PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN HAK ASASI
MANUSIA (HAM) BERAT DI KOREA UTARA MENURUT
HUKUM INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir
Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
090200033
NELLA OCTAVIANY SIREGAR
DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN HAK ASASI
MANUSIA (HAM) BERAT DI KOREA UTARA MENURUT
HUKUM INTERNASIONAL
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas Dalam Memenuhi Syarat-
Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
090200033
NELLA OCTAVIANY SIREGAR
DEPARTEMEN : HUKUM INTERNASIONAL
Disetujui oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL
Arif, S.H., M.Hum NIP. 196403301993031002
.
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Chairul Bariah, SH, MHum
NIP. 195612101986012001 NIP. 195710301984031002
Abdul Rahman, SH, MH
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya bagi penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Teriring ucapan shalawat dan salam penulis
sampaikan kepada Rasulullah saw sebagai teladan bagi seluruh umat untuk
mencari ridha Allah dalam melaksanakan berbagai aktifitas, termasuk dalam
penyelesaian skripsi ini.
Skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam
penulisan skripsi ini penulis menyadari terdapat banyak kekurangan, namun
dengan demikian penulis dengan berlapang dada untuk menerima kritik dan saran
yang bersifat membangun dari semua pihak yang menaruhperhatian terhadap
skripsi ini.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah
dengan ikhlas dalam memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak
langsung dalam menyelesaikan skripsi ini dan dorongan moril maupun materil
kepada penulis sehingga skripsi ini dapat di selesaikan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
seluruh mahasiswa/i demi kemajuan dan perkembangan pendidikan hukum
di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu
penulis selama perkuliahan.
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH. MH, DFM selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang banyak membantu
penulis.
4. Bapak Muhammad Husni, SH, MH selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah banyak membantu penulis.
5. Bapak Arif, SH, MH selaku Ketua Departemen Hukum Internasional, yang
telah banyak membantu penulis dan terima kasih juga kepada Bapak Dr.
Jelly Leviza, SH, M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Internasional.
6. Ibu Megarita, SH. M.Hum, CN sebagai dosen wali penulis yang telah
banyak memberikan arahan selama penulis kuliah
7. Ibu Dr. Chairul Bariah, SH, M.Hum sebagai Pembimbing I yang telah
memberikan banyak masukan dan bersedia meluangkan waktunya untuk
membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak Abdul Rahman, SH, MH sebagai Pembimbing II yang telah
memberikan masukan dan bersedia meluangkan waktunya untuk
9. My everything, Papa Ir. H. Abdul Hakim Siregar, MBA dan Mama Dra.
Hj. Farida Hariyani, MBA, MM., thank you so much you always pray for
me, give me support and teach me everything, I love you, Mom, Dad.
Thanks always forgive me and warn me if I wrong.
10.My lovely brothers, Akhmad Irwansyah Siregar, SE, ME dan Ade
Perdana, SE, ME terima kasih karena kalian selalu ada untuk memberikan
doa, dukungan, dan semangat.
11.Seluruh Dosen dan Staf Pengajar di Lingkungan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu serta
pembelajaran kepada penulis dan membantu penulis selama kuliah.
12.Terima kasih kepada sahabat penulis di Fakultas Hukum Sumatera Utara:
Fiqih Hazriah, Maydina Aprilla, Netty Karolin, Joice, Sherly, Esra,
Tommy Elvani, yang selalu ada dan memberikan semangat kepada
penulis.
13.Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan dalam kelompok klinis:
Idham Angga, Deri Facrizal, Dinda Adistya, Anugerah Putra, Rini Sugiani,
dan Novia Andrina serta teman-teman stambuk 2009 lainnya yang
memberikan semangat dan doa kepada penulis.
14.Terima kasih kepada teman-teman International Law Student Association
(ILSA) 2012 atas waktu dan kesempatan untuk mengenal satu sama lain
15.Terima kasih kepada sahabat-sahabat tercinta yang tidak mengenal jarak
dan waktu dan tidak ingat umur, my girls Hanna Theresia Ruthania Alda
Siahaan, Elga Emertha, Eza Emilda, Dina Maulidya, and the only boy Riza
Haviza. I really love you, guys. Terima kasih karena sudah selalu ada
untuk penulis dan memberikan semangat dan doa.
16.Terima kasih kepada adik-adik tercinta Diah, Anisa’ Lubis, Novi, Ricky
Yosepin, Yara Olivia, Meutia, Theresia, Maharany yang selalu
memberikan semangat kepada penulis.
17.Terima kasih kepada kakak-kakak senior dan adik-adik junior stambuk
2010,2011, dan 2012 yang telah banyak memberikan semangat dan doa
kepada penulis.
Akhirnya, tiada mampu penulis rangkaikan kata-kata untuk membalas
semua kebaikan yang telah diberikan berbagai pihak, termasuk yang tidak sempat
disebutkan satu persatu. Semoga ilmu pengetahuan yang selama ini diperoleh
dapat bermakna dan menjadi berkah bagi penulis dalam hal mencapai cita-cita
penulis.
Medan, 12 Oktober 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar………...
Daftar Isi………...
Abstraksi………...
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...1
B. Perumusan Masalah...2
C. Tujuan dan Mamfaat Penelitian ...3
D. Keaslian Penulisan ...4
E. Tinjauan Kepustakaan ...4
F. Metode Penelitian ...6
G. Sistematika Penulisan ………...………... 6
BAB II PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi Manusia di Dunia ...8
B. Hak Asasi Manusia menurut Universal Declaration of Human Rights ...36
BAB III PENGATURAN DALAM PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
A.Jenis-Jenis Pelanggaran Hak Asasi Manusia ...43
B.Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan di dalam International Criminal Court .50
C.Perlindungan Penduduk Sipil menurut Konvensi Jenewa Tahun 1949 ...60
BAB IV PERLINDUNGAN KORBAN PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA (HAM) BERAT DI KOREA UTARA
A.Pengaturan Hak Asasi Manusia di Korea Utara ...70
B.Pengaturan pelanggaran Hak Asasi Manusia di Korea Utara ...79
C.Peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Penegakan Hak Asasi
Manusia terhadap Penduduk Sipil di Korea Utara ...84
BAB V PENUTUP
A.Kesimpulan ...90
B.Saran ...91
ABSTRAK
Dr. Chairul Bariah, SH, MHum∗ Abdul Rahman, SH, MH∗∗ Nella Octaviany Siregar***
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab Negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam piagamnya telah menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia kedalam Piagam PBB yang dsebut The Universal Declaration of Human Rights yang diterima secara aklamasi oleh sidang umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Adanya pelanggaran HAM di Korea Utara seharusnya sudah menjadi tanggung jawab Negara yang bersangkutan disamping itu juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana hak asasi manusia dan pengaturannya di tinjau didalam hukum internasional, pengaturan dalam penegakan hak asasi manusia, perlindungan terhadap korban ham berat di Korea Utara menurut hukum internasional. Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap permasalahan di atas dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisa secara kualitatif.
Korea Utara sebagai salah satu negara yang memiliki catatan hak asasi manusia terburuk. Orang Korea Utara sering disebut sebagai "orang yang paling diperlakukan brutal di dunia", karena beberapa batasan yang ketat diletakkan di atas kebebasan melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap penduduk sipilnya, sehingga dalam hal ini PBB berperan sebagai pelindung terhadap penduduk sipil, sehingga pelaku kejahatan tidak bisa sewenang-wenang dalam memperlakukan penduduk sipilnya.
ABSTRAK
Dr. Chairul Bariah, SH, MHum∗ Abdul Rahman, SH, MH∗∗ Nella Octaviany Siregar***
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal yang harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab Negara pula jaminan atas penegakan hukum terhadap pelanggaran prinsip-prinsip HAM. PBB sebagai sebuah organisasi internasional dalam piagamnya telah menempatkan penghormatan dan penghargaan akan hak-hak asasi manusia kedalam Piagam PBB yang dsebut The Universal Declaration of Human Rights yang diterima secara aklamasi oleh sidang umum Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Adanya pelanggaran HAM di Korea Utara seharusnya sudah menjadi tanggung jawab Negara yang bersangkutan disamping itu juga merupakan tanggung jawab bersama masyarakat internasional.
Permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah bagaimana hak asasi manusia dan pengaturannya di tinjau didalam hukum internasional, pengaturan dalam penegakan hak asasi manusia, perlindungan terhadap korban ham berat di Korea Utara menurut hukum internasional. Untuk mendukung pembahasan dan analisa terhadap permasalahan di atas dilakukan pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (library research) dan dianalisa secara kualitatif.
