

14 Tony Eggleton, A Short Introduction to Climate Change, (New York: Cambridge University Press, 2013), hlm. 26-27.

(9)

tajam paska revolusi industri akibat aktivitas manusia. Peningkatan tajam konsentrasi GRK di atmosfer dapat dilihat pada data berikut:

a. Konsentrasi GRK (CO2) sebelum revolusi industri:

b.

Konsentrasi GRK (CO2) paska revolusi industri:

Sebelum terjadi revolusi industri, konsentrasi CO2 selama ribuan tahun telah

mencapai titik stabil pada tingkat sekitar 270 ppm. Sejak revolusi industri, konsentrasi tersebut meningkat tajam, hingga pada tahun 1999 mencapai tingkat konsentrasi 370 ppm. Bahkan, berdasarkan laporan terakhir konsentrasi GRK di atmosfer telah mencapai 400 ppm.16 Tingkat konsentrasi ini tidak pernah terjadi

selama 420.000 tahun. Kemudian, percepatan kenaikan konsentrasi seperti itu belum pernah terjadi selama 20.000 tahun terakhir.17

Berdasarkan fakta tersebut, maka para ilmuwan dunia yang terkumpul dalam IPCC meyimpulkan bahwa peningkatan suhu rata-rata bumi yang menjadi penyebab perubahan iklim diakibatkan oleh kegiatan manusia. Kegiatan manusia tersebut berupa pembakaran bahan bakar fosil (CO2), pembuangan sampah sembarangan

(CH4), penggunaan pendingin pada lemari es dan ruangan (CFC), bahan pembakar

pada aerosol (CFC), pertanian dan peternakan (N2O dan CH4), hingga deforestasi

hutan.

16 Laode M. Syarif dan Kadek Sarna, “Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan” dalam Hukum Lingkungan: Teori, Legislasi dan Studi Kasus, (n.p.: USAID, Kemitraan dan the Asia Foundation, n.t.), hlm. 15.

(10)

Peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer mengakibatkan peningkatan suhu bumi yang menimbulkan perubahan iklim dapat dilihat pada skema berikut:

III. Dampak dari Perubahan Iklim

Selama bertahun-tahun, manusia secara konsisten melepaskan emisi GRK, terutama CO2 ke atmosfer. Hal ini mengakibatkan peningkatan konsentrasi GRK di

atmosfer yang mengakibatkan peningkatan suhu yang menimbulkan perubahan iklim. Perubahan iklim memiliki dampak yang sangat serius dan mengancam kehidupan makhluk hidup di bumi, di antaranya:18

1. Es di seluruh dunia mencair, khususnya es di daerah kutub. Termasuk ke dalamnya gletser gunung, tutupan es di bagian barat Antartika dan Greenland serta es laut di Arctic.

2. Penurunan populasi penguin di Antartika.

3. Peningkatan permukaan air laut yang semakin cepat.

4. Meningkatnya rata-rata presipitasi (hujan dan salju) di seluruh dunia. 5. Peningkatan intensitas angin topan dan badai.

6. Banjir dan kekeringan yang semakin marak di berbagai wilayah. 7. Kurangnya ketersediaan air tawar.

8. Penyebaran beberapa penyakit yang dibawa oleh nyamuk.

18 National Geographic, “Effects of Global Warming”

(11)

9. Perubahan ekosistem yang mengakibatkan sebagian spesies berpindah tempat ke wilayah yang lebih dingin dan sebagian spesies yang tidak bisa berpindah atau beradaptasi perlahan akan punah.

10. Suhu meningkat dan menurun tajam pada siang dan malam. 11. Gelombang panas yang sering terjadi.

12. Memutih atau rusaknya terumbu karang akibat suhu yang meningkat.

Dampak negatif dari perubahan iklim di Indonesia sendiri sudah mengkhawatirkan. Hal ini terlihat dari siklus musim hujan dan musim kemarau yang sudah tidak beraturan, sejumlah pulau kecil dan atol yang sudah tenggelam pada saat air laut pasang, semaking seringnya terjadi bencana Rob (air laut yang pasang sampai jauh ke darat, semakin banyaknya coral bleaching dan seringnya terjadi taifun yang dulunya jarang terjadi. Kemudian, banjir dan kekeringan semakin sering terjadi dan menimbulkan kerugian ekonomi yang sangat luar biasa.19

B. PERUBAHAN IKLIM DALAM KONTEKS INTERNASIONAL

I. Aspek Penting dalam UNFCCC, Protokol Kyoto dan Paris Agreement a. UNFCCC

Bagaimana proses negoisasi perubahan iklim dimulai? Pada kenyataanya, hal tersebut merupakan puncak dari studi terdahulu, diskusi dan isu yang dibahas bertahun-tahun, dan pada tahun 1990 terlihat perubahan besar menuju isu ini mulai dirasakan. Selama sesi Majelis Umum PBB tahun 1990,ada beberapa negoisasi yang diambilalih dengan tujuan untuk membuat sebuah badan formal untuk menghantarkan isu perubahan iklim. Salah satu hasil dari negoisasi tersebut adalah pembentukan sebuah badan yang akan hadir dengan sebuah konvensi yang akan

(12)

menangani masalah perubahan iklim. Hal tersebut disebut dengan Intergovernmental Negoitating Comittee (INC).20

Respons Politik Internasional pada perubahan iklim dimulai dengan adopsi dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada 1992. UNFCCC ini mengatur sebuah kerangka untuk tindakan yang ditujukan untuk menstabilkan konsentrasi atmosfir oleh gas rumah kaca untuk menghindari “gangguan bahaya antropogenik” dengan sistem iklim. Gas yang dikontrol termasuk metana, nitrous oxide dan secara khusus, karbon dioksida.21

UNFCCC adalah kerangka untuk upaya antar pemerintah dalam menangani perubahan iklim. UNFCCC dibuat di Konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa pada Lingkungan dan Pembangunan (UNCED), juga diketahui pada Earth Summit, di Rio de Janeiro pada Juni 1992. Konvensi tersebut mulai dipaksakan keberlakuanya pada 21 Maret 1994.

Negara-negara yang sudah meratifikasi traktat tersebut disebut sebagai “Pihak-pihak dari Konvensi”. Kurang lebih ada 195 Pihak dari Konvensi (194 Negara Individu, termasuk anggota individu dari Persatuan Eropa – Persatuan Eropa juga Pihak yang terpisah). Takhta Suci memegang status sebagai pengamat. Sejak UNFCCC mulai dipaksakan keberlakuanya, para Pihak telah melakukan pertemuan setiap tahun di Conferences of the Parties (COP) untuk menilai progres dalam menangani perubahan iklim dan untuk menyetujui tindakan yang perlu diambil.22

Conference of Parties (COP) adalah badan tertinggi dari UNFCCC dan terdiri dari menteri lingkungan yang bertemu sekali dalam setahun untuk mendiskusikan pembangunan dalam konvensi. Sejak awal, UNFCCC telah mengadakan 14 Pertemuan Tahunan COP yang melacak asal mereka pada Earth Summit pada Tahun

20 Diakses dari website Green bites Initiative. My Little COP Book. Ed: Kennedy Liti Mbeva. https://www.google.co.id/url?

sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=3&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwjiwvOZm5jMAhWG FZQKHbO5DNgQFggmMAI&url=https%3A%2F%2Funfccc.int%2Ffiles%2Fcc_inet%2Fapplication %2Fx-httpd-php%2Fccinet_getfile.php%3Ffile

%3D133&usg=AFQjCNH4HtzoOXgkvcwvZPt2xudsaZACzg&sig2=AHJbEq35vPRHJbTzXCx5ig& bvm=bv.119745492,d.dGo

21 Diakses dari website http://www.iisd.ca/process/climate_atm-fcccintro.html

(13)

1992 di Rio, yang bertujuan pada koordinasi tindakan Internasional untuk melawan perubahan iklim.23

COP yang ke 15 sangat signifikan sebagai Jabatan yang mencetuskan Traktat Iklim sebagai sebuah suksesor untuk Kyoto Protokol, bagian pertama yang akan habis masa berlakunya pada tahun 2012. Menurut Yvo de Boer, Sekretariat Eksekutif dari UNFCC, 4 inti yang membutuhkan persetujuan internasional di Kopenhagen, Diantaranya adalah:

1. Berapa banyak negara industri yang bersedia untuk mengurangi emisi gas rumah kacanya?

2. Berapa banyak mayoritas negara berkembang seperti Tiongkok dan India yang bersedia untuk membatasi pertumbuhan emisi mereka?

