• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG

C. Pengaturan Hukum Internasional Tentang Perlindungan

a. The Stockhom Declaration of 1972

Hukum lingkungan Indonesia mulai berkembang semenjak zaman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda, tetapi hukum lingkungan pada masa itu

Universitas Sumatera Utara

25

bersifat atau berorientasikan pemakaian (use-oriented law). Hukum lingkungan Indonesia kemudian berubah sifatnya menjadi hukum yang berorientasikan tidak saja pada pemakaian, tetapi juga perlindungan (environment-oriented law).

Perubahan ini tidak terlepas dari pengaruh lahirnya hukum lingkungan internasional modern, yang ditandai dengan lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 (the Stockholm Declaration of 1972). Perkembangan hukum lingkungan Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum lingkungan Internasional.30

Pada tahun 1972, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) telah berhasil mempertemukan negara-negara di dunia dalam suatu konferensi tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm. Konferensi ini berhasil mengeluarkan output berupa Deklarasi Stockholm 1972. Sekalipun Deklarasi ini tidak sebagai sumber langsung hukum internasional, tetapi merupakan soft law yang harus dipatuhi oleh masyarakat internasional untuk membentuk hukum di masa datang (the future law).31

Deklarasi Stockholm 1972, merupakan pilar dari perkembangan hukum lingkungan internasional. Indonesia, sebagai negara yang ikut menandatangani Deklarasi ini,32 harus mengimplementasikan ketentuan Deklarasi tersebut dalam yurisdiksinya. Sebagai tanda kepatuhan Indonesia kepada norma hukum internasional, Pemerintah mengundangkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya

30 Sukanda Husin, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.1.

31 Ibid.hlm.24.

32 Mostafa Kamal Tolba, Ed, Evolving Environmental Perceptions: From Stockholm to Nairobi, Butterworths, London 1988,hlm.208.

Universitas Sumatera Utara

disingkat dengan UUKPPLH).33 UUKPPLH ini merupakan undang-undang pertama yang bersifat integral untuk melindungi lingkungan hidup di Indonesia.

UUKPPLH diundangkan sepuluh tahun setelah dikeluarkannya Deklarasi Stockholm.

UUKPPLH merupakan ketentuan payung (umbrella act) bagi semua peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup. Ini berarti semua peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum lahirnya UUKPPLH masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan umbrella act dan begitu pula halnya dengan penyusunan peraturan perundang-undangan baru tidak boleh bertentangan dengan UUKPPLH.34

Konferensi Stockholm yang dilaksanakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 merupakan forum internasional yang membahas persoalan-persoalan penting pembangunan dan lingkungan hidup. Konferensi tersebut merupakan tonggak baru bagi masyarkat internasional yang menghasilkan prinsip-prinsip penting untuk mengatur pembangunan yang berorientasi lingkungan. Terlaksananya konferensi Stockholm telah mampu menumbuhkan dan mendorong semangat masyarakat internasional untuk memahami dan menyadari akan pentingnya lingkungan hidup yang perlu dilekatkan sebagai satu kesatuan dalam pembangunan.35

Deklarasi Stockholm memicu lahirnya beberapa konvensi internasional yang melindungi lingkungan hidup. Di antara konvensi itu adalah Konvensi Paris

33 Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup”(selanjutnya disingkat UKPPLH), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 No. 12.

34 Sukanda Husin, Op Cit.hlm.4.

35Absori,Penegakan Hukum Lingkungan dan Antisipasi dalam Era Perdagangan Bebas,(Surakarta:Muhammadiyah University Press,2001), hlm.119

Universitas Sumatera Utara

27

1974, Konvensi London 1976, Konvensi Hukum Laut 1982, Konvensi Wina 1985, Konvensi Perubahan Iklim 1992, Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992, dan lain lainnya.36

Deklarasi Stockholm 1972 yang ditandatangani oleh 113 kepala negara berisikan 26 prinsip pembangunan. Deklarasi ini meminta negara-negara di dunia untuk melaksanakan pembangunan demi memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup generasi hari ini dengan tidak mengurangi hak generasi mendatang untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Konsep ini disebut Suistainable Development atau Pembangunan Berkelanjutan yang kemudian dijadikan prinsip hukum dalam Deklarasi Rio 1992.37

Isi 26 poin yang dihasilkan dalam Deklarasi Stockholm 19721 mengenai isu lingkungan dan pembangunan yakni :

