• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Terhadap Korban Hak Asasi Manusia (Ham) Berat Di Korea Utara Menurut Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perlindungan Terhadap Korban Hak Asasi Manusia (Ham) Berat Di Korea Utara Menurut Hukum Internasional"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN HAK ASASI

MANUSIA (HAM) BERAT DI KOREA UTARA MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir

Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

090200033

NELLA OCTAVIANY SIREGAR

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN HAK ASASI

MANUSIA (HAM) BERAT DI KOREA UTARA MENURUT

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-

Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

090200033

NELLA OCTAVIANY SIREGAR

DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL

Disetujui oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Arif, S.H., M.Hum NIP. 196403301993031002

.

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Chairul Bariah, SH, MHum

NIP. 195612101986012001 NIP. 195710301984031002

Abdul Rahman, SH, MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya bagi penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan skripsi ini. Teriring ucapan shalawat dan salam penulis

sampaikan kepada Rasulullah saw sebagai teladan bagi seluruh umat untuk

mencari ridha Allah dalam melaksanakan berbagai aktifitas, termasuk dalam

penyelesaian skripsi ini.

Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam

penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapat banyak kekurangan, namun

dengan demikian penulis dengan berlapang dada untuk menerima kritik dan saran

yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruhperhatian terhadap

skripsi ini.

Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin

mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah

dengan ikhlas dalam memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam menyelesaikan skripsi ini dan dorongan moril maupun materil

kepada penulis sehingga skripsi ini dapat di selesaikan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

(4)

seluruh mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum

di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu

penulis selama perkuliahan.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH, DFM selaku Pembantu Dekan II

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu

penulis.

4. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis.

5. Bapak Arif, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, yang

telah banyak membantu penulis dan terima kasih juga kepada Bapak Dr.

Jelly Leviza, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum

Internasional.

6. Ibu Megarita, SH. M.Hum, CN sebagai dosen wali penulis yang telah

banyak memberikan arahan selama penulis kuliah

7. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum sebagai Pembimbing I yang telah

memberikan banyak masukan dan bersedia meluangkan waktunya untuk

membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak Abdul Rahman, SH, MH sebagai Pembimbing II yang telah

memberikan masukan dan bersedia meluangkan waktunya untuk

(5)

9. My everything, Papa Ir. H. Abdul Hakim Siregar, MBA dan Mama Dra.

Hj. Farida Hariyani, MBA, MM., thank you so much you always pray for

me, give me support and teach me everything, I love you, Mom, Dad.

Thanks always forgive me and warn me if I wrong.

10.My lovely brothers, Akhmad Irwansyah Siregar, SE, ME dan Ade

Perdana, SE, ME terima kasih karena kalian selalu ada untuk memberikan

doa, dukungan, dan semangat.

11.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Lingkungan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu serta

pembelajaran kepada penulis dan membantu penulis selama kuliah.

12.Terima kasih kepada sahabat penulis di Fakultas Hukum Sumatera Utara:

Fiqih Hazriah, Maydina Aprilla, Netty Karolin, Joice, Sherly, Esra,

Tommy Elvani, yang selalu ada dan memberikan semangat kepada

penulis.

13.Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan dalam kelompok klinis:

Idham Angga, Deri Facrizal, Dinda Adistya, Anugerah Putra, Rini Sugiani,

dan Novia Andrina serta teman-teman stambuk 2009 lainnya yang

memberikan semangat dan doa kepada penulis.

14.Terima kasih kepada teman-teman International Law Student Association

(ILSA) 2012 atas waktu dan kesempatan untuk mengenal satu sama lain

(6)

15.Terima kasih kepada sahabat-sahabat tercinta yang tidak mengenal jarak

dan waktu dan tidak ingat umur, my girls Hanna Theresia Ruthania Alda

Siahaan, Elga Emertha, Eza Emilda, Dina Maulidya, and the only boy Riza

Haviza. I really love you, guys. Terima kasih karena sudah selalu ada

untuk penulis dan memberikan semangat dan doa.

16.Terima kasih kepada adik-adik tercinta Diah, Anisa’ Lubis, Novi, Ricky

Yosepin, Yara Olivia, Meutia, Theresia, Maharany yang selalu

memberikan semangat kepada penulis.

17.Terima kasih kepada kakak-kakak senior dan adik-adik junior stambuk

2010,2011, dan 2012 yang telah banyak memberikan semangat dan doa

kepada penulis.

Akhirnya, tiada mampu penulis rangkaikan kata-kata untuk membalas

semua kebaikan yang telah diberikan berbagai pihak, termasuk yang tidak sempat

disebutkan satu persatu. Semoga ilmu pengetahuan yang selama ini diperoleh

dapat bermakna dan menjadi berkah bagi penulis dalam hal mencapai cita-cita

penulis.

Medan, 12 Oktober 2012

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………...

Daftar Isi………...

Abstraksi………...

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ...1

B. Perumusan Masalah...2

C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian ...3

D. Keaslian Penulisan ...4

E. Tinjauan Kepustakaan ...4

F. Metode Penelitian ...6

G. Sistematika Penulisan ………...………... 6

BAB II PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia di Dunia ...8

B. Hak Asasi Manusia menurut Universal Declaration of Human Rights ...36

(8)

BAB III PENGATURAN DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA

A.Jenis-Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia ...43

B.Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan di dalam International Criminal Court .50

C.Perlindungan Penduduk Sipil menurut Konvensi Jenewa Tahun 1949 ...60

BAB IV PERLINDUNGAN KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI

MANUSIA (HAM) BERAT DI KOREA UTARA

A.Pengaturan Hak Asasi Manusia di Korea Utara ...70

B.Pengaturan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Korea Utara ...79

C.Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Penegakan Hak Asasi

Manusia terhadap Penduduk Sipil di Korea Utara ...84

BAB V PENUTUP

A.Kesimpulan ...90

B.Saran ...91

(9)

ABSTRAK

Dr. Chairul Bariah, SH, MHum∗ Abdul Rahman, SH, MH∗∗ Nella Octaviany Siregar***

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab Negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam piagamnya telah menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia kedalam Piagam PBB yang dsebut The Universal Declaration of Human Rights yang diterima secara aklamasi oleh sidang umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Adanya pelanggaran HAM di Korea Utara seharusnya sudah menjadi tanggung jawab Negara yang bersangkutan disamping itu juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana hak asasi manusia dan pengaturannya di tinjau didalam hukum internasional, pengaturan dalam penegakan hak asasi manusia, perlindungan terhadap korban ham berat di Korea Utara menurut hukum internasional. Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap permasalahan di atas dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisa secara kualitatif.

Korea Utara sebagai salah satu negara yang memiliki catatan hak asasi manusia terburuk. Orang Korea Utara sering disebut sebagai "orang yang paling diperlakukan brutal di dunia", karena beberapa batasan yang ketat diletakkan di atas kebebasan melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap penduduk sipilnya, sehingga dalam hal ini PBB berperan sebagai pelindung terhadap penduduk sipil, sehingga pelaku kejahatan tidak bisa sewenang-wenang dalam memperlakukan penduduk sipilnya.

(10)

ABSTRAK

Dr. Chairul Bariah, SH, MHum∗ Abdul Rahman, SH, MH∗∗ Nella Octaviany Siregar***

Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab Negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam piagamnya telah menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia kedalam Piagam PBB yang dsebut The Universal Declaration of Human Rights yang diterima secara aklamasi oleh sidang umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Adanya pelanggaran HAM di Korea Utara seharusnya sudah menjadi tanggung jawab Negara yang bersangkutan disamping itu juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.

Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana hak asasi manusia dan pengaturannya di tinjau didalam hukum internasional, pengaturan dalam penegakan hak asasi manusia, perlindungan terhadap korban ham berat di Korea Utara menurut hukum internasional. Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap permasalahan di atas dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisa secara kualitatif.

Korea Utara sebagai salah satu negara yang memiliki catatan hak asasi manusia terburuk. Orang Korea Utara sering disebut sebagai "orang yang paling diperlakukan brutal di dunia", karena beberapa batasan yang ketat diletakkan di atas kebebasan melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap penduduk sipilnya, sehingga dalam hal ini PBB berperan sebagai pelindung terhadap penduduk sipil, sehingga pelaku kejahatan tidak bisa sewenang-wenang dalam memperlakukan penduduk sipilnya.

