HAZE POLLUTION
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata 2
Program Studi Ilmu Hukum
Diajukan Oleh: Yordan Gunawan
201401070017
Kepada:
PROGRAM PASCA SARJANA
HAZE POLLUTION
TESIS
Diajukan Guna Memenuhi Persyaratan Untuk memperoleh Gelar Sarjana Strata 2
Program Studi Ilmu Hukum
Diajukan Oleh: Yordan Gunawan
201401070017
Kepada:
PROGRAM PASCA SARJANA
ii
ASAP LINTAS BATAS NEGARA PASCA RATIFIKASI
ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
Diajukan Oleh:
Yordan Gunawan 201401070017
Telah disetujui oleh:
Pembimbing I
Dr. M. Nur Islami, S.H., M.Hum.
Pembimbing II,
iii
ASAP LINTAS BATAS NEGARA PASCA RATIFIKASI
ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
Diajukan Oleh:
Yordan Gunawan 201401070017
Tesis ini telah dipertahankan dan disahkan di depan Dewan Penguji Program Magister Ilmu Hukum
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Tanggal 23 Desember 2016
Yang terdiri dari
Dr. Yeni Widowaty, S.H., M.Hum. Ketua Tim Penguji
Dr. M. Nur Islami, S.H, M.Hum. Anggota Tim Penguji
Sunarno, S.H., M.Hum. Anggota Tim Penguji
Mengetahui
Ketua Program Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
iv Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Yordan Gunawan
NIM : 201401070017
Judul Tesis : Pertanggungjawaban Indonesia Terhadap Asap Lintas
Batas Negara Pasca Ratifikasi Asean Agreement On
Transboundary Haze Pollution
Dengan ini menyatakan bahwa tesis ini adalah asli, belum pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatau Perguruan Tinggi.
Dalam tesis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau
dipublikasikan orang lain, kecuali secara tegas telah dicantumkan sebagai
acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya, apabila di
kemudian hari terdapat ketdakbenaran, maka saya bersedia menerima
sanksi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Yogyakarta, 30 Juni 2016
v
Man Jadda wa-Jada
(Siapa yang bersungguh-sungguh, ialah yang akan sukses!)
Man Shobaro Zhofiro
(Barangsiapa yang sabar, maka ia akan beruntung)
Man qolla shidqu qolla shodiiqquhu
(Barangsiapa yang sedikit kejujurannya, maka sedikit pula temannya)
Tesis ini penulis persembahkan terkhusus untuk:
1. Papi Sarbini Djamaluddin Raden Gunawan (Alm.) dan Mami Hj.
Nur’aini Sarbini Djamaluddin;
2. Bapak H. Slamet Riyadi dan Ibu Hj. Kinaah Setinahati;
3. Istri tercinta Nur Aini Rakhmawati, S.Kom, M.Sc. Eng, Ph.D;
4. Putri-putri tersayang Syifa Aisha “Keyra” Keyrani Gunawan dan
Irelanda Sophia “Nanaz” Auliasyahnaz Gunawan;
5. Kakak-kakak tercinta: Ir. Yanuar Gunawan, Barbara Gunawan, S.E,
M.Si., Akt., Imelda Israwati Gunawan, S.P. dan Zulkarnain
vi
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya yang luar biasa kepada penulis,
hingga mampu menyelesaikan penulisan tesis ini dengan baik. Penulisan
thesis yang berjudul Pertanggungjawaban Indonesia Terhadap Asap
Lintas Batas Negara Pasca Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ini dapat terselesaikan berkat bantuan
materiil maupun immaterial dari berbagai pihak yang tidak dapat satu
persatu penulis sampaikan. Namun, penulis ingin sekali menyampaikan
penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak yang teah membantu
penyelesaian tesis ini dengan, antara lain:
1. Ibu Dr. Hj. Yenni Widowaty, S.H., M.Hum., Ketua Program Studi
Magister Ilmu Hukum, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
2. Bapak Dr. Muhammad Nur Islami, S.H., M.Hum. selaku Dosen
Pembimbing I;
3. Bapak H. Sunarno, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing II;
4. Bapak Professor Dr. H. Bambang Cipto, MA, selaku Rektor
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;
5. Bapak Dr. H. Gunawan Budiyanto, M.P, selaku wakil Rektor
vii
Pimpinan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta;
7. Prof. Dr. Sigit Riyanto, S.H, LL.M. dan Prof. Dr.. Hikmahanto
Juwana, S.H., LL.M. selaku narasumber yang telah banyak
membantu kesempurnaan informasi tesis ini;
8. Dosen-Dosen FH UMY yang selalu menyemangati penulis: Dr.
Iwan Satriawan, Pak M. Endrio Susila, Pak Nasrullah, Dr.
Muchammad Ichsan, Dr. M. Khaeruddin Hamsin, Bu Isti’anah ZA,
Bu Fadia Fitriyanti, Bu Dewi Nurul Musjtari, Pak M. Haris Aulawi,
Pak Bagus Sarnawa, dan Dr. Martino Sardi. Terima kasih sekali lagi
Bapak/Ibu semua atas doanya selalu;
9. Andika Putra, Harry Abdul Hakim, Eka Widi Astuti, Falah Al
Ghozali, Andi Agus Salim, Noviyanti, Mufidah Haulah Ramrainy
Dean Adams, Dania Amareza Pratiwi, Andi Rifky, yang selalu
membantu penulis dalam aktifitas belajar mengajar, pencarian data,
pencarian referensi dan semua kelengkapan-kelengkapan lainnya
yang memudahkan penulis untuk menyelesaikan tugas akhir ini, di
sela-sela pekerjaan yang sangat menumpuk;
viii
banyak hal yang tidak bisa penulis sebutkan satu-persatu dalam
penyelesaian tesis ini.
11. Teman-teman di Magister Ilmu Hukum yang banyak menjalani suka
duka menjalani perkuliahan, Mas Arief, Syafi’I, Pak Fahri, Bu
Yusma, dan Mbak Mita.
12. Bu Susi dan Mas Umam yang memberikan banyak sekali informasi
perkuliahan, maturnuwun atas kesabaran panjenengan berdua.
“Tiada gading yang tak retak”, tentu saja karya kecil ini masih
memerlukan banyak perbaikan di sana-sini, hingga menjadi karya yang
jauh lebih baik.
