• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Green Banking dalam Perkreditan di Indonesia 53

BAB II GREEN BANKING DALAM KEBIJAKAN PERKREDITAN

C. Pengaturan Green Banking dalam Perkreditan di Indonesia 53

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai landasan konstitusional bagi penyelenggaraan pemerintah dalam Pasal 33 ayat (3) menyebutkan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Hal yang sama dipertegas lagi pada tahun 1982, dimana Indonesia untuk pertama kalinya mengundangkan suatu undang-undang yang sangat penting mengenai pengelolaan lingkungan hidup, yaitu Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, selanjutnya Undang-Undang ini telah diganti dengan Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan kemudian kembali diganti dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPLH), dimana dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup merupakan wewenang Pemerintah dan pemerintah daerah yang terdapat pada Bab IX

UUPPLH. Oleh karena itu, lingkungan hidup Indonesia harus dilindungi dan dikelola dengan baik berdasarkan asas tanggung jawab negara, asas keberlanjutan, dan asas keadilan. Selain itu, pengelolaan lingkungan hidup harus dapat memberikan kemanfaatan ekonomi, sosial, dan budaya yang dilakukan berdasarkan prinsip kehati-hatian, demokrasi lingkungan, desentralisasi, serta pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal dan kearifan lingkungan.

Sampai sebelum dikeluarkannya peraturan pertama yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia yang menyinggung mengenai keharusan bagi bank untuk memperhatikan AMDAL, yaitu Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal “Kredit Investasi dan Penyertaan Modal”, telah bertahun-tahun lamanya perbankan Indonesia tidak menyadari bahwa melalui proyek-proyek yang dibiayai oleh perbankan dengan kredit yang jumlahnya triliunan rupiah itu telah ikut berdosa besar sehubungan dengan terjadinya perusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Betapa tidak, bank-bank dalam memberikan kredit-kredit tersebut tidak pernah merasa perlu untuk ikut peduli mengenai kemungkinan proyek-proyek tersebut akan merusak atau mencemari lingkungan hidup.

Tidak mengherankan apabila sehubungan dengan kebijakan perkreditan dari perbankan itu, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, yang ada pada waktu itu dijabat oleh Prof. Dr. Emil Salim, dalam ceramah beliau kepada para peserta Sespibank (Sekolah Staf dan Pimpinan Bank) Angkatan IV dan Staf Pengajar Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia mengemukakan antara lain sebagai berikut :

Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang mulai sadar bahwa bank memegang peranan dalam perusakan lingkungan. Dalam tahun 1990-an dunia perbankan akan menghadapi masyarakat yang makin krisis. Masalah lingkungan akan mendesak bank untuk meninjau kembali apakah kebijakan perkreditannya telah tepat dan tidak menyebabkan rusaknya lingkungan.

Sejak tahun 1993, yaitu tahun yang telah ditetapkan oleh Presiden sebagai tahun lingkungan hidup, perbankan Indonesia/Bank Indonesia memeriksa kembali apakah kebijakan perkreditan perbankan Indonesia sudah sepenuhnya menunjang pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan kebijakan nasional yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka menopang pembangunan yang berkesinambungan. Artinya, perlu diperiksa apakah kebijakan perkreditan bank Indonesia dari segala dimensinya telah berwawasan lingkungan (green banking). Oleh karena itu kebijakan tentang pengelolaan lingkungan hidup telah merupakan kebijakan pemerintah, maka perbankan Indonesia berkewajiban juga untuk menunjang kebijakan ini. Kebijakan perbankan merupakan tanggung jawab Bank Indonesia sebagai otoritas moneter yang antara lain bertugas mengatur dan mengawasi bank sebagaimana hal itu ditentukan dalam Pasal 8 huruf c Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004. sebelum berlakunya Undang-Undang tentang Bank Indonesia tersebut, Bank Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 21/9/UKU tanggal 25 Maret 1989 perihal Kredit Investasi dan Penyertaan Modal yang antara lain menentukan tentang keharusan bank untuk memperhatikan AMDAL dalam pemberian kreditnya. Terakhir Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank

Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No. 12 Tambahan Lembaran Negara No. 4471). Peraturan Bank Indonesia tersebut telah diatur pelaksanaannya dengan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 kepada semua bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional perihal Penilaian Kualitas Aktivan Bank Umum. Dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran tersebut ditentukan bahwa dalam menilai prospek usaha, bank perlu memperhatikan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Selanjutnya, dalam Surat Edaran tersebut di atas telah diberikan petunjuk atau ketentuan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam hal bank melakukan penilaian prospek usaha debitur dalam rangka upaya yang dilakukan oleh debitur dalam rangka mengelola lingkungan hidup, khususnya debitur berskala besar yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup. Dalam Surat Edaran tersebut dikemukakan bahwa ketentuan mengenai hal-hal yang menyangkut pengelolaan lingkungan hidup yang ditentukan dalam Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Bank Indonesia di atas adalah sejalan atau merupakan pelaksanaan dari Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, yang antara lain menyatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam penyaluran penyediaan dana adalah hasil Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi. Di dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut dikemukakan bahwa “Kewajiban AMDAL ini juga

tercantum dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL”. Pernyataan yang dicantumkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia tersebut merupakan pernyataan kesadaran dan pengakuan serta penegasan bahwa kewajiban yang tercantum dalam UUPPLH juga merupakan kewajiban bank yang harus dipatuhi.