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah

menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide

dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blok-blok politik yang bersaing, kendala itu sekarang sudah hilang sejalan dengan

usainya Perang Dingin.

Kecenderungan Dunia Ketiga untuk melihat adanya trade-off antara implementasi HAM di satu pihak dengan pelaksanaan pembangunan di lain pihak

juga kian mencair. Dalam Konferensi HAM Sedunia 1993 di Wina disepakati

bahwa pembangunan dan hak asasi manusia (dan dengan sendirinya, juga

demokrasi) terjalin sangat erat dan memperkuat satu sama lain.

Kepedulian internasional terhadap hak asasi manusia merupakan gejala

yang relatif baru. Meskipun kita dapat menunjuk pada sejumlah traktat atau

perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang

Dunia II, baru setelah dimasukkan ke dalam Piagam PBB pada tahun 1945, kita

dapat berbicara mengenai adanya perlindungan hak asasi manusia yang sistematis

di dalam sistem internasional.

Dewasa ini pun, kaitan antara perlindungan terhadap hak asasi manusia di

(12)

internasional mewajibkan sistem konstitusional domestik setiap negara

memberikan kompensasi yang memadai kepada orang-orang yang haknya

dilanggar.

Mekanisme internasional untuk menjamin hak asasi manusia baru akan

melakukan perannya apabila sistem perlindungan di dalam negara itu sendiri

goyah atau pada kasus yang ekstrim malahan tidak ada. Dengan demikian,

mekanisme internasional sedikit banyak berfungsi memperkuat perlindungan

domestik terhadap hak asasi manusia dan menyediakan pengganti jika sistem

domestik gagal atau ternyata tidak memadai.

B. Perumusan Masalah

Dalam skripsi ini, ada beberapa hal yang akan dikemukakan sebagai

permasalahan, antara lain yaitu :

1. Bagaimanakah pengaturan hak asasi manusia dalam hukum

internasional?

2. Bagaimanakah pengaturan penegakan dalam hak asasi manusia

dalam hukum internasional?

3. Bagaimanakah perlindungan terhadap korban hak asasi manusia

(13)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan

Tujuan yang akan dicapai dengan ditulisnya skripsi ini, adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mendapatkan kepastian hukum tentang pengaturan hak

asasi manusia dalam hukum internasional.

2. Untuk mendapatkan kepastian hukum tentang pengaturan

pelanggaran hak asasi manusia dalam hukum internasional

3. Guna mengetahui perlindungan penduduk sipil terhadap korban hak

asasi manusia (ham) berat di Korea Utara dalam hukum

internasional

2. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :

Dari sisi teoritis akademis, sebagai bentuk penambahan pengetahuan

dalam bidang perlindungan penduduk sipil terhadap korban hak asasi manusia

(ham) berat di Korea Utara dalam hukum internasional. Merupakan bentuk

sumbangsih bagi siapa saja yang merasa perlunya perlindungan penduduk sipil

disaat damai dan disaat perang, serta menambah wawasan dan pengalaman

tentang seluk beluk hak asasi manusia, yang mengedepankan perlindungan hukum

atau jiwa manusia. Sedangkan dari sisi praktis, agar masyarakat, mengetahui arti

penting dari suatu perlindungan hak asasi manusia, agar semua pihak saling

menjaga sehingga tidak ada terjadi pelanggaran hak asasi manusia dikemudian

(14)

D. Keaslian Penulisan

Dalam penulisan skripsi yang berjudul ”Perlindungan terhadap Korban

Hak Asasi Manusia (HAM) Berat di Korea Utara Menurut Hukum Internasional”

adalah asli tulisan penulis sendiri, karena menurut data yang ada pada administrasi

skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, tulisan dengan judul

yang sama belum pernah diangkat dan diulas oleh pihak lain. Apabila ada tulisan

yang hampir mirip, mungkin itu hanya dari segi redaksi saja, karena

muatan/substansinya jelas berbeda dengan tulisan karya ilmiah ini.

E. Tinjauan Pustaka

Hak asasi manusia adalah hak universal yang dimiliki oleh seorang

individu sejak lahir dan tidak boleh ditiadakan oleh orang lain. Istilah hak di sini

mengacu pada nilai-nilai khusus manusia yang dianggap sedemikian fundamental

pentingnya sehingga nilai-nilai itu harus ditegakkan apabila aspirasi terpenting

dalam tatanan sosial ingin diwujudkan.1

Aspirasi terpenting manusia itu menjelma menjadi hak-hak asasi. HAM

adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui

kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa,

agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya.2

1

Lynn H. Miller, Agenda Politik Internasional, terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 388

Termasuk

dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini

merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari

pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya.

2

(15)

Hak sosial dan ekonomi, misalnya, berawal dari pemahaman bahwa

masyarakat itu terdiri atas kumpulan individu. Para individu ini bebas untuk

mengejar kepentingannya. Oleh karena itu, kemungkinan konflik antar warga

dalam mengejar kepentingannya sangat mungkin terjadi. Untuk menghindari

potensi konflik tersebut, harus dibuat pengaturan yang berdasar pada kepentingan

individu. Negara bertindak sebagai hakim yang adil yang wajib melindungi warga

negara dari pemaksaan, penipuan, dan pencurian.

Namun, hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi

konflik bersenjata, baik itu konflik antar negara maupun konflik dalam negeri/

dalam konflik bersenjata, penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering

menjadi sasaran langsung dan menderita karenanya. Penduduk sipil yang tidak

terlibat dalam konflik terkadang mengalami pembantaian massal, diperkosa,

disandera, dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap

makanan, air, dan layanan kesehatan.3

Dalam situasi seperti itu, bagaimana menjamin agar hak asasi manusia

penduduk sipil terlindungi adalah masalah yang harus terus diperjuangkan para

pelaku kemanusiaan. Dalam situasi konflik, negara tidak bisa melindungi hak

asasi warganya secara optimal. Pihak lawan akan berusaha untuk menghalangi

peran negara dalam situasi ini. Disamping itu, pihak lawan akan berusaha untuk

mengurangi peran negara dalam perlindungan tersebut.

3

(16)

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian skripsi ini, dilakukan dengan metode Studi

Kepustakaan yakni: dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan

dengan obyek penelitian, yang meliputi: Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh

dengan meletakkan penelitian pada: Bahan hukum primer, Bahan hukum

sekunder, Bahan hukum tertier.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini sebanyak lima BAB, di dalam bab-bab terdiri dari

beberapa bagian-bagian bab, sebagai berikut :

BAB I: Pendahuluan, yang berisikan ; Latar Belakang, Perumusan

Masalah, Tujuan dan Manfaat, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.

BAB II: Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional,

yang bermaterikan ; Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi

Manusia di Dunia, Hak Asasi Manusia menurut Universal

Declaration of Human Rights, Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik

(ICCPR) 1966

BAB III: Pengaturan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia, yang

bermaterikan ; Jenis-Jenis Pelanggaran Hak Asasi

(17)

International Criminal Court, Perlindungan Penduduk

Sipil menurut Konvensi Jenewa Tahun 1949

BAB IV: Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di

Korea Utara, yang bermaterikan ; Pengaturan Hak Asasi

Manusia di Korea Utara, Pengaturan pelanggaran Hak

Asasi Manusia di Korea Utara, Peranan Perserikatan

Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Penegakan Hak Asasi

Manusia terhadap Penduduk Sipil di Korea Utara.

(18)

BAB II

PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM

INTERNASIONAL

A. Sejarah Dan Perkembangan Hak Asasi Manusia Di Dunia

a. Sejarah Hak Asasi Manusia

Beberapa pakar menyatakan dapat meruntut konsep hak asasi

manusia yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat

yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-Undang Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep hak asasi

manusia yang modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika

Serikat, dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18.

1. Pengalaman Inggris

Sementara Magna Charta (1215) sering keliru dianggap sebagai cikal bakal kebebasan warga negara Inggris – piagam ini sesungguhnya

hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan para

bangsawannya, dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini –

sebenarnya baru dalam Bill of Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi hak-hak atau kebebasan individu.

Tetapi perkembangan ini pun harus dilihat dalam konteksnya. Bill

of Rights, sebagaimana diperikan dengan judulnya yang panjang “An Act Declaring the Rights and Liberties of the Subject and Setting the

(19)

dan Tara Cara Suksesi Raja), merupakan hasil perjuangan Parlemen

melawan pemerintahan raja-raja wangsa Stuart yang sewenang-wenang

pada abad ke-17. Disahkan setelah Raja James II di paksa turun tahta dan

William III serta Mary II naik ke singgasana menyusul “Revolusi

Gemilang” (Glorius Revolution) pada tahun 1688.

Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi

undang-undang yang ada dan bukan merupakan undang-undang-undang-undang baru,

menundukkan monarki di bawah kekuasaan Parlemen, dengan menyatakan

bahwa kekuasaan Raja membekukan dan memberlakukan seperti yang di

klaim oleh Raja adalah ilegal.

Undang-undang ini juga melarang pemungutan pajak dan

pemeliharaan pasukan tetap pada masa damai oleh Raja tanpa persetujuan

Parlemen. Dalam analisis Marxis, Revolusi Gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakannya adalah revolusi borjuis: revolusi ini

hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang diatas

monarki.4

Demikianlah, sebagian besar undang-undang ini merupakan

pengaturan konstitusional yang melindungi kepentingan satu kelompok.

Namun, para sejarahwan partai Whig menganggap Bill of Rights sebagai

kemenangan kebebasan atas despotisme dan sebagai perlindungan bagi

4

(20)

kaum laki-laki Inggris (kaum wanita tak banyak bersuara dalam hal ini)

terhadap pemerintahan absolut dan sewenang-wenang.5

Kedua pandangan ini ada benarnya, karena Bill of Rights tidak hanya menjamin kepentingan kaum borjuis, tetapi juga mengatur hal-hal

tertentu yang berciri “hak asasi manusia”, meskipun pada waktu itu tidak

disebut demikian. Undang-undang ini secara khusus menetapkan bahwa

“uang jaminan yang berlebih-lebihan tidak boleh disyaratkan; demikian

pula denda yang berlebih-lebihan tidak boleh dikenakan; dan hukuman

yang kejam dan tidak lazim tidak boleh dijatuhkan.”. Lebih lanjut

undang-undang ini menetapkan bahwa “para anggota juru harus dipilih dan

dilaporkan dengan cara yang benar” dan, bahwa “semua pemberian dan

perjanjian mengenai denda serta tebusan bagi orang-orang tertentu

sebelum dijatuhi hukuman adalah ilegal dan batal.”

Sementara unsur “hak asasi”dari Bill of Rights itu tampak sedikit

dan berat sebelah karena menguntungkan kelas warga negara tertentu,

namun seluruh konteks instrumen ini adalah sangat penting karena ia

mencoba menggantikan tindakan yang tidak diduga-duga dan ekses

absolutisme monarki yang sewenang-wenang dengan legitimasi

konstitusional oleh parlemen.

Revolusi Gemilang juga penting, karena revolusi ini merupakan

suatu preseden yang menunjukkan bahwa para penguasa dapat

disingkirkan atas kehendak rakyat jika mereka gagal mematuhi persyaratan

(21)

legitimasi konstitusional. Dalam pandangan ini John Locke, filsuf politik

Inggris abad ke-18, yang berusaha menemukan dasar teoritis bagi

revolusi-revolusi konstitusional pada abad ke-17 dan 18, pemerintahan yang buruk

melanggar kontrak sosial antara para penguasa dengan orang-orang yang

diperintahnya, dan dengan demikian mendorong yang terakhir ini untuk

menyingkirkan mereka.6

2. Pengalaman Amerika Serikat

Para pemimpin koloni-koloni Inggris di Amerika Utara yang

memberontak pada paruh kedua abad 18 tidak melupakan pengalaman

Revolusi Inggris dan berbagai upaya filosofis dan teoritis untuk

membenarkan revolusi itu. Dalam upaya melepaskan koloni-koloni itu dari

kekuasaan Inggris, menyusul ketidakpuasan akan tingginya pajak dan

tiadanya wakil dalam Parlemen Inggris, para pendiri Amerika Serikat ini

mencari pembenaran dalam kontrak sosial dan hak-hak kodrati dari Locke

dan para filsuf Prancis.

Sementara cita-cita luhur untuk melindungi kehidupan, kebebasan

dan usaha mengejar kebahagiaan memadai bagi suatu deklarasi

kemerdekaan, namun jelas bahwa hal ini tidak memadai sebagai katalog

hak-hak individu yang wajib dilindungi oleh negara. Deklarasi Hak Asasi

Virginia, yang disusun oleh George Mason sebulan sebelum Deklarasi

Kemerdekaan, mencantumkan kebebasan-kebebasan yang spesifik yang

harus dilindungi dari campur tangan negara. Kebebasan ini mencakup,

6

(22)

antara lain adalah kebebasan pers, kebebasan beribadat, dan ketentuan

yang menjamin tidak dapat dicabut kebebasan seseorang kecuali

berdasarkan hukum setempat atau berdasarkan pertimbangan warga

sesamanya.7

Para penyusun naskah Undang-Undang Dasar Amerika Serikat,

yang terpengaruh oleh Deklarasi Virginia rancangan Mason, memasukkan

perlindungan hak-hak minimum ini. Tetapi barulah pada tahun 1791,

Amerika Serikat mengadopsi Bill of Rights yang memuat daftar hak-hak individu yang dijaminnya. Hal ini terjadi melalui sejumlah amandemen

terhadap konstitusi.

Diantara amandemen-amandemen yang terkenal, adalah

Amandemen Pertama, yang melindungi kebebasan beragama, kebebasan

pers, kebebasan menyatakan pendapat, dan hak berserikat; Amandemen

Keempat, yang melindungi individu terhadap penggeledahan dan

penangkapan yang tidak beralasan; dan Amandemen Kelima, yang

menetapkan larangan memberatkan diri sendiri dan hak atas proses hukum

yang benar.

Amandemen-amandemen berikutnya terhadap Undang-Undang

Dasar Amerika Serikat itu memperluas Bill of Rights (misalnya,

Amandemen Ketiga belas, yang disahkan setelah Perang Saudara,

melarang praktek perbudakan), sebaliknya, Kongres tidak pernah

menghapus atau menyempitkan hak-hak yang telah tercantum.

7

(23)

Penyelesaian konstitusional Amerika Serikat pada abad ke-18

pasca kemerdekaan, dalam berbagai cara, menjadi model yang akan

digunakan dalam perjuangan revolusioner berikutnya. Yang paling jelas

terlihat adalah Prancis, dimana Amerika Serikat secara langsung

mempengaruhi revolusi mereka melawan ancien regine (orde lama).

3. Pengalaman Prancis

Meskipun Revolusi Prancis dan perjuangan kemerdekaan Amerika

Serikat mempunyai banyak ciri yang sama, ada satu perbedaan yang

penting. Kalau koloni-koloni yang memberontak di Amerika semata-mata

berusaha menjadi suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, kaum

revolusioner Prancis bertujuan menghancurkan suatu sistem pemerintahan

yang absolut dan sudah tua serta mendirikan suatu orde baru yang

demokratis.

Solusi teoretis terhadap masalah ini, yang ditemukan oleh orang

Prancis dengan mengikuti konsep Amerika mengenai legitimasi rakyat,

adalah penentuan nasib sendiri. Dalil sentral konsep ini: kedaulatan suatu

negara terletak di tangan rakyat, dan setiap pemerintah yang tidak tanggap

terhadap tuntutan warga negaranya dapat diubah dengan pernyataan

kehendak rakyat.

Penyelesaian yang terjadi menyusul Revolusi Prancis juga

mencerminkan teori kontrak sosial serta hak-hak kodrati dari Locke dan

para filsuf Prancis, Montesquieu dan J.J Rousseau. Deklarasa Hak

(24)

bahwa pemerintah adalah suatu hal yang tidak menyenangkan yang

diperlukan, dan diinginkan sesedikit mungkin.

Menurut Deklarasi itu, kebahagiaan yang sejati haruslah dicari

dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari “hak-hak manusia

yang suci, tak dapat dicabut, dan kodrati”. Jadi, sementara menyatakan

dilindunginya hak-hak individu tertentu – hak atas protes pengadilan yang

benar, praduga tak bersalah (presumption of innocence), kebebasan menganut pendapat dan menganut kepercayaan agama, serta kebebasan

menyampaikan gagasan dan pendapat – deklarasi ini mengantarkan

hak-hak ini dengan filsafat kebebasan yang jelas.