3. Bagaimana bantuan yang dibutuhkan oleh Negara Berkembang untuk terlibat dalam mengurangi emisi dan adaptasi mereka terhadap dampak perubahan iklim akan dibiayai?

4. Bagaimana uang tersebut akan dikelola?24

UNFCC juga nama untuk Sekretariat dari PBB yang berwenang dengan mendukung operasional pada Konvensi. Sekretariat tersebut berbasis di Bonn, Jerman, dan dikepalai sejak Juli 2010 oleh Sekretaris Eksklusif Christiana Figueres.25

Traktat itu sendiri tidak ada batas yang mengikat untuk emisi gas rumah kaca untuk Negara Individual dan tidak mengandung mekanisme pemaksaan untuk keberlakuanya. Dalam hal tersebut, Traktat tersebut dianggap secara hukum tidak mengikat. Namun, traktat tersebut menyediakan sebuah kerangka dasar untuk menegoisasikan traktat internasional yang lebih spesifik yang disebut “protokol” yang dapat mengatur batas yang mengikat untuk gas rumah kaca.26

Tujuan Dibentuknya UNFCCC27

23 Diakses dari situs https://sites.google.com/site/unfcccyoungo/resources-readings/background-info-on-the-unfccc.

24 Ibid.

25 Diakses dari situs http://www.mrfcj.org/our-work/background-documents/ Op cit.

26 Diakses dari situs http://www.thegreenmarketoracle.com/2012/12/a-short-history-of-unfccc-conference-of.html.

(14)

Merujuk ke Pasal 2, Tujuan utama dari konvensi ini adalah “untuk mencapai, sehubungan dengan ketentuan yang relevan dari kovensi, stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah gangguan antropogenik yang berbahaya [berasal di aktivitas manusia] dengan sistem iklim”. Tujuan ini dikualifikasi supaya “harus dicapai dalam kerangka waktu yang cukup untuk memungkinkan ekosistem beradaptasi secara alamiah terhadap perubahan iklim, untuk memastikan bahwa produksi pangan tidak terancan dan untuk memungkinkan pembangunan ekonomi untuk melanjutkan secara sustainable”.

Dalam menyatakan tujuan ini, Pandangan konvensi lebih memfokuskan bahwa perubahan iklim bumi terancam oleh naiknya konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yang mana disebabkan oleh meningkatnya emisi GRK antropogenik. Konvensi ini tidak menyatakan batasan untuk total emisi GRK yang harus dipatuhi untuk mencapai tujuan konvensi ini. Juga tidak menunjukan tingkat keseluruhan konsentrasi GRK diluar “gangguan antropogenik berbahaya dengan sistem iklim” yang dapat terjadi. Estimasi terhadap sampai mana letak tingkat ini berkembang secara berlanjut dengan kemajuan ilmiah dan rumit dikarenakan kebutuhan politik untuk memperhitungkan kemampuan berubah masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Faktor lain yang penting adalah menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfer dekat level saat ini akan membutuhkan sebuah pengurangan yang curam untuk emisi saat ini. Hal ini dikarenakan sekali ter-emisi, GRK yang tersisa di atmosfir untuk masa yang cukup lama: karbon dioksida, misalnya, tetap dalam sistem iklim, rata-rata, selama satu abad atau lebih.

Lembaga-lembaga dalam UNFCCC28

A. Conference of the Parties: Pihak dari UNFCCC memulai untuk mengadopsi keputusan, mempelajari ulang progres dan meninjau kemajuan serta tindakan lebih lanjut melalui pertemuan rutin Konferensi Para Pihak (COP). Konferensi Para Pihak adalah badan pengambil keputusan tertinggi dalam Konvensi.

B. Secretariat: The Conference of Parties dan tujuan konvensi adal didukung oleh badan yang bervariasi dan organisasi. Hal ini termasuk sebuah

(15)

Sekretariat Permanen dengan tugas yang bervariasi yang diatur dibawah Pasal 8 UNFCCC. Sejak tahun 1986, Sekretariat tersebut telah berpusat di Bonn, Jerman setelah tawaran untuk menjadi tuan rumah itu diterima oleh Pihak pertemuan pertama COP pada tahun 1995.

C. Subsidiary Bodies: Sejumlah badan subsider juga memberi nasihat kepada COP. The Subsidiary Body on Scientific and Technical Advice (SBSTA) hubungan keilmuan, teknis dan penilaian teknologi, informasi yang disediakan oleh badan Internasional yang kompeten, dan kebutuhan COP yang berorientasi pada peraturan, dan kebutuhan yang berorientasi kebijakan-COP. Badan Pendukung untuk Pelaksanaan (SBI) diciptakan untuk mengembangkan rekomendasi untuk membantu COP dalam mengkaji dan menilai pelaksanaan Konvensi dan dalam mempersiapkan dan menerapkan keputusanya. SBSTA dan SBI Biasanya setiap tahun bertemu dua kali, pada waktu dan tempat yang sama. Salah satu dari kedua pertemuan tahunan berlangsung secara paralel Umumnya Dengan COP.

D. Financing and the Global Environment Facility: UNFCCC mencakup ketentuan dalam Pasal 10 untuk mekanisme keuangan untuk mendukung Negara Berkembang dan Negara dengan ekonomi dalam transisi ke ekonomi pasar dalam Penerapan Konvensi. Pihak UNFCCC memutuskan bahwa Global Environment Facility (GEF) sebagai keuangan harus bertindak sebagai mekanisme keuangan.

E. Other financial resources untuk mengimplementasikan Konvensi juga tersedia melalui Dana Khusus Perubahan Iklim, negara yang terakhir menjadi negara maju, dan Dana Adaptasi, tentunya melalui negara donor dan agen-agen.

(16)

Transfer, dan the Executive Board of the Clean Development Mechanism (CDM) dan Joint Implementation Supervisory Committee.

G. Observer States: Negara yang bukan pihak dari UNFCCC boleh menghadiri sesi COP sebagai pengamt dengan undangan dari Presiden COP. Negara Pengamat boleh berpartisipasi, tetapi tidak memiliki hak untuk vote. Peraturan Prosedur COP – termasuk yang berhubungan pada negara pengamat dan organisasi pengamat The rules of procedure of the COP – including those related to observer states and observer organisations.29

(17)

Negara-negara yang Tergabung dalam UNFCCC30

Prinsip-prinsip dalam UNFCCC

Prinsip-prinsip dalam UNFCCC secara langsung telah diletakkan dalam Pasal 3 dari UNFCCC yang terdiri dari 5 ayat. Berdasarkan Konvensi UNFCCC maka kami menyimpulkan bahwa UNFCCC menganut prinsip-prinsip sebagai berikut:

- Common but Differentiated Principles31

Pasal 3 UNFCCC menyatakan bahwa “parties should protect the climate system for the benefit of future and present generations of human kind on the basis of

(18)

equity and in accordance with their common but differentiated responsibility and respective capacilities. Accordingly, developed countries should take the lead in combating climate change and the adverse effect thereof”.

Fokus bersama dan tanggung jawab bersama umat manusia menghantarkan perubahan iklim mendukung UNFCCC dan sebuah gagasan yang telah lama berdiri dari Hukum Lingkungan Internasional. Diferensiasi tanggung jawab berdasar dari tanggung jawab historis dari Negara dan Kapasitas Negara yang berbeda-beda untuk menghantarkan isu perubahan iklim. Keadilan kepada semua pihak UNFCCC dihantarkan melalui konsep tanggung jawab historis. Sebagian besar tanggung jawab ditempatkan pada dua hal tersebut yang memiliki kontribusi terbanyak dan yang mendapat keuntungan terbanyak, karbon yang terbangun di atmosfir.

