• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan

BAB II PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM

C. Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan

Apabila Deklarasi Universal dirumuskan sebagai perintah yang harus dipatuhi kepada negara-negara untuk melindungi hak-hak tertentu, ICCPR disusun untuk menjawab masalah-masalah praktis dalam hal perlindungan hak asasi. Demikianlah, Kovenan ini menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak yang dapat dilindungi dan menyatakan dengan cukup jelas pembatasan yang dapat dikenakan terhadap penggunaan hak-hak tertentu dalam keadaan tertentu.

Selain itu, hak-hak yang tercantum dalam ICCPR tidak sepenuhnya sesuai dengan hak-hak yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal. Dalam Kovenan itu dicantumkan kewajiban negara untuk mengizinkan individu-individu yang merupakan anggota suatu minoritas etnis, agama atau bahasa “untuk menikmati kebudayaan mereka, menyatakan dan mempraktekkan agama mereka atau menggunakan bahasa mereka sendiri” dalam komunitas bersama dengan anggota-anggota lain kelompok itu (Pasal 27).

Hal lainnya yang dicantumkan adalah hak untuk bebas dari hukuman penjara karena gagal memenuhi kewajiban kontrak (Pasal 11); hak semua orang hukuman untuk diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat mereka sebagai manusia (Pasal 10 (1)); dan hak atas perlindungan istimewa untuk anak-anak (Pasal 24). Yang tidak dimasukkan dalam Kovenan ini adalah hak suaka, hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan, dan hak untuk memiliki kekayaan sendiri.

Meskipun beberapa hak yang dilindungi oleh Kovenan itu tidak boleh dibatasi dalam keadaan apapun juga, namun Pasal 4 menetapkan bahwa “dalam masa darurat yang bersifat umum yang mengancam kehidupan bangsa itu” hak-hak yang lain dapat dibatasi asalkan pembatasan itu sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif.

Pembatasan hak harus juga segara diinformasikan secara tertulis kepada negara-negara peserta kovenan yang lain melalui Sekretaris Jendral PBB, dengan disertai alasan mengapa hal itu dilakukan. Beberapa hak tertentu juga tunduk pada apa yang dinamakan oleh Profesor Rosalyn Higgins sebagai ketentuan “clawback”, yang mengizinkan dikenakannya pembatasan hak demi melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum atau hak serta kebebasan asasi orang-orang lain.20

Ketentuan ini memberikan kepada suatu negara batas keleluasaan yang lebih besar – suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan, namun hal ini diimbangi dengan Pasal 5 (1) yang memasukkan unsur keseimbangan. Pasal ini menetapkan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan Kovenan ini”.

Menurut Pasal 2 (1) Kovenan itu, negara0negara peserta diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam apapun. Apabila hak-hak semacam itu belum dihormati dan dijamin dalam yurisdiksi suatu negara,

20

maka negara itu diharuskan berdasarkan Pasal 2 (2) untuk membuat perundang-undangan atau langkah-langkah lain yang perlu guna mengefektifkan hak-hak itu. Perlu dicatat bahwa kewajiban ini bersifat mutlak dan harus segera dijalankan. Perlu juga dicatat bahwa hak-hak itu harus diberikan kepada semua individu yang berada dibawah yurisdiksi negara itu, apapun kewarganegaraannya. Hal ini tidak hanya mencakup yurisdiksi teritorial negara itu, tetapi juga yurisdiksi negara terhadap pribadi warga negaranya yang berada di luar negeri.

BAB III

PENGATURAN DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

A. Jenis-Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Pada tahun 2002 di kota kriminal internasional yang dalamInternational Criminal Court (ICC) dan Statuta Roma memberikan kewenangan kepada ICC untuk mengadili kejahatan genosida, kejahatan terhadap perikemanusiaan dan kejahatan perang dan kejahatan agresi

a. Kejahatan Genosida

Genosida atau genosid adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu memusnahkan (membuat digunakan oleh seorang ahli hukum

γένος genos ('ras', 'bangsa' atau 'rakyat') dancaedere ('pembunuhan').

Genosida merupakan satu dari empat berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggara berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan Agresi.