Pasal 2 Deklarasi menyatakan, bahwa “sasaran setiap asosiasi

politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dam tidak dapat

dicabut. Hak-hak ini adalah (hak atas) Kebebasan (Liberty), Harta (Property), Keamanan (Safety), dan Perlawanan terhadap Penindasan

(Resistance to Oppression).

Sejumlah tema dan konsep yang berulang kali muncul dalam

undang-undang hak asasi manusia berasal dari Revolusi Amerika dan

Prancis. Yang paling penting diantaranya adalah, bahwa hak-hak itu secara

kodrati inheren, universal dan tidak dapat dicabut; hak-hak itu dimiliki

oleh individu semata-mata karena mereka adalah manusia dan bukan

karena mereka adalah kawula hukum suatu negara.

Kedua, perlindungan terbaik terhadap hak-hak itu terdapat di dalam

(25)

politis yang dirumuskan oleh para penyusun Deklarasi Prancis

menegaskan bahwa perlindungan hak yang efektif hanya akan dijumpai di

dalam batas-batas legitimasi yang demokratis. Ketiga, bahwa batas-batas

pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh undang-undang,

dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi hak-hak individu,

pemerintah wajib mematuhi persyaratan hukum yang konstitusional.

Konsep ini juga mengharuskan pemerintah bertindak sesuai dengan

undang-undang, dan undang-undang yang dijadikan dasar tindakan

pemerintah itu tidak bersifat menindas, sewenang-wenang, atau

diskriminatif. Tentu saja, kita tidak boleh melupakan bahwa revolusi yang

melahirkan cita-cita dan asas-asas yang luhur ini juga melahirkan masa

teror.

b. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Dunia

Apapun juga debat teoretis atau doktriner mengenai dasar-dasar

revolusi Inggris, Amerika, Prancis, yang jelas, masing-masing revolusi itu,

dengan caranya sendiri-sendiri, telah membantu perkembangan

bentuk-bentuk demokrasi liberal dimana hak-hak tertentu dianggap sebagai hal

terpenting dalam melindungi individu terhadap kecendrungan ke arah

otoriterisme yang melekat pada negara. Yang penting mengenai hak-hak yang

diproteksi itu adalah bahwa hak-hak ini bersifat individualistis dan

(26)

Dalam bahasa modern, hak-hak ini akan disebut hak sipil dan politik,

karena hak-hak ini terutama mengenai hubungan individu dengan

organ-organ negara. Begitu besar kekuatan ide-ide revolusioner ini, sehingga hanya

sedikit konstitusi tertulis modern yang tidak menyatakan akan melindungi

hak-hak individu ini.

Tetapi, bukan hanya hak sipil dan politik yang dilindungi oleh

konstitusi-konstitusi modern dan hukum internasional masa kini. Berbagai

macam hak ekonomi, sosial, budaya, dan yang lainnya, juga menjadi subjek

berbagai bentuk perlindungan. Karel Vasak telah mencoba mengelompokkan

perkembangan hak asasi manusia menurut slogan “Kebebasan, Persamaan,

dan Persaudaraan” dari Revolusi Prancis.8

Menurut Vasak, masing-masing kata slogan ini, sedikit banyak

mencerminkan perkembangan dan kategori-kategori atau generasi-generasi

hak yang berbeda. “Kebebasan”, atau hak-hak generasi pertama, diwakili oleh

hak sipil dan politik: hak individu untuk bebas dari campur tangan negara

yang sewenang-wenang.

“Persamaan”, atau hak-hak-hak generasi kedua, sejajar dengan

perlindungan bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya: hak atas terciptanya oleh

negara kondisi yang akan memungkinkan setiap individu mengembangkan

kemampuannya sampai maksimal. “Hak atas”, yang menjadi ciri generasi

8

(27)

kedua ini, mewajibkan negara untuk menyusun dan menjalankan

program-program bagi pelaksanaan sepenuhnya hak-hak ini.

Hak ekonomi, sosial, dan budaya kadang-kadang dianggap sebagai

suatu warisan sosialis, atau sebagai hak derivatif (turunan) yang tidak layak

menyandang nama itu. Namun, hak semacam itu dilindungi dalam konstitusi

domestik Uni Soviet, Meksiko, dan Jerman pada awal abad ke-20, dan sejak

itu, telah dicantumkan pula dalam sejumlah konstitusi domestik lain, dan

secara eksplisit diakui oleh hukum internasional.

“Persaudaraan”, hak generasi ketiga atau hak solidaritas, merupakan

kategori hak yang terbaru dan paling kontroversial. Hak ini dibela dengan

gigih oleh negara-negara berkembang yang mengingin terciptanya suatu

tatanan ekonomi dan hukum internasional yang akan menjamin hak atas

pembangunan, hak atas bantuan untuk penanggulan bencana, hak atas

perdamaian, dan hak atas lingkungan hidup yang baik. Jelaslah, pelaksanaan

hak-hak semacam itu – jika itu memang hak – akan bergantung pada

kerjasama internasional, dan bukan sekadar langkah konstitusional suatu

negara.

Dari pemaparan sejarah, tampak bahwa pengertian hak asasi manusia

telah beralih dari semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi individu

dalam menghadapi absolutisme negara, kepada penciptaan kondisi sosial dan

ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu mengembangkan

(28)

Dalam kata-kata Szabo, tujuan hak asasi manusia adalah

“mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap

penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara, dan pada

waktu yang bersamaan, mendorong perkembangan pribadi manusia yang

multidimensional.”

Akan tampak juga, bahwa pengertian hak asasi manusia tidaklah statis

melainkan dinamis, dan mungkin sekali akan ada banyak perdebatan

mengenai apakah kepentingan-kepentingan tertentu layak untuk digolongkan

sebagai hak dalam arti yang sebenarnya – apapun artinya. Proses dialektis

yang digunakan untuk menetapkan klaim atau kepentingan yang dapat

dilindungi dan yang tidak, sangatlah menentukan apabila hak dianggap

mempunyai suatu kualitas yang secara mendasar berbeda dari peraturan

hukum yang lain.

1. Perkembangan Hak Asasi Manusia Sebelum Perang Dunia II

1.) Individu dalam sistem internasional

Meskipun asal usul hukum hak asasi manusia dapat ditelusuri

hingga konstitusionalisme revolusioner abad ke-17 dan ke-18, barulah

pada akhir Perang Dunia II, masyarakat internasional mulai menaruh minat

pada promosi dan proteksi terhadap hak-hak semacam itu lewat hukum

internasionl. Pada waktu itu, hukum internasional hanya merupakan

(29)

Negara merupakan subjek sistem hukum internasional. Negara

dapat menetapkan aturan untuk kebaikan individu, namun

aturan-aturan semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu

itu, dan juga tidak dapat dipaksakan melalui mekanisme prosedur apapun.

Individu sebagai kawula negara, tunduk pada kewenangan pemerintah

mereka sepenuhnya, dan negara-negara lain. Pada umumnya, tidak

mempunyai hak yang sah untuk mengintervensi guna melindungi mereka

seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena.

Tetapi, posisi warga negara asing dalam suatu negara sedikit

berbeda. Dalam kondisi tertentu, negara orang asing itu, berdasarkan

hukum internasional, berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan

rumah yang melanggar aturan. Biasanya hal ini terjadi ketika orang

tersebut mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat

pemerintah, misalnya polisi, dan negara tersebut belum mengambil

tindakan perbaikan.

Negara-negara barat juga berargumentasi bahwa seharusnya ada

suatu standar perlakuan internasional yang minimal terhadap warga negara

yang berpergian keluar negeri, sehingga perlakuan suatu negara terhadap

mereka dapat di nilai dari standar tersebut. Tetapi, negara-negara

berkembang menolak usul ini dengan mengatakan bahwa warga negara

asing di suatu negara tidak dapat mengharapkan standar perlakuan yang

baik ketimbang yang diberikan kepada warga negara yang ada di negara

(30)

Bagaimana pun juga, dapat dikemukakan bahwa perselisihan

mengenai mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan telah

diambil alih oleh perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi

manusia internasional. Tujuan utama pengakuan negara semacam itu

bukanlah mendapatkan kompensasi bagi warga negara yang dirugikan,

melainkan membela hak-hak negara itu, yang secara tidak langsung telah

dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap warga negaranya.

2.) Intervensi kemanusiaan

Kendati posisi warga negara asing dalam hukum internasional

adalah seperti itu, proposisi umum tetap menyatakan bahwa sebelum

Piagam PBB berlaku, individu pada dasarnya tetap tunduk terhadap

penguasa mereka. Suatu pengecualian terhadap dalil ini adalah apa yang

disebut sebagai intervensi kemanusiaan.

Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer

untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduk dalam suatu negara

lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan rakyatnya sedemikian

rupa sehingga “menyangkal hak asasi mereka dan menggoncangkan hati

nurani umat manusia”.9

3.) Penghapusan perbudakan

Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah terjadi

perkembangan kemanusiaan tertentu pada hukum internasional,

diantaranya adalah penghapusan perdagangan perbudakan. Meskipun

9

Oppenheim, International Law, Vol. 1: Peace, di sunting oleh H. Lauterpacht (London:

(31)

ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara

komersial telah menjadi kurang menarik bagi negara-negara Eropa

dibanding masa sebelumnya, penghapusan perbudakan juga merupakan

suatu bentuk kepedulian kemanusiaan.

Praktek perbudakan berawal dari larangan dalam Traktat

Perdamaian Paris pada tahun 1814 antara Inggris dan Prancis, namun 50

tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi

Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang

berdasarkan asas-asas hukum internasional”. Aksi internasional menentang

perbudakan dan perdagangan budak berlanjut sepanjang abad 20.

Liga Bangsa-Bangsa mensahkan Konvensi untuk Melenyapkan

Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 192610 dan melarang praktek perbudakan di daerah-daerah bekas koloni Jerman dan Turki yang

berada di bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang

Dunia I. Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional

utama yang melarang praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah

diamandemenkan dengan suatu protokol pada tahun 195311, dan pada tahun 195612 diberikan tambahan mengenai definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.

10

60 Leagues of Nations Treaty Series 253; United Kingdom Treaty Series 16 (1927)

11

212 United Nations Treaty Series 17; United Kingdom Treaty Series 24 (1956)

12

(32)

4.) Palang Merah

Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional

pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah

Internasional (1863) dan usaha organisasi ini dalam mendukung dua

konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan

terhadap tawanan perang. Karya Palang Merah Internasional ini berlanjut

melewati dua perang dunia dan sesudahnya, dan badan ini telah

mendukung sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status

dan perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan pembatasan

terhadap cara-cara berperang.

5.) Organisasi Buruh Internasional (ILO)

Upaya-upaya kemanusiaan pada awal abad ke-20 sebagian besar

berkaitan dengan penyelesaian internasional pasca Perang Dunia I.

Organisasi Buruh Internasional, yang dibentuk berdasarkan Traktat

Versailles (1919) 13

International Labour Organisation (ILO) yang pada tahun 1946 menjadi badan khusus PBB

, merupakan reaksi kepedulian Sekutu mengenai

keadilan sosial dan standar perlakuan terhadap kaum buruh industri, yang

terutama diilhami oleh Revolusi Bolshewik tahun 1917.

14

13

United Kingdom Treaty Series 4 (1919); 13 American Journal of International Law suppl. 151; 16 American Journal of International Law suppl.207

, dapat dianggap sebagai pendahulu sistem

proteksi terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya. ILO telah mendukung

lebih dari 150 konvensi, yang diantaranya menyangkut kondisi kerja,

14

United Kingdom Treaty Series 47 (1948); 31 American Journal of International Law suppl. 67

(33)

remunerasi, kerja paksa dan buruh kanak-kanak, pemberian libur dan

jaminan sosial, diskriminasi dan hak-hak serikat buruh. Aktivitas ILO

berlanjut sampai sekarang, dan organisasi ini termasuk dalam kelompok

lembaga hak asasi yang penting, meskipun karyanya jarang menarik

perhatian yang selayaknya.

6.) Liga Bangsa-Bangsa

Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional yang

didirikan setelah Perang Dunia I sebagai sistem yang akan menjamin

perdamaian dan keamanan, dan memperlancar kerjasama internasional,

tidak membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi manusia.

Namun, dokumen pendirian Liga Bangsa-Bangsa yang disebut Kovenan

mewajibkan negara-negara anggota untuk berupaya ke arah

sasaran-sasaran kemanusiaan tertentu seperti, menetapkan kondisi kerja yang

manusiawi bagi individu, larangan memperdagangkan wanita dan

anak-anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil

terhadap penduduk pribumi dan daerah jajahan.

Terciptanya sistem mandat di bawah Liga Bangsa-Bangsa ini

mungkin merupakan salah satu prestasi kemanusiaan yang besar dari

organisasi internasional ini. Di bawah sistem ini, “suatu kepercayaan yang

suci dari peradaban” diserahkan kepada negara-negara pengawas untuk

mengantarkan daerah-daerah mandat itu sampai mereka memiliki

pemerintahan sendiri. Bahasa paternalistik dari Kovenan tersebut boleh

(34)

diharuskan menjamin tiadanya diskriminasi rasial dan agama di

daerah-daerah yang berada di bawah perwaliannya.

Ternyata, beberapa daerah mandat mencapai kemerdekaannya

sebelum Perang Dunia II dan dua wilayah yaitu Palestina dan Namibia

menciptakan masalah internasional yang cukup lama. Daerah-daerah

mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II

selanjutnya dialihkan kepada sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB

7.) Traktat mengenai kaum minoritas

Berbagai traktat yang disepakati setelah Perang Dunia I banyak

memuat ketentuan yang melindungi kaum minoritas. Sementara

penyelesaian perdamaian pasca perang berupaya menghormati prinsip

penentuan nasib sendiri yang didasarkan pada konsep kohesi nasional,

menjadi jelas bahwa pembentukan kembali Polandia dan penciptaan

negara-negara pengganti Kekaisaran Austria-Hongaria yang lama,

melahirkan tapal-tapal batas negara yang pasti akan menciptakan

perpecahan di kalangan kelompok penduduk tertentu, dan memaksa

mereka hidup sebagai kaum minoritas etnis, bahasa atau agama di

negara-negara baru tersebut.

Oleh karena itu, sejumlah traktat untuk menjamin proteksi terhadap

hak sipil dan politik dan kaum minoritas dibuat antara Sekutu dan

negara-negara ini. Sementara traktat-traktat khusus yang melindungi kaum

(35)

ketentuan-ketentuanmengenai proteksi bagi kaum minoritas dimasukkan

dalam traktat-traktat perdamaian dengan Austria, Hongaria dan Turki.

Disamping traktat-traktat ini, beberapa negara tertentu yakni,

Finlandia, Albania, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Irak membuat deklarasi

yang melindungi kaum minoritas di dalam negeri mereka, sebagai syarat

untuk menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa juga

menjalankan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan

kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian internasional.

Sebuah prosedur yang memungkinkan kelompok minoritas yang

merasa dilanggar haknya untuk mengadukan masalahnya kepada Dewan

Liga Bangsa-Bangsa ini ditetapkan. Kemudian, Dewan dapat mengajukan

masalah itu kepada suatu Komite ad hoc mengenai Kaum Minorits yang akan mendamaikan dan mencoba menyelesaikan masalah itu secara

bersahabat di antara para pihak itu. Jika penyelesaian tidak kunjung

tercapai, Dewan yang lengkap boleh menyelesaikan masalah itu sendiri,

atau meneruskannya ke Mahkamah Internasional yang bersifat permanen

untuk diputuskan.

Traktat-traktat yang memproteksi kaum minoritasini jelas

menyangkut masalah hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu. Tujuan

utama traktat-traktat itu adalah memastikan perlakuan yang sama bagi

minoritas etnis, agama dan bahasa di negara-negara tersebut, dan

(36)

itu melestarikan dan mengembangkan identitas mereka sendiri yang khas

di dalam kerangka negara kebangsaan itu.

Tampak juga dari negara-negara yang menandatangani

traktat-traktat itu, bahwa adanya minoritas di dalam suatu negara mereka terbukti

merupakan tanah subur untuk persengketaan sepanjang abad ke-20.

Sementara nilai traktat hak asasi manusia dalam pengeritian individu dan

kebebasan yang klasik, traktat-traktat itu sangat penting karena di dalam

konteks Liga Bangsa-Bangsa mereka menjadi dasar bagi hak kelompok,

yang terdiri dari individu-individu, untuk menyampaikan petisi menurut

hukum internasional. Terlihat adanya tunas dari hak individu, berdasarkan

hukum internasional, untuk mengajukan petisi terhadap suatu lembaga

pengawasan dan proteksi internasional.

