• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II STATUS FLIGHT INFORMATION REGION (FIR)

B. Ketentuan Flight Information Region

1. Pengaturan Flight Information Region

Sejak ruang udara menjadi salah satu jalur yang bisa digunakan untuk transportasi, manusia berupaya untuk menciptakan aturan ruang udara. Dalam Hukum Romawi yang sangat dikenal prinsip yang berbunyi “Cujus est solum, Ejus est coelum” yang memiliki arti bahwa barang siapa memiliki sebidang tanah, ia juga memiliki apa yang berada di dalam tanah dan juga ruang yang berada ditasnya tanpa batas.55

Adapun peraturan mengenai Flight Information Region (FIR) di Indonesia telah tertuang didalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang penerbangan, Pasal 5 antara lain mengatur mengenai NKRI berdaulat penuh dan ekslusif atas wilayah udara Republik Indonesia.56Demikian Undang-Undang ini mengandung makna bahwa sebagai Negara yang berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif di udara.

54 Martono, Usman Melayu, Perjanjian Angkutan Udara Indonesia”, (Bandung: Mandar Maju, 1996) dalam Skripsi Alfaris, Analisis Yuridis Pengawasan dan Pengendalian Wilayah Dirgantara Indonesia Terhadap Lalu Lintas Pesawat Udara Asing Ditinjau dari Hukum Internasional (Makasar: Universitas Hasanuddin, 2014), 28

55 Chappy Hakim, “Tanah Air dan Udaraku Indonesia”, (Jakarta: PT. Harum Biaro Asa, 2009) halaman 11

56 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional dan Konvensi Hukum Laut Internasional Tahun 1982 yang telah diratifikasi dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on the law of the sea(UNCLOS). Pasal wilayah udara Republik Indonesia, mengacu pada ketentuan ini hanya menegaskan mengenai tanggung jawab dan kewenangan Negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia57.

Adanya aturan yang berkenaan dangan pembagian wilayah udara bertujuan untuk menjamin keselamatan dan keamanan penerbangan. Aturan tersebut telah ditetapkan oleh Negara-negara anggota yang tergabung dalam ICAO untuk memberikan pelayanan navigasi penerbangan. Navigasi penerbangan merupakan kegiatan pemanduan pesawat terbang dan juga helikopter selama beroperasi yang dilengkapi dengan fasilitas navigasi penerbangan didalam ruang udara yang dikuasai oleh Pemerintah Indonesia untuk digunakan sebagai kegiatan operasi penerbangan dalam bentuk tatanan ruang udara nasional. Pelayanan ruang udara memiliki 2 kategori yakni, pertama, ruang udara yang pelayanan navigasi penerbangannya/FIR merupakan bagian dari tanggung jawab Pemerintah Indonesia dan kedua, ruang udara dikuasai berdasarkan perjanjian antar Negara yang berbatasan yang ditetapkan oleh ICAO58.

57 Soegiyono. “Kajian Kedaulatan Negara di Ruang Udara Terhadap Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).”Berita dirgantara vol. 12 no. 2 Juni 2011: 76-82

58 Departemen Perhubungan RI, Cetak Biru Transportasi Udara 2005-2024, Ditjen Perhubungan Udara, Maret 2005, 111-49

Secara nasional pembentukan FIR telah ditentukan dalam hukum yang terdapat pada Pasal 6 UU Penerbangan, yakni “Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara.” Kemudian ketentuan pelaksanaannya pada PP Keamanan dan Keselamatan Penerbangan yang tercantum dalam pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, Pasal 73, Pasal 74 dan Pasal 75 pemerintah Indonesia diamanatkan untuk menetapkan ruang udara untuk kepentingan navigasi udara.59

ICAO juga berperan sangat penting dalam pengaturan FIR karena merupakan organisasi internasional penerbangan. Adapun peraturan dan pengelolaan FIR telah diatur dan dituangkan ke dalam 18 annex yang tertulis di Konvensi Chicago 1944.

2. Keberadaan FIR

Pada mulanya Indonesia memiliki empat bagian ruang udara yaitu, Jakarta, Bali, Ujung Padang dan Biak. FIR Jakarta mencakup Indonesia bagian barat pulau Kalimantan, bagian barat pulau Jawa hingga Sumatera. FIR Bali mencakup Kalimantan bagian tengah hingga bagian timur, kemudian Jawa Timur hingga Nusa Tenggara. FIR Ujung Pandang mancakup pulau Sulawesi, Maluku, sampai kepulauan Aru. FIR Biak mencakup wilayah perairan Arafuru dan pulau Papua.60

59 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Keamanan dan Keselamatan Penerbangan No.3 Tahun 2001, LN no.9 Tahun 2001, TLN No.4075.