Korea Utara sebagai salah satu negara yang memiliki catatan hak asasi manusia terburuk. Orang Korea Utara sering disebut sebagai "orang yang paling diperlakukan brutal di dunia", karena beberapa batasan yang ketat diletakkan di atas kebebasan melakukan pelanggaran HAM dalam bentuk kejahatan kemanusiaan terhadap penduduk sipilnya, sehingga dalam hal ini PBB berperan sebagai pelindung terhadap penduduk sipil, sehingga pelaku kejahatan tidak bisa sewenang-wenang dalam memperlakukan penduduk sipilnya.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Promosi dan proteksi Hak Asasi Manusia (HAM) boleh dikatakan telah
menjadi agenda internasional. Jika sebelumnya, selama lebih dari 40 tahun, ide
dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blok-blok politik yang bersaing, kendala itu sekarang sudah hilang sejalan dengan
usainya Perang Dingin.
Kecenderungan Dunia Ketiga untuk melihat adanya trade-off antara implementasi HAM di satu pihak dengan pelaksanaan pembangunan di lain pihak
juga kian mencair. Dalam Konferensi HAM Sedunia 1993 di Wina disepakati
bahwa pembangunan dan hak asasi manusia (dan dengan sendirinya, juga
demokrasi) terjalin sangat erat dan memperkuat satu sama lain.
Kepedulian internasional terhadap hak asasi manusia merupakan gejala
yang relatif baru. Meskipun kita dapat menunjuk pada sejumlah traktat atau
perjanjian internasional yang mempengaruhi isu kemanusiaan sebelum Perang
Dunia II, baru setelah dimasukkan ke dalam Piagam PBB pada tahun 1945, kita
dapat berbicara mengenai adanya perlindungan hak asasi manusia yang sistematis
di dalam sistem internasional.
Dewasa ini pun, kaitan antara perlindungan terhadap hak asasi manusia di
internasional mewajibkan sistem konstitusional domestik setiap negara
memberikan kompensasi yang memadai kepada orang-orang yang haknya
dilanggar.
Mekanisme internasional untuk menjamin hak asasi manusia baru akan
melakukan perannya apabila sistem perlindungan di dalam negara itu sendiri
goyah atau pada kasus yang ekstrim malahan tidak ada. Dengan demikian,
mekanisme internasional sedikit banyak berfungsi memperkuat perlindungan
domestik terhadap hak asasi manusia dan menyediakan pengganti jika sistem
domestik gagal atau ternyata tidak memadai.
B. Perumusan Masalah
Dalam skripsi ini, ada beberapa hal yang akan dikemukakan sebagai
permasalahan, antara lain yaitu :
1. Bagaimanakah pengaturan hak asasi manusia dalam hukum
internasional?
2. Bagaimanakah pengaturan penegakan dalam hak asasi manusia
dalam hukum internasional?
3. Bagaimanakah perlindungan terhadap korban hak asasi manusia
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan
Tujuan yang akan dicapai dengan ditulisnya skripsi ini, adalah sebagai
berikut :
1. Untuk mendapatkan kepastian hukum tentang pengaturan hak
asasi manusia dalam hukum internasional.
2. Untuk mendapatkan kepastian hukum tentang pengaturan
pelanggaran hak asasi manusia dalam hukum internasional
3. Guna mengetahui perlindungan penduduk sipil terhadap korban hak
asasi manusia (ham) berat di Korea Utara dalam hukum
internasional
2. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
Dari sisi teoritis akademis, sebagai bentuk penambahan pengetahuan
dalam bidang perlindungan penduduk sipil terhadap korban hak asasi manusia
(ham) berat di Korea Utara dalam hukum internasional. Merupakan bentuk
sumbangsih bagi siapa saja yang merasa perlunya perlindungan penduduk sipil
disaat damai dan disaat perang, serta menambah wawasan dan pengalaman
tentang seluk beluk hak asasi manusia, yang mengedepankan perlindungan hukum
atau jiwa manusia. Sedangkan dari sisi praktis, agar masyarakat, mengetahui arti
penting dari suatu perlindungan hak asasi manusia, agar semua pihak saling
menjaga sehingga tidak ada terjadi pelanggaran hak asasi manusia dikemudian
D. Keaslian Penulisan
Dalam penulisan skripsi yang berjudul ”Perlindungan terhadap Korban
Hak Asasi Manusia (HAM) Berat di Korea Utara Menurut Hukum Internasional”
adalah asli tulisan penulis sendiri, karena menurut data yang ada pada administrasi
skripsi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, tulisan dengan judul
yang sama belum pernah diangkat dan diulas oleh pihak lain. Apabila ada tulisan
yang hampir mirip, mungkin itu hanya dari segi redaksi saja, karena
muatan/substansinya jelas berbeda dengan tulisan karya ilmiah ini.
E. Tinjauan Pustaka
Hak asasi manusia adalah hak universal yang dimiliki oleh seorang
individu sejak lahir dan tidak boleh ditiadakan oleh orang lain. Istilah hak di sini
mengacu pada nilai-nilai khusus manusia yang dianggap sedemikian fundamental
pentingnya sehingga nilai-nilai itu harus ditegakkan apabila aspirasi terpenting
dalam tatanan sosial ingin diwujudkan.1
Aspirasi terpenting manusia itu menjelma menjadi hak-hak asasi. HAM
adalah hak-hak yang melekat pada diri setiap manusia sehingga mereka diakui
kemanusiaannya tanpa membedakan jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa,
agama, politik, bangsa, status sosial, kekayaan, dan kelahirannya.2
1
Lynn H. Miller, Agenda Politik Internasional, terj., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 388
Termasuk
dalam hak asasi ini adalah hak untuk hidup layak, merdeka, dan selamat. Ini
merupakan tugas negara untuk melindungi hak asasi warga negaranya dari
pihak-pihak yang ingin mengganggu atau meniadakannya.
2
Hak sosial dan ekonomi, misalnya, berawal dari pemahaman bahwa
masyarakat itu terdiri atas kumpulan individu. Para individu ini bebas untuk
mengejar kepentingannya. Oleh karena itu, kemungkinan konflik antar warga
dalam mengejar kepentingannya sangat mungkin terjadi. Untuk menghindari
potensi konflik tersebut, harus dibuat pengaturan yang berdasar pada kepentingan
individu. Negara bertindak sebagai hakim yang adil yang wajib melindungi warga
negara dari pemaksaan, penipuan, dan pencurian.
Namun, hak asasi manusia akan mengalami hambatan dalam situasi
konflik bersenjata, baik itu konflik antar negara maupun konflik dalam negeri/
dalam konflik bersenjata, penduduk sipil suatu negara atau wilayah sering
menjadi sasaran langsung dan menderita karenanya. Penduduk sipil yang tidak
terlibat dalam konflik terkadang mengalami pembantaian massal, diperkosa,
disandera, dilecehkan, diusir, dijarah, dan dihalang-halangi aksesnya terhadap
makanan, air, dan layanan kesehatan.3
Dalam situasi seperti itu, bagaimana menjamin agar hak asasi manusia
penduduk sipil terlindungi adalah masalah yang harus terus diperjuangkan para
pelaku kemanusiaan. Dalam situasi konflik, negara tidak bisa melindungi hak
asasi warganya secara optimal. Pihak lawan akan berusaha untuk menghalangi
peran negara dalam situasi ini. Disamping itu, pihak lawan akan berusaha untuk
mengurangi peran negara dalam perlindungan tersebut.
3
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, dilakukan dengan metode Studi
Kepustakaan yakni: dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan
dengan obyek penelitian, yang meliputi: Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh
dengan meletakkan penelitian pada: Bahan hukum primer, Bahan hukum
sekunder, Bahan hukum tertier.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini sebanyak lima BAB, di dalam bab-bab terdiri dari
beberapa bagian-bagian bab, sebagai berikut :
BAB I: Pendahuluan, yang berisikan ; Latar Belakang, Perumusan
Masalah, Tujuan dan Manfaat, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
BAB II: Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional,
yang bermaterikan ; Sejarah dan Perkembangan Hak Asasi
Manusia di Dunia, Hak Asasi Manusia menurut Universal
Declaration of Human Rights, Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
(ICCPR) 1966
BAB III: Pengaturan dalam Penegakan Hak Asasi Manusia, yang
bermaterikan ; Jenis-Jenis Pelanggaran Hak Asasi
International Criminal Court, Perlindungan Penduduk
Sipil menurut Konvensi Jenewa Tahun 1949
BAB IV: Perlindungan Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Di
Korea Utara, yang bermaterikan ; Pengaturan Hak Asasi
Manusia di Korea Utara, Pengaturan pelanggaran Hak
Asasi Manusia di Korea Utara, Peranan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) dalam Penegakan Hak Asasi
Manusia terhadap Penduduk Sipil di Korea Utara.
