• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Hukum Internasional mengenai pembajakan di laut

BAB II : PENGATURAN PEMBAJAKAN DI LAUT LEPAS

B. Pengaturan Hukum Internasional mengenai pembajakan di laut

Peranan penting dari wilayah negara dalam hukum internasional tercermin dalam prinsip penghormatan terhadap integritas kewilayahan (territorial integrity) yang dimuat dalam pelbagai instrumen internasional, misalnya dalam bentuk larangan untuk melakukan intervensi terhadap masalah-masalah internal

37

Melda Kamil Ariadno, Hukum Internasional Hukum yang hidup, Penerbit Diadit Media, Jakarta, 2007, hlm 169

dari suatu negara.Meskipun demikian, sebagai akibat dari perkembangan teknologi dan ekonomi sewasa ini, dalam hubungan antar negara tampak adanya kecenderungan untuk mengurangi peran eksklusif dari wilayah negara, khususnya dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination).Namun, hingga saat ini kedaulatan teritorial tetap merupakan suatu konsep penting dalam hukum internasional dan telah melahirkan berbagai ketentuan hukum tentang perolehan dan hilangnya wilayah negara. Dalam hukum internasional perolehan dan hilangnya wilayah negara akan menimbulkan dampak terhadap kedaulatan negara atas wilayah itu. Oleh karena itu, hukum internasional tidak hanya sekedar mengatur perolehan atau hilangnya wilayah negara itu, tetapi yang lebih penting adalah dampak hukum terhadap kedaulatan negara dan penduduk yang tinggal di wilayah tersebut.Kedaulatan negara atas wilayahnya memiliki dua aspek baik positif maupun negatif.38

Setiap kehidupan bermasyarakat membutuhkan suatu tatanan perilaku yang diakui sebagai kuat dan mengikat.Adakalanya itu hanya merupakan suatu adat-istiadat atau dapat juga berupa norma-norma hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis.Tatanan perilaku itu merupakan pedoman sikap tindak dan batasan-batasan perilaku yang harus dipatuhi, dengan adanya untuk tidak mematuhinya.Sanksi tersebut dapat datang dari masyarakat maupun dari pihak yang mempunyai kekuasaan atas masyarakat tersebut.Sistem hukum adalah salah satu tatanan kehidupan yang diterapkan dalam masyarakat, jika sistem tersebut

38

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm 161-162

dijalankan di suatu lingkup negara, maka disebut sistem hukum nasional. Sebaliknya jika sistem hukum itu berlaku diantara negara-negara, maka ia disebut sebagai sistem hukum internasional.39

Secara umum, negara-negara di dunia dapat digolongkan ke dalam kedua aliran tersebut, walaupun masing-masing negara memiliki praktik kenegaraan yang berbeda-beda bekenaan dengan penerimaan hukum internasional dalam Pada dasarnya hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan antara bangsa-bangsa (“the law of nations”) atau hubungan antara negara-negara. Dengan demikian subjek hukum internasional yang paling pokok adalah negara, setelah itu baru ada subyek-subyek yang lain seperti organisasi internasional, pergerakan politik/pemberontakan (“belligerent”) ataupun individu. Masalah yang patut disoroti adalah bagaimana hubungan antara hukum internasional ini dengan hukum nasional dari masing-masing negara tersebut.Hal ini seringkali menimbulkan masalah, terutama jika timbul pertentangan kepentingan antara kedua sistem hukum tersebut.

Sudah sejak lama konsep hubungan antara kedua sistem ini menimbulkan pertentangan di antara para sarjana hukum.Kita mengenal dua aliran besar yang memandang hal tersebut secara berbeda.Masing-masing aliran mengemukakan pendapat dan alasan-alasan pendukungnya.Kedua aliran ini saling mengemukakan kelebihannya masing-masing untuk dapat diterapkan dalam kehidupan masyarakat internasional.Tentunya kedua aliran tersebut tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang dapat teridentifikasi dari argumentasi yang mereka kedepankan.