1. Hak asasi manusia harus ditegaskan, segala bentuk apartheid dan penjajahan harus dihapuskan

2. Sumber Daya Alam (SDA) harus dijaga

3. Kapasitas Bumi untuk menghasilkan sumber daya yang dapat diperbaharui harus dilestarikan

4. Satwa liar harus dijaga

5. Sumber daya yang tidak dapat diperbaharui harus dibagi dan tidak dihabiskan

6. Polusi yang timbul tidak boleh melebihi kapasitas untuk membersihkan secara alami

7. Pencemaran laut yang merusak harus dicegah

36 Sukanda Husin,Op Cit.hlm.21.

37 Ibid

Universitas Sumatera Utara

8. Pembangunan dibutuhkan untuk memperbaiki lingkungan 9. Negara-negara berkembang membutuhkan bantuan

10. Negara-negara berkembang memerlukan harga ekspor yang wajar untuk mengelola lingkungan

11. Kebijakan lingkungan tidak boleh menghambat pembangunan

12. Negara-negara berkembang memerlukan uang untuk meningkatkan pelestarian lingkungan

13. Perencanaan pembangunan yang berkelanjutan diperlukan

14. Perencanaan rasional harus menyelesaikan konflik antara lingkungan dan pembangunan

15. Pemukiman penduduk harus direncanakan untuk menghilangkan masalah lingkungan

16. Pemerintah harus merencanakan kebijakan kependudukan yang sesuai 17. Lembaga nasional harus merencanakan pengembangan sumber daya alam

negara

18. Ilmu pengetahuan dan teknologi harus digunakan untuk mengembangkan lingkungan

19. Pendidikan lingkungan sangat penting

20. Penelitian lingkungan harus didukung, terutama di negara berkembang 21. Negara boleh memanfaatkan sumber daya yang ada, tapi tidak boleh

membahayakan orang lain

22. Kompensasi diperlukan jika ada negara yang membahayakan 23. Tiap negara harus menetapkan standar masing-masing 24. Harus ada kerjasama dalam isu internasional

Universitas Sumatera Utara

29

25. Organisasi internasional harus membantu memperbaiki lingkungan 26. Senjata pemusnah massal harus dihilangkan

Deklarasi Stockholm 1972 mengakui hak asasi manusia sebagai hak setiap orang untuk dapat hidup dalam suatu lingkugan yang baik dan sehat. Setiap negara berkewajiban untuk memelihara lingkungan hidup manusia sedemikian rupa sehingga dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang.38 Kewajiban yang dimaksud antara lain kewajiban suatu negara untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah terjadinya pencemaran lingkungan laut yang dapat membahayakan kesehatan dan kesejahteraan manusia, sumber kekayaan hayati laut, dan penggunaan lingkungan laut lainnya.39

Sehubungan dengan perlindungan lingkungan laut dari pencemaran, suatu negara harus mejamin agar segala kegiatan atas hak-hak kekayaan alamnya tidak boleh merusak lingkungan negara lain.40 Selanjutnya diperlukan kerjasama antar negara dalam mengembangkan hukum internasional yang berhubungan sistem pertanggungjawaban dan ganti rugi yang disebabkan oleh pencemaran.41

b. London Convention 1972 dan London Protocol 1996

The Convention on Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (1972) atau yang lebih dikenal dengan London Dumping Convention adalah sebuah kesepakatan internasional yang spesifik membatasi pembuangan beberapa jenis material tertentu ke dalam laut.42 London Dumping

38 Prinsip 1 Deklarasi Stockholm 1972

39 Prinsip 7 Deklarasi Stockholm 1972

40 Prinsip 21 deklarasi Stockholm 1972

41 Prinsip 22 Deklarasi Stockholm 1972

42Michael S.Schenker, “Saving a Dying Sea-The London Convention on Ocean Dumping,7 Cornell Internationall Law Journal (1973-1974),hlm.35

Universitas Sumatera Utara

adalah konvensi Internasional yang ditanda tangani pada tanggal 29 Desember 1972 dan mulai berlaku pada 30 Agustus 1975 adalah konvensi internasional yang merupakan perpanjangan dari isi pada Konvensi Stockholm.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai ketentuan apa saja yang diatur dalam London Convention, kita perlu untuk mengetahui apa yang disebut dengan ocean dumping terlebih dahulu, Secara umum, ocean dumping diartikan sebagai meletakkan suatu benda ke dasar laut.43 Dalam berbagai konvensi seringkali mendefinisikan “ocean dumping” secara berbeda, namun hampir semuanya sepakat bahwa pembuangan tersebut secara disengaja, yaitu dengan membawa zat yang akan dibuang tersebut kedalam kapal atau pesawat udara untuk kemudian dimasukan ke dalam laut.44

