MAKALAH
INSTRUMEN INTERNASIONAL HAM
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum dan HAM Dosen Pengampu: Moh. Nu’man, M.H
Disusun Oleh :
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA 5C FAKULTAS SYARIAH DAN ILMU HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SAYYID ALI RAHMATULLAH TULUNGAGUNG 2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik, hidayah, dan inayah-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW. Makalah ini membahas tentang “Instrumen Internasional HAM.” Tak lupa kami banyak mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. Maftukhin, M.Ag., selaku Rektor UIN SATU Tulungagung.
2. Dr. H. Nur Efendi, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah UIN SATU Tulungagung.
3. Bapak Ahmad Gelora Mahardika S.I.P., M.H selaku Kepala Jurusan Hukum Tata Negara UIN SATU Tulungagung.
4. Bapak Moh. Nu’man, M.H., selaku Dosen Mata Kuliah Hukum dan HAM yang memberikan arahan dan bimbingannya dalam pembuatan makalah.
Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kurang atau kesalahan yang belum kami ketahui. Oleh karena itu, kami mohon saran dan kritik dari semua teman-teman maupun dosen, demi tercapainya makalah yang sempurna.
Tulungagung, 18 September 2023
Penulis DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...ii DAFTAR ISI...iii BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...1 B. Rumusan Masalah...1 C. Tujuan Pembahasan...1 BAB II PEMBAHASAN
A. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia...
B. Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik...
C. Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya...
D. Instrumen-Instrumen Internasional Lainnya (Konvensi Hak Anak, Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan, serta Konvensi ILO)..
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...
B. Saran...
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) didirikan dengan tujuan utama untuk memelihara perdamaian dan keamanan, dan dengan demikian mencegah persengketaan atau konflik bersenjata yang mewarnai hubungan internasional. Dua perang dunia dalam jangka waktu hanya 30 tahun telah memorak-porandakan Eropa Barat dan juga telah meluas ke seluruh bagian dunia lainnya, termasuk Asia dan Pasifik. Liga Bangsa-Bangsa, pendahulu PBB, telah mengadvokasikan suatu sistem yang menjamin hak-hak minoritas untuk melindungi bahasa, agama, dan budaya tradisional dan rakyat perwalian yang hidup di bawah kekuasaan asing (termasuk masyarakat yang dipindahkan melintasi perbatasan, menyusul penetapan kembali batas–batas negara–negara Eropa oleh negara- negara pemenang perang)1.
Setelah Perang Dunia II, pendapat umum cenderung lebih menginginkan suatu pendekatan yang lebih luas dengan menyepakati hak–hak minimum yang harus dapat dinikmati oleh setiap orang, apakah dia orang asli, migran atau orang asing. Ini dianggap layak setelah perlakuan terhadap individu–individu di Asia Tenggara dan Eropa Tengah selama Perang Dunia II. Sudah terbukti betapa sulitnya meramalkan siapa yang membutuhkan perlindungan dan tentu tidak mungkin untuk menjamin perlindunganya.144 Hak universal untuk semua orang meniadakan rezim perlindungan minoritas. Hal ini tampak sebagai suatu solusi sederhana bagi keuntungan seluruh umat manusia, namun nyatanya sampai sekarang masih banyak kaum minoritas yang tertindas.
Lebih jauh lagi, PBB sendiri, sebagaimana yang akan diuraikan dalam bagian ini, terus berusaha untuk mengartikulasikan instrumen-instrumen tambahan yang memuat hak-hak untuk perempuan, masyarakat adat, anak-anak dan lain-lain
B. Rumusan Masalah
1) Apa yang dimaksut dengan Deklarasi Universal HAM?
2) Bagaimana Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik?
1 Prof. Philip Alston dan Prof. Franz Magnis Suseno, Hukum dan HAM, Yogyakarta; 2008, hlm 87
3) Bagaimana Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya?
4) Bagaimana Instrumen-Instrumen Lainnya (Konvensi Hak Anak, Penghapusan Diskriminasi terhadap perempuan, serta Konvensi ILO)?