2. Perkembangan Hak Asasi Manusia Setelah Perang Dunia II

1.) Perserikatan Bangsa-Bangsa

Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum

kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya

selama abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, barulah seusai

malapetaka Perang Dunia II, hukum hak asasi internasional berkembang

dengan cara yang mantap dan jelas. Kekejaman Nazi terhadap

penduduknya sendiri di Jerman dan terhadap rakyat di wilayah yang

ditaklukkannya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usai pun,

Sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus

(37)

Mereka menganggap komitmen ini sebagai prasyarat yang perlu

untuk menciptakan orde internasional yang adil dan mantap di bawah

naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sedang

direncanakan. Tidak ada lagi negara yang bisa berkilah bahwa cara mereka

memperlakukan warga negaranya sendiri semata-mata merupakan urusan

dalam negeri mereka; sebaliknya perlakuan terhadap individu-individu itu

bilamana perlindungan nasional terhadap hak itu tidak memadai, menjadi

kepedulian masyarakat internasional.

Ironinya adalah, sementara Uni Soviet mengutuk pembantaian

besar-besaran yang dilakukan Nazi, Stalin sendiri sejak sebelum perang,

telah secara sistematis melanggar hak-hak rakyatnya sendiri dengan

membuang sekitar lima juta lawan politiknya dan memaksakan

kolektivisasi terhadap sejumlah besar petani. Dalam hal ini, Uni Soviet

secara sah dapat juga berkilah bahwa masalah itu sepenuhnya berada di

dalam yurisdiksi domestiknya.

Meskipun demikian, Piagam Pengadilan Militer Internasional di

Nuremberg15

15

5 United Nations Treaty Series 251; United Kingdom Treaty Series 4 (1945); (1945) 39 American Journal of International Law suppl. 257

yang dibuat Sekutu (termasuk Uni Soviet) untuk mengadili

penjahat perang Nazi berdasarkan hukum internasional yang ada pada

awal Perang Dunia II, menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan

adalah kejahatan menurut hukum internasional. Kendati pertimbangan

pengadilan ini dalam pernyataan itu boleh jadi mengandung kelemahan,

(38)

cara suatu negara memperlakukan warga negaranya sendiri kini telah

menjadi kepedulian internasional yang sah.

2.) Piagam PBB dan Deklarasi Universal

Meskipun pasal 2 ayat 7 Piagam PBB menegaskan kembali asas

non-intervensi oleh PBB dalam masalah-masalah yang pada hakekatnya

termasuk dalam yurisdiksi domestik negara anggota – dengan demikian,

seakan-akan menghalangi intervensi internasional dalam bidang hak asasi

manusia – pasal ini memuat juga beberapa acuan khusus kepada hak asasi.

Mukadimah Piagam menegaskan kembali keyakinan “rakyat-rakyat PBB”

pada “hak-hak manusia yang asasi, pada martabat dan harga diri manusia”

dan pada “hak-hak yang sama bagi pria dan wanita”.

Bahasa yang dipakai untuk penegasan ini menarik, karena ia lebih

dulu mengakui adanya hak asasi manusia sebelum hak itu dimasukkan dan

ditegakkan dalam Piagam, yang pada waktu itu – minimal dalam

pengertian hukum positif – akan tampak sebagai klaim yang meragukan.

Piagam ini di pasal 1, juga menyebutkan salah satu tujuannya yakni

“meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan

yang fundamental bagi semua orang”.

Aktivitas PBB untuk membantu perkembangan hak asasi

manusiajuga diperkuat dengan Pasal 55, dan menurut Pasal 56,

negara-negara anggota berikrar untuk mengambil tindakan secara bersama-sama

atau sendiri-sendiri dalam kerjasama dengan PBB untuk mencapai tujuan

(39)

Beberapa ketentuan lain, mengenai berbagai kompetensi

kelembagaan di dalam Piagam ini juga mengacu hak asasi manusia sebagai

sebuah kategori umum. Oleh karena itu, meskipun Piagam PBB tampak

mengakui adanya lebih dulu fenomena yang dikenal sebagai hak asasi

manusia itu, Piagam ini tidak memuat daftar hak-hak semacam itu, dan

juga tidak mengacu pada sesuatu sumber yang menyebutkan secara tepat

hak-hak itu.

3.) Kovenan-kovenan internasional

Sejak awal Majelis Umum PBB telah menyatakan bahwa Deklarasi

Universal tidak dimaksudkan untuk menciptakan kewajiban yang

mengikat negara-negara anggota secara hukum, dan sejalan dengan itu ia

lalu memberi mandat kepada CHR untuk menyempurnakan perumusan

naskah sebuah traktat yang secara internasional mengikat, yang tidak

hanya mengubah hak-hak yang disebutkan dalam Deklarasi itu menjadi

hukum positif, tetapi juga akan menetapkan lembaga dan mekanisme bagi

pengawasan dan pelaksanaannya.

Hal yang sangat disayangkan adalah tugas ini terbukti lebih sukar

dari yang dibayangkan semula, karena timbul perselisihan pendapat

diantara anggota-anggota Komisi mengenai hubungan antara hak sipil dan

politik di satu pihak dengan hak sosial dan ekonomi di lain pihak, dan juga

mengenai sarana yang tepat untuk pelaksanaan-pengawasan, dan

(40)

Pada akhirnya diputuskan bahwa sebagai pengganti satu traktat

atau kovenan tunggal yang sedang disusun untuk melindungi kedua

kategori hak, akan disiapkan dua kovenan yang masing-masing berdiri

sendiri yaitu, ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights

– Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik)16 dan ICESCR (International Covenant on Economic and Social Rights – Kovenan

Internasional mengenai Hak Ekonomi dan Sosial) 17

Perbedaan yang mencolok antara kedua kovenan itu adalah,

sementara Pasal 2 ICCPR menetapkan bahwa hak-hak yang dilindungi itu

akan dihormati dan segera dijamin, Pasal ICESCR hanya menetapkan

bahwa negara harus “mengakui” hak-hak yang dimasukkan dalam

Kovenan dan harus mengimplementasikan hak-hak itu secara progresif

sesuai dengan program-program khusus.

siap untuk

ditandatangani pada tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun

kemudian, yakni pada tahun 1976.

Perbedaan lain yang juga sangat penting: ICCPR menetapkan

bahwa Komite Hak Asasi Manusia (HRC) akan mengawasi implementasi

Kovenan dan menetapkan, melalui suatu protokol fakultatif, suatu

mekanisme yang memungkinkan individu-individu mengajukan petisi ke

HRC, sedangkan ICESCR hanya menyerahkan fungsi pengawasan itu

kepada sebuah badan politik PBB, yaitu ECOSOC.

16

999 United Nations Treaty Series 171; United Kingdom Treaty Series 6 (1977); (1967) 6

International Legal Materials 368

17

993 United Nations Treaty Series 3; United Kingdom Treaty Series 6 (1997); (1967) 6

(41)

4.) Konvensi khusus PBB

Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya memantapkan

sistem “universal” untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi

manusia, PBB juga menjalankan program-program untuk menyusun

instrumen yang secara hukum mengikat guna menangani aspek-aspek hak

asasi manusia yang khusus. Diantara instrumen-instrumen ini adalah

traktat-traktat mengenai pencegahan dan penghukuman terhadap apartheid,

larangan terhadap praktek penyiksaan, kerjasama internasional mengenai

masalah-masalah yang berkaitan dengan pengungsi dan orang-orang tak

bernegara, dan yang terbaru suatu konvensi khusus mengenai hak

anak-anak.

Terdapat pula beberapa langkah dan inisiatif kelembagaan yang

diambil oleh PBB untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi

manusia. ECOSOC telah menetapkan prosedur berdasarkan Resolusi 1235

dan 1503 yang memungkinkan dilakukan penyelidikan terhadap

pelanggaran hak asasi manusia secara kasar dan terus-menerus oleh

negara-negara tertentu.

5.) PBB dan dekolonisasi

Yang terpenting diantara seluruh perkembangan perhatian PBB

terhadap hak asasi manusia, adalah tindakan PBB dalam masalah

dekolonisasi. Sejumlah daerah mandat yang diciptakan oleh Liga

Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I belum memiliki pemerintahan sendiri

(42)

pengalihan daerah-daerah mandat itu kepada suatu sistem perwalian yang

akan mengatur dan menyiapkan kemerdekaan daerah-daerah itu.