Yogyakarta, 19 Desember 2016
ix
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
ABSTRAK ... xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Permasalahan ... 8
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.5 Keaslian Penelitian ... 10
1.6 Landasan Teori ... 16
1.6.1. Teori Kerjasama Internasional ... 16
1.6.2. Teori Pertanggungjawaban Negara ... 21
1.6.3. Teori Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai ... 24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hukum Lingkungan Internasional ... 27
2.2 Pengertian Tanggungjawab Negara ... 29
2.3 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tanggungjawab Negara ... 32
2.4 Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan ... 39
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 42
3.2 Sumber Data ... 42
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 44
x
4.1.1. Sejarah Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara ... 47 4.1.2. Penyebab dan Dampak Polusi Asap Lintas batas
di Asia Tenggara... 56
4.1.3. Penjelasan Umum ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution dan Peratifikasian oleh Indonesia ... 74
4.2 Kebijakan ASEAN dan Pemerintah Indonesia terhadap
Pencemaran Asap Lintas Batas di Asia Tenggara ... 88 4.2.1 Tantangan Pengaturan Pencemaran Asap
Lintas Batas ... 88 4.2.2 Kebijakan Indonesia terhadap Pencemaran Asap
Lintas Batas ... 94
4.3 Tanggung Jawab Indonesia Terhadap Pencemaran Asap
Lintas Batas ... 102 4.3.1 Tanggung Jawab Negara Indonesia atas
Pencemeran Asap Lintas Batas dalam
Perspektif Hukum Internasional ... 102 4.3.2 Tanggung Jawab Indonesia atas Pencemaran
Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi AATHP ... 117
4.3.3 Komitmen Indonesia terhadap Zero Burning
Policy ... 134
4.4 Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pencemaran
Asap Lintas Batas dalam Perspektif Hukum
Internasional dan ASEAN ... 144 4.4.1. Penyelesaian Sengketa Pencemaran Asap Lintas
Batas dalam Hukum Internasional... 144 4.4.2. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara
Damai (Diplomatik)... 159 4.4.3. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara
Hukum... 165 4.4.4. Pilihan Mekanisme Penyelesaian Sengketa
Hukum Pencemaran Asap Lintas Batas dalam
Kerangka ASEAN ... 169
4.5 Penyelesaian Sengketa Asap Batas Lintas Negara
di Masa Datang ... 183 4.5.1. Penyelesaian Melalui Mahkamah Arbitrase
xi BAB V PENUTUP
xii
Tabel 1 Taksiran Kebakaran Hutan 1997-2013 ... 50
Tabel 2 Korban Jiwa Bencana Asap 2015 ... 68
Tabel 3 Kerugian Ekonomi Singapura Akibat Polusi Asap 1997 ... 73
xiii
Gambar 1 Selimut Asap di Asia Tenggara ... 49 Gambar 2 Perubahan Vegetasi Sebelum (a) dan Sesudah (b)
Kebakaran Juni 2013 di Provinsi Riau ... 52 Gambar 3 Lintasan Massa Udara dari Lokasi Kebakaran
xiv
Lampiran 1 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
Lampiran 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2014
Tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary
xv
sudah terjadi sejak tahun 1997, namun hingga kini masalah haze pollution
ini tetap menjadi agenda penting di ASEAN. Kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah yang paling berkontribusi
dalam pencemaran asap Malaysia dan Singapura. ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution adalah bentuk insiatif dan upaya dari ASEAN untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional dan sub regional secara terkoordinir yang berupa kesepakatan negara anggota ASEAN untuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke Negara -negara ASEAN justru merupakan -negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut. Dengan adanya ratifikasi, tentu saja menimbulkan impilkasi hukum yang harus dipatuhi oleh Indonesia sendiri. Oleh karena polusi asap yang terus terjadi di Asia Tenggara dan belum dapat tertangani secara maksimal, konsep tanggung jawab negara menjadi isu penting yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan menggunakan Teori Kerjasama Internasional, Teori Pertanggungjawaban Negara dan juta teori Penyelesaian Sengketa Damai, tulisan ini digunakan untuk menelaah bagaimana pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP? Dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN setelah ratifikasi AATHP? Selanjutnya adalah, bagaimana konsep
pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam transboundary
haze pollution? Hasil penelitian menujukkan bahwasannya pasca ratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia tidak lagi dapat dituntut karena telah polusi
asap telah menjadi tanggungjawab bersama (Shared Responsibility).
Selain itu, penelitian ini juga mendapatkan kesimpulan bahwa tanggung jawab bersama berarti Indonesia harus bertanggung jawab bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam mengatasi polusi asap lintas batas. dalam konteks penyelesaian sengketa pencemaran asap lintas batas berdasarkan pasal 27 AATHP dan apabila dikemudian hari terdapat sengketa yang muncul, para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan negosiasi. Namun jika konsultasi dan negosiasi telah ditempuh dan ternyata gagal, para pihak dapat menggunakan alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan Majelis Arbitrase Internasional.
xv
sudah terjadi sejak tahun 1997, namun hingga kini masalah haze pollution
ini tetap menjadi agenda penting di ASEAN. Kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan daerah yang paling berkontribusi
dalam pencemaran asap Malaysia dan Singapura. ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution adalah bentuk insiatif dan upaya dari ASEAN untuk meningkatkan kerjasama ditingkat regional dan sub regional secara terkoordinir yang berupa kesepakatan negara anggota ASEAN untuk penyelesaian masalah polusi asap lintas batas tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara yang “mengekspor” asap ke Negara -negara ASEAN justru merupakan -negara yang paling akhir meratifikasi AATHP tersebut. Dengan adanya ratifikasi, tentu saja menimbulkan impilkasi hukum yang harus dipatuhi oleh Indonesia sendiri. Oleh karena polusi asap yang terus terjadi di Asia Tenggara dan belum dapat tertangani secara maksimal, konsep tanggung jawab negara menjadi isu penting yang dibahas dalam penelitian ini. Dengan menggunakan Teori Kerjasama Internasional, Teori Pertanggungjawaban Negara dan juta teori Penyelesaian Sengketa Damai, tulisan ini digunakan untuk menelaah bagaimana pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca ratifikasi AATHP? Dan bagaimana mekanisme penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN setelah ratifikasi AATHP? Selanjutnya adalah, bagaimana konsep
pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam transboundary
haze pollution? Hasil penelitian menujukkan bahwasannya pasca ratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia tidak lagi dapat dituntut karena telah polusi
asap telah menjadi tanggungjawab bersama (Shared Responsibility).
Selain itu, penelitian ini juga mendapatkan kesimpulan bahwa tanggung jawab bersama berarti Indonesia harus bertanggung jawab bersama dengan negara-negara ASEAN lainnya dalam mengatasi polusi asap lintas batas. dalam konteks penyelesaian sengketa pencemaran asap lintas batas berdasarkan pasal 27 AATHP dan apabila dikemudian hari terdapat sengketa yang muncul, para pihak yang bersengketa dapat menyelesaikan masalah melalui konsultasi dan negosiasi. Namun jika konsultasi dan negosiasi telah ditempuh dan ternyata gagal, para pihak dapat menggunakan alternatif penyelesaian sengketa dengan menggunakan Majelis Arbitrase Internasional.
1 1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh
manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat
pembangunan adalah bagaimana kehidupan akan lebih baik
kedepannya. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan
dan lingkungan adalah hal yang tidak dipisahkan. Bruce Mitchell
mengatakan pengelolaan sumber daya lingkungan akan mengalami
empat situasi pokok, yaitu (a) perubahan (change); (b) kompleksitas
(complexity); (c) ketidakpastian (uncertainty); (d) konflik (conflict).1 Disisi lain, Emil Salim mengatakan bahwa sungguh pun
pembangunan telah berjalan ratusan tahun di dunia, namun baru
pada permulaan tahun tujuh puluhan, dunia mulai sadar dan cemas
akan pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup sehingga mulai
menanganinya secara sungguh-sungguh sebagai masalah dunia.2
1
Bruce Mitchell dkk, 2000, Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 1.
2
Masalah lingkungan global merupakan refleksi masyarakat
internasional atas adanya pembangunan yang mengakibatkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan. Meadows memberikan
laporan berbagai masalah yang menimpa banyak Negara di dunia
dalam sebuah laporannya yang berjudul The Limits to Growth, suatu
laporan kepada The Club of Rome (Project on the Predicament of
Mankind). Publikasi tersebut yang merupakan laporan pertama
kepada The Club of Rome (1972) mengemukakan tentang adanya 5
(lima) faktor pokok yang menentukan, dan pada akhirnya membatasi
pertumbuhan di planet bumi, yaitu “… pollution, agriculture
production, natural resources, industrial production, and pollution”.3
Dewasa ini, masalah lingkungan yang terjadi di suatu Negara
atau kawasan tertentu tidak hanya berdampak kepada negara itu
sendiri, ttetapi juga berpengaruh pula pada negara atau kawasan lain.
Kebanyakan masalah lingkungan yang bersifat lintas Negara ini
adalah masalah pencemaran lingkungan. Salah satu contoh nyata
dari masalah diatas adalah masalah kebakakaran hutan di Indonesia,
dimana Kebakaran hutan yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan,
3
tidak hanya berdampak kepada Indonesia sebagai negara sumber
kebakaran hutan, tetapi dampaknya juga dapat dirasakan oleh
Malaysia dan Singapura.4
Menyadari bahwa masalah ini bukan hanya masalah satu
negara sendiri, namun juga menjadi masalah bagi negara tetangga,
maka negara yang terdapat di kawasan atau regional tertentu perlu
melakukan suatu perjanjian atau kerja sama sebagai upaya untuk
menemukan solusi dan mengatasi masalah lingkungan tersebut.