Menurut Statuta Roma genosida ialah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.

Ada pula istilah genosid dengan melarang penggunaa mengubah atau menghancurka

Contoh genosida

1) Pembantaian bangsa Kanaan oleh bangsa Yahudi pada milenium pertama sebelum Masehi.

2) Pembantaian bangsa

3) Pembantaian suku bangsa

Irlandia sejak

4) Pembantaian bangsa-bangsa Indian di benua Amerika oleh para penjajah Eropa semenjak ta

5) Pembantaian bangsa

6) Pembantaia

7)

8) Pembantaian suku bangsa Jerman di Eropa Timur pada akhir Perang Dunia II oleh suku-suku bangsa Ceko, Polandia dan Uni Soviet di sebelah timur gari

9) Pembantaian lebih dari dua juta jiwa rakyat oleh rezim akhir ta

10)Pembantaian bangsa Kurdi oleh rezim

11)Efraín Rios Montt, diktator Guatemala dari 1982 sampai 1983 telah membunuh 75.000 Indian Maya.

ta

13)Pembantaian suku bangsa Bosnia dan Kroasia di Yugoslavia ole antar pertama di Eropa yang dinyatakan genosida oleh suat

14)Pembantaian kaum berkulit hitam di

b. Kejahatan perang

Kejahatan perang adalah suatu tindakan pelanggaran, dalam cakupan baik perang. Setiap pelanggaran hukum perang pada konflik antar bangsa merupakan kejahatan perang. Pelanggaran yang terjadi pada konflik internal suatu negara, belum tentu bisa dianggap kejahatan perang.

Kejahatan perang meliputi semua pelanggaran terhadap perlindungan yang telah ditentukan oleh hukum perang, dan juga mencakup kegagalan untuk tunduk pada norma prosedur dan aturan pertempuran, seperti menyerang pihak yang telah mengibarkan menggunakan bendera perdamaian itu sebagai pihak lawan sebelum menyerang.

Perlakuan semena-mena terhadap juga bisa dianggap sebagai kejahatan perang dalam dideskripsikan sebagai

Kejahatan perang merupakan bagian penting dalam hukum kemanusiaan internasional karena biasanya pada kasus kejahatan ini dibutuhkan suatu pengadilan internasional, seperti pada

Nuremberg. Contoh pengadilan ini pada awal berdasarkan pasal VII

Pad pada atau setelah tanggal tersebut. Beberapa negara, terutam pengadilan tersebut menindak warga negara mereka.

Beberapa mantan kepala negara dan kepala pemerintahan yang telah diadili karena kejahatan perang antara lain adalah mantan Perdana Menteri

karena kejahatan perang.

Keadilan perang kadang dituding lebih berpihak kepada pemenang suatu peperangan, karena beberapa peristiwa kontroversi tidak atau belum dianggap sebagai kejahatan perang. Contohnya antara lain perusakan target-target sipil yang dilakukan Amerika Serikat pada Perang Dunia II; serta penduduka

c. Kejahatan kemanusiaan

Kejahatan terhadap umat manusia adalah istilah di dalam penyiksaan terhadap tubuh dari orang-orang, sebagai suatu kejahatan penyerangan terhadap yang lain. Para sarjana Hubungan internasional telah secara luas menggambarkan "kejahatan terhadap umat manusia" sebagai tindakan yang sangat keji, pada suatu skala yang sangat besar, yang dilaksanakan untuk mengurangi ras manusia secara keseluruhan. Biasanya kejahatan terhadap kemanusian dilakukan atas dasar kepentingan politis, seperti yang terjadi di Jerman oleh pemerintahan Hitler serta yang terjadi di Rwanda dan Yugoslavia

Diatur dalam kemanusiaan ialah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil.

Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal

Court. Pelanggaran HAM berat lainnya iala

dan kejahata

Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas

atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan :

a. Pembunuhan; b. Pemusnahan c. Perbudakan;

d. Pengusiran atau pemindahan penduduk

e. Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain f. Menganiaya;

g. Memperkosa, perbudaka

paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;

h. Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan-alasan yang dilarang oleh hukum internasional

i. Penghilangan seseorang secara paksa;

j. Kejahatan

k. Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.

d. Kejahatan agresi

Menyangkut kejahatan agresi, belum ada kesepakatan mengenai definisinya atau tindakan-tindakan pidana apa saja yang dapat dikategorikan sebagai agresi, mengingat tidak cukupnya waktu untuk membahas selama berlangsungnya konferensi di Roma.