Salah satu tujuan pokok sistem perwalian ini, dinyatakan dalam

Pasal 76 (1) (c) Piagam, adalah mendorong penghormatan terhadap hak

asasi manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang. Sistem ini diawasi

oleh PBB melalui Dewan Perwalian. Yang menjadi subjek pengawasan

PBB menurut Bab XI Piagam bukan hanya daerah-daerah mandat pada

masa sebelumnya. Negara-negara dengan koloni atau wilayah yang tak

berpemerintahan sendiri (non selfgoverning territory – NSGT) diwajibkan

untuk memperhatikan sebaik-baiknya kesejahteraan rakyat dalam wilayah

itu membantu kemajuannya.

Negara pengurus diwajibkan melaporkan kepada Sekretaris Jendral

PBB mengenai kemajuan yang dicapai koloni mereka. Sementara Bab XI

tidak memuat kewajiban negara-negara pengurus untuk memberikan

kemerdekaan kepada koloni mereka, namun perkembangan selanjutnya

dalam dasawarsa 1960 sangat meningkatkan momentum bagi dekolonisasi.

Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), yang menjelaskan kewajiban

negara pengurus untuk melapor, disahkan bersama-sama dengan Resolusi

1514 (XV) (Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri dan

Rakyat Jajahan). Resolusi ini menyerukan dekolonisasi segera semua

daerah tak berpemerintahan sendiri lewat pelaksanaan hak untuk

(43)

Terdapat pula seperti kurangnya persiapan dibidang ekonomi dan

pendidikan, tidak boleh menghambat proses itu. Meskipun Piagam PBB

mengacu ke asas penentuan nasib sendiri, piagam itu pasti tidak mengacu

ke suatu hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun, kini pada umumnya

diakui bahwa hak semacam itu terdapat dalam hukum internasional, dan

bahwa pandangan tersebut diperkuat oleh Resolusi 2625 Majelis Umum

(Deklarasi tentang Prinsip-prinsip antara Negara-negara sesuai dengan

Piagam PBB) yang dianggap sebagai suatu pernyataan mengenai hukum

kebiasaan internasional yang sesuai dengan situasi dan oleh Pasal 1 dari

kedua kovenan internasional yang menetapkan bahwa “semua rakyat

mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.”

Dasar pemikiran untuk memasukkan hak ini yang jelas merupakan

hak kolektif, adalah bahwa penduduk yang berada di bawah dominasi

asing melalui lembaga kolonialisme adalah tidak bebas, sehingga setiap

gagasan mengenai pemenuhan hak-hak individu atau hak-hak yang lain

dalam konteks tersebut tidak akan ada maknanya.

Apakah hak menentukan nasib sendiri itu meluas melampaui hak

atas dekolonisasi, atau meluas ke hak minoritas untuk memisahkan diri,

masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab, meskipun isi resolusi

2625 tampaknya akan mendukung hal ini apabila minoritas tersebut

diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintah negara itu.

Tentu saja, dekolonisasi besar-besaran oleh negara-negara bekas

(44)

baru, terutama di bagian negara-negara berkembang, telah mengubah

konteks perdebatan politik dan hukum internasional dengan tuntutan

mereka yang gigih agar sistem internasional ditata kembali sesuai dengan

kebutuhan mereka.

6.) Proses Helsinki

Suatu perkembangan internasional yang patut disebut, yang terjadi

selama periode detente (peredaan ketegangan) antara Blok Barat dan Blok Timur pada awal dasawarsa 1970, adalah Konferensi mengenai Keamanan

dan Kerjasama di Eropa, yang juga dikenal sebagai Proses Helsinki (nama

ibukota Finlandia, tempat berlangsungnya konferensi pada tahun 1973).

Meskipun fungsi utama Proses Helsinki adalah membangun

kerangka untuk mengembangkan perdamaian dan keamanan di Eropa,

konferensi ini juga menghasilkan pemikiran-pemikiran formal mengenai

isu hak asasi manusia. Sementara Uni Soviet berkepentingan agar

tapal-tapal batasnya di sebelah barat diakui, pihak Barat berusaha memperoleh

komitmen tentang hak asasi manusia dari Blok Timur sebagai gantinya.

Akta Akhir Konferensi ini18

18

(1975) 14 International Legal Materials 1292

yang jelas dinyatakan sebagai tidak

mengikat, menyatakan tekad pemerintah peserta untuk menghormati dan

mempraktekkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan

yang fundamental, termasuk kebebasan berpikir, kebebasan berhati nurani,

(45)

Mereka juga memutuskan dengan tegas bahwa mereka akan

menghormati hak-hak rakyat dan hak mereka untuk menentukan nasib

sendiri. Meskipun Akta Akhir jelas bukan merupakan instrumen yang

mengikat secara hukum, akta ini jelas membantu praktek negara dalam

bidang hak asasi manusia karena ia menegaskan norma-norma hak asasi

yang telah diakui. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Akta itu telah

menyumbang kepada hukum kebiasaan internasional dibidang hak asasi

manusia.

Hal yang cukup penting dalam Proses Helsinki ini adalah fakta

bahwa Akta Akhir Konferensi ini menetapkan, bahwa penilaian terhadap

komitmen-komitmen yang diberikan akan dilakukan melalui serangkaian

konferensi penilaian. Dengan ini terciptalah struktur lembaga yang

memungkinkan penilaian terhadap niat yang dinyatakan oleh pihak-pihak

peserta itu, termasuk perwujudan rasa hormat terhadap hak asasi manusia.

Proses Helsinki dilanjutkan di Madrid, dan setelah itu di Paris pada

tahun 1990. Pada pertemuan ini “Piagam Paris untuk Eropa Baru” di

sahkan. Dalam piagam ini 34 negara peserta menyatakan bahwa:19

Hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental merupakan

hak semua manusia yang diperoleh sejak lahir, tidak dapat dicabut dan

dijamin oleh undang-undang. Proteksi dan promosi hak-hak ini

merupakan tanggung jawab pertama Pemerintah. Penghormatan

19

(46)

terhadap hak ini merupakan jaminan yang esensial dalam menghadapi

negara yang terlalu kuat.

Selanjutnya ada komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan

yang demokratis dan pluralisme politik, serta sebuah daftar mengenai hak

sipil dan politik yang individual, yang menjadi hak setiap orang tanpa

terkecuali. Meskipun Piagam Paris secara hukum juga tidak mengikat,

namun piagam ini juga menandai fakta-fakt bahwa bekas negara-nega

blok Komunis itu telah memperlihatkan komitmen mereka terhadap

prinsip-prinsip liberal-demokratis yang luhur.

B. Hak Asasi Manusia Menurut Universal Declaration Of Human Rights

Seperti yang kita ketahui, Deklarasi Universal disahkan dalam rangka

mengatasi kegagalan para anggota PBB untuk mencapai kata sepakat mengenai

dimasukkannya sebuah katalog tentang hak asasi manusia yang dapat dilindungi

ke dalam Piagam itu sendiri. Deklarasi itu disetujui sebagai sebuah resolusi biasa

dari Majelis Umum dan karenanya, dalam artian teknis tidak mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat.

Apalagi Byelorusia, Cekoslowakia, Polandia, Arab Saudi, Afrika Selatan,

Ukraina, Uni Soviet dan Yugoslavia abstain, meskipun tidak ada suara yang

menentang Deklarasi itu. Meskipun keabstainan itu terutama disebabkan oleh

ideologi yang bertentangan dengan ideologi yang dinyatakan dalam kategori

hak-hak individual yang tedapat dalam Deklarasi, Afrika Selatan maupun Arab Saudi

juga menyatakan kekuatiran bahwa pada akhirnya Deklarasi itu dapat digunakan

(47)

Namun, apa status hukum Deklarasi dewasa ini? Ada beberapa jawaban

yang dapat diajukan untuk pertanyaan ini, yang secara berurutan mempunyai

makna normatif yang makin besar. Pertama, boleh jadi Deklarasi tetap berstatus

sebagai resolusi yang tidak mengikat. Tetapi mengingat

perkembangan-perkembangan dalam praktek PBB maupun negara di kemudian hari, posisi

minimalis ini tidak mungkin benar.

Kedua, dapat diargumentasikan bahwa Deklarasi itu merupakan tafsiran

resmi terhadap Piagam oleh salah satu organnya yang berwenang, yaitu Majelis

Umum. Argumen ini sangat masuk akal karena bahasa Mukadimah Deklarasi

menunjukkan bahwa Deklarasi itu disetujui untuk mengefektifkan kewajiban yang

tercantum dalam Pasal 55 dan 56 Piagam itu.