Dalam menyikapi hal ini, ASEAN sebagai salah satu
organisasi kawasan yang telah dirintis kurang lebih 30 tahun telah
menyepakati beberapa kerja sama di berbagai bidang kegiatan, di
antaranya kerja sama politik, ekonomi dan budaya, termasuk bidang
kerja sama di bidang lingkungan hidup. Salah satu bentuk komitmen
ASEAN terhadap isu lingkungan hidup, maka pada tanggal 30 April
1 Mei 1981 di Manila diadakan pertemuan pertama para Menteri
Lingkungan Hidup yang berhasil merumuskan kerangka kerja sama
ASEAN dalam bidang lingkungan yang dituangkan dalam Manila
Declaration on the ASEAN Environment yang bertujuan untuk:5
4
Supriadi, 2010, Hukum Lingkungan di Indonesia, Cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 42.
5
“To ensure the protection of the ASEAN environment and the sustainability of its natural resources so that it can sustain continued development with the aim of eradicating poverty and attaining the highest possible quality of life of the people of the ASEAN countries.”
Lebih lanjut lagi pada Tahun 2002, dalam upaya ASEAN
untuk mencegah polusi asap melalui kerangka kerja sama telah
disepakati sebuah perjanjian regional ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution. Pembuatan AATHP ini adalah bentuk komitmen ASEAN untuk menyudahi permasalah kabut asap
yang setiap tahunnya terjadi di wilayah Asia Tenggara.
Berdasarkan pada pertemuan menteri lingkungan hidup
ASEAN dalam masalah polusi kabut asap lintas batas pada 13
Oktober 2006, Malaysia dan Singapura meminta kepada Indonesia
untuk dapat segera menyelesaikan masalah Kebakaran hutan di
negaranya. Protes Malaysia dan Singapura ini didasarkan pada
alasan bahwa Kebakaran hutan tersebut telah mengakibatkan adanya
polusi asap yang menimbulkan kerugian bagi kedua Negara tersebut.
Sektor ekonomi, pariwisata dan kesehatan merupakan sektor yang
paling terkena dampak oleh polusi kabut asap dari Indonesia, bahkan
Malaysia mengecam Indonesia karena tidak mampu mengatasi
asap.6 Kerugian sosial ekonomi dan ekologis yang timbul oleh
kebakaran hutan cukup besar, bahkan dalam beberapa hal sulit untuk
diukur dengan nilai Rupiah. Kerugian yang harus ditanggung oleh
Indonesia akibat kebakaran hutan tahun 1997 dulu diperkirakan
mencapai 5,96 trilyun Rupiah atau 70,1% dari nilai PDB sektor
kehutanan pada tahun 1997. Malaysia yang juga terkena mengalami
kerugian 300 juta Dolar Amerika di sektor industri dan pariwisata,
sedangkan Singapura mengalami kerugian sekitar US% 60 juta di
sector pariwisata.7
Seperti yang diketahui, polusi asap akibat kebakaran hutan
bertentangan dengan prinsip “Sic utere tuo ut alienum non laedes”,
yang menentukan bahwa suatu negara dilarang melakukan atau
mengijinkan dilakukannya kegiatan yang dapat merugikan Negara
lain.8 Disisi lain, pencemaran asap ini juga telah bertentangan
dengan prinsip good neighbourliness9, yang menyatakan bahwa
kedaulatan wilayah suatu negara tidak boleh diganggu oleh negara
lain.
6
Kuala Lumpur Suara Karya Online,
http://www.suarakaryaonline.com/news.html?id=118116, diakses pada tanggal 17 Maret 2015, jam 14.12 WIB.
7Portal Penelitian Universitas Andalas, “Dampak Kebakaran Hutan di Wilayah Sumatera
Barat dan Riau Terhadap Perubahan Iklim (Climate Change)”,
http://lp.unand.ac.id/?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=210, diakses pada tanggal 18 Maret 2015, jam 13.36 WIB.
8
J.G, Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 546
9
Pencemaran kabut asap lintas batas di Asia Tenggara
sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1997, namun hingga kini
masalah haze pollution ini tetap menjadi agenda penting di ASEAN.
Kebakaran hutan di pulau Sumatera dan Kalimantan merupakan
daerah yang paling berkontribusi dalam pencemaran asap Malaysia
dan Singapura. Pencemaran kabut asap mengakibatkan berbagai
macam masalah. Tidak hanya masalah lingkungan seperti
deforestisasi, tetapi juga menganggu sektor transportasi darat laut
dan udara di Indonesia dan juga Negara tetangga.10
Dalam rangka menyelesaikan permasalahan kabut asap
tersebut, maka pada tahun 1995 ASEAN melakukan perundingan
kerjasama dalam bentuk ASEAN Cooperation Plan on
Transboundary Pollution.11 Kemudian diikuti dengan Regional Haze Action Plan di tahun 1997. Lalu kemudian pada tahun 2002 ASEAN
mengesahkan The ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (AATHP) yang bertujuan untuk mencegah dan memantau pencemaran asap lintas batas Negara yang berasal dari kebakaran
10
Metro TV, http://metrotvnews/0706, diakses pada tanggal 16 Maret 2015, jam 08.23 WIB.
11
hutan dan lahan. Tujuan ini secara ekplisit termaktub di dalam Pasal
2 AATHP:
“The objective of this Agreement is to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and international co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement.”
Sebelum tahun 2014, Indonesia merupakan satu-satunya
Negara yang belum ratifikasi AATHP. Sehingga setiap pertemuan
dalam membahas Transboundary haze pollution ASEAN, Indonesia
selalu dihadapkan dengan pertanyaan terkait ratifikasi AATHP oleh
Indonesia. Akibatnya setiap pertemuan, Indonesia hanya hadir
sebagai pengamat yang tidak memiliki hak suara. Hal ini pada
akhirnya akan menyulitkan Indonesia dan ASEAN dalam rangka
menyelesaikan masalah kabut asap di Asia Tenggara. Melalui
Sidang Paripurna DPR 16 September 2014 akhirnya ratifikasi
AATHP.12 Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat
yang diperoleh Indonesia melalui ratifikasi AATHP, maka pada
akhir periode DPR RI 2009-2014, RUU tentang Pengesahan
AATHP disetujui oleh Indonesia.
12
Indonesia Ratifikasi soal Asap Lintas Batas,
Terlepas dari alasan yang menyebabkan Indonesia menjadi
negara peratifikasi terakhir AATHP, pengesahan UU tentang
Pengesahan AATHP merupakan langkah maju bagi Indonesia untuk
menunjukkan keseriusan dalam penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan. Permasalahan asap yang selama ini memojokkan
Indonesia sebagai negara pencemar (source state) sebagian tanggung
jawabnya akan menjadi tanggung jawab bersama negara-negara
ASEAN.13
1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas,
maka sekiranya sangat penting sekali mengkaji dan menelaah
bagaimana pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas batas
Negara pasca ratifikasi AATHP? Dan bagaimana mekanisme
penyelesaian hukum terhadap pencemaran asap lintas batas Negara
dalam lingkup ASEAN setelah ratifikasi AATHP? Selanjutnya
adalah, bagaimana konsep pertanggungjawaban dan mekanisme di
masa datang dalam transboundary haze pollution?
13
1.3 Tujuan Penelitian
Suatu penelitian yang dilakukan tentu harus mempunyai
tujuan dan manfaat yang ingin diperoleh dari hasil penelitian. Dalam
merumuskan tujuan penelitian, penulis berpegang pada masalah
yang telah dirumuskan. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah
mengetahui pertanggungjawaban Indonesia terhadap asap lintas
batas negara pasca ratifikasi AATHP. Di sisi lain, penelitian ini juga
bertujuan untuk mengkaji mekanisme penyelesaian hukum terhadap
pencemaran asap lintas batas Negara dalam lingkup ASEAN.
Selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan untuk membuat konsep
pertanggungjawaban dan mekanisme di masa datang dalam
transboundary haze pollution
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat Akademis
Manfaat akademis yang diharapkan adalah bahwa
hasil penelitian dapat dijadikan rujukan bagi upaya
pengembangan Ilmu Hukum, dan berguna juga untuk
menjadi referensi bagi mahasiswa, peneliti, dan ilmuwan
jawab Indonesia terhadap asap lintas batas Negara pasca
ratifikasi AATHP.
1.4.2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa hasil
penelitian ini dapat menyumbangkan pemikiran terhadap
pemecahan permasalahan yang berkaitan dengan
pertanggung jawaban Indonesia pasca ratifikasi AATHP.
Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan menjadi acuan
dalam mengetahui mekanisme penyelesaian hukum
terhadap pencemaran asap lintas batas Negara dalam
lingkup ASEAN.
1.5 Keaslian Penelitian
Penelitian yang mengangkat tema mengenai konsep
Pertanggungjawaban Negara dan Transboundary Haze Pollution
sudah pernah ada sebelumnya tetapi sepanjang penelurusan
kepustakaan di perpustakaan dan juga melalui dunia cyber, belum
ditemukan judul penelitian PERTANGGUNGJAWABAN
INDONESIA TERHADAP ASAP LINTAS BATAS NEGARA
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION, sehingga penelitian ini
memenuhi kaedah keaslian penelitian.
Adapun beberapa judul penelitian yang terkait dengan tema
diatas yang pernah ada sebelumnya, antara lain:
1.5.1. Penelitian mengenai ”Pertanggungjawaban Indonesia
Dalam Penyelesaian Kasus Transboundary Haze Pollution
Akibat Kebakaran Hutan Indonesia Berdasarkan Konsep
State Responsibility” oleh Dinarjati Eka Puspita Sari S.H.
M.Hum dan Agustina Merdekawati S.H Tahun 2007 yang
membahas terkait bentuk pertanggungajawaban Indonesia
dalam penyelesaian kasus pencemaran asap lintas batas
berdasarkan konsep state responsibility dan mengenai
langkah-langkah yang dapat Indonesia lakukan dalam
upaya menghindari tuntutan yang timbul atas masalah
Kebakaran hutan di Indonesia. Hasil pembahasan dari
penelitian ini mengungkapkan bahwa rejim
pertannggungjawaban negara yang berlaku adalah rejim
liability, kriteria pertanggungjawaban dengan konsep strict liability, tanggung jawab murni ada pada pemerintah Indonesia, jenis pemulihan atas kerugian didasarkan pada
meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution merupakan salah satu upaya yang dapat Indonesia lakukan untuk menghindari konflik dengan negara tetangga
akibat pencemaran asap lintas batas tersebut.
1.5.2. Penelitian mengenai “Penerapan Yurisdiksi Ekstrateritorial
dalam Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014
(No. 24 of 2014) Akibat Kabut Asap dari Kebakaran Hutan di Indonesia” oleh M. Triatmodjo yang mempermasalahkan
terkait bentuk pertanggungjawaban Indonesia dalam
pencemaran kabut asap lintas batas Negara di Asia
Tenggara dan problematika penerapan yurisdiksi
ekstrateritorial didalam Singapore Transboundary Haze
Pollution Act 2014 (No. 24 of 2014). Hasil pembahasan dari penelitian ini mengungkapkan bahwa Pembentukan aturan
Singapore Transboundary Haze Pollution Act 2014(No. 24 of 2014) telah sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
internasional berdasarkan prinsip yurisdiksi
kewarganegaraan pasif (passive personality
principle), yurisdiksi proteksi (protective principle), dan
berdasarkan yurisdiksi teritorial objektif (
dari pemberlakuan aturan ini adalah dalam penerapan
aturan hukum tersebut karena terbentur dengan kedaulatan
negara yang dimiliki Indonesia. Sebagaimana yang
dinyatakan oleh Mahkamah Internasional (International
Court of Justice) dalam opininya dalam Kasus Lotus (Lotus
Case). Bahwa suatu negara dapat melaksanakan
kekuasaannya di luar wilayahnya selama jika: (1)
permissive rule yang berasal dari kebiasaan internasional (international costumary law); dan (2) permissive rule yang berasal dari suatu konvensi. Kedua kriteria ini belum
dipenuhi oleh Singapura dalam rangka menegakkan aturan
nasionalnya, karena penegakan secara unilateral akan
mengalami hambatan jika harus berhadapan dengan
yurisdiksi dari negara-negara lain. Singapura bisa
menerapkan aturan tersebut dengan menjalin hubungan
bilateral dengan Indonesia, misalnya dengan kesepatakan
ekstradisi yang telah lama di usung oleh pemerintah
Indonesia dan Singapura dalam rangka penegakan kasus
korupsi yang kerap kali “melarikan diri” ke Singapura
tersebut. Namun sayangnya, kesepatan tersebut hingga kini
Singapura adalah dengan menjalin Mutual Legal Assistance (MLA) dengan Indonesia
1.5.3. Penelitian mengenai “Pertanggungjawaban Negara terhadap
Pencemaran Lingkungan Transnasional” oleh Deni Bram
Tahun 2011. Penelitian ini terkait perbedaan konsep
pertanggungjawaban Negara menurut hukum transnasional
dan hukum lingkungan internasional terhadap isu
pencemaran asap lintas batas dan mekanisme penyelesaian
sengketa pencemaran lingkungan yang bersifat
transnasional, lebih lanjut lagi, penelitian membahas terkait
pertanggungjawaban Indonesia atas kasus pencemaran asap
apabila locus delicti nya berada dalam yurisdiksi negara
Indonesia. Hasil pembahasan dari penelitian ini yaitu
pertama, keberadaan hukum lingkungan internasional sebagai salah satu cabang dari hukum internasional turut
pula membawa pemberlakuan prinsip tanggung jawab
negara dalam beberapa kasus hukum lingkungan
internasional.
Kedua, mekanisme penyelesaian hukum lingkungan internasional yang tersedia adalah pemberlakuan prinsip
dari negara yang mengalami kerugian yang merupakan
suatu bentuk absorpsi hukum lingkungan internasional
terhadap keberlakuan prinsip utama dalam hukum
internasional tersebut.
Ketiga, berdasarkan teori pertanggungjawaban negara yang
terdapat pada Draft Article on Responsibility of State for
Internationally Wrongful Act yang dirilis oleh International Law Comission pada akhir 2002, maka pemerintah Indonesia dapat dimintakan pertanggungjawaban atas
pencemaran kabut asap yang terjadi. Sebagai suatu bentuk
konsekuensi logis dari pertanggungjawaban Indonesia
adalah reparasi yang wajib dilakukan oleh pemerintah
Indonesia kepada negara tercemar seperti keadaan semula
baik kerugian yang berifat materiil hingga kepada kerugian
imateriil.
Penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian
sebelumnya dimana fokus kajian dalam penelitian sebelumnya
umumnya membahas tentang bentuk pertanggungjawaban negara
menghadapi Transboundary Haze Pollution dalam hukum
internasional secara umum, sedangkan dalam penelitian ini
AATHP oleh Indonesia dan bentuk penyelesaian sengketa yang
dapat digunakan apabila timbul sengketa antara Indonesia sebagai
Negara pencemar dan Negara tercemar kedepannya menurut hukum
internasional di ASEAN.
1.6 Landasan Teori
1.6.1. Teori Kerjasama Internasional
Kerjasama internasional muncul karena keadaan,
kebutuhan, kemampuan serta potensi dari suatu negara
yang berbeda-beda. Hal ini menyebabkan suatu negara
bekerjasama dengan negara lainnya agar dapat memenuhi
kepentingan nasionalnya di luar negeri14. Kerjasama
internasional dapat dilakukan jika suatu negara
sekurang-kurangnya memiliki dua syarat utama, yaitu adanya
keharusan menghargai kepentingan masing-masing negara
yang terlibat bekerjasama serta adanya keputusan bersama
Negara-negara yang melakukan kerjasama dalam mengatasi
setiap persoalan yang timbul dalam perjanjian tersebut15.