60 Zuraida, Tinjauan Yuridis, 55

Kemudian untuk mengefektifkan navigasi udara dan juga meningkatkan pelayanan penerbangan, diubah menjadi dua bagian berdasarkan Supplement Aeronautical Information Publication (AIP) dari Direktorat Jendral Perhubungan Udara (Ditjen Hubud) Nomor 02/05 tanggal 14 April 2005 ruang udara Indonesia dibagi menjadi FIR Jakarta dan FIR Ujung Pandang berlaku sejak 12 Mei 2005.

FIR Jakarta tetap mencakup pulau Sumatera, bagian barat pulau Kalimantan, bagian barat Jawa Tengah hingga mengarah ke selatan dan mencakup Pulau Christmas milik Australia. Sedangkan FIR Ujung Pandang meliputi cakupan FIRBiak dan FIR Bali serta wilayah udara Timor Leste dan sebagian Papua Nuigini.61

Berdasarkan pembentukannya FIR dibagi menjadi dua yaitu, FIR bagian bawah yang disebut dengan FIR dan FIR bagian atas yang disebut dengan Upper Flight Information Region (UIR).62 terbentuknya FIR dan UIR dilatarbelakangi oleh kemampuan dan kesanggupan pesawat terbang berbeda-beda baik dalam segi teknologi dan keadaan alam. FIR pemberian pelayanan navigasi udara di dalam lapisan 20.000 kaki, sedangkan UIR merupakan pelayanan navigasi udara dalam lapisan di atas 20.000 kaki sehingga tanggung jawab dalam UIR lebih besar. Namun belum ada kejelasan dalam pembagian lapisan ruang udara FIR dan UIR pada prakteknya, sehingga ketentuan UIR sendiri tergantung kepada negara atau atas kesepakatan negara-negara yang bersangkutan.63

61 Evi Zuraida, “Tinjauan”,55

62 Kresno, “Flight Information Region”, Majalah Forum Hukum, Volume 3 no 2

63 Evi Zuraida, “Tinjauan”,80

Pembagian Dua FIR Indonesia

Sumber: AirNavigation Indonesia

Pembagian Empat FIR Indonesia

Sumber: Direktorat Penerbangan Sipil

Indonesia memiliki ruang udara yang terbilang sangat strategis, bahkan masuk ke dalam kategori padat dan sibuk. Dengan demikian maka Indonesia harus melakukan pengetatan dalam mengontrol ruang udara. Ruang udara Indonesia secara kesuluruhan diatur oleh AirNav Indonesia, dalam pembagiannya AirNav Indonesia membagi dua ruang udara Indonesia yakni Jakarta Flight Information Region dan Ujung Pandang Flight Information Region. Total luas FIR 2.219.629 Km2 dengan luas wilayah 1.476.049 Km2 dan jumlah lalu lintas penerbanganlebih dari 10.000 Movement/hari.

3. Flight Information Region Menurut United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS)

Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS). Hukum batas horizontal ruang udara telah di tetapkan dalam Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 bahwa:

Article 2 “For the porpose of this Convention the territory of a State shall be deemed to be the land areas and territorial waters adjacent thereto under the sovereignty, suzerainty, protection or mandate of such State”

Pasal 2 “Untuk kepentingan Konvensi ini, wilayah suatu Negara harus dianggap sebagai wilayah darat dan perairan teritorial yang berada di bawah kedaulatan, keamanan, perlindungan atau mandat dari Negara tersebut.”

Namun kelemahan dari Konvensi Chicago tidak menyebutkan batas kedaulatan udara di atas teritorial laut. Sehingga Konvensi Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) dijadikan acuan untuk menegaskan batas udara di atas teritorial laut yang termaktub dalam Konvensi PBB tentang hukum laut 1982/UNCLOS 1982.