C. Tujuan Pembahasan
1) Untuk Mengetahui yang dimaksut dengan Deklarasi Universal HAM 2) Untuk Mengetahui Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
3) Untuk Mengetahui Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya 4) Untuk Mengetahui Instrumen-Instrumen Lainnya (Konvensi Hak Anak, Penghapusan
Diskriminasi terhadap perempuan, serta Konvensi ILO)
BAB II PEMBAHASAN
A. Deklarasi Universal HAM
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau Universal Declaration of Human Rights adalah sebuah deklarasi yang di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Perancis melalui General Assembly Resolution 217 A (III). Deklarasi ini merupakan standar umum yang menyatakan bahwa hak asasi manusia secara internasional haruslah dilindungi. Deklarasi ini merupakan pernyataan umum pertama dari masyarakat dunia tentang hak asasi manusia dan di dalamnya termuat 30 pasal. Deklarasi ini kemudian mengilhami lahirnya berbagai perjanjian internasional, instrumen hak asasi manusia di tingkat regional, konstitusi masing – masing negara, dan UU di masing – masing negara yang terkait dengan isu – isu hak asasi manusia.
1. Struktur Peraturan Perundang-Undangan Hak Internasional (International Bill of Rights)
Pada awalnya tanggung jawab Komisi Hak Asasi Manusia meliputi tiga elemen yaitu suatu pernyataan hak dan kebebasan, suatu daftar hak dan kebebasan yang mengikat secara hukum, dan yang terakhir, suatu mekanisme untuk membuat hak-hak tersebut dapat ditegakkan sehingga memberi manfaat lansung bagi seluruh umat manusia. Ini semualah yang menjadi Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional, suatu cetak biru konstitusional untuk Tata Dunia Baru yang menentukan hak dan kebebasan yang disepakati dan dapat ditegakkan secara universal2.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) adalah elemen pertama dari Peraturan Perundang-Undangan Hak Asasi Manusia Internasional (International Bill of Rights), yakni suatu tabulasi hak dan kebebasan fundamental. Kovenan-kovenan internasional menetapkan tabulasi hak yang mengikat secara hukum dan Protokol Tambahan pada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik serta kedua komite
2 Ibid. hlm 89
yang memantau penerapan setiap Kovenan menyediakan mekanisme bagi penegakan hak-hak tersebut.
2. Dampak dan Pentingnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)
Kepatuhan terhadap prinsip-prinsip yang dicerminkan dalam DUHAM tetap menjadi kriteria kunci diakuinya suatu negara atau rezim baru oleh negara lainnya. Di samping itu, penghormatan terhadap hak asasi manusia secara nyata adalah prasyarat keanggotaan berbagai organisasi internasional dan regional, termasuk PBB. Tidak satu negara pun dapat menanggung kerugian yang dapat timbul dari pengabaian hak asasi manusia. Sebaliknya mereka harus memastikan penghormatan terhadap hak dan kebebasan yang diartikulasikan dalam Deklarasi sebagai suatu standar minimum.
Mungkin benar untuk mengatakan bahwa tidak ada instrumen internasional lain yang memiliki dampak seperti itu. Sebagaimana yang sudah dinyatakan sebelumnya, hak-hak yang ditabulasikan dalam DUHAM pada akhirnya berkembang menjadi dua kovenan internasional yang mengikat secara hukum yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP) dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (KIHESB).
B. Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik 1. Penerapan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik
Pembentukan Kovenan terjadi setelah adanya perang dunia kedua, dimana terdapat kesepakatan luas di dunia internasional tentang perlindungan manusia oleh masyarakat internasional. Sejarah menunjukkan telah terjadi kekejaman terhadap manusia dan kelompok tertentu yang memperlihatkan bahwa suatu negara gagal dalam melaksanakan kewajibannya untuk melidungi warga negaranya. Akhirnya negara- negara yang tergabung dalam PBB meminta Hak Asasi Manusia dimasukkan dalam Piagam PBB dengan langkah pertama yaitu menyusun the Universal Declaration of Human Rights, yang diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.3
Mejelis Umum PBB memerintahkan Komisi HAM untuk mempersiapkan dua perjanjian internasional yaitu kovenan untuk hak-hak sipil dan politik dan kovenan untuk hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Pada saat itu, negara-negara barat dan negara-negara sosialis belum yakin kegunannya, namun atas dukungan oleh negara-
3 Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003. hlm 14
negara dunia ketiga yang meminta untuk menyetujui hasil dari proses negosiasi yang berlangsung terdapat sejumlah perdebatan dalam proses pembentukan Kovenan ini, diantaranya soal jaminan untuk menentukan nasib sendiri.
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) pada dasarnya memuat ketentuan mengenai pembatasan penggunaan kewenangan oleh aparat represif negara, khususnya aparatur represif negara yang menjadi negara-negara pihak (state parties) ICCPR. Makanya hak-hak yang terhimpun di dalamnya juga sering disebut sebagai hak-hak negatif (negative rights) artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya dapat terpenuhi.
Ada dua klasifikasi hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR. Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yakni hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Hak-hak yang termasuk ke dalam jenis ini adalah :
a. hak atas hidup (rights to life).
b. hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture).
c. hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery).
d. hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian.
e. hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut (hak sebagai subjek hukum).
f. hak atas kebebasan berpikir, kenyakinan dan agama.
Negara-negara yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, akan mendapat ancaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (gross violation of human rights).
Sementara Kelompok kedua adalah hak-hak jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah :
a. hak atas kebebasan berkumpul secara damai.
b. hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh.
c. hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala
macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tulisan).
Tanggung jawab perlindungan dan pemenuhan atas semua hak dan kebebasan yang dijanjikan di dalam Kovenan ini adalah di pundak Negara, khususnya yang menjadi Negara Pihak pada ICCPR. Terdapat pada Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, Negara-negara Pihak diwajibkan untuk “menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini, yang diperuntukkan bagi semua induvidu yang berada di dalam wilayah dan tunduk pada yurisdiksinya” tanpa diskriminasi macam apa pun.
Prinsip-prinsip nondiskriminasi yang terdapat dalam ICCPR yakni pertama, menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui bagi semua orang yang berada dalam wilayahnya dan tunduk pada wilayah hukumnya, tanpa pembedaan apapun seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, kekayaan, kelahiran atau status lainnya. Kedua, menjamin hak-hak sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan (Pasal 3). Ketiga, semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun.
2. Penerapan Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik di Indonesia
Indonesia adalah Negara Hukum yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sebuah konsekuensi bahwa negara Indonesia wajib mengakui dan melindungi hak asasi setiap warga negaranya seperti pada konsep yang dikemukakan oleh Frederich Julius Stahle konsep Negara Hukum yakni Rechtstaat4. Stahle mengemukakan konsepnya yang ditandai oleh empat unsur pokok, yaitu :
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Negara didasarkan pada teori Trias Politica;
c. Pemerintah diselenggarakan berdasarkan undang-undang (wetmatig bestuur);
4 Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2009. hlm.
343
d. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menganani kasus per- buatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige overgheidsdaad).
Pada hakikatnya, hak adalah kepentingan yang dilindungi hukum, sedangkan kepentingan adalah tuntutan perorangan atau kelompok yang diharapkan untuk dipenuhi. Sehingga Hak Asasi Manusia adalah hak yang tidak dapat disimpangi (non- derogable rights). Mengingat era Orde Baru, masyarakat Indonesia serasa selalu dihantui oleh rasa ketakutan terhadap pemerintah sampai pada akhirnya pada tahun 1998 berhasil menumbangkan zaman yang penuh kegelapan yaitu Orde Baru menuju era politik baru yaitu Reformasi. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru membawa sejarah besar perjalanan Negara Indonesia. Kebebasan menjadi tujuan utama.
Penghormatan dan penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia mulai membaik dengan ditandai adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia5.