14
Sjamsumar Dam dan Riswandi, 1995, Kerjasama ASEAN, Latar Belakang,
Perkembangan, dan
Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 15
15
Menurut pendapat James E. Dougherty dan Robert
L. Pfaltzgraff kerjasama atau cooperation dapat muncul
dari kesepakatan masing-masing individu terhadap
kesejahteraan bersama atau sebagai akibat persepsi
kepentingan sendiri.16 Kunci dari perilaku yang mengarah
pada kerjasama terletak pada kepercayaan masing-masing
pihak (masing-masing negara) bahwa pihak lain juga akan
melakukan kerjasama, dimana masalah utama yang muncul
dari perilaku ini adalah kepentingan nasional
masing-masing negara. Bila mengarah pada persamaan kepentingan
nasional maka kerjasama yang diinginkan akan tercapai.
Hal ini didukung dengan adanya asumsi yang
bersumber pada pelaksanaan politik luar negeri yang
mengatakan bahwa baik persoalan maupun sasaran tertentu
tidak mungkin dicapai hanya dengan mengandalkan
kekuatan sendiri. Kerja sama akan diusahakan apabila
manfaat yang diperoleh diperkirakan akan lebih besar
daripada konsekuensi-konsekuensi yang harus
ditanggungnya. Oleh sebab itu keberhasilan kerjasama
16
Dougherty E, Jamesdan Pfaltzgraff, Jr LRobert, Contending Theories of International
Relatins: A
dapat diukur dari perbandingan besarnya manfaat yang
dicapai terhadap konsekuensi yang ditanggung17. Dalam
kajian hubungan internasional setidaknya ada empat bentuk
kerjasama yang diketahui, yaitu:18
1.6.1.1. Kerjasama Global
Adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di
dunia untuk bersatu dalam satu wadah yang
mampu mempersatukan cita-cita bersama
merupakan dasar utama bagi kerjasama global.
Sejarah kerja sama global dapat ditelusuri
kembali mulai dari terbentuknya kerja sama
multilateral seperti yang diperlihatkan oleh
perjanjian Westphalia (1648) dan merupakan
akar dari kerjasama global.
1.6.1.2. Kerjasama Regional
Kerjasama Regional merupakan kerjasama antar
negara-negara yang secara geografis letaknya
berdekatan. Kerjasama tersebut bisa dalam
bidang pertahanan tetapi bisa juga dibidang lain
17
Drs. R. Soeprapto, Hubungan Internasional”Sistem,Interaksi dan Perilaku”, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1997, hlm. 181
18
seperti pertanian, hukum, kebudayaan dan lain
sebaginya. Menurut Dr. Budiono, kerjasama
regional baik yang berbentuk organisasi atau
bukan, pada waktu sekarang ini mendapatkan
masalah yang cukup rumit dan kompleks.
Adapun yang menentukan terwujudnya
kerjasama regional selain kedekatan geografis,
kesamaan pandangan dibidang politik dan
kebudayaan juga perbedaan struktur
produktivitas ekonomi. Kerjasama regional
merupakan salah satu alternatif yang dapat
dipergunakan dalam mengatasi kemiskinan dan
kebodohan.
1.6.1.3. Kerjasama Fungsional
Kerjasama fungsional, permasalahan atau pun
metode kerjasamanya menjadi semakin kompleks
disebabkan oleh semakin banyaknya organisasi
kerjasama yang ada.Walaupun terdapat
kompleksitas dan banyak permasalahan yang
dihadapi dalam masalah kerjasama fungsional
pemecahannya diperlukan kesepakatan dan
keputusan politik. Kerjasama fungsional
berangkat dari pragmatisme pemikiran yang
mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada
masing-masing mitra dalam kerjasama. Dengan
demikian kerjasama fungsional tidak mungkin
terselenggara apabila diantara negara mitra
kerjasama ada yang tidak mampu untuk
mendukung suatu fungsi yang spesifik yang
diharapkan darinya oleh yang lain. Adapun
kendala yang dihadapi dalam kerjasama
fungsional terletak pada ideologi politik dan
isu-isu wilayah.
1.6.1.4. Kerjasama Ideologis
Pengertian ideologi menurut Vilfredo Pareto,
adalah alat dari suatu kelompok kepentingan
untuk membenarkan tujuan dan perjuangan
kekuasaan.Dalam hal perjuangan atau kerjasama
ideologi batas-batas teritorial tidaklah relevan.
Berbagai kelompok kepentingan berusaha
berbagai kemungkinan yang terbuka dalam
forum yang global.
Lebih jauh lagi, dalam kerjasama Internasional, hal
tersebut dapat didasari suatu perjanjian, namun apabila
belum ada perjanjian, kerjasama dapat dilakukan atas dasar
hubungan baik berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity
principle). Dalam penulisan thesis ini, penulis mengaitkan teori ini dengan kerjasama yang dilakukan
antara Negara Indonesia dan Negara tetangga dibawah
bendera ASEAN dalam upaya penanganan pencemaran
asap lintas batas di Asia Tenggara pasca ratifikasi AATHP
oleh Indonesia.
1.6.2. Teori Pertanggungjawaban Negara
Latar belakang timbulnya tanggung jawab negara
dalam hukum internasional adalah tidak ada satu negara
pun yang dapat menikmati hakhaknya tanpa menghormati
hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak
negara lain menyebabkan negara tersebut wajib untuk
memperbaiki pelanggaran hak itu. Apabila kewajiban
maka lahirlah tanggung jawab negara. Itulah sebabnya
mengapa hukum internasional melembagakan kewajiban
tersebut sebagai prinsip yang fundamental19.
Menurut Karl Zemanek, pertanggungjawaban negara
memiliki pengertian sebagai suatu tindakan salah secara
internasional, yang dilakukan suatu negara terhadap negara
lain, yang menimbulkan akibat tertentu bagi (negara)
pelakunya dalam bentuk kewajiban-kewajiban baru
terhadap korban.20
Lebih lanjut lagi, pertanggungjawaban oleh negara
biasanya diakibatkan oleh pelanggaran atas hukum
internasional. Negara dikatakan bertanggungjawab dalam
hal negara tersebut melakukan pelanggaran atas perjanjian
internasional, melanggar kedaulatan wilayah negara lain,
menyerang negara lain, menciderai perwakilan diplomatik
19
Lihat Pasal 2 Draft Articles on State Responsibility yang menyatakan bahwa “every
state is subject
to the possibility of being held to have commited an internationally wrongful act entailing
its national
responsibility”, dikutip dari Marina Spinedi et.al (ed), United Nations Codification of State
Responsibility, Oceana Publications, Inc., New York, 1987, hlm. 32
20
Karl Zemanek, Responsibility of States: General Principles, dalam Rudolf L.
Bindshdler, et.
al., Encyclopedia of Public International Law, 10, State Responsibility of States,
International Law
negara lain atau memperlakukan warga asing dengan
seenaknya. Oleh karena itu, pertanggungjawaban negara
berbeda-beda kadarnya tergantung pada kewajiban yang
diembannya atau besar kerugian yang telah ditimbulkan.21
Dalam konteks hukum lingkungan, timbulnya
tanggung jawab negara didasarkan pada adanya
tindakan-tindakan atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan yang
berada di wilayah suatu negara atau di bawah pengawasan
negara tersebut yang membawa akibat yang merugikan
lingkungan tanpa mengenal batas negara. Hukum
lingkungan internasional mengatur bahwa setiap orang
berhak atas standar kehidupan yang memadai untuk
kesehatan dan kesejahteraan dirinya teori
pertanggungjawaban negara menyatakan bahwa suatu
negara bertanggung jawab kepada negara lain bilamana
tindakan yang terjadi di negaranya menyebabkan kerugian
bagi negara lain tersebut.