Penegasan atas kedaulatan ruang udara yang dimiliki oleh Indonesia secara utuh tercantum dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 Pasal 5 tentang Penerbangan. Kemudian Indonesia mengatur wilayah negara dengan UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Pada Pasal 1.1 UU tersebut “Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah dibawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung didalamnya”. Dilanjutkan hal yang sama dalam Pasal 5 UU yang sama disebutkan bahwa “Batas Wilayah Negara di darat, dasar laut dan tanah di bawahnya serta ruang udara di atasnya ditetapkam atas dasar perjanjian bilateral dan/atau mengenai batas darat, batas laut dan batas udara serta berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional”.64

Adapun menurut UNCLOS 1982, Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) merupakan bagian dari laut teritorial Republik Indonesia. Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 yang kemudian diterapkan dalam UU 17 Tahun 1985 yang di dalamnya menetapkan hak lintas penerbangan, melewati udara di selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan.

Adapun status hukum ruang udara wilayah Indonesia sebagai berikut:

64 Adam Irwansyah Fauzi, Kedaulatan dan Batas Ruang Udara Negara (Bandung: Institut Teknologi Bandung, 2018)

1. Ruang Udara di atas wilayah daratan.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang meliputi wilayah daratan dan perairan serta laut teritorial yang tidak dapat dipisahkan dimensi horizontalnya. Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh atas ruang di atas daratan dan bersifat mutlak dan tanpa perkecualian.

2. Ruang udara di atas perairan kepulauan.

Indonesia memiliki hak kedaulatan di atas perairan kepulauan.

Namun Indonesia harus menyediakn lintas alur laut kepulauan untuk kapal atapun pesawat asing yang syarat-syaratnya telah ditentukan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982). Artinya atas diratifikasinya konvensi UNCLOS 1982 maka kedaulatan Indonesia mendapatkan pengecualian yaitu memberikan hak lintas bagi pesawat udara asing atau disebut juga hak lintas damai (innocent passage). tetapi Indonesia dapat menangguhkan sementara waktu hak lintas pesawat asing dari perairan kepulauan, jika diperlukan untuk menjaga keamanan dan pertahanan.

3. Ruang Udara di Atas Perairan Pedalaman.

Perairan pedalaman (internal waters) atau disebut juga perairan darat (inland waters) yang meliputi sungai, muara terusan, anak laut, danau, perairan diantara gugusan pulau-pulau dan perairan pada sisi dalam garis dasar atau pangkal kepulauan. Dalam UNCLOS 1982 tidak secara gamblang menentukan status ruang udara di atasnya, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa letak bagian dari perairan kepulauan apabila bukan bagian dari alur laut kepulauan maka ruang udara diatas perairan pedalaman sama dengan perairan kepulauan.

4. Ruang Udara di Atas Laut Teritorial.

Berdasarkan UNCLOS 1982 batas terluat laut teritorial Indonesia adalah 12 mil ditarik dari garis dasar kepulauan yaitu suatu garis lurus yang menghubungkan titik-titik terluar dari bagian-bagian pulau-pulau terluar. Indonesia memiliki kedaulatan atas laut teritorial dan ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah serta kekayaan yang ada di dalamnya. Hak lintas damai pada pesawat asing berlaku di atas laut teritorial Indonesia.

5. Ruang Udara di Atas Selat.

Kapal dan pesawat asing memiliki hak lintas transit (right of transit passage) dalam selat yang digunakan untuk alur internasional. Selat Malaka merupakan selat yang digunakan untuk perlintasan internasional. Penggunaan hak lintas tersebut bertujuan untuk

melintas transit dan tidak terputus. Adapaun pesawat udara dalam transit harus:

a. Mentaati peraturan negara yang telah ditetapkan oleh ICAO sepanjang berlaku bagi pesawat sipil, pesawat udara negara mematuhi ketentuan keselamatan penerbangan.

b. Setiap waktu memonitor frekuensi yang ditujukan oleh otoritas pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang sudah ditetapkan secara internasional atau oleh frekuensi radio darurat intrnasional yang tepat.

6. Ruang Udara di Atas Alur Laut Kepulauan.

Pesawat asing diperbolehkan untuk melintasi ruang udara alur laut kepulauan dengan mengacu kepada ketentuan UNCLOS 1982.

Dengan ketentuan kapal dan pesawat udara yang melintasi alur laut kepulauan tidak boleh menyimpang 25 mil laut kedua sisi garis sumbu, selanjutnya kapal dan pesawat udara asing tidak diperbolehkan untuk berlayar dan terbang dengan pantai kurang dari 10 persen dan jarak antara 10 persen dari jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut tersebut. Namun kelemahan Konvensi UNCLOS 1982 dalam penentuan alur laut pesawat yang melintas (pesawat sipil dan negara) serta bagaimana pelaksanaan penerbangannya menimbulkan perbedaan persepsi sehingga menimbulkan konflik antar negara.