Oleh karena itu, kejahatan agresi hanya dapat ditangani oleh mahkamah, apabila majelis negara-negara pihak telah mencapai kesepakatan mengenai definisi, unsur-unsur, dan kondisi dari agresi itu sendiri.Sebagai perbandingan, terminologi tindak pidana agresi (agression) merupakan perubahan dari terminologi yang pernah digunakan dalam pengadilan Nurenberg, yaitu tindak pidana terhadap perdamaian.21

B. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan di dalam International Criminal Court (ICC)

a. Diskriminasi Rasial

Penghapusan semua bentuk diskriminasi telah merupakan salah satu tujuan utama PBB sejak awal. Piagam PBB, lembaga-lembaga yang diciptakan sesuai dengan Piagam itu, dan Bill of Rights Internasional, semuanya menjadikan kesamaan perlakuan terhadap semua manusia sebagai tema utamanya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila berbagai lembaga PBB telah mencurahkan cukup banyak energi untuk menyusun instrumen-instrumen dalam rangka memerangi jenis diskriminasi yang

21

Boer Mauna. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan, Fungsi dan Era Dinamika Global,

paling meluas ke mana-mana, yaitu diskriminasi rasial dan diskriminasi seksual.

Traktat pertama yang secara spesifik menangani diskriminasi rasial adalah Konvensi Internasional mengenai Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial, yang disetujui oleh Majelis Umum pada tahun 1965 dan diberlakukan pada tahun 1969.22

... setiap pembedaan, pengucilan, larangan, atau preferensi berdasarkan ras, warna kulit, atau asal-usul keturunan, bangsa atau etnis, yang bertujuan atau berakibat meniadakan atau mengurangi pengakuan, penikmatan, atau pelaksanaan, di atas dasar yang sama dengan orang lain, terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi dalam bidang kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, atau bidang kehidupan publik lainnya.

Konvensi ini melarang diskriminasi rasial yang didefinisikan oleh Pasal 1 (1) sebagai berikut:

International Court of Justice berpendirian bahwa definisi ini dapat diandalkan untuk menafsirkan ketetapan-ketetapan non-diskriminasi pada piagam PBB. Dapat pula diargumentasikan, mengingat definisi ini telah diterima baik oleh banyak negara, maka definisi ini juga menjadi bagian jus cogens. Patut dicatat, bahwa berdasarkan Pasal 2 (2), program-program affirmative action (diskriminasi positif) tidaklah dilarang oleh Konvensi,

22

60 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom Treaty Series 77 (1969); (1966) 5 International Legal Materials

meskipun jangka waktunya jelas dibatasi sampai pada tercapainya tujuan program-program itu.

Negara-negara perserta diwajibkan menurut pasal 2 (1) untuk “menggunakan segala cara yang sesuai” guna melenyapkan diskriminasi rasial di dalam wilayah mereka, dan menjamin bahwa semua hak sipil, politik, ekonomi, dan sosial diberikan tanpa diskriminasi. Untuk mengawasi Konvensi ini, berdasarkan Pasal 8, dibentuklah sebuah Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial (Committee on the Elimination of Racial Discrimination – CERD) terdiri dari 18 pakar independen yang dipilih oleh negara-negara peserta.

Metode pengawasan yang pokok berupa suatu sistem pelaporan berkala oleh negara-negara peserta yang menyerupai sistem pelaporan yang diatur dalam Kovenan-kovenan Internasional, tetapi Konvensi itu juga mengizinkan suatu hak individu untuk mengajukan pengaduan tertulis apabila negara-negara telah mengakui kewenangan CERD untuk menerima pengaduan tertulis semacam itu.