21
Dalam penulisan thesis ini, penulis mengaitkan teori
ini dengan bentuk tanggung jawab yang diemban Indonesia
setelah meratifikasi AATHP dan upaya-upaya hukum apa
saja yang harus Indonesia penuhi dalam upaya pencegahan
dan penanggulangan pencemaran asap lintas batas di Asia
Tenggara.
1.6.3. Teori Prinsip Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai
Permanent Court International of Justice dalam
sengketa Mavrommatis Palestine Concession 1924 telah
mendefiniskan pengertian sengketa yaitu “disagreement on
a point of law or fact, a conflict of legal views or interest between two person”22. Menurut Mahkamah Internasional, sengketa internasional adalah situasi ketika dua Negara
mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai
dilaksanakan atau tidaknya kewajiban-kewajiban yang
terdapat dalam perjanjian. Meskipun terkadang sengketa
internasional ini hanya melibatkan dua atau lebih Negara
22
yang bersengkata, namun dapat dipastikan bahwa sengketa
tersebut dapat mengancam perdamaian dan ketertiban
internasional.
Sehingga peran hukum internasional dalam
penyelesaian sengketa internasional itu sendiri adalah
memberikan cara penyelesaian sengketanya melalui hukum
internasional yang berlaku, sehingga tidak akan merusak
sendi-sendi perdamaian yang sudah ada.
Huala Adolf dalam bukunya menjelakan bahwa
hukum internasional membagi sengketa internasional
menjadi dua, yakni sengketa politik (political or
non-justiciable dispute) dan sengketa hukum (legal or judicial dispute). Dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengatur dua bentuk penyelesaian sengketa
internasional, yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan
penggunaan kekerasan. Dalam pasal 33 Piagam PBB
menyebutkan Perundingan (Negotiation), Penyelidikan
(Enquiry), Mediasi (Mediation), Konsiliasi (Conciliation)
dan Arbitrase (Arbitration) sebagai cara-cara damai dalam
Dalam penulisan tesis ini, penulis mengaitkan teori
ini dengan mekanisme penyelesaian sengketa damai yang
dapat Indonesia piih apabila kedepannya ada sengketa antar
anggota ASEAN yang diakibatkan oleh pencemaran asap
27 2.1 Hukum Lingkungan Internasional
Hukum dan lingkungan merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, dalam kajian yang lebih jauh lagi, hukum lingkungan
telah masuk kedalam sendi-sendi internasional, hal ini terjadi ketika
pembangunan mengarah kepada kerusakan lingkungan dan dan
dibarengi dengan kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya
menjaga lingkungan tersebut. Menurut Mochtar Kusuma Atmadja,
hukum lingkungan internasional adalah keseluruhan kaedah,
azas-azas, lembaga-lembaga, dan proses-proses yang mewujudkan
kaedah tersebut dalam kenyataan.23 Hukum atau keseluruhan kaedah
dan azas yang dimaksud adalah keseluruhan kaedah dan azas yang
terkadung dalam perjanjian-perjanjian internasional maupun hukum
kebiasaan internasional, yang berobjek lingkungan hidup, yang oleh
masyarakat internasional, yaitu masyarakat Negara-negara termasuk
subjek-subjek hukum internasional bukan Negara, diwujudkan
23
dalam kehidupan bermasyarakat melalui lembaga-lembaga dan
proses kemasyarakatan internasional.24
Perkembangan hubungan internasional dan hukum
internasional selama beberapa dekade terakhir ini telah
mendefinisikan langkah maju dari hukum yang hanya saling hidup
berdampingan dan aturan hukum yang abstain menuju kerja sama
hukum yang positif, yaitu dengan negara-negara menjadi lebih
bergantung satu sama lain dalam dunia yang semakin kompleks
dengan masalah lingkungan dan sosialnya. Peningkatan jumlah
isu-isu internasional membutuhkan peraturan internasional dan
kerjasama untuk dapat mengaturnya, dan bidang hukum lingkungan
internasional adalah salah satu isu kunci dari perkembangan isu saat
ini.25
Hukum lingkungan internasional adalah salah satu cabang
ilmu yang mulai berkembang sejak tahun 60-an, United Nations
Conference on the Human Environment yang lebih dikenal dengan Konferensi Stockholm yang diadakan di Stockholm pada tahun 1972
merupakan konferensi dengan isu lingkungan hidup internasional
yang pertama kali dilaksanakan. Konferensi Stockholm merupakan
24
Ida Bagus Wyasa Putra, 2003, Hukum Lingkungan Internasional: Perspektif Bisnis Internasional, Refika Aditama, Bandung, hlm. 1.
25Jurgen Friedrich, 2013, International Environmental “soft law”, New York, Springer,
titik balik dalam perkembangan politik lingkungan hidup
internasional.26 Konferensi Stockholm melahirkan konsep “Hanya
Ada Satu Bumi” (Only One Earth).
Penting untuk menyadari bahwa hukum lingkungan
internasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hukum
publik internasional. Prinsip-prinsip hukum publik internasional
seperti kewajiban untuk bernegosiasi dengan itikad baik, prinsip
bertetangga baik dan pemberitahuan (notification), dan tugas untuk
menyelesaikan sengketa secara damai juga berlaku pada hukum
lingkungan internasional. Pada saat yang sama, pengembangan
prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional dan konsepnya
dapat mempengaruhi perkembangan prinsip-prinsip di bidang
hukum internasional.27
2.2 Pengertian Tanggungjawab Negara
Tanggung jawab secara harfiah dapat diartikan sebagai
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya jika terjadi apa-apa
boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan atau juga berarti hak
yang berfungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikapnya oleh
26
John Baylis, Steve Smith, 2005, The Globalization of World Politics (3rd ed), Oxford University Press, hlm. 454-455.
27
pihak lain.28 Dalam kajian hukum internasional,
pertanggungjawaban negara timbul akan timbul apabila suatu
Negara telah melanggar atau menganggu batas-batas wilayah Negara
baik langsung ataupun tidak langsung dan perbuatan tersebut telah
merugikan Negara lain. Dalam praktiknya pertanggungjawaban
negara dibatasi pada pertanggungjawaban atas perbuatan yang
melanggar hukum internasional saja. Sehingga bias dikatakan,
apabila suatu perbuatan negara yang merugikan negara lain tetapi
perbuatan tersebut tidak dikategorikan melanggar hukum
internasional, maka perbuatan tersebut tidak menimbulkan
pertanggungjawaban. Salah satu contoh konkritnya adalahperbuatan
negara menolak seorang warga negara asing yang masuk ke dalam
wilayah negaranya.29
State responsibilities atau pertanggungjawaban negara mengandung kewajiban dari suatu negara untuk memperbaiki
kerusakan yang dihasilkan dari sebuah serangan yang dilakukan
dalam wilayah yurisdiksinya dan melawan anggota lainnya dari
komunitas internasional.30 Sehingga dapat dikatakan bahwa, adanya
28
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 1006.
29
F, Soegeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Penerbitan UAJ Yogyakarta, hlm. 77.
30
konsep pertanggungjawaban negara adalah bentuk perlindungan
hukum dalam konteks internasional dan upaya sadar untuk
mencegah suatu kondisi yang berpotensi menimbulkan konflik.
Salah satu prinsip yang diakui dan dilindungi oleh hukum
internasional adalah prinsip kedaulatan negara, dimana setiap negara
berhak untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu di dalam
yuridiksinya. Akan tetapi dalam konteks hubungan internasional,
setiap negara harus dan wajib menghormati serta mengakui
kedaulatan negara. Namun kedaulatan tersebut bukanlah tidak ada
batasnya, dimana setiap negara dalam menikmati hak kedaulatannya
berkewajiban untuk tidak menyalahgunakan kedaulatan tersebut.