Kapasitas yang berbeda-beda dan kebutuhan bangsa juga mendukung gagasan persamaan ini. Negara maju memiliki kapasitas teknis dan ekonomi untuk menghantarkan isu perubahan iklim, baik melalui mitigasi maupun adaptasi, sedangkan negara berkembang belum.

Prinsip common but differentiated principles dan respective capacities

(CBDR RC) memiliki dua bagian: Tanggung Jawab Bersama untuk melindungi lingkungan, dan standar of conduct. Hal ini Disajikan dalam UNFCCC dan Protokol Kyoto melalui perlakuan yang berbeda untuk Negara Maju dan Negara Berkembang.. Perlakuan yang berbeda ini telah-telah dilakukan ke dalam Kesepakatan Cancun.32

- Polluter Pays Principles and Transboundary Harm

Polluter Pays Principle mengindikasikan bahwa cost of pollution akan dihadapi oleh seseorang yang bertanggungjawab untuk menyebabkan polusi. Makna prinsip, dan aplikasinya untuk kasus dan situasi tertentu, dibiarkan terbuka untuk diinterpretasi, khususnya pada hubungan lingkungan dan tingkat cost yang termasuk

31 Kelly Mc Manus. Climatico: The principle of “common but differentiated responsibility” and the UNFCCC. November, 2009

http://www.climaticoanalysis.org/wp-content/uploads/2009/12/kmcmanus_common-responsibilities.pdf.

(19)

dan keadaan dimana prinsip-prinsip akan, atau mungkin dengan terkecuali, tidak digunakan.33

Prinsip Polluter Pays Principle dan Tanggung Jawab Negara untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol kerugian antar negara adalah sebuah konsep hukum yang penting, yang aplikasinya dalam konteks negoisasi UNFCCC berlaku secara politik.

Responsibility for Transboundary Harm ini telah dikenal secara luas dibawah hukum kebiasaan Internasional bahwa adalah tanggung jawab negara untuk mencegah, mengurangi dan mengontrol resiko dari bahaya lingkungan kepada negara lain. Preseden Hukum biasanya mengutip dalam konteks yang memfokuskan pada Pabrik Peleburan di Kanada, yang mana emisi sulfur dioksidanya menyebabkan bahaya di Amerika. Pengadilan arbitrase juga menentukan bahwa Kanada harus membayar kepada Amerika untuk kompensasi bagi bahaya atau kerugian yang telah ditimbulkan.

Berdasar pada Prinsip 21 dari Stockholm Declaration, Pembukaan UNFCCC mendukung kewajiban untuk menghindari bahaya, namun menekankan bahwa Negara mempunyai, sesuai dengan Piagam PBB dan prinsip hukum internasional, hak kedaulatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya sesuai dengan kebijakan lingkungan dan pembangunanya.

Juga adanya konsensus umum bahwa gangguan antarnegara harus menjadi konsekuensi yang serius dan setidaknya menyebabkan bahaya yang signifikan, substansial ataupun appreciable.

Pendapat yang dominan adalah bahwa tanggung jawab untuk polusi antarnegara merupakan hasil dari kewajiban untuk membuat regulasi dan mengontrol sumber kerugian. Kewajiban tersebut tidak secara otomatis membuat sebuah kegiatan yang dapat menciptakan bahaya yang serius.34

- Equity Burden Sharing

33 Phillippe Sands, et al. Principles of International Environmental Law. (New York: Cambridge University Press, 2012), hlm. 228.

(20)

Pada dasarnya Negara Berkembang hanya berkontribusi sedikit untuk menyebabkan perubahan iklim, namun mereka akan menjadi yang paling terpengaruh. Negara-negara ini dihadapkan dengan tantangan sosial, ekonomi, dan lingkungan yang sebelumnya belum pernah terjadi tanpa sumber daya dan teknologi yang dapat menolong untuk membangun kapasitas adaptif mereka. Pada hasilnya, pertanyaan akan equity dan burden-sharing adalah penting dalam debat perubahan iklim sekarang.

Equity adalah sebuat etis dan konsep people-oriented dengan dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan. Hal tersebut berfokus pada keadilan bagi baik proses dan hasil dari keputusan. Keputusan yang adil membawa legitimasi yang lebih besar, dan mendorong seluruh pihak untuk bekerja sama yang lebih baik dalam melakukan tindakan yang disepakati bersama.dalam melaksanakan tindakan yang disepakati bersama.

Dalam hukum lingkungan internasional, equity biasanya mendeskripsikan pemanfaatan sumber daya alam secara adil atau pembagian biaya yang adil dalam mengelola masalah lingkungan. International Court of Justice membagi antata

equity dalam hukum, sebagai sebuah pengisi celah diluar, dan berlawanan dengan hukum (intra,praefor and contra legem).

Dalam UNFCCC, equity melengkapi prinsip common but differentiated responsibilities dan respective capabilities (CBDRRC). Pasal 3.1 menyatakan bahwa para pihak harus melindungi sistem iklim untuk manfaat masa kini dan generasi umat manusia di masa depan, pada basis keadilan dan sehunungan dengan tanggung jawab umum namun terdiferensiasi dan kemampuan yang sesuai. Oleh karena itu, walaupun

equity dibedakan dari prinsip inter- dan intra generational equity, yang menentukan objek spesifik, pentingnya equity menjadi kurang jelas.

(21)

negara maju harus memimpin dalam memerangi perubahan iklim dan efek samping dari hal tersebut.

Namun, emisi dari negara berkembang yang secara ekonomi maju telah berkembang pesat. Banyak Negara Annex I mengharapkan negara berkembang seperti China, India dan Brazil untuk melaksanakan kewajiban tertentu untuk membatasi emisi mereka. Hal ini merupakan keberangkatan dari prinsip-prinsip kesetaraan dan CBDRRC yang mana merupakan salah satu isu yang diperebutkan dalam negoisasi saat ini.

Banyak negara berkembang yang berpendapat bahwa rezim iklim yang berubah yang menyimpang dari perbedaan antara Annex I dan Pihak non-Annex I akan tidak konsisten dengan UNFCCC. Namun, UNFCCC hanya menyediakan sebuah kerangka umum untuk melawan perubahan iklim. Para pihak mempunyai sebuah tanggung jawab untuk melindungi sistem iklim sesuai dengan CBDRRC. Pembukaan Konvensi UNFCCC (yang bukan bagian dari ketentuan operasi Konvensi tetapi membantu untuk memperjelas makna atau tujuan mereka) secara eksplisit mengakui bahwa pangsa emisi global yang berasal di negara berkembang akan tumbuh untuk memenuhi kebutuhan sosial dan perkembangan mereka.

- Precautionary Principle

Prinsip Precautionary Principle bertujuan untuk menyediakan pedoman dalam pembangunan dan aplikasi dari hukum lingkungan internasional dimana adanya scientific uncertainty. Prinsip ini selanjutnya menghasilkan ketidaksepakatan pada makna dan efeknya, sebagaimana tercermin khususnya dalam pandangan negara dan praktek peradilan internasional. Di satu sisi, sebagian orang menganggap bahwa prinsip ini menyediakan dasar bagi tindakan dini hukum internasional untuk mengatasi masalah lingkungan yang sangat mengancam seperti polusi kimia dan perubahan iklim.35 Prinsip Precautionary Principle memainkan peran penting dalam

konsepsi dan adopsi dari UNFCCC. Pada saat itu, masih ada keraguan sejauh dan penyebab perubahan iklim.