39

Melda Kamil Ariadno, Kedudukan Hukum Internasional dalam Sistem Hukum Nasional, Volume 5 Nomo5 3 April 2008, hlm 505

sistem hukum mereka. Hal ini dapat kaji lebih lanjut jika kita melihat proses pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum internasional dalam negara tersebut, baik dalam hal penerapannya di tatanan kehidupan masyarakat maupun di lembaga-lembaga peradilan negara-negara tersebut.40

Tidak ada cabang hukum internasional yang lebih banyak mengalami perubahan secara revolusioner selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setengah dekade terakhir, selain daripada hukum laut dan jalur-jalur maritim. Penandatangan akhir tahun 1982 di Jamaica oleh sejumlah besar negara yang terwakili dalam konferensi PBB tentang Hukum Laut 1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hukum internasional yang komprehensif berkaitan dengan hukum laut, mungkin merupakan perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional berkenaan dengan Laut Lepas.

Dewasa ini kedudukan hukum internasional dalam sistem hukum nasional cukup berwibawa.Hukum nasional tidak dapat begitu saja mengenyampingkan hukum internasional, bahkan pada dasarnya hukum nasional itu tunduk kepada hukum internasional (monisme dengan primat hukum internasional).

Dengan demikian jelaslah bahwa pada umumnya negara-negara mentaati kewajiban-kewajiban yang bersumber dari perjanjian dengan negara-negara lain. Ketentuan-ketentuan hukum internasional lain juga mempunyai kewibawaan dalam hukum nasional adalah ketentuan mengenai kekebalan dan hak-hak istimewa diplomatik serta perlakukan terhadap orang asing dan hal milik orang asing.

40

Sebagian besar dari konvensi yang memuat ketentuan-ketentuan hukum yang cukup penting di dalamnya, meskipun hukum yang lama banyak yang berubah karenanya, saat ini tampaknya menuntut konsensus umum dari masyarakat internasional.41

Berlawanan dengan prinsip kedaulatan maritim, prinsip “kebebasan Laut Lepas” atau kebebasan laut terbuka, sesuai dengan kepentingan-kepentingan bersama dan nyata dari negara-negara maritim.Disadari bahwa demikian seringnya terjadi, dan besarnya kesulitan yang menimpa semua negara yang mengajukan, klaim-klaim yang bertentangan terhadap bagian laut terbuka.42

Kebebasan Laut Lepas dengan demikianlah haruslah dilihat dalam kaitannya dengan kepentingan umum semua negara, khususnya menyangkut kebebasan saling hubungan antar bangsa.Barangkali perkataan “kebebasan-kebebasan” lebih tepatnya daripada ““kebebasan-kebebasan” Laut Lepas, karena selain dari kebebasan-kebebasan tidak terbatas untuk pelayaran dan penangkapan ikan, laut pun dapat dimanfaatkan secara bebas untuk tujuan-tujuan lainnya oleh semua negara. Meskipun demikian kebebasan Laut Lepas ini tidak membenarkan suatu negara membiarkan suatu keadaan kacaunya peraturan-peraturan maritim dan peraturan-peraturan aturan tertentu untuk melaksanakan yurisdiksi atas kapal-kapal di Laut Lepas menjadi demikian pentingnya guna menghindarkan keadaan-keadaan anarki. Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan yang diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara maupun swasta

41

J. G. Storge, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, hlm 322

42

di Laut Lepas tunduk pada yurisdiksi dan berhak atas perlindungan dari negara bendera kapal itu yang memungkinkan melakukan pelayaran.43

Kapal-kapal yang berlayar di bawah satu bendera tidak sah bertanggungjawab terhadap penangkapan dan penyitaan oleh negara yang benderanya dikibarkan secara tidak sah/melawan hukum dan kapal-kapal perang dari suatu negara memerintahkan agar kapal-kapal memperlihatkan benderanya.Andaikata ada kecurigaan yang masuk akal untuk menduga/mencurigai sebuah kapal terlibat dalam kegiatan pembajakan, perompakan atau perdagangan budak, kapal tersebut boleh dinaiki dan apabila perlu dilakukan penggeledahan.44

Pengaturan Laut Lepas (high seas) terdapat dalam Konvensi-Konvensi Jenewa yangmerupakan hasil dari Konferensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) I tanggal 24 Februari-27 April 1958. Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 tersebut memberikan pengertian Laut Lepasyang berbunyi : “the term high seas means all parts of the sea that are not included in theterritorial sea or in the internal waters of a State”, bahwa Laut Lepas adalah semua bagianlaut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu Negara. KonvensiJenewa 1958 ini sudah tidak berlaku lagi karena ada yang baru, yaitu Konvensi Hukum Laut 1982.Pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 tersebut sangat jauh dengan pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982.45