Suatu Negara dapat dimintai pertanggungjawaban untuk
tindakan-tindakannya yang melawan hukum akibat perbuatan dan
kelalaiannya. Latar belakang adanya tanggung jawab di dalam
hukum internasional adalah bentuk upaya sadar masyarakat
internasional untuk dapat hidup berdampingan, dimana setiap negara
bebas menikmati haknya namun dibarengi dengan kewajiban untuk
menghormati hak-hak negara lain. Sehingga, setiap perbuatan atau
kelalaian yang menimbulkan hilangnya hak negara lain, mewajibkan
2.3 Pengaturan Hukum Internasional Mengenai Tanggungjawab Negara
Aktivitas negara dalam menjalankan hubungan internasional
kadangkala tidak dapat terhindar dengan resiko timbulnya konflik
dan kesalahan. Sehingga dibutuhkan suatu konsep dimana, ketika
negara tersebut melakukan kesalahan, negara tersebut berkewajiban
memulihkan atau memperbaiki kesalahannya. Dewasa ini, konsep
pertanggungjawaban negara terus mengalami perkembangan sesuai
dengan perkembangan jaman. Para ahli hukum internasional
mengakui bahwa tanggung jawab negara merupakan suatu prinsip
fundamental hukum internasional.31
Prinsip tanggung jawab negara lahir dari kewajiban
internasional yang bersifat primer (primary rules of obligation),
yakni suatu prinsip keseimbangan antara hak dan kewajiban suatu
negara. Setiap negara yang menyandang hak tertentu adalah juga
merupakan subjek yang mendukung kewajiban tertentu pula.
Kewajiban ini merupakan sisi lain dari hak yang diberikan oleh
hukum.32
31
M.N. Shaw, 1986, International Law, edisi 2, Butterworths, London, hlm. 466, dalam Ian Brownlie, 1979 Principles of Public International Law, Oxford University Press, hlm. 431, seperti dikutip oleh Huala Adolf, 1996, Aspek-Aspek Negara dalam Hukum Internasional, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 174.
32
Fungsi dasar dari prinsip tanggung jawab negara dalam
kajian hukum internasional adalah untuk memberikan perlindungan
kepada setiap negara, antara lain dengan cara mewajibkan setiap
negara pelanggar membayar ganti rugi kepada negara yang
menderita kerugian yang diakibatkannya.33 Pertanggungjawaban
negara biasanya dilakukan dalam bentuk perbaikan, rehabilitasi
ataupun ganti rugi, dan bentuk pertanggungjawabannya sangat
tergantung pada peristiwa yang terjadi.
Dalam praktiknya, negara yang menderita kerugian akan
meminta sesuatu yang bersifat satisfaction melalui cara-cara
diplomatis. Disisi lain, apabila suatu negara merasa kehormatannya
direndahkan, permohonan maaf resmi dari negara yang melakukan
perbuatan tersebut merupakan bentuk tanggung jawab negara yang
akan dilakukan. Sedangkan kesalahan negara yang menimbulkan
suatu kondisi kerugian dan membutuhkan perbaikan ataupun
kompensasi, jalur hukum biasanya akan diajukan kepada badan
arbitrase internasional atau tribunal untuk memutuskan suatu
perkara.34
33
Ibid.
34
Menurut Sharon Williams, ada empat kriteria yang dapat
digunakan untuk menetapkan adanya pertanggungjawaban negara
yaitu:35
2.3.1. Subjective fault criteria
2.3.2. Objective fault criteria
2.3.3. Strict Liability
2.3.4. Absolute Liability
Subjective fault criteria menentukan arti pentingnya
kesalahan, baik dolus maupun culpa si pelaku untuk menetapkan
adanya pertanggungjawaban negara atau tidak. Dalam konsep
objective fault criteria ditentukan melalui adanya pertanggungjawaban negara yang timbul dari atas suatu pelanggaran
terhadap suatu kewajiban internasional. Namun, negara tersebut
dapat dibebaskan atas suatu tanggung jawab apabila negara tersebut
dapat menunjukkan adanya forcé majeure atau adanya tindakan
pihak ketiga.
Lebih lanjut lagi, Konsep strict liability membebani negara
dengan pertanggungjawaban terhadap perbuatan (commission) atau
kelalaian (ommission) pada yurisdiksinya dan akibat kelalaian atau
35
perbuatan tersebut menyebabkan kerugian bagi negara lain. Akan
tetapi dalam konsep ini acts of God, tindakan pihak ketiga atau forcé
majeure dapat digunakan sebagai alasan pemaaf (exculpate) yang dapat melepaskan Negara dari pertanggungjawabannya. Disisi lain,
menurut konsep absolute liability tidak ada alasan pemaaf yang
dapat digunakan seperti dalam strict liability, sehingga dalam
konsep ini negara bertanggung jawab penuh walaupun segala
standar telah dipenuhi.36
Dalam konteks kerusakan lingkungan, pelaksanaan kegiatan
di dalam suatu wilayah negara terhadap lingkungannya merupakan
perwujudan kedaulatan dari suatu negara. Jika kegiatan tersebut
menimbulkan kerugian bagi negara lainnya (the act injuries to
another states) maka timbullah tanggung jawab negara. Prinsip responsibility dikaitkan pula dengan legal strategy, yakni upaya pencegahan terhadap suatu aktivitas dengan cara menetapkan
standar permisible injury atau ambang batas dari kerusakan
lingkungan. Kerusakan lingkungan (environmental injuries) dapat
pula dianggap sebagai ongkos eksternal yang timbul dari kegiatan
36
ekonomi. Adanya kerusakan lingkungan ditetapkan berdasarkan
ambang batas atau baku mutu lingkungan.37
Penetapan permisible injury dilakukan berdasarkan putusan
pengadilan internasional, atau penetapan standar perbuatan yang
dapat menimbulkan kerusakan lingkungan, dan melalui pelaksanaan
fungsi pengaturan oleh badan-badan internasional. Sebagian besar
tanggung jawab negara ini didasarkan pada ketentuan larangan
injury of one state to another. Berbeda halnya apabila suatu
kerusakan tersebut terjadi di wilayah yang termasuk common
heritage of mankind (wilayah-wilayah yang merupakan warisan bersama umat manusia) maka tanggung jawab yang timbul adalah
tanggung jawab internasional (shared responsibility).38
Dalam kajian hukum lingkungan internasional, terdapat
beberapa prinsip yang diakui dan diatur secara internasional. Salah
satu prinsipnya principles of good neighbourliness yang mengatur
kewajiban Negara untuk tidak menganggu kedaulatan Negara lain.
Prinsip selanjutnya yakni preservation and the protection of
environment yang menegaskan tindakan-tindakan apa saja yang perlu diambil untuk mencegah dampak buruk kerusakan lingkungan
37
Daud Silalahi, 1996, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan di Indonesia, ed. 2, cet. 1, Penerbit Alumni, Bandung, hlm. 129-137.
38
bagi kondisi yang baik di masa depan. Kemudian preventive principle yang mengatur terkait upaya-upaya pencegahan kerusakan lingkungan.
Pelanggaraan terhadap prinsip-prinsip diatas akan berimbas
kepada penerapan prinsip berikutnya yakni prinsip ke 21 Deklarasi
Stockholm yang menuntut negara pencemar untuk melakukan usaha
perbaikan akibat perbuatannya. Pendekatan yang sama ini bisa juga
dilihat dalam Pasal 2 (1) dari Konvensi ECE tentang Pengendalian
Dampak Lingkungan yang menyatakan setiap negara harus ikut serta
dalam upaya pencegahan dan mengurangi dampak pencemaran
lintas batas. Pada umumnya kewajiban setiap negara adalah
mewujudkan langkah-langkah administratif dan legislatif untuk
melindungi lingkungan sehingga dapat dikatakan sebagai
pemerintah yang baik.39
Prinsip lain yang juga dikenal luas adalah kerjasama antara
negara untuk mitigasi resiko kerusakan lingkungan lintas batas.