7. Ruang Udara di Atas Zona Tambahan dan Ruang Udara di Atas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE).

Zona tambahan merupakan wilayah laut yang lebarnya tidak melebihi 24 mil laut diukur dengan garis pangkal dari mana lebar laut teritorial Indonesia diukur. Sedangkan ZEE merupakan wilayah laut yang lebarnya tidak melebihi 200 mil laut diukur dari garis pangkal mana lebar laut teritorial Indonesia diukur. Ruang udara di atas zona tambahan dan di ZEE, bebas dilintasi oleh pesawat udara asing dengan syarat penerbangan tersebut tidak melanggar hak-hak negara Indonesia dan tetap kepada aturan ICAO.65

65 Muhammad Fitrah Zulkarnain.”Flight Information Region (FIR) Singapura dan Dampaknya Terhadap Kedaulatan dan Keamanan Indonesia”. (Makassar: Universitas Hasanuddin, 2018)

BAB III

KEDUDUKAN FIR NATUNA DAN KRONOLOGI PENDELEGASIAN FIR NATUNA KEPADA SINGAPURA OLEH INDONESIA

Pada bab ini, penulis akan memaparkan awal mula pendelegasian FIR Indonesia diberikan kepada Singapura, perjanjian antara Indonesia dan Singapura, dan kerugian yang Indonesia dapatkan dari perjanjian pengendalian ruang udara di Natuna dan Kepulauan Riau antara Indonesia dan Singapura.

Indonesia berusaha dalam berbagai kesempatan untuk bisa mengambil alih kembali pelayanan navigasi udara di atas Kepualauan Riau dan Natuna.

Namun Indonesia masih belum bisa dikatakan layak utuk melakukan pelayanan udara, sehingga Indonesia berupaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan navigasi mengikuti standar internasional. Upaya Indonesia dalam meningkatkan pelayanan navigasi bukan hal yang mudah, melainkan butuh kerjasama antar lembaga ataupun kementerian, dan juga kesabaran karena membutuhkan waktu yang tidak sedikit.

A. Pendelegasian FIR Indonesia kepada Singapura

Ruang udara merupakan hal yang sangat rentan dan salah satu unsur yang sangat penting bagi negara. Ruang udara negara juga merupakan zona yang harus dijaga serta mendapatkan control khusus untuk menjaga dan melindungi keamanan negara. Pentingnya pengendalian ruang udara selain unsur keamanan juga adanya unsur politik, ekonomi dan juga yang paling terpenting mengenai keselamatan.

Perjanjian internasional bilateral merupakan perjanjian yang melibatkan dua negara yang membuat kesepakatan suatu hal. Perjanjian bilateral pada umumnya hanya mengatur persoalan yang khusus menyangkut kedua negara tersebut. Indonesia dan Singapura memiliki banyak perjanjian-perjanjian bilateral, salah satunya perjanjian Flight Information Region tahun 1995. Adanya sifat Treaty of Contract yang terkandung dalam perjanjian bilateral mengisyaratkan bahwa perjanjian tersebut menjadi sumber hukum yang mengikat antara pihak yang bersangkutan dalam kontrak pada hukum yang khusus.66Perjanjian ruang udara antara Indonesia dan Singapura telah lama disepakati.

Indonesia menargetkan akan megambil sektor A, B dan C selambat-lambatnya pada tahun 2021. Saat ini sektor A dan C dikendalikan oleh Singapura, sedangkan untuk sektor B dikendalikan oleh Malaysia. Demikian Singapura dan Malaysia dalam mengendalikan ruang udara Indonesia mendapatkan keuntungan, salah satunya menjadikan ruang udara tersebut sebagai zona latihan militer udara bagi masing-masing negara. Penggunaan ruang udara sebagai zona latihan militer udara mereka berdampak kepada penerbangan-penerbangan yang melewati ruang udara tersebut, termasuk penerbangan Indonesia.