(22)

Teks pada Konvensi mencerminkan prinsip Precautionary Principle atau pendekatan dalam Pasal 3.3: Para Pihak harus mengambil langkah-langkah pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau meminimalkan penyebab perubahan iklim dan mengurangi dampak buruknya. Di mana ada ancaman kerusakan serius atau permanen, kurangnya kepastian ilmiah penuh tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk menunda langkah-langkah tersebut, dengan mempertimbangkan bahwa kebijakan dan langkah-langkah untuk menangani perubahan iklim harus efektif biaya sehingga untuk memastikan manfaat global pada biaya serendah mungkin ....

Sifat, status dan fungsi dari prinsip-prinsip dalam hukum internasional bervariasi. Mereka dapat berkisar dari hanya aspiratif hingga mengikat secara hukum. Pihak-pihak dalam UNFCCC telah mengesahkan tindakan pencegahan sebagai salah satu prinsip Konvensi untuk memandu mereka dalam tindakan mereka untuk mencapai tujuan Konvensi dan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuannya ... Oleh karena itu, dalam konteks UNFCCC, prinsip pencegahan menyediakan parameter untuk menginterpretasi konvensi, yang bertujuan untuk memimpin para pengambil keputusan dalam arah tertentu, dan menginformasikan perkembangan aturan lebih lanjut. Namun, sifat dari Pasal 3.3 (prinsip arahan) dan bahasa nya (harus) menyarankan bahwa Pasal ini tidak menciptakan hak bagi setiap Pihak untuk menuntut langkah-langkah khusus.36

Komitmen Para Pihak dalam UNFCCC37

Untuk mencapai tujuan dari Konvensi ini, seluruh pihak berkomitmen dibawah Pasal 4(1) untuk mengambil langkah-langkah tertentu, memperhitungkan tanggung jawab yang umum namun terdiferensiasi dan prioritas, tujuan, dan keadaan mereka. General Commitment ini meliputi perkembangan persediaan emisi antropogenik mereka dari sumber dan removals by sinks dari seluruh gas rumah kaca yang tidak dikendalikan oleh Protokol Montreal, dan perumusan dan pelaksanaan nasional dan, bila sesuai, program regional yang berisi langkah-langkah untuk

36 Climate Law in Brief, Op cit CLIB 12 pg27

(23)

mengurangi perubahan iklim dengan mengatasi emisi dan penyerapan gas ini dan dengan fasilitasi dari adaptasi yang memadai untuk perubahan iklim.

Seluruh semua pihak diminta: untuk mempromosikan, dan bekerja sama dalam difusi teknologi, praktek dan proses yang mengontrol, mengurangi atau mencegah emisi antropogenik dari gas rumah kaca yang tidak diatur oleh Protokol Montreal; untuk mempromosikan manajemen berkelanjutan, konservasi dan peningkatan rosot dan gas rumah kaca ini; dan untuk bekerja sama dalam mempersiapkan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim. Semua pihak juga diminta untuk mengambil perubahan iklim ke dalam laporan, sejauh memungkinkan, dalam kebijakan sosial, ekonomi dan lingkungan mereka; untuk mempromosikan dan bekerja sama dalam penelitian, pengamatan sistematis dan pengembangan arsip data ke pemahaman lebih lanjut dari perubahan iklim dan strategi respon; untuk mempromosikan dan bekerja sama secara penuh, terbuka dan cepat pertukaran informasi yang relevan, dan untuk mempromosikan dan bekerja sama dalam pendidikan, pelatihan dan kesadaran masyarakat.

Multilateral Consultative Group38

Pasal 13 dari UNFCCC menyatakan bahwa “Para pihak dalam konferensi, pada sesi pertama, mempertimbangkan proses pembentukan konsultasi multilateral, yang tersedia untuk para pihak atas permintaanya, untuk resolusi bagi pertanyaan mengenai implementasi dari konvensi ini.”

COP 1, dengan keputusan 20/CP 1 membentuk sebuah kelompok kerja- yang disebut Ad Hoc Group pada Pasal 13 (AG 13)- untuk merancang proses konsultasi multilateral. Pada tahun 1995 dan 1998 kelompok ini bertemu enam kali. COP 4, dengan kepitusan 10/CP 4, menyetujui isi dari proses konsultasi multilateral seperti yang disiapkan oleh AG13.

Tujuan dari proses konsultasi multilateral ini adalah untuk menjawab pertanyaan mengenai implementasi dari Konvensi ini (terms of reference nya terlihat di Annex to Decision 10/CP.4) Tujuan ini dicapai dengan:

(24)

 Menasihati para pihak dalam, atau membantu kesulitan mereka dalam

melaksanakan Konvensi ini.

 Melakukan promosi pada pemahaman tentang Konvensi.

 Mencegah perselisihan yang akan timbul.

Terms of Reference ini secara lebih jauh menentukan bahwa proses konsultasi multilateral ini akan dilakukan dengan fasilitatif, non-konfrontatif, transparan dan tepat waktu, serta menjadi proses non-yudisial. Para pihak yang bersangkutan berhak untuk ber berpartisipasi penuh dalam proses, yang terpisah dari, dan tanpa mengurangi, penyelesaian sengketa sesuai dengan Pasal 14 dari Konvensi ini.

Proses ini dapat dimulai dengan:

 Seorang pihak atau sebuah kelompok dari pihak-pihak bila mereka

merasakan kesulitan dalam melaksanakan Konvensi.

 Seorang pihak atau sebuah kelompok dari pihak-pihak dengan hormat

kepada pihak lain atau kelompok pihak-pihak.

 COP itu sendiri.

Kerangka acuan dari proses konsultasi multilateral ini menyediakan Panitia Konsultatif Multilateral yang dibentuk, terdiri dari ahli yang dicalonkan oleh para pihak. Namun, panitia ini belum pernah didirikan, karena kurangnya lanjutan dari konsensus pada komposisinya. Ketidaksepakatan bertahan pada jumlah anggotanya – dengan Pilihan mulai dari 10 sampai 25 - dan pada representasi yang memadai dari Pihak Kelompok.

Terms of Reference, Panitia ini harus mempertimbangkan pertanyaan pada pelaksanaan Konvensi dalam konsultasi dengan pihak atau para pihak yang bersangkutan dan memberikan bantuan yang tepat dengan:

 Mengklarifikasi dan menyelesaikan pertanyaan;

 Mengklarifikasi dan menyelesaikan pertanyaan;

 Memberikan saran dan rekomendasi tentang pengadaan teknis dan

sumber daya keuangan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini;

 Memberikan nasihat tentang kompilasi dan mengkomunikasikan

(25)

Kesimpulan dan rekomendasi dari Komite harus dikirim ke Pihak atau Pihak terkait dan mereka harus diberi kesempatan untuk memberi komentar pada daripadanya. komentar tersebut dapat mencakup:

- Rekomendasi tentang kerjasama antar Pihak atau peserta yang bersangkutan dan pihak lainnya untuk memajukan tujuan Konvensi;

- rekomendasi tentang langkah-langkah yang akan diambil oleh Pihak atau para Pihak bersangkutan untuk pelaksanaan yang efektif dari Konvensi.

Dispute Settlement39

Penyelesaian sengketa dibahas dalam UNFCCC Pasal 14, yang menyatakan bahwa jika sengketa terjadi antara dua pihak atau lebih mengenai interpretasi atau penerapan UNFCCC, ara pihak wajib berusaha untuk menyelesaikan sengketa melalui negosiasi atau cara-cara damai lainnya pilihan mereka. Ini bisa melibatkan, misalnya, negosiasi, mediasi, keputusan pengadilan atau arbitrase. hasilnya bisa mengikat atau tidak mengikat. Sengketa bisa menyibukkan hampir setiap masalah yang terkait dengan penafsiran atau penerapan UNFCCC. Menurut Protokol Kyoto Pasal 19, ketentuan yang sama berlaku mutatis mutandis (dengan perubahan seperlunya) di bawah Protokol Kyoto. Pasal 14 juga akan berlaku secara otomatis untuk setiap instrumen hukum terkait yang COP dapat mengadopsi di masa depan, misalnya protokol baru, kecuali instrumen yang dinyatakan lain (UNFCCC Pasal 14.8).