BAB II
PENGATURAN HAK ASASI MANUSIA DALAM HUKUM
INTERNASIONAL
A. Sejarah Dan Perkembangan Hak Asasi Manusia Di Dunia
a. Sejarah Hak Asasi Manusia
Beberapa pakar menyatakan dapat meruntut konsep hak asasi
manusia yang sederhana sampai kepada filsafat Stoika di zaman kuno lewat
yurisprudensi hukum kodrati (natural law) Grotius dan ius naturale dari Undang-Undang Romawi, tampak jelas bahwa asal usul konsep hak asasi
manusia yang modern dapat dijumpai dalam revolusi Inggris, Amerika
Serikat, dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18.
1. Pengalaman Inggris
Sementara Magna Charta (1215) sering keliru dianggap sebagai cikal bakal kebebasan warga negara Inggris – piagam ini sesungguhnya
hanyalah kompromi pembagian kekuasaan antara Raja John dan para
bangsawannya, dan baru belakangan kata-kata dalam piagam ini –
sebenarnya baru dalam Bill of Rights (1689) muncul ketentuan-ketentuan untuk melindungi hak-hak atau kebebasan individu.
Tetapi perkembangan ini pun harus dilihat dalam konteksnya. Bill
of Rights, sebagaimana diperikan dengan judulnya yang panjang “An Act Declaring the Rights and Liberties of the Subject and Setting the
dan Tara Cara Suksesi Raja), merupakan hasil perjuangan Parlemen
melawan pemerintahan raja-raja wangsa Stuart yang sewenang-wenang
pada abad ke-17. Disahkan setelah Raja James II di paksa turun tahta dan
William III serta Mary II naik ke singgasana menyusul “Revolusi
Gemilang” (Glorius Revolution) pada tahun 1688.
Bill of Rights, yang menyatakan dirinya sebagai deklarasi
undang-undang yang ada dan bukan merupakan undang-undang-undang-undang baru,
menundukkan monarki di bawah kekuasaan Parlemen, dengan menyatakan
bahwa kekuasaan Raja membekukan dan memberlakukan seperti yang di
klaim oleh Raja adalah ilegal.
Undang-undang ini juga melarang pemungutan pajak dan
pemeliharaan pasukan tetap pada masa damai oleh Raja tanpa persetujuan
Parlemen. Dalam analisis Marxis, Revolusi Gemilang tahun 1688 dan Bill of Rights yang melembagakannya adalah revolusi borjuis: revolusi ini
hanya menegaskan naiknya kelas bangsawan dan pedagang diatas
monarki.4
Demikianlah, sebagian besar undang-undang ini merupakan
pengaturan konstitusional yang melindungi kepentingan satu kelompok.
Namun, para sejarahwan partai Whig menganggap Bill of Rights sebagai
kemenangan kebebasan atas despotisme dan sebagai perlindungan bagi
4
kaum laki-laki Inggris (kaum wanita tak banyak bersuara dalam hal ini)
terhadap pemerintahan absolut dan sewenang-wenang.5
Kedua pandangan ini ada benarnya, karena Bill of Rights tidak hanya menjamin kepentingan kaum borjuis, tetapi juga mengatur hal-hal
tertentu yang berciri “hak asasi manusia”, meskipun pada waktu itu tidak
disebut demikian. Undang-undang ini secara khusus menetapkan bahwa
“uang jaminan yang berlebih-lebihan tidak boleh disyaratkan; demikian
pula denda yang berlebih-lebihan tidak boleh dikenakan; dan hukuman
yang kejam dan tidak lazim tidak boleh dijatuhkan.”. Lebih lanjut
undang-undang ini menetapkan bahwa “para anggota juru harus dipilih dan
dilaporkan dengan cara yang benar” dan, bahwa “semua pemberian dan
perjanjian mengenai denda serta tebusan bagi orang-orang tertentu
sebelum dijatuhi hukuman adalah ilegal dan batal.”
Sementara unsur “hak asasi”dari Bill of Rights itu tampak sedikit
dan berat sebelah karena menguntungkan kelas warga negara tertentu,
namun seluruh konteks instrumen ini adalah sangat penting karena ia
mencoba menggantikan tindakan yang tidak diduga-duga dan ekses
absolutisme monarki yang sewenang-wenang dengan legitimasi
konstitusional oleh parlemen.
Revolusi Gemilang juga penting, karena revolusi ini merupakan
suatu preseden yang menunjukkan bahwa para penguasa dapat
disingkirkan atas kehendak rakyat jika mereka gagal mematuhi persyaratan
legitimasi konstitusional. Dalam pandangan ini John Locke, filsuf politik
Inggris abad ke-18, yang berusaha menemukan dasar teoritis bagi
revolusi-revolusi konstitusional pada abad ke-17 dan 18, pemerintahan yang buruk
melanggar kontrak sosial antara para penguasa dengan orang-orang yang
diperintahnya, dan dengan demikian mendorong yang terakhir ini untuk
menyingkirkan mereka.6
2. Pengalaman Amerika Serikat
Para pemimpin koloni-koloni Inggris di Amerika Utara yang
memberontak pada paruh kedua abad 18 tidak melupakan pengalaman
Revolusi Inggris dan berbagai upaya filosofis dan teoritis untuk
membenarkan revolusi itu. Dalam upaya melepaskan koloni-koloni itu dari
kekuasaan Inggris, menyusul ketidakpuasan akan tingginya pajak dan
tiadanya wakil dalam Parlemen Inggris, para pendiri Amerika Serikat ini
mencari pembenaran dalam kontrak sosial dan hak-hak kodrati dari Locke
dan para filsuf Prancis.
Sementara cita-cita luhur untuk melindungi kehidupan, kebebasan
dan usaha mengejar kebahagiaan memadai bagi suatu deklarasi
kemerdekaan, namun jelas bahwa hal ini tidak memadai sebagai katalog
hak-hak individu yang wajib dilindungi oleh negara. Deklarasi Hak Asasi
Virginia, yang disusun oleh George Mason sebulan sebelum Deklarasi
Kemerdekaan, mencantumkan kebebasan-kebebasan yang spesifik yang
harus dilindungi dari campur tangan negara. Kebebasan ini mencakup,
6
antara lain adalah kebebasan pers, kebebasan beribadat, dan ketentuan
yang menjamin tidak dapat dicabut kebebasan seseorang kecuali
berdasarkan hukum setempat atau berdasarkan pertimbangan warga
sesamanya.7
Para penyusun naskah Undang-Undang Dasar Amerika Serikat,
yang terpengaruh oleh Deklarasi Virginia rancangan Mason, memasukkan
perlindungan hak-hak minimum ini. Tetapi barulah pada tahun 1791,
Amerika Serikat mengadopsi Bill of Rights yang memuat daftar hak-hak individu yang dijaminnya. Hal ini terjadi melalui sejumlah amandemen
terhadap konstitusi.
Diantara amandemen-amandemen yang terkenal, adalah
Amandemen Pertama, yang melindungi kebebasan beragama, kebebasan
pers, kebebasan menyatakan pendapat, dan hak berserikat; Amandemen
Keempat, yang melindungi individu terhadap penggeledahan dan
penangkapan yang tidak beralasan; dan Amandemen Kelima, yang
menetapkan larangan memberatkan diri sendiri dan hak atas proses hukum
yang benar.
Amandemen-amandemen berikutnya terhadap Undang-Undang
Dasar Amerika Serikat itu memperluas Bill of Rights (misalnya,
Amandemen Ketiga belas, yang disahkan setelah Perang Saudara,
melarang praktek perbudakan), sebaliknya, Kongres tidak pernah
menghapus atau menyempitkan hak-hak yang telah tercantum.
7
Penyelesaian konstitusional Amerika Serikat pada abad ke-18
pasca kemerdekaan, dalam berbagai cara, menjadi model yang akan
digunakan dalam perjuangan revolusioner berikutnya. Yang paling jelas
terlihat adalah Prancis, dimana Amerika Serikat secara langsung
mempengaruhi revolusi mereka melawan ancien regine (orde lama).
3. Pengalaman Prancis
Meskipun Revolusi Prancis dan perjuangan kemerdekaan Amerika
Serikat mempunyai banyak ciri yang sama, ada satu perbedaan yang
penting. Kalau koloni-koloni yang memberontak di Amerika semata-mata
berusaha menjadi suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat, kaum
revolusioner Prancis bertujuan menghancurkan suatu sistem pemerintahan
yang absolut dan sudah tua serta mendirikan suatu orde baru yang
demokratis.
Solusi teoretis terhadap masalah ini, yang ditemukan oleh orang
Prancis dengan mengikuti konsep Amerika mengenai legitimasi rakyat,
adalah penentuan nasib sendiri. Dalil sentral konsep ini: kedaulatan suatu
negara terletak di tangan rakyat, dan setiap pemerintah yang tidak tanggap
terhadap tuntutan warga negaranya dapat diubah dengan pernyataan
kehendak rakyat.
Penyelesaian yang terjadi menyusul Revolusi Prancis juga
mencerminkan teori kontrak sosial serta hak-hak kodrati dari Locke dan
para filsuf Prancis, Montesquieu dan J.J Rousseau. Deklarasa Hak
bahwa pemerintah adalah suatu hal yang tidak menyenangkan yang
diperlukan, dan diinginkan sesedikit mungkin.