Tujuan utama dari London Convention adalah untuk melaksanakan kontrol yang efektif terhadap seluruh sumber polusi dilaut. Negara yag terikat dalam konvensi haruslah melakukan upaya pencegahan terjadinya polusi dilaut yang diakibatkan oleh pembuangan limbah,45 Melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari segala bentuk pencemaran yang menimbulkan kewajiban bagi peserta untuk mengambil langkah-langkah yang efektif, baik secara sendiri atau bersama-sama, sesuai dengan kemampuan keilmuan, teknik dan ekonomi mereka guna mencegah, menekan dan apabila mungkin menghentikan pencemaran yang diakibatkan oleh pembuangan atau pembakaran limbah atau bahan berbahaya lainnya di laut.

43 Pasal 19,Convention for the Prevention of Marine Pollution by Dumping from Ships and Aircraft,Februari 15, 1972

44Frederick Forrest Richards, Ocean Dumping: An International and Domestic Perspective;Note,Journal of Legislation Vol.17.2.hlm 289

45 Pasal 2 London Convention

Universitas Sumatera Utara

31

Pada dasarnya Protokol 1996 tidak bisa disamakan dengan amandemen dari London Convention, jauh dari amandemen London Convention, Protokol 1996 telah menggantikan London Convention, walaupun negara bukan peserta dari London Convention juga diajak untuk terlibat dalam pembuatan Protokol 1996.

Protokol 1996 menunjukan evolusi yang cukup berbeda dibandingkan dengan London Convention. Protokol ini lebih memasukan prinsip kehati hatian (Precautionary Principle) dan prinsip pemberi polusi harus membayar (polluter pays principle). Protokol 1996 juga mengubah ketentuan mengenai zat material apa saja yang boleh dibuang ke laut, mekanisme penyelesaian masalah, mengadopsi seluruh ketentuan dalam amandemen konvensi London, dan menutup celah-celah yang masih memungkinkan pihak dalam perjanjian untuk membahayakan lingkungan.

Salah satu perbedaan antara Protokol 1996 dengan London Dumping Convention adalah dihapusnya pengelompokan list zat material yang dapat dibuang ke laut, berbeda dengan pengaturan sebelumnya dalam London Dumping Convention yang mengatur mengenai apa saja yang tidak boleh dibuang ke laut, Protokol 1996 mengatur mengenai apa saja zat material yang dapat dibuang ke dalam laut.

Dalam upaya mempertahankan seluruh amandemen dari London Convention, Protokol 1996 terus berupaya untuk memperbaiki segala ketentuan yang ada. Salah satu yang paling menonjol adalah terkait dengan isu pembakaran limbah laut.46 Dimana sebelumnya dalam London Convention masih dimungkinkan dilakukannya pembakaran limbah dilaut sedangkan dalam Protokol

46 Michael S.Schenker,Op Cit. hlm.37

Universitas Sumatera Utara

1996 telah melarang seluruh pembakaran limbah dilaut. Selain itu dalam rangka untuk memastikan bahwa negara peratifikasi tidak melakukan hal yang telah disepakati, Protokol 1996 menggabungkan larangan pengiriman limbah ke negara lain untuk dibuang ke dalam laut atau dibakar di laut.

Negara peserta protokol berkewajiban melarang pembuangan setiap limbah atau bahan beracun lainnya dengan pengecualian yang terdaftar dalam lampiran 1 dimana pembuangannya harus mendapatkan izin terlebih dahulu. Negara peserta juga wajib menerapkan persyaratan administratif atau hukum untuk menjamin bahwa penerbitan izin-izin dan syarat-syarat perizinan tersebut sesuai dengan yang diatur pada lampiran 2 protokol 1996 ini.47 Selain itu praktek pembakaran limbah atau bahan lainnya dilaut dan pengiriman limbah atau bahan lainnya di laut dan pengiriman limbah atau bahan lain ke negara-negara lain untuk pembuangan atau pembakarannya adalah termasuk hal yang dilarang dalam protokol ini dan negara peserta harus melarangnya.48

c. International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973/1978 (MARPOL)

MARPOL 73/78 adalah Konvensi Internasional untuk pencegahan pencemaran dari kapal, pelayaran kapal tanker yang mengakibatkan ancaman pencemaran lingkungan laut dapat merugikan negara pantai yang perairannya dijadikan sebagai sarana pelayaran. Jika terjadi pencemaran maka dampaknya akan menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut negara pantai. Untuk mencapai keseimbangan konflik antara negara pantai pada satu pihak yang