Prinsip ini juga tercantum dalam prinsip ke 24 Deklarasi Stockholm.
Lalu ada juga prinsip polluter pays principle yang menekankan pada
prinsip ekonomi dimana negara pencemar atau Penyebab kerusakan
39
dituntut untuk membiayai tindakan yang dibutuhkan agar
lingkungan kembali pada kondisi semula.40 Berikutnya adalah
prinsip ’balance of interest’ keseimbangan kepentingan pihak-pihak
yang telah dirugikan. Prinsip ini terdapat di dalam Pasal 9 Draft on
State Responsibility. Kemudian ada juga prinsip non-diskriminasi yang mewajibkan negara untuk menanggulangi akibat-akibat yang
diderita oleh Negara lain dengan cara yang sama tanpa membedakan
dengan apa yang sudah dilakukan di negaranya.
Berdasarkan prinsip pencemar membayar dan asas strict
liability telah dikembangkan prosedur tentang pembuktian yang
disebut shifting or alleviating the burden of proofs. Penerapan asas
strict liability dapat dilakukan dengan beberapa kemungkinan:41
2.3.1. Strict liability with contributory negligence defense, yakni
strict liability diterapkan kepada tergugat sepanjang pihak korban tidak mempunyai andil kesalahan atas timbulnya
kerugian, kesalahan dari pihak tergugat tidak perlu
dibuktikan;
40
M Ramdan Andri GW, Masalah Ganti Kerugian Dalam Penegakan Hukum Lingkungan Secara Perdata, Beberapa Analisis Atas Teori Pertanggungjawaban (“Liability Theories”), Asuransi, Dan Dana Ganti Kerugian, Jurnal Hukum Lingkungan ISSN 0854-7378 Tahun V No. I/1999, hlm. 5..
41
2.3.2. Negligence with contributory negligence defense, yakni tergugat bertanggungjawab apabila kerugian itu timbul
karena kesalahannya, beban pembuktian ada pada tangan
penggugat;
2.3.3. Comparative negligence, yakni ganti kerugian akan
disesuaikan dengan proporsi dari besarnya andil terhadap
timbulnya kerugian.
2.4 Transboundary Haze Pollution Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan
Eksploitasi hutan yang berlebihan demi lahan perkebunan,
pembersihan lahan dengan metode (land clearing) oleh
perusahaan-perusahaan dengan cara pembakaran hutan secara terbuka demi
menekan biaya produksi merupakan salah satu penyebab terjadinya
Tranboundary Haze Pollution atau yang lebih dikenal juga sebagai polusi kabut asap. Kebakaran hutan yang menghasilkan polusi asap
tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara tempat terjadinya
kebakaran, namun juga menyebabkan kerugian pada negara lain.
Sejak tahun 1997, kebakaran hutan telah menjadi peristiwa tahunan
Pada kurun waktu 1997-1998 saja, kebakaran hutan telah
mengakibatkan kerugian negara sebesar 3 Milyar Dollar Amerika.42
Transboundary haze pollution sejatinya telah melanggar hak-hak warga negara yang telah dijamin konstitusi dan juga hukum
internasional. Seperti hak atas lingkungan yang baik dan sehat yang
tertera dalam prinsip 21 deklarasi Stockholm, hak mengajukan
gugatan, hak atas perlakuan yang sama dan juga yang tidak kalah
penting adalah hak anak cucu bagi lingkungan yang baik kelak.43
Besarnya dampak negatif yang dihasilkan oleh polusi asap
terhadap lingkungan, telah menggerakkan Negara-negara di ASEAN
untuk mengesahkan sebuah perjanjian lingkungan hidup yang
bertujuan untuk mengendalikan pencemaran polusi asap di Asia
Tenggara yaitu The ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (AATHP).44 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution ditandatangani tanggal 10 Juni tahun 2002 di Kuala
Lumpur, Malaysia. Pada saat itu negara-negara yang
menandatangani adalah Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia,
42 “WWF desak Indonesia ratifikasi perjanjian asap”,
http://www.bakornaspb.go.id/website/index.php?option=com_content&task=view&id=1 691&Itemid=120, diakses pada tanggal 3 April 2015, jam 10.28 WIB.
43
Patricia W. Birnie, Alan e. Boyle, 1992, International Law & the Environment, Oxford, hlm. 190-214
44 “Sekretariat ASEAN” diakses dari Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap
Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan
Vietnam.
Pada dasarnya, perjanjian ini menekankan kembali kepada
Deklarasi ASEAN 8 Agustus 1967 yang menjadi titik awal
kerjasama regional diantara negara-negara ASEAN. Dalam beberapa
poin, perjanjian ini juga mengingat kembali pada pertemuan di
Kuala Lumpur mengenai Lingkungan dan Pembangunan yang
menyatakan perlunya pencegahan polusi lintas batas Negara, dan
juga sebagai tidak lanjut ASEAN Cooperation Plan on
Transboundary Pollution yang khusus membahas mengenai polusi lintas batas negara, dan menetapkan prosedur dan mekanisme
kerjasama diantara negara ASEAN dalam pencegahan dan mitigasi
kebakaran hutan dan kabut asap.45
45
42 3.1 Jenis Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
adalah penelitian yuridis normatif yang bersumber dari studi
kepustakaan. Tipe penelitian yang digunakan menurut sifatnya
adalah penelitian deskriptif eksplanatoris karena menggambarkan
sekaligus memberikan data seteliti mungkin mengenai manusia,
keadaan, atau gejala-gejala lainnya dengan maksud terutama untuk
memperkuat teori sebelumnya dan menyusun konsep baru yang di
bangun dari penelitian ini.46
3.2 Sumber Data
Jenis data yang digunakan adalah data sekunder, yaitu data
yang diperoleh dari studi kepustakaan atau studi literatur. Dari sudut
tipe-tipenya, maka data sekunder dapat dibedakan antara data
sekunder yang bersifat pribadi dan data sekunder yang bersifat
publik. Data sekunder yang bersifat pribadi seperti surat-surat dan
46
buku harian serta data pribadi yang tersimpan di lembaga tempat
yang bersangkutan bekerja. Data sekunder yang bersifat publik
adalah antara lain data arsip, data resmi, dan data lain yang
dipublikasikan misalnya peraturan internasional. Bahan hukum yang
digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan hukum primer,
sekunder, dan tersier.47
Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah berbagai
peraturan perundang-undangan nasional dan instrument lain yang
menjadi sumber Hukum Internasional terkait dengan pembahasan
tesis ini. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah berbagai
literatur, yaitu buku, artikel, media massa, makalah serta jurnal
ilmiah yang terkait dengan masalah yang tengah dibahas.
Sedangkan, bahan hukum tersier yang digunakan adalah antara lain
ensiklopedia, kamus, dan berbagai bahan yang dapat memberikan
petunjuk serta penjelasan mengenai bahan hukum primer maupun
sekunder.
Selain alat pengumpulan data berupa studi kepustakaan,
penulis juga melakukan wawancara kepada pihak-pihak terkait
dengan judul tesis penulis. Wawancara yang dilakukan kepada
47
narasumber-narasumber tersebut bertujuan untuk mengetahui lebih
dalam mengenai hal-hal yang terdapat dalam bahan pustaka dan
untuk mengetahui hal-hal yang tidak ada dalam bahan pustaka.
3.3 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan
peneliti untuk mendapatkan data dalam suatu penelitian. Pada
penelitian kali ini peneliti memilih jenis penelitian kualitatif maka
data yang diperoleh haruslah mendalam, jelas dan spesifik.
Selanjutnya dijelaskan oleh Sugiyono bahwa pengumpulan data
dapat diperoleh dari hasil observasi, studi pustaka, wawancara,
dokumentasi, dan gabungan/triangulasi. Pada penelitian ini peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data dengan cara studi pustaka
dan wawancara.48
Studi Pustaka yaitu teknik pengumpulan d