Menurut Deklarasi itu, kebahagiaan yang sejati haruslah dicari
dalam kebebasan individu yang merupakan produk dari “hak-hak manusia
yang suci, tak dapat dicabut, dan kodrati”. Jadi, sementara menyatakan
dilindunginya hak-hak individu tertentu – hak atas protes pengadilan yang
benar, praduga tak bersalah (presumption of innocence), kebebasan menganut pendapat dan menganut kepercayaan agama, serta kebebasan
menyampaikan gagasan dan pendapat – deklarasi ini mengantarkan
hak-hak ini dengan filsafat kebebasan yang jelas.
Pasal 2 Deklarasi menyatakan, bahwa “sasaran setiap asosiasi
politik adalah pelestarian hak-hak manusia yang kodrati dam tidak dapat
dicabut. Hak-hak ini adalah (hak atas) Kebebasan (Liberty), Harta (Property), Keamanan (Safety), dan Perlawanan terhadap Penindasan
(Resistance to Oppression).
Sejumlah tema dan konsep yang berulang kali muncul dalam
undang-undang hak asasi manusia berasal dari Revolusi Amerika dan
Prancis. Yang paling penting diantaranya adalah, bahwa hak-hak itu secara
kodrati inheren, universal dan tidak dapat dicabut; hak-hak itu dimiliki
oleh individu semata-mata karena mereka adalah manusia dan bukan
karena mereka adalah kawula hukum suatu negara.
Kedua, perlindungan terbaik terhadap hak-hak itu terdapat di dalam
politis yang dirumuskan oleh para penyusun Deklarasi Prancis
menegaskan bahwa perlindungan hak yang efektif hanya akan dijumpai di
dalam batas-batas legitimasi yang demokratis. Ketiga, bahwa batas-batas
pelaksanaan hak hanya dapat ditetapkan atau dicabut oleh undang-undang,
dan bahwa ketika mencabut atau mengurangi hak-hak individu,
pemerintah wajib mematuhi persyaratan hukum yang konstitusional.
Konsep ini juga mengharuskan pemerintah bertindak sesuai dengan
undang-undang, dan undang-undang yang dijadikan dasar tindakan
pemerintah itu tidak bersifat menindas, sewenang-wenang, atau
diskriminatif. Tentu saja, kita tidak boleh melupakan bahwa revolusi yang
melahirkan cita-cita dan asas-asas yang luhur ini juga melahirkan masa
teror.
b. Perkembangan Hak Asasi Manusia di Dunia
Apapun juga debat teoretis atau doktriner mengenai dasar-dasar
revolusi Inggris, Amerika, Prancis, yang jelas, masing-masing revolusi itu,
dengan caranya sendiri-sendiri, telah membantu perkembangan
bentuk-bentuk demokrasi liberal dimana hak-hak tertentu dianggap sebagai hal
terpenting dalam melindungi individu terhadap kecendrungan ke arah
otoriterisme yang melekat pada negara. Yang penting mengenai hak-hak yang
diproteksi itu adalah bahwa hak-hak ini bersifat individualistis dan
Dalam bahasa modern, hak-hak ini akan disebut hak sipil dan politik,
karena hak-hak ini terutama mengenai hubungan individu dengan
organ-organ negara. Begitu besar kekuatan ide-ide revolusioner ini, sehingga hanya
sedikit konstitusi tertulis modern yang tidak menyatakan akan melindungi
hak-hak individu ini.
Tetapi, bukan hanya hak sipil dan politik yang dilindungi oleh
konstitusi-konstitusi modern dan hukum internasional masa kini. Berbagai
macam hak ekonomi, sosial, budaya, dan yang lainnya, juga menjadi subjek
berbagai bentuk perlindungan. Karel Vasak telah mencoba mengelompokkan
perkembangan hak asasi manusia menurut slogan “Kebebasan, Persamaan,
dan Persaudaraan” dari Revolusi Prancis.8
Menurut Vasak, masing-masing kata slogan ini, sedikit banyak
mencerminkan perkembangan dan kategori-kategori atau generasi-generasi
hak yang berbeda. “Kebebasan”, atau hak-hak generasi pertama, diwakili oleh
hak sipil dan politik: hak individu untuk bebas dari campur tangan negara
yang sewenang-wenang.
“Persamaan”, atau hak-hak-hak generasi kedua, sejajar dengan
perlindungan bagi hak ekonomi, sosial, dan budaya: hak atas terciptanya oleh
negara kondisi yang akan memungkinkan setiap individu mengembangkan
kemampuannya sampai maksimal. “Hak atas”, yang menjadi ciri generasi
8
kedua ini, mewajibkan negara untuk menyusun dan menjalankan
program-program bagi pelaksanaan sepenuhnya hak-hak ini.
Hak ekonomi, sosial, dan budaya kadang-kadang dianggap sebagai
suatu warisan sosialis, atau sebagai hak derivatif (turunan) yang tidak layak
menyandang nama itu. Namun, hak semacam itu dilindungi dalam konstitusi
domestik Uni Soviet, Meksiko, dan Jerman pada awal abad ke-20, dan sejak
itu, telah dicantumkan pula dalam sejumlah konstitusi domestik lain, dan
secara eksplisit diakui oleh hukum internasional.
“Persaudaraan”, hak generasi ketiga atau hak solidaritas, merupakan
kategori hak yang terbaru dan paling kontroversial. Hak ini dibela dengan
gigih oleh negara-negara berkembang yang mengingin terciptanya suatu
tatanan ekonomi dan hukum internasional yang akan menjamin hak atas
pembangunan, hak atas bantuan untuk penanggulan bencana, hak atas
perdamaian, dan hak atas lingkungan hidup yang baik. Jelaslah, pelaksanaan
hak-hak semacam itu – jika itu memang hak – akan bergantung pada
kerjasama internasional, dan bukan sekadar langkah konstitusional suatu
negara.
Dari pemaparan sejarah, tampak bahwa pengertian hak asasi manusia
telah beralih dari semata-mata kepedulian akan perlindungan bagi individu
dalam menghadapi absolutisme negara, kepada penciptaan kondisi sosial dan
ekonomi yang diperhitungkan akan memungkinkan individu mengembangkan
Dalam kata-kata Szabo, tujuan hak asasi manusia adalah
“mempertahankan hak-hak manusia dengan sarana kelembagaan terhadap
penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat Negara, dan pada
waktu yang bersamaan, mendorong perkembangan pribadi manusia yang
multidimensional.”
Akan tampak juga, bahwa pengertian hak asasi manusia tidaklah statis
melainkan dinamis, dan mungkin sekali akan ada banyak perdebatan
mengenai apakah kepentingan-kepentingan tertentu layak untuk digolongkan
sebagai hak dalam arti yang sebenarnya – apapun artinya. Proses dialektis
yang digunakan untuk menetapkan klaim atau kepentingan yang dapat
dilindungi dan yang tidak, sangatlah menentukan apabila hak dianggap
mempunyai suatu kualitas yang secara mendasar berbeda dari peraturan
hukum yang lain.
1. Perkembangan Hak Asasi Manusia Sebelum Perang Dunia II
1.) Individu dalam sistem internasional
Meskipun asal usul hukum hak asasi manusia dapat ditelusuri
hingga konstitusionalisme revolusioner abad ke-17 dan ke-18, barulah
pada akhir Perang Dunia II, masyarakat internasional mulai menaruh minat
pada promosi dan proteksi terhadap hak-hak semacam itu lewat hukum
internasionl. Pada waktu itu, hukum internasional hanya merupakan
Negara merupakan subjek sistem hukum internasional. Negara
dapat menetapkan aturan untuk kebaikan individu, namun
aturan-aturan semacam itu tidak memberikan hak-hak substantif kepada individu
itu, dan juga tidak dapat dipaksakan melalui mekanisme prosedur apapun.
Individu sebagai kawula negara, tunduk pada kewenangan pemerintah
mereka sepenuhnya, dan negara-negara lain. Pada umumnya, tidak
mempunyai hak yang sah untuk mengintervensi guna melindungi mereka
seandainya mereka diperlakukan dengan semena-mena.
Tetapi, posisi warga negara asing dalam suatu negara sedikit
berbeda. Dalam kondisi tertentu, negara orang asing itu, berdasarkan
hukum internasional, berhak mengajukan tuntutan terhadap negara tuan
rumah yang melanggar aturan. Biasanya hal ini terjadi ketika orang
tersebut mengalami perlakuan sewenang-wenang di tangan aparat
pemerintah, misalnya polisi, dan negara tersebut belum mengambil
tindakan perbaikan.