43 Ibid, hlm 324 44 Ibid, hlm 324 45

Abdul Alim Salam, Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi Hukum Laut Internasional (Unclos 1982) Di Indonesia, Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretariat

Konvensi Hukum Laut 1982 dalam Pasal 86 menyatakan pengertian Laut Lepas adalah semua bagian laut yang tidak termasuk Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Territorial atau Perairan Pedalaman suatu negara dan Perairan Kepulauan dalam Negara Kepulauan. Pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini sangat jauh statusnya dengan pengertian Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958. Laut Lepas menurut Konvensi Jenewa 1958 adalah hanya 3 mil dari Laut Territorial, sedangkan Laut Lepas menurut Konvensi Hukum Laut 1982 adalah dimulai dari Zona Ekonomi Eksklusif yang berarti dimulai dari 200 mil. Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, laut territorial yang sejauh 12 mil itu tunduk pada kedaulatan penuh suatu Negara, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif yang sejauh itu mempunyai status sui generic, yaitu bahwa sifat khusus yang bukan bagian dari kedaulatan Negara, tetapi juga tidak tunduk pada rejim internasional. Dalam zona ekonomi eksklusif, setiap Negara mempunyai hak-hak berdaulat dan jurisdiksi sebagaimana dijelaskan di atas.

Setiap kapal yang berlayar di laut lepas harus ada kebangsaannya karena ada ikatan antara kapal dengan Negara (genuine link) dan apabila kapal menggunakan dua negara atau lebih bendera Negara karena ingin mendapat kemudahan (flag of convenience) dianggap sebagai kapal tanpa kebangsaan. Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi

Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency) sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982.46

Laut Lepas sepenuhnya terbuka bagi semua negara, baik yang berpantaimaupun tidak.Kebebasan diberikan bagi pelayaran, penerbangan diatasnya,pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut, pembangunan pulau-pulau buatandan instalasi lainnya, penangkapan ikan serta riset ilmiah. Namun demikian semuakebebasan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan kepentingan Negara lainnya dalam melaksanakan kebebasan-kebebasan yang sama.

47

Selanjutnya Laut Lepasakan diperuntukkan bagi tujuan-tujuan damai dan tidak ada bagian dari Laut Lepas dapat tunduk pada klaim kedaulatan negara manapun. Dengan demikian setiap negara memiliki hak untuk melayarkan kapal dibawah benderanya diLaut Lepas.48

“Dibandingan dengan keadaan pada waktu sebelum dihasilkannya Konvensi Hukum laut 1982, luas perairan Laut Lepas kini menjadi berkurang karena Konvensi telah mengakui batas terluar Laut Territorial menjadi 12 mil.Demikian juga dengan kebebasan-kebebasan di Laut Lepas sebagaimana diatur dalam Konvensi Jenewa tentang Laut Lepas 1958, juga telah dikurangi karena lahirnya konsep-konsep baru.49

46

Ibid, hlm 45

47

Pasal 87 Persetujuan UNCLOS 1982

48

Pasal 88,89 dan 90 Persetujuan UNCLOS 1982

49

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2010, hlm 188

Di Laut Lepas, setiap negara baik negara pantai atau negara tidak berpantai (land-locked) dapat menikmati kebebasan-kebebasan di Laut Lepas (freedom of the high seas), yang meliputi antara lain kebebasan-kebebasan untuk berlayar, melakukan penerbangan, memasang kabel dan pipa di bawah laut, membangun pulau buatan, instalasi lainnya, menangkap ikan dan melakukan riset ilmiah kelautan. Kebebasan untuk menangkap ikan di bagian Laut Lepas dihapuskan sampai dengan batas 200 mil laut dari garis pangkal yang sekarang diberi status sebagai Zona Ekonomi Eksklusif.Setiap negara wajib untuk bekerja sama dengan

negara-negara lain untuk menetapkan tindakan-tindakan pengelolaan dan konservasi sumber daya hayati.”50