47 Article 4 Convention on The Prevention of Marine Pollution by Dumping of Wastes and Other Matter (London Convention 1986),

48 Ibid

Universitas Sumatera Utara

33

menginginkan terlindunginya lingkungan laut dan pemilik/operator kapal pada pihak lainnya, dimana laut merupakan sarana bagi mereka dalam melakukan transportasi, maka IMO mengeluarkan suatu bentuk perjanjian internasional yang disebut dengan the International Convention for the Prevention of Polution from Ship, untuk selanjutnya disebut MARPOL.49

MARPOL 1973 diadopsi pada tanggal 2 November 1973, dan mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983. MARPOL 1973 merupakan bentuk penyempurnaan yang dilakukan IMO dalam mengantisipasi upaya pencegahan terhadap pencemaran lingkungan laut tidak saja oleh minyak, namun juga mencakup bahan-bahan berbahaya lainnya, kecuali dumping.

International Maritime Organization (IMO) merupakan badan khusus PBB yang mengurus bidang kemaritiman yang didirikan di Jenewa. Tujuan didirikannya IMO adalah untuk memajukan kerjasama antar negara-negara anggota dalam masalah-masalah teknis dibidang pelayaran dengan perhatian khusus pada keselamatan efisiensi pelayaran setinggi-tingginya.50 Dengan demikian IMO merupakan badan khusus PBB yang bertanggung jawab dalam keselamatan pelayaran secara luas dan pencegahan dari pencemaran lingkungan laut.51

MARPOL mempunyai “6 technical annexes”, Annex ini merupakan ketentuan yang diperuntukkan bagi semua kapal, kecuali kapal-kapal kecil. Bagi kapal-kapal tersebut harus bahwa “structure, equipment, fitting, materials dan perlengkapan lainnya sesuai dengan standard yang diharuskan Konvensi. Untuk

49 Suhaidi,Perlindugan Terhadap Lingkungan Laut Dari Pencemaran Yang Bersumber Dari Kapal,(Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2004)

50 Mochtar Kusumaatmadja,IMCO dan Pembinaan Hukum Pelayaran Nasional.(Jilid VII, No.. 1-2 Bandung: 1976).hlm.3.

51 Suhaidi.Op Cit. hlm.95

Universitas Sumatera Utara

semua ini ditandai dengan suatu sertifikat. Khusus untuk Annex VI mengatur tentang “air pollution” Annex I berisi tentang Pencegahan Dari Pencemaran Minyak. Mulai berlaku pada tanggal 2 Oktober 1983. Dalam Annex ini dipertahankan kriteria dari “the oil discharge” yang telah ditentukan dalam Amandemen 1969 dari Konvensi OILPOL 1954, tanpa perubahan yang substansial.

Kapal-kapal masih dapat melakukan pembuangan minyak kotor jika dipenuhi syarat-syarat yang hampir sama dengan Konvensi sebelumnya, kecuali jumlah maksimum yang diizinkan untuk melakukan pembuangan minyak kotor dengan kriteria, yaitu bagi kapal tanker baru, jumlah maksimum minyak kotor yang diizinkan untuk dibuang ke laut tidak melebihi 1/15.000 dari jumlah cargo yang dibawa. Bagi kapal yang sudah ada sebelumnya, diizinkan sampai 1/30.000 dari jumlah angkutan minyak. Ketentuan ini berlaku bagi “outside the special protected areas” (di luar daerah perlindungan khusus).52

Annex II tentang Control of Pollution by Noxious liquid Substances, mulai berlaku pada tanggal 6 April 1987, berisi tentang kriteria dan langkah-langkah pengawasan terhadap pencemaran yang disebabkan oleh zat cair berbahaya dalam jumlah besar. Terdapat daftar 250 zat yang sudah dievaluasi dan dimasukan dalam daftar lampiran dari Konvensi yang dikategorikan sebagai zat cair yang berbahaya.

Annex III tentang Prevention of pollution by harmful substances carried in packaged form, or in freight containers or portable tanks or road and rail tank wagons. Mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1992, berisi tentang persyaratan

52 Ibid

Universitas Sumatera Utara

35

tentang “standards on packing, marking, labelling, documentation, stowage, quantity limitations”. Ketentuan ini juga untuk mencegah terjadinya pencemaran oleh zat-zat yang berbahaya pada lingkungan laut.