Pilihan Penyelesaian Sengketa yang Mengikat: Pihak UNFCCC memiliki dua pihak untuk penyelesaian sengketa yang wajib dan mengikat: Baik mengajukan sengketa ke International Court of Justice, sesuai dengan Pasal 14.2 (a) UNFCCC; atau arbitrase sesuai dengan lampiran yang akan diadopsi oleh COP sesegera mungkin, sesuai dengan Pasal 14.2 (b). Namun, hal ini berlaku untuk Pihak yang telah mengajukan pernyataan yang menerima bentuk penyelesaian sengketa ini. Sangkat sedikit pihak yang telah melakukan hal tersebut. Karena kekhawatiran akan arbitrase, COP belum mengadopsi lampiran.

Konsiliasi: Jika sengketa yang terjadi antara para pihak dan 12 bulan telah berlalu sejak satu pihak memberitahu pihak lainya yang bersengketa, setiap Pihak yang bersengketa dapat mengajukan sengketa ke konsiliasi. Dalam kasus tersebut, komisi

(26)

konsiliasi akan dibentuk, yang terdiri dari jumlah yang sama dari anggota yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersengketa, dan Ketua yang dipilih bersama-sama. COP adalah untuk mengadopsi prosedur tambahan yang terkait dengan konsiliasi dalam lampiran, tapi belum melakukannya (Pasal 14 sub-ayat 5 sampai 7).

Hasil putusan dari komisi konsiliasi tidak akan mengikat. Namun, telah menyarankan bahwa jalan ini bisa, misalnya, memungkinkan suatu Negara yang mengalami kerugian karena Perubahan Iklim untuk menyelidiki akibat antara kerusakan negara dan kebijakan lingkungan dalam negara dengan emisi mayoritas, kemungkinan membangun dasar untuk kewajiban di bawah hukum internasional.13 ini kemudian akan perlu diupayakan lebih lanjut melalui proses hukum lainnya.

Disadur kembali dari Pasal 14 Paragraf 240, bahwa dalam hal meratifikasi,

menerima, menyetujui atau mengaksesi Konvensi, atau setiap saat setelah itu, Pihak yang bukan merupakan organisasi integrasi ekonomi regional dapat menyatakan dalam instrumen tertulis yang disampaikan kepada Depositary yang, sehubungan dengan sengketa perihal interpretasi atau penerapan Konvensi mengakui sebagai wajib ipso facto dan tanpa persetujuan khusus, dalam kaitannya dengan Pihak yang menerima kewajiban yang sama :

a. Melakukan Pendaftaran gugatan sengketa ke Mahkamah Internasional; dan / atau

b. Arbitrase sesuai dengan prosedur yang akan diadopsi oleh Konferensi Para Pihak sesegera mungkin, dalam lampiran di arbitrase.

Pihak yang merupakan organisasi integrasi ekonomi regional dapat membuat suatu pernyataan yang dapat seperti dalam kaitannya dengan arbitrase sesuai dengan prosedur sebagaimana dimaksud dalam huruf (b) di atas.

Menanggapi Paragraf 2 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Negara Pihak Konvensi harus membuat persetujuan dalam suatu deklarasi (instrumen tertulis) dalam hal terjadinya sengketa akan melakukan pendaftaran gugatan ke Mahkamah Internasional atau melakukan Arbitrase.

(27)

Sebuah deklarasi yang dibuat berdasarkan ayat 2 di atas akan tetap berlaku sampai habis masa berlakunya di sesuai dengan persyaratan atau sampai tiga bulan setelah pemberitahuan tertulis dari pencabutan yang telah disimpan pada tempat penyimpanan. Sebuah deklarasi baru, pemberitahuan pencabutan atau berakhirnya deklarasi sebaiknya dengan cara apapun tidak menunda Mahkamah Internasional atau pengadilan arbitrase, kecuali para pihak menentukan lain. 41

A. Pendaftaran Gugatan Ke Mahkamah Internasional42

Konvensi tidak mengatur secara khusus cara-cara mengenai pendaftaran gugatan ke Mahkamah Internasional. Namun pada dasarnya, Mahkamah dapat mengadili dua jenis kasus; yang didaftarkan oleh Negara-negara pihak atas permintaanya (contentious cases) atau permintaan pendapat nasihat tentang pertanyaan hukum dirujuk dengan organ PBB dan badan-badan khusus (advisory proceedings). Dalam makalah ini, karena Pasal 14 menyatakan pentingnya suatu perjanjian bagi para Negara Pihak Konvensi bilamana terjadi sengketa dikemudian hari, maka dapat disimpulkan bahwa jenis kasus yang akan digugat ke Mahkamah adalah termasuk dalam jenis contentious cases. Maka pada bagian ini kami hanya menjelaskan bagian contentious casesnya saja.

Hanya Negara-negara (Negara Anggota PBB dan Negara-negara lain yang telah menjadi pihak dalam Statuta Mahkamah atau yang telah menerima yurisdiksi di bawah kondisi tertentu) dapat menjadi pihak dalam kasus yang akan diperdebatkan.

Mahkamah berwenang untuk mengadili sengketa hanya jika negara yang bersangkutan telah menerima yurisdiksi dalam satu atau lebih dari cara berikut:

a. Dengan memasukkan perjanjian khusus untuk menyerahkan sengketa ke Mahkamah;

b. berdasarkan klausul yurisdiksi, yaitu, biasanya, ketika mereka merupakan pihak dalam perjanjian yang berisi ketentuan dimana, dalam hal sengketa dari jenis tertentu atau perselisihan atas interpretasi atau penerapan perjanjian, salah satu dari mereka dapat merujuk sengketa ke Mahkamah;

41 Ibid

(28)

c. Melalui efek timbal balik dari deklarasi yang dibuat mereka dibawah Statuta yang mana telah menerima yurisdiksi Mahkamah sebagai hal yang wajib dalam hal terjadinya sengketa dengan Negara lain yang memiliki deklarasi serupa. Sejumlah deklarasi ini, yang harus disimpan dalam United Nations Secretary-General, mengandung syarat yang mengecualikan kategori sengketa tertentu.

Negara-negara tidak memiliki perwakilan tetap terakreditasi ke Pengadilan. Mereka biasanya berkomunikasi dengan Panitera melalui media dari Menteri Luas Negeri nya atau dengan Duta Besar mereka yang berada di Belanda. Sebagai pihak dari suatu kasus dalam Mahkamah, mereka diwakilkan oleh agen. Seorang agen memainkan peran yang sama, dan memiliki hak dan kewajiban yang sama, sebagai pengacara seperti di pengadilan nasional.

Namun dalam hal ini kita berhadapan dengan hubungan internasional, dan agen juga seolah-olah diposisikan sebagai kepala misi diplomatik khusus dengan kekuatan untuk melakukan suatu tindakan hukum sebagai Negara yang berdaulat. Dia menerima komunikasi dari Panitera mengenai kasus dan kedepan kepada Panitera, semua korespondensi dan pembelaan ditandatangani atau sertifikasi.

Dalam pemeriksaan umum, agen membuka seluruh argumen atas nama pemerintah yang ia wakilkan dan menyampaikan pengiriman. Secara umum, setiap kali tindakan formal yang harus dilakukan oleh pemerintah yang diwakili, hal itu dilakukan oleh agen. Agen kadang-kadang dibantu oleh co-agent, wakil agen atau asisten agen dan selalu memiliki nasihat atau pendukung, yang karyanya terkoordinasi, untuk membantu mereka dalam penyusunan pembelaan dan pengiriman argumen lisan. Karena tidak ada International Court of Justice Bar khusus, tidak ada kondisi yang harus dipenuhi untuk nasihat atau pendukung untuk menikmati hak berdebat sebelum kecuali hanya itu mereka harus telah ditunjuk oleh pemerintah untuk melakukannya.