Seperti pada Protokol Fakultatif Pertama ICCPR, para pengadu harus terlebih dahulu mengupayakan secara tuntas semua remedi lokal sebelum pengaduan tertulisnya dapat dipertimbangkan. Begitu pengaduan tertulis itu diizinkan, CERD mempertimbangkan pengaduan itu dan dapat menyampaikan rekomendasi kepada negara peserta dan individu yang bersangkutan.

Meskipun dalam Pasal 22 Konvensi itu mengizinkan yurisdiksi ICJ dijalankan dalam kasus-kasus sengketa yang tidak terselesaikan di antara negara-negara pesert, namun mayoritas negara peserta mengajukan syarat terhadap hal ini sehingga ketetapan penting ini praktis menjadi tidak berarti.

Salah satu tantangan terpenting terhadap hukum hak asasi manusia internasional pada tahun-tahun belakangan ini adalah kebijakan Afrika Selatan mengenai diskriminasi dan segregasi rasial yang dilembagakan, yang dikenal sebagai “apartheid”. Meskipun kebijakan ini terus menerus menjadi sasaran kutukan sejumlah organ PBB yang berurusan dengan hak asasi manusia, namun baru pada tahun 1973 Majelis Umum PBB menyetujui Konvensi Internasional mengenai Pemberantasan dan Penghukuman terhadap Kejahatan Apartheid. Konvensi ini berlaku pada tahun 1976.23

Apartheid, yang dinyatakan dalam Pasal 1 Konvensi itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan dengan demikian disejajarkan dengan genosida, didefinisikan dengan mengacunya sebagai “kebijakan dan praktek segrasi dan diskriminasi rasial yang sama seperti yang dipraktekkan di Afrika Selatan.

Seperti halnya dengan Konvensi Genosida, Konvensi Apartheid kemudian memberikan sebuah definisi yang luas dengan dilampiri sebuah daftar mengenai praktek-praktek tertentu. Demikianlah, kejahatan apartheid berlaku untuk perbuatan-perbuatan yang “dilakukan dengan tujuan untuk

23

1015 United Nations Treaty Series 195; United Kingdom 77 (1969); (1966) 5 International

mendirikan dan mempertahankan dominasi satu kelompok rasial terhadap kelompok rasial yang lain.

Perbuatan-perbuatan ini meliputi pembunuhan, perbuatan yang menimbulkan kerusakan mental dan jasmani yang serius, penahanan yang sewenang-wenang dan pemenjaraan ilegal, serta pemaksaan kondisi hidup yang direncanakan akan menimbulkan kehancuran fisik kelompok-kelompok rasial, seluruhnya atau sebagian.

Mereka yang menghasut, berkomplot, membantu, mrndorong atau memberi semangat pada perbuatan apartheid dianggap juga melakukan kejahatan ini. Sebelum adanya Pengadilan Pidana Internasional, negara-negara peserta mempunyai yurisdiksi atas pengadilan dan penghukuman terhadap kejahatan itu.

Pengawasan terhadap Konvensi dijalankan melalui laporan berkala mengenai kemajuan yang dicapai, yang disampaikan oleh negara peserta kepada suatu kelompok yang terdiri dari tiga orang anggota CHR yang dicalonkan oleh Ketua Komisi itu. Kelompok tiga orang ini harus merupakan wakil negara-negara perserta Konvensi dan sekaligus anggota CHR.

Konvensi juga memberi wewenang kepada Komisi untuk menyiapkan studi dan laporan mengenai apartheid dan menyiapkan daftar mengenai individu, organisasi, lembaga dan wakil negara yang dituduh bersalah melakukan kejahatan itu. Laporan dan daftar ini diserahkan kepada Majelis Umum melalui ECOSOC.

b. Diskriminasi seksual

PBB dan organ-organnya telah melakukan cukup banyak kegiatan dalam menyusun standar dan mengambil langkah-langkah untuk melarang diskriminasi yang didasarkan pada jenis kelamin. Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Kaum Wanita – yang disetujui Majelis Umum pada tahun 1979 dan mulai berlaku pada tahun 198124

Pasal 1 Konvensi mendifinisikan “diskriminasi terhadap kaum wanita” sebagai “setiap pembedaan, pengecualian atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin yang berakibat atau bertujuan mengurangi atau meniadakan pengakuan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan asasi kaum wanita, penikmatan dan penggunaan hak dan kebebasan itu oleh kaum wanita di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil dan bidang-bidang yang lain.”Negara peserta tidak hanya diharuskan menghapuskan diskriminasi semacam itu, tetapi menurut Pasal 2 diharuskan juga memulai langkah-langkah untuk mempromosikan persamaan derajat wanita dengan pria dalam kehidupan sosial, publik dan politik mereka.