Ada 4 (empat) alasan mengapa perbankan Indonesia harus menempuh kebijakan perkreditan yang berwawasan lingkungan. Alasan yang pertama adalah yang berkaitan dengan :

1. Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”

Hal ini menunjukkan bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain. Sehingga “Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat

perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui saluran sarana hukum, sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat di bidang lingkungan hidup.”56

UUD 1945 tersebut dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Hak Asasi Manusia No. 39 Tahun 1999, dimana Pasal 9 ayat (3) berbunyi bahwa : “setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat”.

2. Ketentuan Pasal 65, Pasal 67, Pasal 68 dan Pasal 70 ayat (1) UUPPLH. Untuk jelasnya di bawah ini dikutipkan bunyi lengkap pasal-pasal tersebut :

Pasal 65

(1) Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia.

(2) Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.

(3) Setiap orang berhak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup.

(4) Setiap orang berhak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

(5) Setiap orang berhak melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Pasal 67

Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 68

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan berkewajiban :

a. memberikan informasi yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan;

56Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Edisi ke-3, Surabaya : Airlangga University Press, hal. 275.

b. hidup secara benar, akurat, terbuka, dan tepat waktu; c. menjaga keberlanjutan fungsi lingkungan hidup; dan

d. menaati ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup dan/atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 70

(1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Menurut Pasal 65 UUPPLH bahwa setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari hak asasi manusia. Menurut Pasal 67 dan Pasal 68 UUPPLH tersebut bahwa setiap orang bukan saja mempunyai hak tetapi juga mempunyai kewajiban melestarikan fungsi lingkungan hidup serta mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan Pasal 70 ayat (1) UUPPLH menerangkan bahwa dalam rangka melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana dalam Pasal 65 dan Pasal 67 UUPPLH, masyarakat memiliki kesempatan yang luas untuk berperan serta dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Berdasarkan pasal 1 Angka 32 UUPPLH dinyatakan bahwa yang dimaksud “setiap orang” adalah “orang perseorangan” atau “badan usaha”, baik yang “berbadan hukum” maupun yang “tidak berbadan hukum”. Oleh karena bank adalah badan hukum, maka bank juga mempunyai kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan Pasal 74 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dimana bank sebagai badan hukum yang berbentuk PT (Perseroan Terbatas) mempunyai tanggung jawab sosial dan lingkungan yang dikenal dengan CSR (Corporate Social Responsibility),

sehingga dapat dikatakan bahwa bank merupakan perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya yang berkaitan dengan sumber daya alam, artinya bahwa bank merupakan perseroan yang tidak mengelola dan tidak memanfaatkan sumber daya alam, tetapi kegiatan usahanya berdampak pada fungsi kemampuan sumber data alam. Dengan demikian jelas bahwa di Indonesia, pengelolaan lingkungan hidup demi pelestarian kemampuan lingkungan hidup yang serasi dan seimbang untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan bukan kewajiban orang tertentu, atau badan usaha tertentu saja tetapi kewajiban siapapun yang berada di Indonesia.

Berlakunya ketentuan dalam UUPPLH tersebut telah mendapat penekanan dalam Undang-Undang Perbankan, yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, sebagaimana ditentukan dalam Penjelasan pasal 8 Undang-Undang tersebut. Menurut penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau beresiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan. Selanjutnya sebagaimana telah diterangkan dimuka bahwa penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Perbankan itu telah mendapat penekanan pengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Bank Indonesia No. 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 7/3/DPNP tanggal 31 Januari 2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang antara lain mengatur

tentang perlunya bank umum untuk memperhatikan upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup, hal ini dapat dilihat pada :

1. Pasal 11 ayat (1), yang berbunyi :

(1) Penilaian terhadap prospek usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf

a. meliputi penilaian terhadap komponen-komponen sebagai berikut : a. potensi pertumbuhan usaha;

b. kondisi pasar dan posisi debitur dalam persaingan; c. kualitas manajemen dan permasalahan tenaga kerja; d. dukungan dari grup atau afiliasi; dan

e. upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup.