Amandemen UUD 1945 dilakukan, salah satu langkah pertama merubah sistem dari otoriter menuju kebebasan yang dibatasi peraturan. Pengaturan mengenai HAM di dalam konstitusi di adopsi dari UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM yang puncaknya Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) dengan di sahkan menjadi UU No. 12 tahun 2005 yang mulai diaksesi tanggal 26 Februari 2006 namun realitas penegakan instrumen-instrumen Hak Asasi Manusia tersebut dalam kehidupan masyarakat, belum sepenuhnya berjalan dengan baik karena adanya beberapa kasus yang terjadi dimana-mana karena pelanggaran hak sipil dan politik di dalamnya
C. Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) adalah adalah sebuah perjanjian multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada tanggal 3 Januari 1976. Negara yang telah meratifikasi
5 M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press. 2012. hlm. 193
(menandatangani/mengesahkan) perjanjian ini berkomitmen untuk memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya individu serta wilayah perwalian dan wilayah yang tidak memerintah sendiri. Terdapat beberapa contoh hak yang dijamin adalah hak buruh, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak atas standar kehidupan yang layak. Negara yang telah meratifikasi perjanjian ini berkomitmen untuk memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya individu dan wilayah perwalian dan wilayah yang tidak memerintah sendiri. Beberapa contoh hak yang dijamin adalah hak buruh, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak atas standar kehidupan yang layak. Pada tahun 2015, terdapat 164 negara yang telah menjadi negara anggota perjanjian ini. Enam negara lain (termasuk Amerika Serikat) telah menandatangani perjanjian ini, tetapi belum meratifikasinya. Perjanjian ini merupakan bagian dari Piagam Hak Asasi Manusia Internasional bersama dengan Deklarasi Hak Asasi Manusia Universal dan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
Perjanjian ini terdiri dari 5 bagian dan 31 pasal6.
Inti dari setiap Pasal tersebut yaitu sebagai berikut ini:
a. Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan7.
b. Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk mengambil langkah-langkah bagi tercapainya secara bertahap perwujudan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini dan memastikan pelaksanaan hak-hak tersebut tanpa pembedaan apa pun.
Negara-negara berkembang, dengan memperhatikan HAM dan perekonomian nasionalnya, dapat menentukan sampai seberapa jauh negara-negara tersebut akan
6 Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, (Jakarta Selatan: ELSAM, 2014), https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Kovenan-Internasional-Hak-Ekonomi-Sosial-dan-
Budaya.pdf, Diakses pada tanggal 16 September 2023.
7 Peradi, Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya | DPC PERADI TASIKMALAYA (peradi-tasikmalaya.or.id), diakses pada 18 September 2023
menjamin hak-hak ekonomi yang diakui dalam Kovenan ini bagi warga negara asing. Untuk ketentuan ini, diperlukan pengaturan ekonomi nasional.
c. Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
d. Pasal 4 menetapkan bahwa negara pihak hanya boleh mengenakan pembatasan atas hak-hak melalui penetapan dalam hukum, sejauh hal itu sesuai dengan sifat hak-hak tersebut dan semata-mata untuk maksud memajukan kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.
e. Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan mana pun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit.
f. Pasal 6 sampai dengan pasal 15 mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, yakni hak atas pekerjaan (Pasal 6), hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan (Pasal 7), hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh (Pasal 8), hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial (Pasal 9), hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda (Pasal 10), hak atas standar kehidupan yang memadai (Pasal 11), hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan mental yang tertinggi yang dapat dicapai (Pasal 12), hak atas pendidikan (Pasal 13 dan 14), dan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya (PasaI1).