Pengadilan dapat dilakukan dalam salah satu dari dua cara berikut:

(29)

persidangan atau dengan keduanya. Sebuah kesepakatan khusus harus menunjukan subyek sengketa dan para pihak. Karena adanya baik Negara “applicant” maupun Negara “respondent”.

b. Melalui cara permohonan: permohonan, yang bersifat unilateral, disampaikan oleh Negara pemohon terhadap Negara responden. Hal ini dimaksudkan untuk komunikasi ke Negara yang terakhir dan Peraturan Pengadilan berisi persyaratan ketat sehubungan dengan isinya. Selain nama partai melawan yang klaim dibawa dan subjek sengketa, Negara pemohon harus, sejauh mungkin, menunjukkan secara singkat atas dasar apa - perjanjian atau deklarasi penerimaan yurisdiksi wajib - klaim Pengadilan memiliki yurisdiksi, dan harus ringkas menyatakan fakta-fakta dan alasan yang menjadi mendasarkan klaimnya

B. Melalui Arbitrase43

Disadur dari Pasal 14 Ayat 5, bahwa dengan patuh pada operasi paragraf 2 di atas, jika setelah dua belas bulan setelah pemberitahuan oleh salah satu Pihak lain yang bersengketa ada di antara mereka, pihak yang bersangkutan belum mampu menyelesaikan sengketa mereka melalui sarana yang disebutkan dalam paragraf 1 di atas, sengketa itu harus disampaikan, atas permintaan salah satu pihak yang bersengketa , untuk konsiliasi.44

Sebuah komisi konsiliasi wajib dibentuk berdasarkan permintaan dari salah satu pihak yang bersengketa. Komisi harus terdiri dari jumlah yang sama dari anggota yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang bersangkutan dan ketua yang dipilih bersama oleh anggota yang ditunjuk oleh masing-masing pihak. Komisi harus memberikan penghargaan yg dipuji, yang para pihak harus mempertimbangkan dengan itikad baik.45

Menurut Laporan IBA (International Bar Association) pada potensi peran arbitrase dalam menyelesaikan sengketa lingkungan. Secara khusus, Laporan mengakui bahwa, meskipun badan peradilan seperti ICJ dan ITLOS menyediakan forum penting bagi penyelesaian sengketa lingkungan, banyak negara telah memilih

43 Pidato David W. Rifkin Dalam COP 21 UNFCCC 7 Desember 2015

44 UNFCCC, art.14 Op Cit

(30)

untuk menyelesaikan sengketa investasi tertentu dengan pihak swasta melalui arbitrase, yaitu sistem investor-negara penyelesaian sengketa (ISDS) yang timbul di bawah sejumlah perjanjian perdagangan bilateral dan multilateral. Laporan ini juga mengidentifikasi bahwa Pengadilan Tetap Arbitrase (PCA) telah membuat kemajuan yang signifikan terhadap peningkatan aturan prosedural sendiri untuk mengizinkan resolusi efektif sengketa lingkungan, terutama rilis dari Opsional Aturan Arbitrase Sengketa Terkait dengan Sumber Daya Alam dan / atau lingkungan, pertama dan hanya aturan arbitrase dikembangkan secara khusus dengan sengketa lingkungan dalam opini.

Keuntungan dari Arbitrase adalah bahwa Arbitrase internasional fleksibel, tidak hanya dalam aturan prosedural dan proses pengadilan janji, tetapi dalam berbagai jenis pihak yang mungkin memilih untuk menggunakannya dan jenis sengketa yang dapat diterapkan. Arbitrase memungkinkan pihak untuk menyediakan secara independen, resolusi tentang sengketa yang mungkin mustahil untuk diselesaikan dalam negeri karena politic fall-out untuk satu sisi atau yang lain. Arbitrase dapat didirikan di muka, dalam kontrak, atau setuju untuk secara ad hoc untuk menyelesaikan krisis tertentu.

Dengan memegang para pihak pada perjanjian mereka dan menciptakan prediktabilitas dan kepastian, pengadilan arbitrase telah mempromosikan aturan hukum internasional dan perdagangan internasional. Misalnya, melalui arbitrase investasi, arbiter telah mengembangkan aturan supranasional hukum yang telah membantu untuk menciptakan standar yang seragam untuk perilaku berdaulat yang dapat diterima.

b. Kyoto Protocol

Kyoto Protocol merupakan sebuah perjanjian internasional yang terkait dengan UNFCCC yang mengikat para pihaknya untuk mencapai target dalam mengurangi emisi.46 Protokol ini searah dengan tujuan utama dari UNFCCC, yaitu

untuk menstabilkan konsentrasi GRK di atmosfir pada tingkat tertentu sehingga tidak

(31)

membahayakan sistem iklim bumi.47 Kyoto Protocol dibuat di Kyoto, Jepang pada 11

Desember 1997 dan mulai berlaku bagi para pihak pada tanggal 16 Februari 2005. Perjanjian ini menekankan pada kewajiban negara-negara maju untuk melakukan pengurangan terhadap emisinya, karena seperti yang diketahui bahwa negara maju (negara-negara dalam Annex I Konvensi) merupakan penyumbang terbesar emisi GRK ke atmosfir, sesuai dengan pasal 4.2.b Konvensi.48 Perjanjian ini kemudian

membebani negara-negara maju tersebut dibawah prinsip common but differentiated responsibilities atau juga dikenal sebagai tujuan sama namun berbeda kemampuan. Prinsip tersebut ada melihat perjanjian ini merupakan perjanjian internasional, dimana anggotanya mempunyai tujuan yang sama namun memiliki kondisi dan kemampuan yang berbeda-beda.

Pada dasarnya, perjanjian ini merupakan pelengkap dari pengaturan-pengaturan yang ada dalam UNFCCC. Perlunya diadakan sebuah protokol disebabkan oleh daya ikat UNFCCC itu sendiri yang terbilang lemah karena memang substansinya hanya berisi mengenai kerangka kerja dari pencegahan perubahan iklim. Kyoto Protocol memberikan penekanan lebih yang mengatur bahwa negara harus mencapai target pengurangan emisinya melalui pengaturan nasionalnya masing-masing. Hal ini dapat terlihat dari commitment yang diamanatkan oleh masing-masing perjanjian. Dalam UNFCCC terkait dengan komitmen, diatur pada pasal 4. Pasal tersebut berisi mengenai apa saja yang harus dilakukan oleh para pihak dalam melakukan pencegahan terhadap perubahan iklim. Namun konvensi tersebut tidak mengatur secara spesifik mengenai mekanisme yang harus ditempuh oleh negara pihak dalam melakukan pengurangan emisi sebagai bentuk pencegahan perubahan iklim.

Komitmen dalam Kyoto Protocol

Terkait komitmen para pihak terdapat dalam pasal 3 Kyoto Protocol. Pasal 3 ayat (1) mengatur mengenai kewajiban negara-negara tertentu untuk menurunkan emisi sekitar 5 % dibawah emisi mereka pada tahun 1990 pada jangka waktu

2008-47 Gunardi, Bunga Rampai Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) di Indonesia, Dewan Nasional Perubahan Iklim, 2014, hlm. 10.