- bersama-sama dengan Kovenan-kovenan Internasional membentuk salah satu instrumen utama dibidang ini.

Pasal 5 (a), khususnya mengharuskan negara peserta mengambil “segala langkah yang cocok untuk mengubah pola perilaku sosial dan budaya pria dan wanita, dengan tujuan melenyapkan prasangka dan kebiasaan serta semua praktek lain yang didasarkan pada ide mengenai

24

inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin, atau didasarkan pada peran pria dan wanita yang telah distereotipkan”. Meskipun banyak negara ikut serta dalam Konvensi ini, kewajiban khusus ini tetap saja lebih banyak dilanggar ketimbang dipatuhi.

Seperti pada konvensi lain yang dibuat oleh PBB, pengawasan terhadap Konvensi ini dijalankan dengan mengharuskan negara-negara peserta menyerahkan laporan berkala mengenai langkah-langkah yang telah diambil dalam rangka mengefektifkan ketetapan-ketetapan Konvensi itu. Laporan-laporan itu dipelajari oleh Komite mengenai Penghapusan Diskriminasi Terhadap Kaum Wanita, yang beranggotakan 28 orang, yang dipilih oleh negara peserta, tetapi berfungsi dalam kapasitas yang independen.

Hasil penelitian terhadap laporan dikirimkan oleh Komite itu kepada Komisi mengenai Status Kaum Wanita, yang selanjutnya meneruskan hasil pengamatannya kepada Majelis Umum melalui ECOSOC. Berdasarkan Pasal 29 (a), ditetapkan untuk menyelesaikan persengketaan diantara negara-negara melalui ICJ, namun seperti pada konvensi-konvensi PBB yang lain yang berisi ketetapan serupa, prosedur ini belum pernah digunakan.

c. Penyiksaan

Laporan tahunan Amnesti Internasional atau laporan Senat Amerika Serikat mengenai praktek-praktek hak asasi manusia suatu negara akan membenarkan bahwa penyiksaan tetap endemi dalam dunia modern. Penyiksaan digunakan oleh pemerintah bukan hanya untuk mendapatkan informasi dari lawan politik yang dicurigai, tetapi juga untuk menindas penduduk mereka.

Meskipun Deklarasi Universal dan ICCPR mencantumkan larangan terhadap penyiksaan, perlakuan yang tak manusiawi dan yang merendahkan martabat, namun konsep-konsep ini tidak didefinisikan dalam instrumen-intrumen itu. Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan Kejam, Tak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, yang disetujui oleh Majelis Umum dalam tahun 1984 dan berlaku sejak tahun 1987,25

Jelas ada masalah dalam mendifinisikan unsur-unsur penyiksaan. Penyiksaan dapat didekati dari sudut pandang yang subjektif, yang secara inheren sukar diukur, dan dapat pula didefinisikan secara objektif. Konvensi Menentang Penyiksaan memilih pendekatan yang kedua. Pasal 1 (1) Konvensi mendefinisikan penyiksaan sebagai:

tidak hanya mencoba memperbaiki kekurangan karena tiadanya definisi ini, tetapi juga menetapkan suatu mekanisme pengawasan.

... setiap perbuatan yang sengaja dilakukan sehingga mengakibatkan kesakitan atau penderitaan yang hebat, jasmani maupun rohani, pada seseorang, untuk tujuan-tujuan seperti,

25

mendapatkan informasi atau pengakuan dari orang itu atau dari orang ketiga, menghukumnya atas perbuatan yang dilakukan atau diduga dilakukan olehnya atau oleh orang ketiga, atau mengintimidasi atau memaksa orang itu atau orang ketiga, atau untuk alasan apa pun yang didasarkan pada segala jenis diskriminasi, apabila kesakitan atau penderitaan yang hebat seperti itu, ditimpakan oleh, atau atas hasutan, atau dengan persetujuan, atau dibiarkan oleh, seorang pejabat atau pegawai pemerintahan.