Negara-negara barat juga berargumentasi bahwa seharusnya ada
suatu standar perlakuan internasional yang minimal terhadap warga negara
yang berpergian keluar negeri, sehingga perlakuan suatu negara terhadap
mereka dapat di nilai dari standar tersebut. Tetapi, negara-negara
berkembang menolak usul ini dengan mengatakan bahwa warga negara
asing di suatu negara tidak dapat mengharapkan standar perlakuan yang
baik ketimbang yang diberikan kepada warga negara yang ada di negara
Bagaimana pun juga, dapat dikemukakan bahwa perselisihan
mengenai mengenai standar minimal dan kesamaan perlakuan telah
diambil alih oleh perkembangan-perkembangan dalam hukum hak asasi
manusia internasional. Tujuan utama pengakuan negara semacam itu
bukanlah mendapatkan kompensasi bagi warga negara yang dirugikan,
melainkan membela hak-hak negara itu, yang secara tidak langsung telah
dilanggar melalui perlakuan yang buruk terhadap warga negaranya.
2.) Intervensi kemanusiaan
Kendati posisi warga negara asing dalam hukum internasional
adalah seperti itu, proposisi umum tetap menyatakan bahwa sebelum
Piagam PBB berlaku, individu pada dasarnya tetap tunduk terhadap
penguasa mereka. Suatu pengecualian terhadap dalil ini adalah apa yang
disebut sebagai intervensi kemanusiaan.
Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer
untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduk dalam suatu negara
lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan rakyatnya sedemikian
rupa sehingga “menyangkal hak asasi mereka dan menggoncangkan hati
nurani umat manusia”.9
3.) Penghapusan perbudakan
Sepanjang abad ke-19 dan awal abad ke-20 telah terjadi
perkembangan kemanusiaan tertentu pada hukum internasional,
diantaranya adalah penghapusan perdagangan perbudakan. Meskipun
9
Oppenheim, International Law, Vol. 1: Peace, di sunting oleh H. Lauterpacht (London:
ekonomi perbudakan pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 secara
komersial telah menjadi kurang menarik bagi negara-negara Eropa
dibanding masa sebelumnya, penghapusan perbudakan juga merupakan
suatu bentuk kepedulian kemanusiaan.
Praktek perbudakan berawal dari larangan dalam Traktat
Perdamaian Paris pada tahun 1814 antara Inggris dan Prancis, namun 50
tahun kemudian, Akta Umum Konferensi Berlin yang mengatur kolonisasi
Eropa di Afrika menyatakan bahwa “perdagangan budak dilarang
berdasarkan asas-asas hukum internasional”. Aksi internasional menentang
perbudakan dan perdagangan budak berlanjut sepanjang abad 20.
Liga Bangsa-Bangsa mensahkan Konvensi untuk Melenyapkan
Perbudakan dan Perdagangan Budak pada tahun 192610 dan melarang praktek perbudakan di daerah-daerah bekas koloni Jerman dan Turki yang
berada di bawah sistem mandat Liga Bangsa-Bangsa pada akhir Perang
Dunia I. Konvensi 1926 ini masih tetap merupakan dokumen internasional
utama yang melarang praktek perbudakan, meskipun konvensi ini telah
diamandemenkan dengan suatu protokol pada tahun 195311, dan pada tahun 195612 diberikan tambahan mengenai definisi tindakan-tindakan yang termasuk dalam perbudakan di zaman modern.
10
60 Leagues of Nations Treaty Series 253; United Kingdom Treaty Series 16 (1927)
11
212 United Nations Treaty Series 17; United Kingdom Treaty Series 24 (1956)
12
4.) Palang Merah
Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional
pada paruh kedua abad ke-19 adalah pembentukan Komite Palang Merah
Internasional (1863) dan usaha organisasi ini dalam mendukung dua
konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan
terhadap tawanan perang. Karya Palang Merah Internasional ini berlanjut
melewati dua perang dunia dan sesudahnya, dan badan ini telah
mendukung sejumlah konvensi yang tidak semata-mata menangani status
dan perlakuan terhadap penduduk sipil pada masa perang dan pembatasan
terhadap cara-cara berperang.
5.) Organisasi Buruh Internasional (ILO)
Upaya-upaya kemanusiaan pada awal abad ke-20 sebagian besar
berkaitan dengan penyelesaian internasional pasca Perang Dunia I.
Organisasi Buruh Internasional, yang dibentuk berdasarkan Traktat
Versailles (1919) 13
International Labour Organisation (ILO) yang pada tahun 1946 menjadi badan khusus PBB
, merupakan reaksi kepedulian Sekutu mengenai
keadilan sosial dan standar perlakuan terhadap kaum buruh industri, yang
terutama diilhami oleh Revolusi Bolshewik tahun 1917.
14
13
United Kingdom Treaty Series 4 (1919); 13 American Journal of International Law suppl. 151; 16 American Journal of International Law suppl.207
, dapat dianggap sebagai pendahulu sistem
proteksi terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya. ILO telah mendukung
lebih dari 150 konvensi, yang diantaranya menyangkut kondisi kerja,
14
United Kingdom Treaty Series 47 (1948); 31 American Journal of International Law suppl. 67
remunerasi, kerja paksa dan buruh kanak-kanak, pemberian libur dan
jaminan sosial, diskriminasi dan hak-hak serikat buruh. Aktivitas ILO
berlanjut sampai sekarang, dan organisasi ini termasuk dalam kelompok
lembaga hak asasi yang penting, meskipun karyanya jarang menarik
perhatian yang selayaknya.
6.) Liga Bangsa-Bangsa
Liga Bangsa-Bangsa, sebuah organisasi internasional yang
didirikan setelah Perang Dunia I sebagai sistem yang akan menjamin
perdamaian dan keamanan, dan memperlancar kerjasama internasional,
tidak membuat ketetapan mengenai perlindungan hak asasi manusia.
Namun, dokumen pendirian Liga Bangsa-Bangsa yang disebut Kovenan
mewajibkan negara-negara anggota untuk berupaya ke arah
sasaran-sasaran kemanusiaan tertentu seperti, menetapkan kondisi kerja yang
manusiawi bagi individu, larangan memperdagangkan wanita dan
anak-anak, pencegahan dan pengendalian penyakit, serta perlakuan yang adil
terhadap penduduk pribumi dan daerah jajahan.
Terciptanya sistem mandat di bawah Liga Bangsa-Bangsa ini
mungkin merupakan salah satu prestasi kemanusiaan yang besar dari
organisasi internasional ini. Di bawah sistem ini, “suatu kepercayaan yang
suci dari peradaban” diserahkan kepada negara-negara pengawas untuk
mengantarkan daerah-daerah mandat itu sampai mereka memiliki
pemerintahan sendiri. Bahasa paternalistik dari Kovenan tersebut boleh
diharuskan menjamin tiadanya diskriminasi rasial dan agama di
daerah-daerah yang berada di bawah perwaliannya.
Ternyata, beberapa daerah mandat mencapai kemerdekaannya
sebelum Perang Dunia II dan dua wilayah yaitu Palestina dan Namibia
menciptakan masalah internasional yang cukup lama. Daerah-daerah
mandat yang belum mencapai kemerdekaan sebelum Perang Dunia II
selanjutnya dialihkan kepada sistem perwalian berdasarkan Piagam PBB
7.) Traktat mengenai kaum minoritas
Berbagai traktat yang disepakati setelah Perang Dunia I banyak
memuat ketentuan yang melindungi kaum minoritas. Sementara
penyelesaian perdamaian pasca perang berupaya menghormati prinsip
penentuan nasib sendiri yang didasarkan pada konsep kohesi nasional,
menjadi jelas bahwa pembentukan kembali Polandia dan penciptaan
negara-negara pengganti Kekaisaran Austria-Hongaria yang lama,
melahirkan tapal-tapal batas negara yang pasti akan menciptakan
perpecahan di kalangan kelompok penduduk tertentu, dan memaksa
mereka hidup sebagai kaum minoritas etnis, bahasa atau agama di
negara-negara baru tersebut.
Oleh karena itu, sejumlah traktat untuk menjamin proteksi terhadap
hak sipil dan politik dan kaum minoritas dibuat antara Sekutu dan
negara-negara ini. Sementara traktat-traktat khusus yang melindungi kaum
ketentuan-ketentuanmengenai proteksi bagi kaum minoritas dimasukkan
dalam traktat-traktat perdamaian dengan Austria, Hongaria dan Turki.
Disamping traktat-traktat ini, beberapa negara tertentu yakni,
Finlandia, Albania, Latvia, Lithuania, Estonia, dan Irak membuat deklarasi
yang melindungi kaum minoritas di dalam negeri mereka, sebagai syarat
untuk menjadi anggota Liga Bangsa-Bangsa. Liga Bangsa-Bangsa juga
menjalankan fungsi pengawasan yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban yang menjadi perhatian internasional.