Selanjutnya Annex IV tentang Prevention of Pollution by Sewage. Mulai berlaku 12 bulan setelah diratifikasi oleh 15 negara yang merupakan gabungan

“fleets of merchant shipping constitute” yang berjumlah sekurang-kurangnya 50%

dari armada kapal dunia. Pada saat ini (26-06-2000) lampiran ini telah diratifikasi oleh 73 negara yang merupakan 42,59% dari armada kapal dunia. Annex ini berisi persyaratan untuk mengawasi pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh kotoran.

Annex V tentang Garbage, Mulai berlaku pada tanggal 31 Desember 1988.

Annex ini melarang secara menyeluruh untuk melakukan dumping pada lingkungan laut atas semua bentuk plastik, termasuk “synthetic ropes and fishing nets”. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan cukup mengagetkan masyarakat internasional, bahwa kapal-kapal melakukan pembuangan ke laut dalam bentuk kertas, plastik, metal, gelas dan material lainnya diperkirakan sebanyak 6,4 juta ton pada tahun 1970. Diantaranya termasuk 1 juta ton dalam bentuk plastik yang didalamnya mencakup 639.000 dalam bentuk “plastic container”.53

Plastik merupakan barang yang berbahaya bagi kehidupan laut, terutama bagi binatang laut. Diperkirakan seratus dari seribu burung laut dan seratus ribu jenis mamalia laut mati dalam beberapa tahun ini yang diakibatkan oleh limbah plastik. Para saintis memperkirakan barang plastik akan bertahan utuh di laut

53 Ibid

Universitas Sumatera Utara

selama lima puluh tahun. Pencemaran dalam bentuk plastik lebih mengancam kehidupan burung-burung dan mamalia laut dibandingkan pestisida.54

Dalam hubungan antara Konvensi dengan annex-annexnya ditentukan bahwa Annex merupakan “the convention’s optional annexes”. Negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi, dibolehkan hanya menerima Annex I dan Annex II, namun dapat untuk tidak menerima Annex III, IV, dan V. Negara-negara tersebut dapat mengambil waktu yang Panjang untuk memberlakukan Annex III, IV dan V. Dengan demikian Annex I dan II merupakan mandatory annexes, sedangkan Annex III, IV dan V merupakan optional annexes.55

Masyarakat internasional merasakan bahwa ketentuan-ketentuan pada MARPOL 1973 belum memadai untuk melindungi negara pantai dari ancaman pencemaran. Untuk mengantisipasi perkembangan yang terjadi pada teknologi perkapalan, khususnya kapal-kapal tanker, dan dalam upaya perlindungan lingkungan laut, Masyarakat internasional (dalam hal ini IMO) kembali mengadakan konferensi internasional tentang “Tanker Safety and Pollution Prevention” yang diadakan dari tanggal 6-17 februari 197856

Konferensi ini berhasil merumuskan ketentuan-ketentuan yang lebih keras dari ketentuan yang terdapat pada MARPOL 1973. Protokol ini berlaku efektif sejak tanggal 2 Oktober 1983. Ketentuan MARPOL tidak hanya ditujukan bagi kapal-kapal dari negara bendera yang menjadi peserta konvensi saja, namun juga berlaku bagi kapal-kapal yang berlayar dari negara bendera yang tidak menjadi peserta konvensi, namun dioperasikan oleh pihak peserta konvensi.57

54 Ibid

55 Ibid, hlm.97.

56 Ibid

57 Ibid

Universitas Sumatera Utara

37

d. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS 1982) Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) III ditanda tangani di Montego Bay Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982, telah berlaku secara efektif sejak tanggal 16 November 1994. Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur masalah kelautan secara menyeluruh. Konvensi Hukum Laut 1982 ini merupakan hasil pemikiran konsep baru dalam bidang kelautan,bukan “the mare liberum” (open sea) seperti yang dimaksud oleh Grotius, bukan pula “the mare clausum” (closed sea) seperti yang dikemukakan John Selden, tetapi merupakan “mare nostrum—

our sea” yang merupakan pengertian participation and integration. Demikian pula dengan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran yang bersumber dari kapal merupakan akomodasi dari kepentingan negara pantai dengan pengguna laut sebagai sarana pelayarannya.58

Ketentuan-ketentuan hukum internasional yang mengatur tentang kedaulatan negara atas wilayah laut merupakan salah satu ketentuan penting Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (selanjutnya disebut Konvensi Hukum Laut 1982).59 Zona-zona maritim yang berada di bawah kedaulatan penuh adalah perairan pedalaman (internal waters), perairan kepulauan (archipelagic waters) (bagi negara kepulauan), dan laut teritorial (territorial sea). Zona-zona maritim yang berada dibawah wewenang dan hak khusus negara pantai adalah jalur tambahan (contiguous zone), zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone), dan landas kontinen (continental shelf).