66 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010), 29

1. Kronologi dan Proses Pendelegasian FIR Indonesia Kepada Singapura

Peneliti menghimpun berbagai sumber untuk menjelaskan kronologi dan proses pendelegasian FIR kepada Singapura oleh Indonesia, khususnya ruang udara Natuna dan Kepulauan Riau yang dikenal sebagai FIR Natuna. Adapun FIR Natuna meliputi 3 sektor yaitu, Tanjung Pinang, Riau dan Natuna. Sektor tersebut dibentuk dan disetujui pada tahun 1946 yang dihadiri oleh negara-negara anggota ICAO. Sektor tersebut merupakan salah satu jalur udara yang terletak di ASIA dan Pasifik.67 Pertemuan yang diadakan di Dublin tersebut tidak dapat dihadiri oleh Indonesia.68

Pada saat itu juga membahas pemandatan ICAO kepada Inggris untuk mengelola FIR Upper Natuna. Pertemuan tersebut tidak dapat dihadiri oleh Indonesia, karena Indonesia masih membenahi situasi dalam negeri pasca kemerdekaan 1945. Sehingga pada saat itu Inggris dianggap mampu untuk mengelola FIR Natuna dan Kepulauan Riau hingga Indonesia mampu mengambil alih kembali ruang udara tersebut. Inggris kemudian memberikan mandat pengelolaan FIR Natuna setelah Singapura merdeka pada tahun 1965.69

ICAO memandatkan Singapura untuk mengelola navigasi udara Kepulauan Riau dan Natuna pada tahun 1946. Indonesia dianggap belum mampu

67 Zuraida, Tinjauan Yuridis, 60

68 Detik finance , Wilayah Udara RI di Atas Natuna Dikuasai Singapura sejak 1946, [berita - online] https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2753438/wilayah-udara-ri-di- atas-natuna-dikuasai-singapura-sejak-1946?_ga=2.185186977.905818818.1548647700-2077836 079.1538984299

69 Wawancara Manager Hubungan Masyarakat Air Navigation Indonesia, Yohanes Harry Sirait

untuk mengelola navigasi udara Kepulauan Riau dan Natuna, karena Indonesia masih dalam keadaan baru merdeka, sedangkan pada saat itu penerbangan Selat Malaka meningkat.70 Berdasarkan annex 1,2 dan 28 Konvensi Chicago 1944 serta mandat ICAO, yaitu Annex 1-Personnel Licensing, mengatur tentang izin serta lisensi personil untuk menjalankan suatu maskapai sesuai standar yang telah diatur secara spesifik.71Annex 2-Rules of The Air, mengatur tentang segala yang berkaitan dengan penerbangan secara visual dan penggunaan instrumen penerbangan.72 sebagaimana tercantum dalam Konvensi Chicago 1944 pasal 28 Konvensi Chicago 1944 “mengusahakan fasilitas penerbangan yang sesuai dengan standar internasional semampunya”.73

Penunjukan Inggris untuk mengelola FIR Natuna pada tahun 1946 didukung oleh negara-negara anggota ICAO, karena pada saat itu perairan Natuna dan Kepulauan Riau masih menjadi laut bebas (high seas) dan dianggap belum menjadi wilayah bagian Negara Indonesia.74 Demikian negara yang belum mampu mengelola navigasi dapat memandatkan pelayanan navigasi udaranya

70 Detik finance , Wilayah Udara RI di Atas Natuna Dikuasai Singapura sejak 1946, [berita - online]

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-2753438/wilayah-udara-ri-di-atas-natuna-dik uasai-singapura-sejak-1946?_ga=2.185186977.905818818.1548647700-2077836079.153898429 9

71 ICAO. Personnel licensing. Edisi kesepuluh. This edition incorporates all amendments adopted by the Council prior to 11 March 2006 and supersedes, on 23 November 2006, all previous editions of Annex 1.

72 ICAO. Rules of the air. Edisi kesepuluh. This edition incorporates all amendments adopted by the Council prior to 24 February 2005 and supersedes, on 24 November 2005, all previous editions of Annex 2.