Sebuah prosedur yang memungkinkan kelompok minoritas yang
merasa dilanggar haknya untuk mengadukan masalahnya kepada Dewan
Liga Bangsa-Bangsa ini ditetapkan. Kemudian, Dewan dapat mengajukan
masalah itu kepada suatu Komite ad hoc mengenai Kaum Minorits yang akan mendamaikan dan mencoba menyelesaikan masalah itu secara
bersahabat di antara para pihak itu. Jika penyelesaian tidak kunjung
tercapai, Dewan yang lengkap boleh menyelesaikan masalah itu sendiri,
atau meneruskannya ke Mahkamah Internasional yang bersifat permanen
untuk diputuskan.
Traktat-traktat yang memproteksi kaum minoritasini jelas
menyangkut masalah hak-hak kelompok, bukan hak-hak individu. Tujuan
utama traktat-traktat itu adalah memastikan perlakuan yang sama bagi
minoritas etnis, agama dan bahasa di negara-negara tersebut, dan
itu melestarikan dan mengembangkan identitas mereka sendiri yang khas
di dalam kerangka negara kebangsaan itu.
Tampak juga dari negara-negara yang menandatangani
traktat-traktat itu, bahwa adanya minoritas di dalam suatu negara mereka terbukti
merupakan tanah subur untuk persengketaan sepanjang abad ke-20.
Sementara nilai traktat hak asasi manusia dalam pengeritian individu dan
kebebasan yang klasik, traktat-traktat itu sangat penting karena di dalam
konteks Liga Bangsa-Bangsa mereka menjadi dasar bagi hak kelompok,
yang terdiri dari individu-individu, untuk menyampaikan petisi menurut
hukum internasional. Terlihat adanya tunas dari hak individu, berdasarkan
hukum internasional, untuk mengajukan petisi terhadap suatu lembaga
pengawasan dan proteksi internasional.
2. Perkembangan Hak Asasi Manusia Setelah Perang Dunia II
1.) Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kendati kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam hukum
kemanusiaan dan perlindungan terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya
selama abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20, barulah seusai
malapetaka Perang Dunia II, hukum hak asasi internasional berkembang
dengan cara yang mantap dan jelas. Kekejaman Nazi terhadap
penduduknya sendiri di Jerman dan terhadap rakyat di wilayah yang
ditaklukkannya sangat mengejutkan, sehingga sebelum perang usai pun,
Sekutu telah memutuskan bahwa penyelesaian pasca perang harus
Mereka menganggap komitmen ini sebagai prasyarat yang perlu
untuk menciptakan orde internasional yang adil dan mantap di bawah
naungan Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sedang
direncanakan. Tidak ada lagi negara yang bisa berkilah bahwa cara mereka
memperlakukan warga negaranya sendiri semata-mata merupakan urusan
dalam negeri mereka; sebaliknya perlakuan terhadap individu-individu itu
bilamana perlindungan nasional terhadap hak itu tidak memadai, menjadi
kepedulian masyarakat internasional.
Ironinya adalah, sementara Uni Soviet mengutuk pembantaian
besar-besaran yang dilakukan Nazi, Stalin sendiri sejak sebelum perang,
telah secara sistematis melanggar hak-hak rakyatnya sendiri dengan
membuang sekitar lima juta lawan politiknya dan memaksakan
kolektivisasi terhadap sejumlah besar petani. Dalam hal ini, Uni Soviet
secara sah dapat juga berkilah bahwa masalah itu sepenuhnya berada di
dalam yurisdiksi domestiknya.
Meskipun demikian, Piagam Pengadilan Militer Internasional di
Nuremberg15
15
5 United Nations Treaty Series 251; United Kingdom Treaty Series 4 (1945); (1945) 39 American Journal of International Law suppl. 257
yang dibuat Sekutu (termasuk Uni Soviet) untuk mengadili
penjahat perang Nazi berdasarkan hukum internasional yang ada pada
awal Perang Dunia II, menyatakan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah kejahatan menurut hukum internasional. Kendati pertimbangan
pengadilan ini dalam pernyataan itu boleh jadi mengandung kelemahan,
cara suatu negara memperlakukan warga negaranya sendiri kini telah
menjadi kepedulian internasional yang sah.
2.) Piagam PBB dan Deklarasi Universal
Meskipun pasal 2 ayat 7 Piagam PBB menegaskan kembali asas
non-intervensi oleh PBB dalam masalah-masalah yang pada hakekatnya
termasuk dalam yurisdiksi domestik negara anggota – dengan demikian,
seakan-akan menghalangi intervensi internasional dalam bidang hak asasi
manusia – pasal ini memuat juga beberapa acuan khusus kepada hak asasi.
Mukadimah Piagam menegaskan kembali keyakinan “rakyat-rakyat PBB”
pada “hak-hak manusia yang asasi, pada martabat dan harga diri manusia”
dan pada “hak-hak yang sama bagi pria dan wanita”.
Bahasa yang dipakai untuk penegasan ini menarik, karena ia lebih
dulu mengakui adanya hak asasi manusia sebelum hak itu dimasukkan dan
ditegakkan dalam Piagam, yang pada waktu itu – minimal dalam
pengertian hukum positif – akan tampak sebagai klaim yang meragukan.
Piagam ini di pasal 1, juga menyebutkan salah satu tujuannya yakni
“meningkatkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
yang fundamental bagi semua orang”.
Aktivitas PBB untuk membantu perkembangan hak asasi
manusiajuga diperkuat dengan Pasal 55, dan menurut Pasal 56,
negara-negara anggota berikrar untuk mengambil tindakan secara bersama-sama
atau sendiri-sendiri dalam kerjasama dengan PBB untuk mencapai tujuan
Beberapa ketentuan lain, mengenai berbagai kompetensi
kelembagaan di dalam Piagam ini juga mengacu hak asasi manusia sebagai
sebuah kategori umum. Oleh karena itu, meskipun Piagam PBB tampak
mengakui adanya lebih dulu fenomena yang dikenal sebagai hak asasi
manusia itu, Piagam ini tidak memuat daftar hak-hak semacam itu, dan
juga tidak mengacu pada sesuatu sumber yang menyebutkan secara tepat
hak-hak itu.
3.) Kovenan-kovenan internasional
Sejak awal Majelis Umum PBB telah menyatakan bahwa Deklarasi
Universal tidak dimaksudkan untuk menciptakan kewajiban yang
mengikat negara-negara anggota secara hukum, dan sejalan dengan itu ia
lalu memberi mandat kepada CHR untuk menyempurnakan perumusan
naskah sebuah traktat yang secara internasional mengikat, yang tidak
hanya mengubah hak-hak yang disebutkan dalam Deklarasi itu menjadi
hukum positif, tetapi juga akan menetapkan lembaga dan mekanisme bagi
pengawasan dan pelaksanaannya.
Hal yang sangat disayangkan adalah tugas ini terbukti lebih sukar
dari yang dibayangkan semula, karena timbul perselisihan pendapat
diantara anggota-anggota Komisi mengenai hubungan antara hak sipil dan
politik di satu pihak dengan hak sosial dan ekonomi di lain pihak, dan juga
mengenai sarana yang tepat untuk pelaksanaan-pengawasan, dan
Pada akhirnya diputuskan bahwa sebagai pengganti satu traktat
atau kovenan tunggal yang sedang disusun untuk melindungi kedua
kategori hak, akan disiapkan dua kovenan yang masing-masing berdiri
sendiri yaitu, ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights
– Kovenan Internasional mengenai Hak Sipil dan Politik)16 dan ICESCR (International Covenant on Economic and Social Rights – Kovenan
Internasional mengenai Hak Ekonomi dan Sosial) 17
Perbedaan yang mencolok antara kedua kovenan itu adalah,
sementara Pasal 2 ICCPR menetapkan bahwa hak-hak yang dilindungi itu
akan dihormati dan segera dijamin, Pasal ICESCR hanya menetapkan
bahwa negara harus “mengakui” hak-hak yang dimasukkan dalam
Kovenan dan harus mengimplementasikan hak-hak itu secara progresif
sesuai dengan program-program khusus.
siap untuk
ditandatangani pada tahun 1966, namun baru berlaku sepuluh tahun
kemudian, yakni pada tahun 1976.
Perbedaan lain yang juga sangat penting: ICCPR menetapkan
bahwa Komite Hak Asasi Manusia (HRC) akan mengawasi implementasi
Kovenan dan menetapkan, melalui suatu protokol fakultatif, suatu
mekanisme yang memungkinkan individu-individu mengajukan petisi ke
HRC, sedangkan ICESCR hanya menyerahkan fungsi pengawasan itu
kepada sebuah badan politik PBB, yaitu ECOSOC.