“Kebebasan-kebebasan ini tidak membenarkan suatu negara membiarkan aturan tertentu untuk melaksanakan yurisdiksi atas kapal-kapal di Laut Lepas menjadi demikian pentingnya guna menghindarkan keadaan-keadaan anarki. Sebagai suatu pegangan untuk tindakan pengawasan yang diperlukan, mulanya ditentukan bahwa semua kapal, milik negara maupun swasta. Di Laut Lepas tunduk pada yurisdiksi (pada umumnya, eksklusif) dan berhak atas perlindungan dari negara bendera kapal itu yang memungkinkan mereka melakukan pelayaran.Andaikata ada kecurigaan yng masuk akal untuk menduga/mencurigai sebuah kapal terlibat dalam kegiatan pembajakan, kapal tersebut boleh dinaiki dan apabila perlu dilakukan penggeledahan.51

Laut Lepas merupakan wilayah perairan yang lepas dari kedaulatan negara manapun, sehingga setiap kejahatan yang berada di Laut Lepas berada sepenuhnya di bawah yurisdiksi negara bendera. Hal itu didasarkan pada hukum kebiasaan internasional, yaitu bahwa jika suatu delik terjadi diatas kapal yangsedang berlayar di atas Laut Lepas, maka negara benderalah yang dianggap berwenang untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya .Dalam hal ini negara bendera memang diakui mempunyai hak yang ekslusif untuk melaksanakan yurisdiksinya, sebagaimana yang dikatakan oleh RR. Churchill bahwa :52

50 Ibid, hlm 189 51 J.G. Starke, Op.Cit, hlm 324 52

Churchill. R R and Lowe.A.V, The Law of the Sea, Manchester University Press, Manchester, UK, l983, hlm. l48.

In general , the flag State , that is, the State which has granted to a ship the right to sail under its flag, has the exclusive right to exercice legeslative and enforcement jurisdiction over its ships on the high seas”. (Secara umum,Negara Berbendera, yaituNegara yang telahdiberikan kepadakapalhak untukberlayar di

untukexerciceyurisdiksilegislatifdanpenegakan hukum terhadapkapal-kapaldi laut lepas).

Setiap negara, baik berpantai atau tidak berpantai, mempunyai hak untuk melayarkan kapal dibawah benderanya di laut lepas.53 Negara-negara pada umumnya memandang kapal-kapal mereka yang terdaftar sama seperti wilayah negara tersebut dan memiliki nasionalitet dari negara itu, sehingga negara bersangkutan dapat melakukan yurisdiksinya atas kapal-kapal mereka dilaut lepas.54

Pendaftaran kapal kepada negaranya menurut Konvensi Hukum Laut 1982 ini tidak berlaku bagi kapal-kapal yang digunakan untuk pelaksanakan tugas Perserikatan Bangsa-Bangsa, badan-badan dan lembaga khususnya atau bagi Badan Energi Atom Dunia (the International Atomic Energy Agency) sebagaimana diatur oleh Pasal 93 Konvensi Hukum Laut 1982.

Konvensi hukum laut 1982 Pasal 92 ayat 2 menetapkan bahwa kapal harus berlayar dibawah bendera suatu negara saja dan kecuali dalam hal-hal luar biasa yang dengan jelas ditentukan dalam perjanjian internasional atau dalam konvensi ini, harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif negara itu di laut lepas. Suatu kapal tidak boleh merobah bendera kebangsaannya sewaktu dalam pelayaran atau sewaktu berada di suatu pelabuhan yang disinggahinya, kecuali dalam hal adanya suatu perpindahan pemilikan yang nyata atau perubahan pendaftaran.

55

53

Pasal 90 united Nations Convention On The Law Of The Sea 1982

54

Chairul Anwar.Op.Cit. hal 66

55

Pasal 94 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang berbunyi :Every State shall effectively exercise its jurisdiction and control in administrative, technical and social matters over ships flying its flag, yang berarti adalah bahwa bahwa setiap negara harus melaksanakan secara efektif jurisdiksinya dan mengendalikannya di bidang administratif, teknis, dan sosial di atas kapal yang mengibarkan benderanya. Di laut lepas, kapal perang dan kapal untuk dinas pemerintah memiliki kekebalan penuh terhadap jurisdiksi negara mana pun kecuali negara benderanya sebagaimana diatur oleh Pasal 95-96 Konvensi.