g. Pasal 16 sampai dengan Pasal 25 mengatur hal-hal mengenai pelaksanaan Kovenan ini, yakni kewajiban negara pihak untuk menyampaikan laporan kepada Sekretaris Jenderal PBB mengenai tindakan yang telah diambil dan kemajuan yang telah dicapai dalam penaatan hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini (Pasal 16 dan Pasal 17), penanganan laporan tersebut oleh ECOSOC (Pasal 18 sampai dengan Pasal 22), kesepakatan tentang lingkup aksi internasional guna mencapai
hak-hak yang diakui dalam Kovenan (Pasal 23), penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan yang dapat ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan-badan khusus yang berkenaan dengan masalah-masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 24), dan penegasan bahwa tidak ada satu ketentuan pun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak yang melekat pada semua rakyat untuk menikmati secara penuh dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alam mereka (Pasal 25).
h. Kovenan diakhiri dengan ketentuan penutup yang mengatur pokok-pokok yang bersifat prosedural (Pasal 26 sampai dengan Pasal 31), dan yang mencakup pengaturan penandatanganan, pengesahan, aksesi, dan penyimpanan Kovenan ini, serta tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai penyimpan (depositary) (Pasal 26 dan Pasal 30), mulai berlakunya Kovenan ini (Pasa! 27), lingkup wilayah berlakunya Kovenan ini di negara pihak yang berbentuk federal (Pasal 28), prosedur perubahan (Pasal 29), dan bahasa yang digunakan dalam naskah otentik Kovenan ini (Pasal 31).
D. Instrumen-Instrumen Internasional Lainnya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Kovenan Kembar (KIHESB dan KIHSP) meletakkan dasar bagi hak asasi manusia internasional kontemporer sebagaimana didukung oleh PBB dan komunitas internasional pada umumnya. Namun, sejumlah instrumen tambahan telah dikembangkan dalam tahun-tahun setelah diterimanya DUHAM. Beberapa di antaranya lahir sebelum Kovenan kembar yang mengindikasikan ranah-ranah di mana kesepakatan dapat dicapai, sementara instrumen-instrumen lainnya diterima setelahnya. Ada dua aliran pemikiran mengenai fenomena: bagi para pengecam, banyaknya instrumen itu mencerminkan kegagalan Peraturan Perundang- Undangan Hak Internasional (International Bill of Rights) dan konsep hak universal, sementara untuk para pendukung, pembuatan instrumen-instrumen lapisan tambahan itu menciptakan dasar yang lebih kuat bagi hak-hak universal.
Pembuatan instrumen-instrumen tambahan itu ”menambal” kesenjangan- kesenjangan dalam sistem hak universal, menarik perhatian i nternasional pada kelompok- kelompok yang dirugikan (perempuan, kelompok rasial, anak, penduduk pribumi,
penyandang cacat) atau hak-hak tertentu (penyiksaan, nondiskriminasi, perbudakan).
Sedikit hak tidak tercantum dalam Peraturan Perundang-Undangan Hak Internasional. Ini lebih merupakan instumen-instrumen yang menyebutkan kembali hak-hak yang su dah diterima dalam konteks yang berbeda serta menekankan p entingnya hak-hak tersebut.
Seorang perempuan, misalnya, berhak atas semua hak universal yang tercantum dalam Peraturan Perundang-undangan Hak Internasional, namun statistik menunjukkan bahwa perempuan seringkali didiskriminasikan atas dasar gender. Oleh karenanya, Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan kemudian diterima untuk memperkuat kententuan-ketentuan Kovenan-Kovenan tersebut yang berkenaan dengan diskriminasi dan memberikan pengaruh lebih lanjut pada janji PBB guna memastikan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan8.
1. Konvensi tentang Hak Anak
Konvensi tentang Hak Anak mungkin merupakan instrumen paling terkemuka dari semua instrumen tambahan. Karena secara inheren mereka rentan, karena alasan fisiologis, anak-anak bergantung pada orang lain untuk kelangsungan hidup mereka dengan cara yang tidak dapat dibandingkan dengan kelompok-kelompok lain yang telah diberikan perlindungan cermat (pengungsi, perempuan, pekerja migran, narapidana, dan lain-lain). Bayi, misalnya, tidak dapat memberi makan kepada dirinya sendiri sehingga bergantung pada orang lain untuk memperoleh makanan esensialnya dan kelangsungan hidupnya. Anak juga dapat menderita ”pelanggaran sekunder hak asasi manusia, apabila hak atas pemelihara utama (primary carier) mereka dilanggar.