16
999 United Nations Treaty Series 171; United Kingdom Treaty Series 6 (1977); (1967) 6
International Legal Materials 368
17
993 United Nations Treaty Series 3; United Kingdom Treaty Series 6 (1997); (1967) 6
4.) Konvensi khusus PBB
Kendati banyak kesulitan dijumpai dalam upaya memantapkan
sistem “universal” untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia, PBB juga menjalankan program-program untuk menyusun
instrumen yang secara hukum mengikat guna menangani aspek-aspek hak
asasi manusia yang khusus. Diantara instrumen-instrumen ini adalah
traktat-traktat mengenai pencegahan dan penghukuman terhadap apartheid,
larangan terhadap praktek penyiksaan, kerjasama internasional mengenai
masalah-masalah yang berkaitan dengan pengungsi dan orang-orang tak
bernegara, dan yang terbaru suatu konvensi khusus mengenai hak
anak-anak.
Terdapat pula beberapa langkah dan inisiatif kelembagaan yang
diambil oleh PBB untuk mempromosikan dan melindungi hak asasi
manusia. ECOSOC telah menetapkan prosedur berdasarkan Resolusi 1235
dan 1503 yang memungkinkan dilakukan penyelidikan terhadap
pelanggaran hak asasi manusia secara kasar dan terus-menerus oleh
negara-negara tertentu.
5.) PBB dan dekolonisasi
Yang terpenting diantara seluruh perkembangan perhatian PBB
terhadap hak asasi manusia, adalah tindakan PBB dalam masalah
dekolonisasi. Sejumlah daerah mandat yang diciptakan oleh Liga
Bangsa-Bangsa setelah Perang Dunia I belum memiliki pemerintahan sendiri
pengalihan daerah-daerah mandat itu kepada suatu sistem perwalian yang
akan mengatur dan menyiapkan kemerdekaan daerah-daerah itu.
Salah satu tujuan pokok sistem perwalian ini, dinyatakan dalam
Pasal 76 (1) (c) Piagam, adalah mendorong penghormatan terhadap hak
asasi manusia dan kebebasan asasi bagi semua orang. Sistem ini diawasi
oleh PBB melalui Dewan Perwalian. Yang menjadi subjek pengawasan
PBB menurut Bab XI Piagam bukan hanya daerah-daerah mandat pada
masa sebelumnya. Negara-negara dengan koloni atau wilayah yang tak
berpemerintahan sendiri (non selfgoverning territory – NSGT) diwajibkan
untuk memperhatikan sebaik-baiknya kesejahteraan rakyat dalam wilayah
itu membantu kemajuannya.
Negara pengurus diwajibkan melaporkan kepada Sekretaris Jendral
PBB mengenai kemajuan yang dicapai koloni mereka. Sementara Bab XI
tidak memuat kewajiban negara-negara pengurus untuk memberikan
kemerdekaan kepada koloni mereka, namun perkembangan selanjutnya
dalam dasawarsa 1960 sangat meningkatkan momentum bagi dekolonisasi.
Resolusi Majelis Umum 1541 (XV), yang menjelaskan kewajiban
negara pengurus untuk melapor, disahkan bersama-sama dengan Resolusi
1514 (XV) (Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri dan
Rakyat Jajahan). Resolusi ini menyerukan dekolonisasi segera semua
daerah tak berpemerintahan sendiri lewat pelaksanaan hak untuk
Terdapat pula seperti kurangnya persiapan dibidang ekonomi dan
pendidikan, tidak boleh menghambat proses itu. Meskipun Piagam PBB
mengacu ke asas penentuan nasib sendiri, piagam itu pasti tidak mengacu
ke suatu hak untuk menentukan nasib sendiri. Namun, kini pada umumnya
diakui bahwa hak semacam itu terdapat dalam hukum internasional, dan
bahwa pandangan tersebut diperkuat oleh Resolusi 2625 Majelis Umum
(Deklarasi tentang Prinsip-prinsip antara Negara-negara sesuai dengan
Piagam PBB) yang dianggap sebagai suatu pernyataan mengenai hukum
kebiasaan internasional yang sesuai dengan situasi dan oleh Pasal 1 dari
kedua kovenan internasional yang menetapkan bahwa “semua rakyat
mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.”
Dasar pemikiran untuk memasukkan hak ini yang jelas merupakan
hak kolektif, adalah bahwa penduduk yang berada di bawah dominasi
asing melalui lembaga kolonialisme adalah tidak bebas, sehingga setiap
gagasan mengenai pemenuhan hak-hak individu atau hak-hak yang lain
dalam konteks tersebut tidak akan ada maknanya.
Apakah hak menentukan nasib sendiri itu meluas melampaui hak
atas dekolonisasi, atau meluas ke hak minoritas untuk memisahkan diri,
masih merupakan pertanyaan yang belum terjawab, meskipun isi resolusi
2625 tampaknya akan mendukung hal ini apabila minoritas tersebut
diperlakukan secara diskriminatif oleh pemerintah negara itu.
Tentu saja, dekolonisasi besar-besaran oleh negara-negara bekas
baru, terutama di bagian negara-negara berkembang, telah mengubah
konteks perdebatan politik dan hukum internasional dengan tuntutan
mereka yang gigih agar sistem internasional ditata kembali sesuai dengan
kebutuhan mereka.
6.) Proses Helsinki
Suatu perkembangan internasional yang patut disebut, yang terjadi
selama periode detente (peredaan ketegangan) antara Blok Barat dan Blok Timur pada awal dasawarsa 1970, adalah Konferensi mengenai Keamanan
dan Kerjasama di Eropa, yang juga dikenal sebagai Proses Helsinki (nama
ibukota Finlandia, tempat berlangsungnya konferensi pada tahun 1973).
Meskipun fungsi utama Proses Helsinki adalah membangun
kerangka untuk mengembangkan perdamaian dan keamanan di Eropa,
konferensi ini juga menghasilkan pemikiran-pemikiran formal mengenai
isu hak asasi manusia. Sementara Uni Soviet berkepentingan agar
tapal-tapal batasnya di sebelah barat diakui, pihak Barat berusaha memperoleh
komitmen tentang hak asasi manusia dari Blok Timur sebagai gantinya.
Akta Akhir Konferensi ini18
18
(1975) 14 International Legal Materials 1292
yang jelas dinyatakan sebagai tidak
mengikat, menyatakan tekad pemerintah peserta untuk menghormati dan
mempraktekkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
yang fundamental, termasuk kebebasan berpikir, kebebasan berhati nurani,
Mereka juga memutuskan dengan tegas bahwa mereka akan
menghormati hak-hak rakyat dan hak mereka untuk menentukan nasib
sendiri. Meskipun Akta Akhir jelas bukan merupakan instrumen yang
mengikat secara hukum, akta ini jelas membantu praktek negara dalam
bidang hak asasi manusia karena ia menegaskan norma-norma hak asasi
yang telah diakui. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Akta itu telah
menyumbang kepada hukum kebiasaan internasional dibidang hak asasi
manusia.
Hal yang cukup penting dalam Proses Helsinki ini adalah fakta
bahwa Akta Akhir Konferensi ini menetapkan, bahwa penilaian terhadap
komitmen-komitmen yang diberikan akan dilakukan melalui serangkaian
konferensi penilaian. Dengan ini terciptalah struktur lembaga yang
memungkinkan penilaian terhadap niat yang dinyatakan oleh pihak-pihak
peserta itu, termasuk perwujudan rasa hormat terhadap hak asasi manusia.
Proses Helsinki dilanjutkan di Madrid, dan setelah itu di Paris pada
tahun 1990. Pada pertemuan ini “Piagam Paris untuk Eropa Baru” di
sahkan. Dalam piagam ini 34 negara peserta menyatakan bahwa:19
Hak-hak asasi manusia dan kebebasan yang fundamental merupakan
hak semua manusia yang diperoleh sejak lahir, tidak dapat dicabut dan
dijamin oleh undang-undang. Proteksi dan promosi hak-hak ini
merupakan tanggung jawab pertama Pemerintah. Penghormatan
19
terhadap hak ini merupakan jaminan yang esensial dalam menghadapi
negara yang terlalu kuat.
Selanjutnya ada komitmen untuk menyelenggarakan pemerintahan
yang demokratis dan pluralisme politik, serta sebuah daftar mengenai hak
sipil dan politik yang individual, yang menjadi hak setiap orang tanpa
terkecuali. Meskipun Piagam Paris secara hukum juga tidak mengikat,
namun piagam ini juga menandai fakta-fakt bahwa bekas negara-nega
blok Komunis itu telah memperlihatkan komitmen mereka terhadap
prinsip-prinsip liberal-demokratis yang luhur.
B. Hak Asasi Manusia Menurut Universal Declaration Of Human Rights
Seperti yang kita ketahui, Deklarasi Universal disahkan dalam rangka
mengatasi kegagalan para anggota PBB untuk mencapai kata sepakat mengenai
dimasukkannya sebuah katalog tentang hak asasi manusia yang dapat dilindungi
ke dalam Piagam itu sendiri. Deklarasi itu disetujui sebagai sebuah resolusi biasa
dari Majelis Umum dan karenanya, dalam artian teknis tidak mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat.