Pasal 95 Konvensi Hukum Laut 1982 (Duties of the flag State) yang berbunyi :Kapal perang memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara manapun selain negara bendera. Sedangkan pasal 96 yakni kapal yang dimiliki atau dioperasikan oleh suatu negara dan hanya untuk dinas pemerintah, memiliki kekebalan penuh terhadap yurisdiksi negara lain kecuali negara bendera.

Hilangnya kewarganegaraan si pembajak akan lebih memudahkan bagi setiap negara untuk melaksanakan hukum internasional terhadap pelaku pembajakan di Laut Lepas.Berkaitan dengan adanya perbedaan yurisdiksi kriminal di wilayah perairan tersebut, maka penegakan yurisdiksi negara pantai harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982, serta ketentuan-ketentuan internasional lainnya yang relevan. Di tingkat regional ASEAN telah disepakati ASEAN Plan Action of Combat Transnational Crime tahun 1999 untuk penanggulangan kejahatan transnasional di lingkungan ASEAN.Pembajakan laut (piracy)

merupakan salah satu jenis kejahatan yang menjadi prioritas untuk diupayakan penanggulangannya.

Selama ini presepsi secara umum mengenai tindak kekerasan di laut selalu diidentikkan dengan istilah pembajakan laut (piracy), meskipun dalam kenyataannya terdapat beberapa kasus yang merupakan tindak kejahatan perompakan di laut (sea robbery). Kedua istilah tersebut dapat dikatakan sama hakekatnya, dan kadang secara bersamaan digunakan untuk menyebutkan suatu peristiwa tindak kekerasan di laut, tetapi sebenarnya mempunyai perbedaan mengenai wilayah yurisdiksi tempat terjadinya (locus delicti) tindak kekerasan di laut tersebut.

Pembajakan di laut mempunyai dimensi internasional karena biasanya digunakan untuk menyebutkan tindak kekerasan yang dilakukan di Laut Lepas.Sedangkan perompakan di laut lebih berdimensi nasional karena merupakan tindak kekerasan di laut yang dilakukan di bawah yurisdiksi suatu negara, dengan tujuan yang berbeda pula, meskipun juga dapat mencakup lingkup transnasional. Dengan demikian penanganan kedua jenis tindak kekerasan dilaut tersebut dapat berbeda ruang lingkup pengaturan hukumnya, meskipun dapat dilakukan dalam bentuk satu rangkaian tindakan yang sama, oleh aparat penegak hukum yang sama pula.

Laut Lepas adalah merupakan res nullius, dan kecuali apabila terdapat aturan-aturan dan batasan-batasan yang diterapkan untuk kepentingan negara-negara, Laut Lepas tidak merupakan wilayah negara manapun.Doktrin laut bebas (Freedom of the seas) berarti bahwa kegiatan-kegiatan di laut dapat dilakukan

dengan bebas dengan mengindahkan penggunaan laut untuk keperluan lainnya.Istilah Laut Lepas (high seas) pada mulanya berarti seluruh bagian laut yang tidak termasuk Perairan Pedalaman dan Laut Teritorial dari suatu negara.

Pada Konferensi Kodifikasi Den Haag 1930 atas prakarsa Liga Bangsa-Bangsa walaupun disetujui mempertimbangkan Laut Teritorial sebagai bagian dari wilayah negara pantai, dan perairan di luarnya adalah Laut Lepas, tetapi konferensi tersebut mengalami kegagalan dalam menentukan lebar Laut Teritorial. Kemudian konsepsi laut bebas ini lebih jelas terlihat di dalam Pasal 2 dari Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, yang menyatakan bahwa laut lepas adalah terbuka untuk semua bangsa, tidak ada suatu negarapun secara sah dapat melakukan pemasukan bagian dari Laut Lepas ke daerah kedaulatannya. Laut Lepas dimaksudkan untuk kepentingan perdamaian dan tidak suatu negarapun yang dapat melakukan klaim kedaulatannya atas bagian Laut Lepas.