(32)

2012.49 Jangka waktu tersebut merupakan periode yang ditetapkan untuk komitmen

pertama pada Kyoto Protocol. Pada pasal ini, dapat diambil kesimpulan bahwa negara berkembang (non-Annex I) dibebaskan dari kewajiban melakukan pengurangan emisi. Hal ini dilatar belakangi oleh kegiatan industri dari negara berkembang yang tidak sebesar negara-negara maju (Annex I). Selanjutnya, pasal 3 ayat (3) Kyoto Protocol menjelaskan bahwa perubahan konsentrasi emisi di atmosfir disebabkan oleh jumlah emisi yang dilepaskan dari sumber-sumber pencemaran di bumi dan aktifitas penghapusan/pengurangan emisi di atmosfir dengan metode LULUCF (Land Use, Land Use Change, and Forestry).50 Pasal 3 ayat (5)

menjelaskan bahwa terhadap negara-negara yang tergabung dalam Annex I yang sedang berada dalam fase transisi ekonomi, diberikan kebebasan untuk memilih tahun acuan atau base year selain tahun 1990.51

Pasal 3 ayat (7) kemudian menjelaskan bahwa pada komitmen pertama yang telah ditentukan, jumlah atau jatah emisi yang ditetapkan kepada negara-negara Annex I harus sama dengan persentase yang diatur dalam Annex B, dan selanjutnya dikalikan 5.52 Annex B itu sendiri mengatur secara spesifik terkait target terhadap

negara-negara tertentu untuk mengurangi atau membatasi emisi gas rumah kaca yang mengacu pada tingkat emisi pada tahun 1990.53 Kemudian pasal 3 ayat (9) membahas

mengenai amandemen protokol. Pasal tersebut menjelaskan bahwa untuk membentuk sebuah komitmen baru harus dengan terlebih dahulu dilakukan amandemen terhadap Annex B protokol. Pasal ini kemudian merujuk pada pengaturan pasal 21 yang menekankan bahwa harus ada persetujuan tertulis dari para negara anggota dalam hal melakukan amandemen terhadap ketentuan-ketentuan yang ada.54 Pasal 3 ayat (10)

dan (11) menjelaskan bahwa ERU (Emission Reduction Units) yang merupakan bagian dari AAU (Assigned Amount Units) yang didapat atau ditransfer dari pihak lain yang sesuai dengan mekanisme pada pasal 6 protokol dapat ditambahkan pada

49 Art. 3 (1) Kyoto Protocol

50 Andri G. Wibisana, UNFCCC, Protokol Kyoto, CDM, dan REDD+, Slide Perkuliahan, hlm. 4.

51 Art. 3 (5) Kyoto Protocol

52 Art. 3 (7) Kyoto Protocol

53 Baker&McKenzie, Assigned Amount Unit, CDM Rulebook, September 2010,

http://web.archive.org/web/20100908004502/http://cdmrulebook.org/327 diakses pada tanggal 14 April 2016.

(33)

AAU. AAU itu sendiri merupakan satuan untuk kredit karbon yang dapat diperjualbelikan yang merepresentasikan hak atau jatah bagi sebuah negara untuk melakukan emisi gas rumah kaca. Setiap satuannya sama dengan 1 metrik ton karbon dioxida (CO2). AAU ini kemudian disebut secara singkat sebagai “Assigned Amount” yang tercantum dalam Annex B protokol yang membahas mengenai target emisi negara-negara Annex I untuk kurun waktu 2008-2012. AAU juga dapat dikatakan sebagai suatu satuan yang ditetapkan oleh para pihak dalam Kyoto Protocol kedalam pengaturan nasionalnya masing-masing yang dihitung dengan mengacu pada tahun acuan dan prosentase pembatasan emisi.55 ERU merupakan

satuan yang dihasilkan oleh suatu proyek yang bertujuan untuk mengurangi emisi baik dengan cara mengurangi sumbernya atau pengurangan dengan cara penghapusan kandungan gas rumah kaca yang ada di atmosfir.56

Mekanisme Pengurangan Emisi dalam Kyoto Protocol

Meskipun telah disampaikan diatas bahwa terkait pengurangan emisi harus dilakukan oleh domestik masing-masing negara, namun perjanjian ini juga membuka kesempatan bagi negara-negara yang dibebani target untuk memenuhinya dengan menggunakan mekanisme berbasis perdagangan antar negara.57 Hal ini dikarenakan

sebagai negara-negara Annex I pun yang notabene merupakan negara maju, masih tetap membutuhkan bantuan dari negara-negara lain, tak terkecuali negara berkembang. Maka dari itu, selain kegiatan penurunan emisi GRK yang dilakukan sendiri, dalam Protokol ini negara Annex I diberi kebebasan untuk menurunkan emisinya melalui 3 (tiga) mekanisme penurunan emisi, yaitu Joint Implementation

(JI) dengan satuan penurunan Emission Reduction Units (ERU), Clean Development Mechanism (CDM) dengan satuan penurunan emisi Certified Emission Reduction

(CER), dan Emission Trading (ET) dengan satuan penurunan emisi Assigned Amount Units (AAU).58 Pada pokoknya, mekanisme-mekanisme ini dibentuk untuk

membuka kesempatan bagi negara-negara anggota untuk saling bekerjasama untuk mencapai tujuan pengurangan emisi. Sebelum dijelaskan mengenai masing-masing mekanisme, perlu diketaui bahwa dari ketiga mekanisme tersebut, hanya CDM yang

55 Baker&McKenzie, Assigned Amount Units, Loc. Cit.

56 Art. 6 Kyoto Protocol

57 UNFCCC, Loc Cit.

(34)

bisa dilakukan antara negara Annex I dan negara Non Annex I. Dua lainnya yaitu ET dan JI hanya bisa dilakukan antar negara Annex I.

Joint Implementation

Joint Implementation merupakan suatu mekanisme yang mana dua atau lebih negara yang tergabung dalam negara Annex I bekerja sama melakukan pengurangan emisi dan kredit yang dihasilkan disebut dengan Emission Reduction Units (ERU).59

Mekanisme ini berbasis kontrak atau perjanjian yang berarti negara-negara yang menjadi pihak dalam kerjasama ini dibebani kewajiban-kewajiban yang tercipta dari ketentuan-ketentuan yang ada didalamnya.60 Pada mekanisme ini, pihak dalam

Annex I dapat mengimplementasikan sebuah proyek pengurangan emisi atau dengan meningkatkan penghapusan emisi di negara Annex I lainnya dan dengan melakukan hal tersebut dapat menghasilkan ERU yang kemudian akan dihitung dan dimasukkan kedalam target Kyoto Protocol.61 Kerja sama ini harus sebelumnya didahului oleh

persetujuan antar negara yang ingin mengadakannya. Bagi proyek-proyek yang diadakan sebelum tahun 2008 (sebelum komitmen pertama) hal tersebut sah dilakukan apabila sesuai dengan syarat yang ditentukan, namun tetap terkait dengan ERU, hanya bisa di gunakan setelah tahun 2008. Pasal 4 ayat (2) huruf a UNFCCC menjelaskan bahwa ada mekanisme-mekanisme tertentu yang dapat dilakukan secara bersama-sama antar negara. Meskipun mekanisme joint implementation ini merupakan sebuah opsi (bukan sebuah kewajiban) dan atas kemauan masing-masing negara, namun hal ini telah menjadi suatu rekomendasi dan himbauan bagi negara-negara industri untuk meningkatkan efisiensi tindakannya dalam mengurangi emisi dengan melakukan kerjasama dengan negara lain yang mana keuntungan investasi akan didapatkan lebih besar.62

Dalam perkembangannya, sudah banyak negara-negara Annex I yang melakukan mekanisme ini. Sebagai contoh, pernah diadakan Joint Implementation

59 Environtmental Protection Agency (EPA), The Kyoto Protocol Project Mechanisms,

http://www.epa.ie/climate/thekyotoprotocol/kyotoprotocolprojectmechanisms/#.Vw0g1r7VpMI

diakses pada tanggal 14 April 2016.

60 Onno Kuik, Paul Peters and Nico Schrijver, (Joint Implementation to Curb Climate Change, Legal and Economic Aspects, 1994), hlm. 3.

61 Baker&McKenzie, Loc. Cit.

(35)

antara Republik Ceko dengan Denmark dalam hal pengurangan emisi.63 Proyek ini

dilaksanakan di Lovochemie, Ceko, sebagai host country, yang bertujuan untuk mengurangi tingkat emisi N2O (Nitrous Oxide) yang berasal dari pabrik pupuk terbesar di Ceko. Emisi N2O ini merupakan limbah dari hasil produksi nitric acid yang merupakan komponen utama dalam pembuatan pupuk. Proyek ini meliputi juga instalasi dari teknologi katalis yang baru dalam melakukan pengurangan emisi N2O. Berdasarkan perjanjian, proyek ini akan menggunakan keuntungan dari penjualan ERU untuk investasi dalam hal perlindungan lingkungan, yang kemudian mengarah pada hasil lingkungan yang positif.