Debitur dalam huruf e ini adalah debitur yang wajib melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Penjelasan Umum, yang berbunyi :

… Dalam penetapan kualitas kredit, Bank wajib memperhatikan faktor prospek usaha, kinerja, dan kemampuan membayar debitur. Mengingat pentingnya upaya memelihara lingkungan hidup, dalam penilaian prospek usaha, Bank perlu memperhatikan pula upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup….

Peraturan Bank Indonesia tersebut tidak hanya berlaku bagi bank-bank umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, tetapi juga berlaku pada bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Untuk bank-bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah berlaku ketentuan Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Berdasarkan Prinsip Syariah dan Surat Edaran

Nomor 8/22/DPbS tanggal 18 Oktober 2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah.

Terkait dengan usaha nasabah yang dapat berpengaruh terhadap lingkungan hidup serta dapat berdampak terhadap kegiatan usaha dan kondisi keuangan nasabah, Bank dalam menilai prospek usaha nasabah perlu memperhatikan upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka memelihara lingkungan hidup.

Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) huruf e Peraturan Bank Indonesia No. 8/21/PBI/2006, salah satu kriteria dalam penilaian prospek usaha adalah upaya yang dilakukan nasabah dalam rangka mengelola lingkungan hidup, khususnya nasabah berskala besar yang kegiatan usahanya memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup. Hal ini sejalan dengan Penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, yang antara lain menyatakan bahwa salah satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam memberikan pembiayaan adalah hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau berisiko tinggi. Kewajiban AMDAL ini juga tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana yanga telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 dan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL.

AMDAL merupakan kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

Hasil AMDAL diperlukan untuk memastikan kelayakan proyek yang dibiayai dari aspek lingkungan. Kegiatan berdampak penting yang dilakukan tanpa AMDAL dapat membawa dampak yang merugikan dikemudian hari karena tidak adanya perencanaan pengelolaan lingkungan yang memadai oleh nasabah sehingga tidak akan diketahui dampak yang mungkin timbul dari kegiatan usaha nasabah. Hal ini selanjutnya dapat berdampak kepada kelangsungan usaha dan kemampuan nasabah untuk mengembalikan pembiayaan. Selain itu, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999, AMDAL merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan izin melakukan usaha dan atau kegiatan.

Alasan kedua ialah berkaitan dengan ketentuan Pasal 82 ayat (2), Pasal 87 ayat (1), dan Pasal 88 UUPPLH tentang keharusan nasabah debitur sebagai penanggungjawab usaha dan atau kegiatan untuk membayar ganti rugi karena melakukan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh proyek yang dibiayai oleh bank. Apabila nasbah debitur tiba-tiba harus memikul biaya pembersihan yang besar sekali atas proyek tersebut dan lingkungannya yang rusak atau tercemar dan membayar ganti rugi, maka crediworthiness dari nasabah debitur dapat merosot secara drastis dan dapat mengancam kemampuannya untuk membayar kembali kredit tersebut. Dalam rangka bank melaksanakan kewajiban hukumnya untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup dan dalam rangka melindungi kreditnya, maka kemungkinan ini harus dapat dicegah oleh bank.

Alasan ketiga adalah sehubungan dengan kemungkinan dilakukannya penghentian usaha atau pencabutan izin usaha terhadap perusahaan nasabah debitur

oleh pihak yang berwenang karena proyek nasabah debitur telah melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan hidup (sanksi administratif). Sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 76 UUPPLH bahwa dimungkinkan bagi Menteri, Gubernur atau Walikota menetapkan sanksi administratif seperti teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan atau pencabutan izin lingkungan. Bila hal itu terjadi, maka bank yang membiayai perusahaan tersebut dapat mengalami ancaman kerugian berupa terjadinya kemacetan kredit karena izin pembangunan proyek atau izin usaha perusahaan dicabut.

Alasan keempat adalah sehubungan dengan kemungkinan merosotnya nilai agunan yang rusak atau tercemar. Apabila bank membiayai suatu proyek, maka proyek itu, termasuk tanah dimana proyek itu didirikan, akan diikat oleh bank sebagai agunan kredit. Apabila proyek tersebut melakukan perusakan atau pencemaran lingkungan terhadap tanah di atas mana proyek itu didirikan, maka harga tanah yang rusak atau tercemar itu akan merosot sekali. Akibatnya adalah bahwa agunan atas kredit kepada nasabah debitur untuk membiayai pendirian dan atau operasi proyek yang rusak atau tercemar itu akan hanya menjadi agunan yang tidak berharga.

BAB III

PERAN DAN TANGGUNG JAWAB PERBANKAN DALAM PENEGAKAN

GREEN BANKING MENGENAI KEBIJAKAN KREDIT