58 Ibid.hlm.67.

59 United Nations Convention on the Law of the Sea, 1833 U.N.T.S.397

Universitas Sumatera Utara

Sedangkan, zona-zona maritim yang berada di luar yurisdiksi nasional adalah laut lepas (high seas) dan kawasan dasar laut internasional (international seabed area).60

Sebagai sebuah negara kepulauan, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang No.17 Tahun 1985. Ratifikasi Indonesia terhadap Hukum Laut 1982 ini telah ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya berbagai peraturan perundang-undangan nasional. Mengingat luasnya materi ketentuan yang dimuat dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, maka uraian dalam bab ini difokuskan pada ketentuan-ketentuan pokok yang menyangkut penarikan garis pangkal kepulauan Indonesia, hak lintas damai melalui laut teritoial dan perairan kepulauan Indonesia, dan hak lintas alur-alur laut kepulauan Indonesia.61

Merujuk pada ketentuan Pasal 46 Konvensi Hukum Laut 1982, tidak semua negara yang wilayahnya terdiri dari kumpulan pulau-pulau dapat dianggap negara kepulauan. Dari sejumlah 24 negara yang diteliti hanya 19 negara yang secara nyata telah menyatakan dirinya sebagai Negara Kepulauan. Dari peraturan perundang-undangan yang dikumpulkan dan dipublikasikan dalam situs jaringan UN-DOALOS ada Sembilan negara yang telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan negara kepulauan, yaitu Antigua dan Barbuda, Bahamas, Comoros Cape Verde, Fiji, Filipina, Indonesia, Jamaica, Kribati, Maldives, Marshall Islands, Papua Nugini, Solomon Islands, Saint Vincent and the Grenadines, Sao Tome and Principe, Seychelles, Trinidad and Tobago,

60 Dikdik Mohamad Sodik, Hukum Laut Internasional dan Pengaturannya di Indonesia, (Bandung: PT Refika Aditama,2014)

61 Ibid.hlm.18

Universitas Sumatera Utara

39

Tuvalu, dan Vanuatu62

Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa negara-negara harus menetapkan peraturan perundang-undangan untuk mencegah, mengurangi dan mengendalikan pencemaran lingkungan laut dari manapun sumbernya, namun peraturan perundang-undangan tersebut harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dan standard-standard internasional yang telah disetujui serta praktek-praktek dan prosedur-prosedur internasional yang dianjurkan.63

Bab XII Konvensi Hukum Laut 1982 memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat umum mengenai perlindungan dan pelestarian lingkungan laut. Bab ini hanya akan membahas ketentuan-ketentuan yang mengatur kewajiban negara-negara peserta Konvensi Hukum Laut 1982 (selanjutnya disebut negara-negara-negara-negara) untuk melindungi dan melestarikan lingkungan lautnya. Ketentuan umum tentang kewajiban negara-negara untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut diatur dalam Pasal 192.

Konvensi Hukum Laut 1982 tidak akan mengurangi hak negara-negara sesuai dengan hukum internasional, baik menurut hukum kebiasaan maupun konvensi, untuk mengambil dan memaksakan tindakan-tindakan di luar laut teritorial yang sebanding dengan kerusakan nyata atau ancaman kerusakan. Secara umum Konvensi Hukum Laut 1982 memberikan hak kepada setiap negara untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alamnya, sekaligus pula mewajibkan kepada setiap negara untuk melindungi dan melestarikan fungsi lingkungan lautnya dari ancaman pencemaran.64 Perlindungan yang diberikan

62 Etty R.Agoes, Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan, Jurnal Hukum Internasional, Volume 1 No.3 2004,hlm.455

63 Pasal 207-212 KHL 1982

64 Pasal 192-193 KHL 1982

Universitas Sumatera Utara

oleh negara terhadap lingkungan lautnya berupa membuat ketentuan-ketentuan yang dapat melindungi lingkungan laut tersebut, misalnya perlindungan terhadap lingkungan laut dari pencemaran yang bersumber dari kapal.

Selanjutnya negara-negara juga dibolehkan untuk menetapkan peraturan

Selanjutnya negara-negara juga dibolehkan untuk menetapkan peraturan

Dokumen terkait