Apalagi Byelorusia, Cekoslowakia, Polandia, Arab Saudi, Afrika Selatan,
Ukraina, Uni Soviet dan Yugoslavia abstain, meskipun tidak ada suara yang
menentang Deklarasi itu. Meskipun keabstainan itu terutama disebabkan oleh
ideologi yang bertentangan dengan ideologi yang dinyatakan dalam kategori
hak-hak individual yang tedapat dalam Deklarasi, Afrika Selatan maupun Arab Saudi
juga menyatakan kekuatiran bahwa pada akhirnya Deklarasi itu dapat digunakan
Namun, apa status hukum Deklarasi dewasa ini? Ada beberapa jawaban
yang dapat diajukan untuk pertanyaan ini, yang secara berurutan mempunyai
makna normatif yang makin besar. Pertama, boleh jadi Deklarasi tetap berstatus
sebagai resolusi yang tidak mengikat. Tetapi mengingat
perkembangan-perkembangan dalam praktek PBB maupun negara di kemudian hari, posisi
minimalis ini tidak mungkin benar.
Kedua, dapat diargumentasikan bahwa Deklarasi itu merupakan tafsiran
resmi terhadap Piagam oleh salah satu organnya yang berwenang, yaitu Majelis
Umum. Argumen ini sangat masuk akal karena bahasa Mukadimah Deklarasi
menunjukkan bahwa Deklarasi itu disetujui untuk mengefektifkan kewajiban yang
tercantum dalam Pasal 55 dan 56 Piagam itu.
Ketiga, dapat dikatakan bahwa Deklarasi itu sekarang telah menjadi bagian
dari prinsip-prinsip hukum yang umum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab.
Dalam hal ini akan sukar dibantah, karena hampir semua undang-undang dasar
dalam dunia modern memuat suatu komitmen untuk melindungi hak asasi
manusia dan daftar mengenai hak-hak yang akan dilindungi.
Keempat, setelah berusia lebih dari 40 tahun, Deklarasi itu dapat dikatakan
telah menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional. Ada banyak bukti yang
mendukung pandangan ini. Banyak praktek negara mengindikasikan bahwa
Deklarasi itu merupakan patokan untuk mengukur standar hak asasi manusia
Termasuk dalam praktek negara adalah resolusi organisasi dan lembaga
internasional, pernyataan lembaga eksekutif, keikutsertaan dalam berbagai traktat
hak asasi manusia, seperti dinyatakan dengan jelas dalam Deklarasi, secara hukum
mengikat. Tetapi, kesimpulan yang paling penting barangkali adalah bahwa
Komisi Hak Asasi Manusia PBB diberi wewenang untuk menggunakan Deklarasi
guna menetapkan apakah ada pelanggaran kasar terhadap hak asasi manusia
dalam skala besar di negara-negara yang catatan hak asasinya sedang diteliti oleh
Komisi tersebut.
Beberapa pengamat akan mengajukan proposisi melampaui proposisi dasar
bahwa Deklarasi mewakili hukum kebiasaan internasional dengan menyatakan
bahwa deklarasi itu sekarang memiliki ciri-ciri Jus cogens yaitu norma-norma
yang harus dipatuhi dan tidak boleh dikurangi. Meskipun hak-hak tertentu yang
tercantum dalam Deklarasi, misalnya larangan terhadap perbudakan, memang
mempunyai sifat Jus Cogens, namun tidak semua ketetapannya bersifat demikian,
khususnya ketetapan yang mengizinkan pembatasan hak dalam kondisi tertentu.
Seandainya argumen bahwa deklarasi mewakili hukum kebiasaan
internasional diterima, maka semua negara secara hukum terikat untuk
memberikan hak asasi yang disebutkan kepada individu-individu yang berada
dalam yurisdiksinya. Sekalipun hal ini merupakan posisi teoretis yang
menyenangkan untuk disetujui, namun ada sejumlah masalah praktis yang
Pertama, hak-hak di dalam Deklarasi itu mencakup campuran hak-hak
generasi pertama, kedua, dan ketiga. Semua jenis hak ini dirumuskan sebagai
perintah yang pasti dan mendesak kepada negara-negara. Misalnya terdapat dalam
Pasal 3 yaitu hanya menyatakan “Semua orang mempunyai hak untuk hidup, hak
atas kebebasan dan keamanan pribadi.” Sebagai suatu pernyataan umum
mengenai hak asasi, rumusan ini tidak dapat disanggah.
Masalah kedua berkaitan erat dengan yang pertama. Tidak ada lembaga
secara khusus diberi kewenangan untuk menafsirkan atau menerapkan Deklarasi.
Terlepas dari masalah-masalah itu, sejumlah organ PBB, badan internasional
maupun pengadilan domestik tampaknya cukup diyakinkan bahwa beberapa hak
yang dinyatakan dalam Deklarasi, betapapun sedikitnya pernyataan itu, cukup
cermat untuk diterapkan secara umum.
Potensi politis dan moral Deklarasi itu hendaknya juga tidak diabaikan.
Deklarasi itu tidak hanya menjadi dasar penyusunan dua kovenan internasional
dan tiga traktat regional tentang hak asasi manusia, tetapi juga telah menjadi
paradigma untuk menyusun ketetapan hak asasi manusia bagi lebih dari 25
konstitusi domestik. Negara, lembaga internasional, Lembaga Swadaya
Masyarakat dan juga individu sering kali memandang Deklarasi itu sebagai batu
ujian bagi hak asasi manusia. Bahkan, John Humphrey pernah menyebut
C. Pengaturan Hak Asasi Manusia Dalam Kovenan Internasional Hak
Sipil Dan Politik (ICCPR) Tahun 1966
Apabila Deklarasi Universal dirumuskan sebagai perintah yang harus
dipatuhi kepada negara-negara untuk melindungi hak-hak tertentu, ICCPR
disusun untuk menjawab masalah-masalah praktis dalam hal perlindungan hak
asasi. Demikianlah, Kovenan ini menjabarkan secara lebih spesifik hak-hak yang
dapat dilindungi dan menyatakan dengan cukup jelas pembatasan yang dapat
dikenakan terhadap penggunaan hak-hak tertentu dalam keadaan tertentu.
Selain itu, hak-hak yang tercantum dalam ICCPR tidak sepenuhnya sesuai
dengan hak-hak yang dicantumkan dalam Deklarasi Universal. Dalam Kovenan
itu dicantumkan kewajiban negara untuk mengizinkan individu-individu yang
merupakan anggota suatu minoritas etnis, agama atau bahasa “untuk menikmati
kebudayaan mereka, menyatakan dan mempraktekkan agama mereka atau
menggunakan bahasa mereka sendiri” dalam komunitas bersama dengan
anggota-anggota lain kelompok itu (Pasal 27).
Hal lainnya yang dicantumkan adalah hak untuk bebas dari hukuman
penjara karena gagal memenuhi kewajiban kontrak (Pasal 11); hak semua orang
hukuman untuk diperlakukan secara manusiawi dengan menghormati martabat
mereka sebagai manusia (Pasal 10 (1)); dan hak atas perlindungan istimewa untuk
anak-anak (Pasal 24). Yang tidak dimasukkan dalam Kovenan ini adalah hak
suaka, hak untuk memperoleh suatu kewarganegaraan, dan hak untuk memiliki
Meskipun beberapa hak yang dilindungi oleh Kovenan itu tidak boleh
dibatasi dalam keadaan apapun juga, namun Pasal 4 menetapkan bahwa “dalam
masa darurat yang bersifat umum yang mengancam kehidupan bangsa itu”
hak-hak yang lain dapat dibatasi asalkan pembatasan itu sebanding dengan ancaman
yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif.
Pembatasan hak harus juga segara diinformasikan secara tertulis kepada
negara-negara peserta kovenan yang lain melalui Sekretaris Jendral PBB, dengan
disertai alasan mengapa hal itu dilakukan. Beberapa hak tertentu juga tunduk pada
apa yang dinamakan oleh Profesor Rosalyn Higgins sebagai ketentuan
“clawback”, yang mengizinkan dikenakannya pembatasan hak demi melindungi keselamatan umum, ketertiban umum, kesehatan atau moral umum atau hak serta
kebebasan asasi orang-orang lain.20
Ketentuan ini memberikan kepada suatu negara batas keleluasaan yang
lebih besar – suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan, namun hal ini
diimbangi dengan Pasal 5 (1) yang memasukkan unsur keseimbangan. Pasal ini
menetapkan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang
ditetapkan Kovenan ini”.
Menurut Pasal 2 (1) Kovenan itu, negara0negara peserta diwajibkan untuk
“menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang
diperuntukkan bagi semua individu yang berada di dalam apapun. Apabila
hak-hak semacam itu belum dihormati dan dijamin dalam yurisdiksi suatu negara,
20