Emission Trading

Emission Trading, yang diatur pada Pasal 17 Kyoto Protocol memberikan kesempatan kepada negara-negara yang memiliki kelebihan dalam hal izin emisi (units to spare - emissions permitted them but not "used") untuk menjualnya kepada negara-negara yang masih lebih dari targetnya.64 Negara-negara yang membelinya

dapat memasukkan kredit yang berupa lisensi tersebut kedalam pencapaian pengurangan emisinya.65 Dengan pembelian tersebut tentu negara-negara yang belum

menyentuh target dapat mencapainya. Karena itu, saat ini komoditi baru telah tercipta dari adanya proyek-proyek pengurangan emisi seperti yang telah dijelaskan. Komoditi tersebut dinamakan pasar karbon (carbon market). Namun pada perkembangannya terdapat permasalahan bahwa negara-negara maju cenderung untuk selalu membeli unit emisi yang tersedia yang dijual murah di pasar, tanpa melakukan pengurangan emisi secara domestik di negaranya sendiri. Hal ini pernah terjadi pada Russia dan Ukraina. Negara tersebut memiliki unit emisi yang sangat berlebih karena mereka telah sebelumnya melakukan pengurangan emisi CO2 sebesar 40%. Namun perlu diketahui bahwa pengurangan emisi tersebut bukan dilakukan karena tujuan perlindungan lingkungan, melainkan karena kelesuan ekonomi yang dihadapinya pada tahun 1990-an. Inilah yang kemudian menjadi permasalahan, karena apabila negara-negara maju melakukan pembelian terhadap

63 UNFCCC, JI Highlights, Loc. CIt

64 UNFCCC, International Emissions Trading, Loc. Cit

(36)

unit emisi yang tersedia tersebut, mereka akan cenderung untuk tidak mengurangi emisi di negaranya, dan hal ini mengancam hasil positif dari Kyoto Protocol dan juga menghalangi keefektifan investasi dan inovasi dari ekonomi ramah lingkungan negara-negara maju.66

Clean Development Mechanism

Mekanisme ini merupakan mekanise yang dapat dilakukan oleh negara Annex I maupun non Annex I. CDM merupakan salah satu mekanisme fleksibel yang diperbolehkan untuk memenuhi target penurunan emisi gas rumah kaca negara-negara maju yang menyetujui Kyoto Protocol.67 CDM merupakan sebuah mekanisme

win-win solution” terhadap keberlangsungan negara maju serta negara berkembang dalam hal pemeliharaan lingkungan hidup dalam bentuk pengurangan dan pencegahan emisi. CDM memberikan peluang dan kesempatan bagi negara-negara maju untuk menanamkan modalnya secara langsung maupun tidak langsung pada proyek-proyek yang dilaksanakan demi menurunkan emisi gas rumah kaca dengan negara-negara berkembang. Jika ditelusuri lebih lanjut mengenai Kyoto Protocol, meskipun Indonesia tidak memiliki beban kewajiban untuk melakukan pengurangan emisim, namun kondisi ini memiliki potensi yang sangat besar dan dapat berbuah manfaat jika dilaksanakan, yaitu dengan tetap melakukan pembangunan berkelanjutan secara bersih.

Indonesia sebagai negara non-Annex I atau negara yang tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pengurangan emisi dapat memanfaatkan kondisi tersebut dengan melakukan pembangunan proyek-proyek CDM. Terdapat dua keuntungan besar yang dapat diambil oleh Indonesia terkait dengan kondisi terebut yaitu dengan melakukan pembangunan proyek CDM yang kemudian hasilnya dijual kepada negara-negara maju atau membuka peluang kepada negara maju untuk melakukan investasi pembangunan proyek CDM yang hasilnya untuk semata-mata keberlangsungan lingkungan hidup di Indonesia. Hal ini dikarenakan apabila hasil dari proyek-proyek CDM yang dibuat berbuah hasil yang positif atau bahkan mungkin menghasilkan lebih baik dari apa yang di ekspektasikan sebelumnya

66 Ibid.

(37)

(pengurangan emisi), hasil tersebut dapat ditukar dengan CER (Certified Emission Reductions). CER ini merupakan hasil konversi dari jumlah emisi karbon yang diturunkan dalam satuan yang telah ditetapkan, yang jika dimiliki oleh negara Annex I akan dihitung sebagai pencapaian negara tersebut dalam melakukan kewajibannya mengurangi emisi.

Dalam penerapannya, Indonesia melakukan pembangunan CDM dengan sukarela, bukan atas dasar kewajiban dari pihak atau instrumen manapun. Namun karena Indonesia yang dalam hal ini kementerian-kemeterian merasa bahwa kebijakan ini membuka peluang manfaat bagi keberlangsungan lingkungan maupun perekonomian, maka di doronglah aktifitas penurunan emisi berupa CDM ini.

Pelaksanaan CDM sendiri baru dapat dimulai ketika Protokol Kyoto berlaku secara efektif yaitu ketika persyaratan bahwa protokol ini telah diratifikasi oleh minimal 55 negara termasuk negara-negara industri yang mencakup sedikitnya 55% dari emisi GRK (Gas Rumah Kaca) pada tahun 1990.68 Persyaratan ini tercapai

ketika Rusia meratifikasi Protokol Kyoto pada tahun 2005 dan kemudian resmi berlaku secara efektif. Indonesia sendiri telah meratifikasi Protokol Kyoto dengan

Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Protokol Kyoto dan dengan dibentuknya Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) pada tahun 2005 maka CDM di Indonesia mulai dilaksanakan.69 Tercatat

sampai dengan bulan Oktober 2014, ada 215 proyek dan program CDM yang telah disetujui Komnas MPB dan 146 proyek (ditambah 9 program) telah terdaftar di EB CDM. Dari proyek-proyek tersebut, 37 proyek telah berhasil mendapatkan CER setara lebih dari 10 juta ton karbon dioksida.70

c. Paris Agreement

Pada tanggal 12 Desember 2015, pertemuan para pihak pada Conference of Parties (COP) ke-21 UNFCCC ditutup dengan diadopsinya kesepakatan Paris (Paris Agreement).71 Dr. Efransjah, CEO WWF Indonesia menyatakan Paris Agreement

memiliki beberapa elemen penting untuk menyelamatkan dunia dari dampak

68 Ibid., hlm 16

69 Ibid., hlm. 36

70 Ibid.

Referensi

Dokumen terkait

Uji kasus iniperlu diperinci sesuai dengan partisi functional dan pemetaan atau traced pada requirement yang sedang diuji.. Traceability

Dalam jurnalnya yang berjudul A Novel Medical Infusion Monitoring Sistem Based on ZigBee Wireless Sensor Network, Yang dan Sun mengembangkan deteksi level cairan

Skripsi dengan judul "Perbandingan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Antara Menggunakan Model Discovery Learning dan Model Problem Based Learning Materi

Untuk melihat kinerja algoritma koloni lebah buatan pada sistem dalam menghasilkan nilai optimal kadar asupan energi harian dengan carbing untuk penderita DM,

merupakan simbol/tanda dari objek yang akan dianalisis.. Skala data yang digunakan untuk hasil belajar matematika siswa berupa. skala rasio. Skala rasio adalah suatu

Penetapan game dan animasi sebagai salah satu bagian dari pilar pengembangan industri kreatif oleh pemerintah telah menjadi satu momentum yang kuat dalam memajukan industri game

Pertama, pendidikan karakter untuk membangun dan menciptakan generasi baru Indonesia mutlak diperlukan. Manusia berkarakter mutlak diperlukan untuk mengantarkan bangsa

Based on data analysis above, it can be explained some important thing associated with variable Internship (X) that the sub-variables: 1) quality of internship implementation: there