73 Ni Putu Anggaraeni, “Convention on International Civil Aviation,” Indonesia Journal of International Law 6 (Juli 2009): 568

74 Kresno.”Flight Information Region”Majalah Forum Hukum Vol 3 no 2, 78

kepada negara lain. Pelayanan navigasi udara yang saat itu Kepulauan Riau dan Natuna belum bisa dilayani oleh Indonesia, maka Indonesia dapat memberikan mandat kepada negara terdekat yakni Singapura untuk melayani navigasi udara di wilayah tersebut. Namun dalam ketentuan tersebut disebutkan, jika negara yang memandatkan otoritas udaranya ke negara lain sudah mampu dalam memberi fasilitas, sumber daya manusia, melayani dan mengawasi otoritas udara (FIR), maka negara tersebut dapat mengambil alih kembali otoritas udaranya.75

Pada tahun 1973 diadakan pertemuan RAN I (Regional Air Navigation) yang diselenggarakan di Honolulu. Pertemuan RAN I menegaskan kembali serta ditetapkan oleh ICAO bahwa FIR Natuna yang meliputi sektor Tanjung Pinang, Riau dan Natuna masuk ke dalam FIR Singapura. pada tahun 1983, kembali diadakan pertemuan RAN II yang diselenggarakan di Singapura. Indonesia sudah berupaya untuk mengambil alih kembali pengelolaan FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Namun pembahasan tersebut ditolak karena Indonesia masih dinilai belum mampu dalam segi teknologi, organisasi dan SDM (Sumber Daya Manusia). pertemuan RAN diadakan dalam jangka waktu 10 tahun sekali.

Indonesia mengangkat kembali tema mengenai pengambil alihan FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna pada pertemuan RAN III yang diselenggarakan di Bangkok tahun 1993. karena pada tahun 1982 Indonesia telah meratifikasi UNCLOS, maka zona udara Natuna dan Kepulauan Riau bukan lagi laut bebas.

Kemudian ICAO memutuskan untuk Singapura dan Indonesia bertemu di waktu

75 Marsono, “Upaya Pengelolaan Kembali Wilayah Udara Di Atas Kepulauan Riau dan Natuna,”

WIRA 55 (), 16-17 [majalah - online] tersedia di https://www.kemhan.go.id/wp-content/

uploads/2016/03/4.-Wira-Juli-Agustus-2015.pdf

khusus untuk membuat kesepakatan antara keduanya mengenai status FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna. Keputusan tersebut membawa kedua negara bertemu dan membuat kesepakatan dalam mengelola FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna.76

Pertemuan yang diadakan antara kedua negara membuahkan hasil dan ditetapkan secara tertulis di dalam perjanjian “The Realignment of The Boundary between The Singapore Flight Information Region and The Jakarta Flight Information Region” yang diselesaikan pada 21 september 1995 di Singapura.

Tetapi perjanjian tersebut ditolak oleh Malaysia, karena pada saat perjanjian tersebut dibentuk Malaysia tidak terlibat.77

2. Perjanjian FIR Indonesia dan Singapura 1995

Indonesia dan Singapura sudah lama membangun kerjasama, salah satunya adalah kerjasama mengenai FIR di atas Kepulauan Riau dan Natuna.

Kerjasama tersebut terbentuk dalam perjanjian bilateral antara Indonesia dan Singapura. dalam terminologi resminya adalah “Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Republic of Singapore on the Realignment of the Boundary between the Singapore Flight Information Region and the Jakarta Flight Information Region”. Perjanjian tersebut dibuat pada 21 september 1995 di Singapura, yang kemudian diresmikan oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden RI No. 07 Tahun 1996

76 Wawancara Manager Hubungan Masyarakat Air Navigation Indonesia, Yohanes Harry Sirait

77 Wawancara Manager Hubungan Masyarakat Air Navigation Indonesia, Yohanes Harry Sirait

pada tanggal 2 Februari 1996 tentang pengesahan perjanjian FIR antara Indonesia dan Singapura.78

Perjanjian FIR dibentuk untuk mencapai kesepakatan bersama antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian FIR juga merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan keselamatan penerbangan. Indonesia mendelegasikan sebagian ruang udara Indonesia kepada Singapura dalam kesepakatannya, karena Indonesia belum mampu mengelola seluruh wilayah udara Indonesia untuk transportasi udara komersil dan non komersil.79

Perjanjian FIR dibentuk untuk mencapai kesepakatan bersama antara Indonesia dan Singapura. Perjanjian FIR juga merupakan perjanjian yang bertujuan untuk menciptakan keselamatan penerbangan. Indonesia mendelegasikan sebagian ruang udara Indonesia kepada Singapura dalam kesepakatannya, karena Indonesia belum mampu mengelola seluruh wilayah udara Indonesia untuk transportasi udara komersil dan non komersil.79

Dokumen terkait