• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai

Aktivitas negara dalam menjalankan hubungan internasional kadangkala tidak dapat terhindar dengan resiko timbulnya konflik dan kesalahan. Sehingga dibutuhkan suatu konsep dimana, ketika negara tersebut melakukan kesalahan, negara tersebut berkewajiban memulihkan atau memperbaiki kesalahannya. Dewasa ini, konsep pertanggungjawaban negara terus mengalami perkembangan sesuai dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip

fundamental hukum internasional.31

Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban

internasional yang bersifat primer (primary rules of obligation),

yakni suatu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suatu negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula. Kewajiban ini merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh

hukum.32

31

M.N. Shaw, 1986, International Law, edisi 2, Butterworths, London, hlm. 466, dalam Ian Brownlie, 1979 Principles of Public International Law, Oxford University Press, hlm. 431, seperti dikutip oleh Huala Adolf, 1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 174.

32

Arif, 2000, Pencemaran Transnasional Akibat Kebakaran Hutan di Indonesia dalam Hubungannya dengan Penerapan Prinsip Tanggung Jawab Negara, Tesis Pasca Sarjana Universitas Padjajaran, Bandung, hlm. 47.

Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara dalam kajian hukum internasional adalah untuk memberikan perlindungan kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara yang

menderita kerugian yang diakibatkannya.33 Pertanggungjawaban

negara biasanya dilakukan dalam bentuk perbaikan, rehabilitasi ataupun ganti rugi, dan bentuk pertanggungjawabannya sangat tergantung pada peristiwa yang terjadi.

Dalam praktiknya, negara yang menderita kerugian akan

meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui cara-cara

diplomatis. Disisi lain, apabila suatu negara merasa kehormatannya direndahkan, permohonan maaf resmi dari negara yang melakukan perbuatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara yang akan dilakukan. Sedangkan kesalahan negara yang menimbulkan suatu kondisi kerugian dan membutuhkan perbaikan ataupun kompensasi, jalur hukum biasanya akan diajukan kepada badan

arbitrase internasional atau tribunal untuk memutuskan suatu

perkara.34 33 Ibid. 34 Ibid, hlm. 48-49.

Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara

yaitu:35

2.3.1. Subjective fault criteria

2.3.2. Objective fault criteria

2.3.3. Strict Liability

2.3.4. Absolute Liability

Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya

kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan

adanya pertanggungjawaban negara atau tidak. Dalam konsep objective fault criteria ditentukan melalui adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari atas suatu pelanggaran terhadap suatu kewajiban internasional. Namun, negara tersebut dapat dibebaskan atas suatu tanggung jawab apabila negara tersebut

dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan

pihak ketiga.

Lebih lanjut lagi, Konsep strict liability membebani negara

dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan (commission) atau

kelalaian (ommission) pada yurisdiksinya dan akibat kelalaian atau

35

Sharon Williams, 1984, Public International Governing Trans-boundary Pollution, University of Queensland, hlm. 114-118. Dikutip oleh Marsudi Triatmodjo, hlm. 177.

perbuatan tersebut menyebabkan kerugian bagi negara lain. Akan

tetapi dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé

majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate) yang dapat melepaskan Negara dari pertanggungjawabannya. Disisi lain,

menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang

dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam

konsep ini negara bertanggung jawab penuh walaupun segala

standar telah dipenuhi.36

Dalam konteks kerusakan lingkungan, pelaksanaan kegiatan di dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut

menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to

another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibility dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya pencegahan terhadap suatu aktivitas dengan cara menetapkan

standar permisible injury atau ambang batas dari kerusakan

lingkungan. Kerusakan lingkungan (environmental injuries) dapat

pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan

36

ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan

ambang batas atau baku mutu lingkungan.37

Penetapan permisible injury dilakukan berdasarkan putusan

pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar tanggung jawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan injury of one state to another. Berbeda halnya apabila suatu

kerusakan tersebut terjadi di wilayah yang termasuk common

heritage of mankind (wilayah-wilayah yang merupakan warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah

tanggung jawab internasional (shared responsibility).38

Dalam kajian hukum lingkungan internasional, terdapat beberapa prinsip yang diakui dan diatur secara internasional. Salah

satu prinsipnya principles of good neighbourliness yang mengatur

kewajiban Negara untuk tidak menganggu kedaulatan Negara lain.

Prinsip selanjutnya yakni preservation and the protection of

environment yang menegaskan tindakan-tindakan apa saja yang perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan

37

Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, ed. 2, cet. 1, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 129-137.

38

bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian preventive principle yang mengatur terkait upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan.

Pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip diatas akan berimbas kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha perbaikan akibat perbuatannya. Pendekatan yang sama ini bisa juga dilihat dalam Pasal 2 (1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus ikut serta dalam upaya pencegahan dan mengurangi dampak pencemaran lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah mewujudkan langkah-langkah administratif dan legislatif untuk

melindungi lingkungan sehingga dapat dikatakan sebagai

pemerintah yang baik.39

Prinsip lain yang juga dikenal luas adalah kerjasama antara negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas. Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm.

Lalu ada juga prinsip polluter pays principle yang menekankan pada

prinsip ekonomi dimana negara pencemar atau Penyebab kerusakan

39

Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, 1992, International Law & The Environment, Oxford University Press, hlm. 89-93

dituntut untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar

lingkungan kembali pada kondisi semula.40 Berikutnya adalah

prinsip ’balance of interest’ keseimbangan kepentingan pihak-pihak

yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam Pasal 9 Draft on

State Responsibility. Kemudian ada juga prinsip non-diskriminasi yang mewajibkan negara untuk menanggulangi akibat-akibat yang diderita oleh Negara lain dengan cara yang sama tanpa membedakan dengan apa yang sudah dilakukan di negaranya.

Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan asas strict

liability telah dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang

disebut shifting or alleviating the burden of proofs. Penerapan asas

strict liability dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan:41

2.3.1. Strict liability with contributory negligence defense, yakni

strict liability diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya kerugian, kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu dibuktikan;

40

M Ramdan Andri GW, Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-7378 Tahun V No. I/1999, hlm. 5..

41

2.3.2. Negligence with contributory negligence defense, yakni tergugat bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan penggugat;

2.3.3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan

disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap timbulnya kerugian.

2.4 Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan dan

Dokumen terkait