Tetapi, penyiksaan tidak mencakup kesakitan atau penderitaan yang “timbul semata-mata dari, inheren dalam, atau insidental terhadap, sanksi hukum”. Definisi ini penuh dengan masalah, sebagian diantara nya mengenai apakah kesakitan dan penderitaan itu sendiri. Namun, Pasal 2 Konvensi itu menegaskan, situasi apa pun tidak dapat dikecualikan untuk membenarkan penyiksaan; demikian pula seorang penyiksa tidak dapat menjadikan perintah atasan sebagai dalih untuk membela perbuatan seperti itu.

Jika seseorang dituduh telah melakukan penyiksaan di suatu negara, maka negara peserta, yang di dalam yurisdiksinya si penyiksa ditemukan, berkewajiban mengadili atau mengekstradisinya ke negara yang memintanya. Negara peserta juga diwajibkan untuk selalu meninjau ulang peraturan, instruksi dan metode interogasinya, sebagai sarana untuk mencegah terjadinya penyiksaan.

Pengawasan terhadap Konvensi Penyiksaan dilakukan oleh suatu Komite menentang Penyiksaan, yang beranggotakan sepuluh orang, yang dipilih oleh negara peserta. Namun berfungsi dalam kapasitasnya sebagai individu. Metode pengawasan berdasarkan Konvensi adalah sistem laporan berkala (Pasal 19), prosedur pengaduan antar negara yang opsional (Pasal 21), dan hak petisi individual yang juga opsional dan bergantung pada persetujuan negara (Pasal 22).

Dalam Konvensi Penyiksaan, mekanisme pengawasan yang populer sampai sekarang ini dilengkapi dengan suatu inovasi yang memungkinkan Komite, atas prakarsa sendiri, menyidik suatu negara peserta jika ia menerima informasi yang dapat dipercaya yang mengesankan bahwa penyiksaan dipraktekkan secara sistematik dalam wilayah negara peserta itu. Penyidikan semacam itu harus bersifat rahasia, dan Komite disyaratkan oleh Pasal 20 untuk berupaya mendapatkan kerjasama dari negara peserta yang sedang disidik itu.

Namun, jika kerjasama itu tidak kunjung didapatkan, Komite agaknya dapat meneruskan penyidikannya. Bagaimanapun juga, yang jelas apabila Komite ingin melakukan suatu penyidikan di dalam wilayah suatu negara peserta, maka Komite harus diberi izin, kalau tidak, kedaulatan negara peserta itu akan dilanggar.

Fungsi pengawasan Komite yang lain berupa catatan-catatan kegiatan yang dimasukkan dalam laporan tahunannya, yang disampaikan kepada negara-negara peserta maupun Majelis Umum. Negara peserta yang

tidak ingin terikat oleh prosedur penyidikan ini harus membuat pernyataan mengenai hal itu pada saat menjadi peserta Konvensi.

Hal ini juga tidak lazim, karena umumnya traktat mengharuskan negara untuk “memilih untuk mengikuti” dan bukan “memilih untuk tidak mengikuti” sistem pengawasan internasional. Berdasarkan Pasal 30, sengketa diantara negara-negara peserta juga dapat diteruskan kepada ICJ untuk diadili, namun negara-negara dapat menghindari kewajiban ini dengan mengajukan syarat pada waktu yang tepat.

C. Perlindungan Penduduk Sipil Menurut Konvensi Jenewa 1949

Perlindungan terhadap penduduk sipil telah diatur dalam Konvensi Jenewa IV. Menurut Konvensi Jenewa IV ini, perlindungan tersebut meliputi perlindungan umum (general protection), diatur dalam Bagian II. Sedangkan berdasarkan Protokol Tambahan, perlindungan tersebut diatur dalam Bagian IV tentang penduduk sipil.

Bagian IV Protokol ini, antara lain mengatur mengenai perlindungan

Dokumen terkait