Contoh yang jelas termasuk anak-anak yang lahir dari orang tua tuna wisma karena ketiadaan perumahan yang memadai dan anak yang lahir dari perempuan yang kekurang gizi karena tidak mendapatkan Air Susu Ibu (ASI) yang cocok kualitasnya sehingga memperparah penderitaan yang diakibatkan oleh kekurangan pangan. Jadi memastikan penghormatan terhadap hak-hak universal harus tetap merupakan prioritas, karena hak anak dan hak orang yang memeliharanya seringkali berkaitan yang sampai pada tingkatan tidak dapat dipisahkan, terutama selama tahun-tahun pertumbuhan dari perkembangan anak. Di bawah naungan Organisasi Perburuhan Internasional,
8 Preambul dan lain-lain.
perlindungan lebih lanjut untuk anak telah dikembangkan dengan dikeluarkannya sejumlah konvensi yang mengatur kerja malam dan jenis-jenis pekerjaan di mana anak menjadi sasaran.
2. Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perenpuan
Dari pernyataan-pernyataan tentatif dalam Piagam PBB hingga pengulangan selama enam dasawarsa, jelas bahwa kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dimaksudkan untuk menjadi batu landasan tata dunia baru. Preambul Piagam PBB 1945 menyatakan bahwa rakyat PBB berketetapan hati untuk menegaskan keyakinan mereka akan kesetaraan hak laki-laki dan perempuan.
Sebagaimana pembukaan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, perubahan peran tradisional laki-laki dan perempuan dalam masyarakat dan keluarga diperlukan untuk dapat men capai kesetaraan penuh antara laki-laki dan perempuan. Terlepas dari perubahan sikap, barangkali tidak akan pernah ada kesetaran yang sesungguhnya antara jenis kelamin, setidaknya tidak dalam arti perlakuan yang mutlak sama. Perempuan dan laki-laki berbeda. Apa yang diperlukan adalah pengakuan atas hak perempuan untuk menikmati secara setara semua hak dan kebebasan. Jadi perempuan dan laki-laki harus dapat memperoleh keuntungan dari hak dan kebebasan sebagaimana dikukuhkan dalam berbagai tabulasi hak-hak tanpa pembedaan. Untuk banyak perempuan, perwujudan kesetaraan status di depan hukum telah menjadi isu besar yang menghalangi kemajuan kesetaraan antara jenis kelamin.
Dalam situasi yang ekstrim, hal ini dapat menghalangi perkembangan berangsur-angsur hak-hak perempuan.
3. Prinsip Konvensi-Konvensi International Labour Organisation yang Pokok (ILO)
Organisasi Perburuhan Internasional atau International Labour Organisation (ILO) dibentuk pada 1919 berdasarkan perjanjian Versailes yang mengakhiri Perang Dunia I. Liga Bangsa-Bangsa sendiri menetapkan kewajiban pada negara anggota untuk
“memastikan dan mempertahankan kondisi kerja yang adil dan manusiawi bagi laki-laki,
perempuan dan anak9.” Kewajiban ini diawasi oleh Organisasi Perburuhan Internasional yang tetap ada sebagai peninggalan terakhir Liga Bangsa-Bangsa. Organisasi Perburuhan Internasional adalah organisasi internasional pertama yang memasukkan wakil-wakil individu daripada negara. Separuh dari badan eksekutifnya terdiri dari wakil-wakil pemerintah, sedangkan separuh lainnya dibagi antara wakil-wakil pemberi kerja dan pekerja. Sekarang ini Organisasi Perburuhan Internasional adalah badan khusus PBB. Fungsinya tetap terutama un tuk menetapkan dan mempertahankan standar dalam kerja, keadilan sosial, bu kan hak asasi manusia (HAM sebagai suatu istilah yang tidak lazim digunakan). Memantau pelaksanaan instrumen-instrumen Organisasi Perburuhan Internasional biasanya dilakukan melalui laporan tahunan yang diajukan oleh negara, namun suatu mekanisme pengaduan bagi negara juga berjalan. Ada delapan konvensi hak asasi manusia dasar yang dibentuk di bawah naungan Organisasi Perburuhan Internasional. Semua konvensi dasar tersebut telah disahkan oleh Indonesia yaitu Konvensi No. 29 mengenai Kerja Paksa atau Kerja Wajib, 1930 Konvensi No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa, 1957; Konvensi No. 87 mengenai Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi, 1948; Konvensi No. 98 mengenai Penerapan Asas- Asas Hak untuk Berorganisasi dan Tawar Menawar Kolektif, tahun 1949; Konvensi No. 100 mengenai Remunerasi Setara antara Laki-Laki dan Perempuan, 1951; Konvensi No. 111 mengenai Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, 1958; Konvensi No. 138 mengenai Umur Minimum untuk Dipekerjakan, 1973; dan Konvensi No. 182 mengenai Tindakan Segera untuk Menghapuskan dan Mengurangi Bentuk Terburuk dari Pekerja Anak, 199910.