Ketiga, dapat dikatakan bahwa Deklarasi itu sekarang telah menjadi bagian

dari prinsip-prinsip hukum yang umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.

Dalam hal ini akan sukar dibantah, karena hampir semua undang-undang dasar

dalam dunia modern memuat suatu komitmen untuk melindungi hak asasi

manusia dan daftar mengenai hak-hak yang akan dilindungi.

Keempat, setelah berusia lebih dari 40 tahun, Deklarasi itu dapat dikatakan

telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. Ada banyak bukti yang

mendukung pandangan ini. Banyak praktek negara mengindikasikan bahwa

Deklarasi itu merupakan patokan untuk mengukur standar hak asasi manusia

(48)

Termasuk dalam praktek negara adalah resolusi organisasi dan lembaga

internasional, pernyataan lembaga eksekutif, keikutsertaan dalam berbagai traktat

hak asasi manusia, seperti dinyatakan dengan jelas dalam Deklarasi, secara hukum

mengikat. Tetapi, kesimpulan yang paling penting barangkali adalah bahwa

Komisi Hak Asasi Manusia PBB diberi wewenang untuk menggunakan Deklarasi

guna menetapkan apakah ada pelanggaran kasar terhadap hak asasi manusia

dalam skala besar di negara-negara yang catatan hak asasinya sedang diteliti oleh

Komisi tersebut.

Beberapa pengamat akan mengajukan proposisi melampaui proposisi dasar

bahwa Deklarasi mewakili hukum kebiasaan internasional dengan menyatakan

bahwa deklarasi itu sekarang memiliki ciri-ciri Jus cogens yaitu norma-norma

yang harus dipatuhi dan tidak boleh dikurangi. Meskipun hak-hak tertentu yang

tercantum dalam Deklarasi, misalnya larangan terhadap perbudakan, memang

mempunyai sifat Jus Cogens, namun tidak semua ketetapannya bersifat demikian,

khususnya ketetapan yang mengizinkan pembatasan hak dalam kondisi tertentu.

Seandainya argumen bahwa deklarasi mewakili hukum kebiasaan

internasional diterima, maka semua negara secara hukum terikat untuk

memberikan hak asasi yang disebutkan kepada individu-individu yang berada

dalam yurisdiksinya. Sekalipun hal ini merupakan posisi teoretis yang

menyenangkan untuk disetujui, namun ada sejumlah masalah praktis yang

(49)

Pertama, hak-hak di dalam Deklarasi itu mencakup campuran hak-hak

generasi pertama, kedua, dan ketiga. Semua jenis hak ini dirumuskan sebagai

perintah yang pasti dan mendesak kepada negara-negara. Misalnya terdapat dalam

Pasal 3 yaitu hanya menyatakan “Semua orang mempunyai hak untuk hidup, hak

atas kebebasan dan keamanan pribadi.” Sebagai suatu pernyataan umum

mengenai hak asasi, rumusan ini tidak dapat disanggah.

Masalah kedua berkaitan erat dengan yang pertama. Tidak ada lembaga

secara khusus diberi kewenangan untuk menafsirkan atau menerapkan Deklarasi.

Terlepas dari masalah-masalah itu, sejumlah organ PBB, badan internasional

maupun pengadilan domestik tampaknya cukup diyakinkan bahwa beberapa hak

yang dinyatakan dalam Deklarasi, betapapun sedikitnya pernyataan itu, cukup

cermat untuk diterapkan secara umum.

Potensi politis dan moral Deklarasi itu hendaknya juga tidak diabaikan.

Deklarasi itu tidak hanya menjadi dasar penyusunan dua kovenan internasional

dan tiga traktat regional tentang hak asasi manusia, tetapi juga telah menjadi

paradigma untuk menyusun ketetapan hak asasi manusia bagi lebih dari 25

konstitusi domestik. Negara, lembaga internasional, Lembaga Swadaya

Masyarakat dan juga individu sering kali memandang Deklarasi itu sebagai batu

ujian bagi hak asasi manusia. Bahkan, John Humphrey pernah menyebut

(50)

C. Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Kovenan Internasional Hak

Sipil Dan Politik (ICCPR) Tahun 1966

Apabila Deklarasi Universal dirumuskan sebagai perintah yang harus

dipatuhi kepada negara-negara untuk melindungi hak-hak tertentu, ICCPR

disusun untuk menjawab masalah-masalah praktis dalam hal perlindungan hak

asasi. Demikianlah, Kovenan ini menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak yang

dapat dilindungi dan menyatakan dengan cukup jelas pembatasan yang dapat

dikenakan terhadap penggunaan hak-hak tertentu dalam keadaan tertentu.

Selain itu, hak-hak yang tercantum dalam ICCPR tidak sepenuhnya sesuai

dengan hak-hak yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal. Dalam Kovenan

itu dicantumkan kewajiban negara untuk mengizinkan individu-individu yang

merupakan anggota suatu minoritas etnis, agama atau bahasa “untuk menikmati

kebudayaan mereka, menyatakan dan mempraktekkan agama mereka atau

menggunakan bahasa mereka sendiri” dalam komunitas bersama dengan

anggota-anggota lain kelompok itu (Pasal 27).

Hal lainnya yang dicantumkan adalah hak untuk bebas dari hukuman

penjara karena gagal memenuhi kewajiban kontrak (Pasal 11); hak semua orang

hukuman untuk diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat

mereka sebagai manusia (Pasal 10 (1)); dan hak atas perlindungan istimewa untuk

anak-anak (Pasal 24). Yang tidak dimasukkan dalam Kovenan ini adalah hak

suaka, hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan, dan hak untuk memiliki

(51)

Meskipun beberapa hak yang dilindungi oleh Kovenan itu tidak boleh

dibatasi dalam keadaan apapun juga, namun Pasal 4 menetapkan bahwa “dalam

masa darurat yang bersifat umum yang mengancam kehidupan bangsa itu”

hak-hak yang lain dapat dibatasi asalkan pembatasan itu sebanding dengan ancaman

yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif.

Pembatasan hak harus juga segara diinformasikan secara tertulis kepada

negara-negara peserta kovenan yang lain melalui Sekretaris Jendral PBB, dengan

disertai alasan mengapa hal itu dilakukan. Beberapa hak tertentu juga tunduk pada

apa yang dinamakan oleh Profesor Rosalyn Higgins sebagai ketentuan

clawback”, yang mengizinkan dikenakannya pembatasan hak demi melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum atau hak serta

kebebasan asasi orang-orang lain.20

Ketentuan ini memberikan kepada suatu negara batas keleluasaan yang

lebih besar – suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan, namun hal ini

diimbangi dengan Pasal 5 (1) yang memasukkan unsur keseimbangan. Pasal ini

menetapkan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang

ditetapkan Kovenan ini”.

Menurut Pasal 2 (1) Kovenan itu, negara0negara peserta diwajibkan untuk

“menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang

diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam apapun. Apabila

hak-hak semacam itu belum dihormati dan dijamin dalam yurisdiksi suatu negara,

20

Referensi

Dokumen terkait

Hak Pelaku Usaha untuk menerima pembayaran sesuai dengan kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan, menunjukkan bahwa pelaku usaha tidak

Hal tersebut sesuai dengan definisi masyarakat yang merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat- istiadat tertentu yang

Tujuan studi kasus ini adalah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien pneumonia dengan masalah gangguan prtukaran gas?. Desain penelitian ini menggunakan

Pengaruh Perilaku Keberagamaan Orang Tua terhadap Motivasi Belajar Pendidikan Agama Islam Anak Kelas VI SDN. Purworejo Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal Tahun Pelajaran

ANALISIS PENGUASAAN PENGETAHUAN HASIL PENYULUHAN PEND EWASAAN USIA PERKAWINAN D ALAM PROGRAM GENERASI BERENCANA PAD A REMAJA D I SMP NEGERI 39 BAND UNG.. Universitas

[r]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) penerapan model pembelajaran tutor teman sejawat berbasis internet terbukti efektif dalam meningkatkan aktivitas belajar

Ucapan ribuan syukur penulis panjatkan atas semua karunia-Nya ini, karena hanya dengan izin-Nya penulis akhirnya bisa menyelesaikan tesis yang berjudu l “ Hubungan