Kebebasan di Laut Lepas dilaksanakan di bawah syarat-syarat yang ditentukan oleh Pasal-Pasal ini (dari konvensi) dan oleh aturan-aturan hukum internasional. Negara pantai maupun bukan negara pantai memiliki kebebasan yang terdiri dari :

1. Kebebasan berlayar

2. Kebebasan menangkap ikan

3. Kebebasan menempatkan kabel-kabel dan pipa bawah laut. 4. Kebebasan untuk terbang di atas Laut Lepas.

Kebebasan-kebebasan ini dan hal-hal lainnya yang dikenal oleh asas-asas umum hukum internasional, akan dilaksanakan oleh semua negara dengan

memperhatikan kepentingan negara-negara lain dalam melaksanakan kebebasan di laut.

Di dalam Konvensi Hukum Laut 1982, terlihat beberapa perubahan atas konsep Laut Lepas seperti yang didefinisikan oleh Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas. Keempat kebebasan yang disebutkan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas tetap diakui dalam Pasal 87 dari konvensi baru dan ditambahkan dengan dua macam kebebasan di Laut Lepas lainnya, yaitu

1. Kebebasan untuk membangun pulau buatan dan instalasi lainnya yang diizinkan hukum internasional, sesuai dengan ketentuan Bab VI.

2. Kebebasan riset ilmiah, sesuai ketentuan-ketentuan Bab VI dan XIII.

Perubahan lainnya adalah munculnya rejim baru Zona Ekonomi Eksklusif dengan luas 200 mil laut (Bab V, Pasal 55 – 75 ) serta rejim sumber-sumber kekayaan alam dasar laut dan tanah di bawahnya di luar batas yurisdiksi nasional di bawah Otorita Dasar Laut Internasional. Laut Lepas tunduk pada rejim yang berbeda-beda, menyangkut perikanan dan sumber daya alamnya termasuk fungsi Zona Ekonomi Eksklusif, sedangkan dasar laut dan tanah di bawahnya adalah di bawah rejim Landas Kontinen, serta wilayah laut di atasnya adalah rejim Laut Lepas.

Di dalam Konvensi Jenewa 1958 tentang Laut Lepas, dijumpai adanya definisi tentang Laut Lepas.Pasal 1 mengandung suatu definisi negatif dari pada pengertian laut lepas dan mengartikannya sebagai “…….segala bagian laut yang tidak termasuk laut teritorial atau perairan pedalaman suatu negara.Akan tetapi Konvensi Hukum Laut 1982 tidak menyebutkan suatu defenisi tentang Laut

Lepas. Dalam hal ini Konvensi Hukum Laut 1982 hanya menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan dari Laut Lepas diterapkan terhadap semua bagian dari laut yang tidak termasuk di dalam Zona Ekonomi Eksklusif, Laut Teritorial, atau Perairan Pedalaman dari suatu negara atau di dalam perairan kepulauan dari negara kepulauan.

Apabila kita membandingkan kedua Pasal dari kedua konvensi di atas maka akan kita temukan perbedaan, yaitu dalam definisi Pasal 1 Konvensi Jenewa 1958 hanya menyebutkan Laut Teritorial dan Perairan Pedalaman sebagai bagian laut yang tidak termasuk Laut Lepas. Hal ini adalah masuk akal, karena pada waktu berlakunya konvensi ini belum diatur tentang Zona Ekonomi Eksklusif dan diakuinya prinsip Negara Kepulauan, sedangkan kedua rejim yang disebutkan terakhir sudah diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982.

Pada umumnya pengertian Landas Kontinen tersebut akan mempunyai kedalamanan 130-500 meter, di sambung dengan lereng kontinen (continental Slope) dengan kedalaman 1200-3500 meter, dan di terakhir adalah tanjakan kontinen (continental rise) dengan kedalaman 3500-5500 meter. Ketiga Kontinen tersebut membentuk continental margin atau pinggiran kontinen.56

56

Departemen Kelautan dan Perikanan.Evaluasi Kebijakan Dalam Rangka Implementasi

Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) Di Indonesia. Laporan Akhir, hlm 29

Semua ketentuan tentang Landas Kontinen menurut Konvensi Jenewa 1958 diubah oleh Konvensi Hukum Laut 1982. Pengertian Landas Kontinen menurut Pasal 76 Konvensi Hukum Laut 1982 adalah sebagai berikut:

Dokumen terkait