9 Pasal 23 Kovenan Liga Bangsa-Bangsa, tahun 1919.
10 Konvensi No. 1 Waktu Kerja (Industri).
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pada awalnya tanggung jawab Komisi Hak Asasi Manusia meliputi tiga elemen yaitu suatu pernyataan hak dan kebebasan, suatu daftar hak dan kebebasan yang mengikat secara hukum, dan yang terakhir, suatu mekanisme untuk membuat hak-hak tersebut dapat ditegakkan sehingga memberi manfaat lansung bagi seluruh umat manusia.
2. Ada dua klasifikasi hak-hak dan kebebasan dasar yang tercantum dalam ICCPR.
Klasifikasi pertama adalah hak-hak dalam jenis non-derogable, yakni hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihakan Sementara Kelompok kedua adalah hak-hak jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak.
3. Untuk memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya individu serta wilayah perwalian dan wilayah yang tidak memerintah sendiri. Terdapat beberapa contoh hak yang dijamin adalah hak buruh, hak kesehatan, hak pendidikan, dan hak atas standar kehidupan yang layak. Negara yang telah meratifikasi perjanjian ini berkomitmen untuk memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya individu dan wilayah perwalian dan wilayah yang tidak memerintah sendiri.
4. Pembuatan instrumen-instrumen tambahan itu ”menambal” kesenjangan-kesenjangan dalam sistem hak universal, menarik perhatian internasional pada kelompok- kelompok yang dirugikan (perempuan, kelompok rasial, anak, penduduk pribumi, penyandang cacat) atau hak-hak tertentu (penyiksaan, nondiskriminasi, perbudakan).
B. SARAN
Mudah-mudahan makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi bagi pembaca.
Serta diharapkan, setelah selesai makalah ini pembaca dapat memahami mengenai instrumen-instrumen internasional HAM . Dengan kerendahan hati, penulis merasakan
tulisan ini sangat sederhana dan jauh dari kata sempurna. Saran, kritik yang konstuktif sangat diperlukan demi kesempurnaan penulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
2009. hlm. 343
Kansil, C.S.T., Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: DJAMBATAN. 2003. hlm 14 M. Gaffar, Janedjri, Demokrasi Konstitusional. Jakarta: Konstitusi Press. 2012. hlm. 193 Pasal 23 Kovenan Liga Bangsa-Bangsa, tahun 1919.
Prof. Philip Alston dan Prof. Franz Magnis Suseno, Hukum dan HAM, Yogyakarta; 2008, hlm 87
Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, (Jakarta Selatan: ELSAM, 2014), https://referensi.elsam.or.id/wp-content/uploads/2014/09/Kovenan- Internasional-Hak-Ekonomi-Sosial-dan-Budaya.pdf, Diakses pada tanggal 16 September 2023.
Peradi, Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya | DPC PERADI TASIKMALAYA (peradi- tasikmalaya.or.id), diakses pada 18 September 2023