• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab ini berisikan mengenai peraturan-peraturan mengenai hukum media massa di Indonesia, kemerdekaan pers pada massa orde baru dan era reformasi, mekanisme pemberitaan pers yang sesuai dengan prinsip keadilan dan penghormatan terhadap HAM, serta sosok pers yang profesional, bebas, dan bertanggung jawab ditinjau dari Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers.

Bab III : PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PEMBERITAAN YANG BERINDIKASI ADANYA DELIK PENCEMARAN NAMA BAIK

Bab ini berisikan mengenai pengaturan tindak pidana di bidang pers dalam UU No. 40 Tahun 1999, bentuk-bentuk pencemaran nama baik yang berhubungan dengan media massa menurut Kode Etik Jurnalistik, UU Pers dan KUHP, serta pertanggungjawaban pidana terhadap pemberitaan media massa yang berindikasi adanya delik pencemaran nama baik.

Bab IV : PENUTUP

Bab ini berisikan mengenai kesimpulan mengenai permasalahan yang ada, dan penulis mencoba memberikan beberapa saran kepada para jurnalis (pers) berkaitan dengan pemberitaan di media massa, agar terhindar dari delik pencemaran nama baik.

BAB II

PENGATURAN HUKUM TERHADAP KEMERDEKAAN PERS

DI INDONESIA

C. Peraturan-peraturan Mengenai Hukum Media Massa di Indonesia

1. Sumber Hukum Fundamental

Yang dimaksud dengan sumber hukum fundamental adalah ketentuan- ketentuan hukum yang memuat materi tentang aspek-aspek mendasar dari suatu media yang bermuatan ideologis-politis seperti ketentuan mengenai hak asasi manusia, hak menyatakan pendapat secara bebas, hak berkomunikasi, kebebasan berinformasi, kebebasan pers, dan sebagainya. Adapun sumber-sumber hukum fundamental tersebut adalah sebagai berikut :47

a. UUD 1945;

b. Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia; c. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

d. UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum;

e. Deklarasi Umum tentang Hak Asasi Manusia (General Declaration on Human Rights).

Sumber hukum media massa yang tertinggi adalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). UUD 1945 menjadi landasan hukum tertinggi media massa di Indonesia, artinya kepada UUD 1945 inilah, semua hukum yang mengatur media massa di Indonesia merujuk. Pasal 28 UUD 1945, berbunyi “kemerdekaan

47

berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”48 Secara eksplisit pasal tersebut tidak menyebut tentang kemerdekaan pers, tetapi jika ditelaah proses lahirnya pasal tersebut, dapat ditafsirkan bahwa apa yang dimaksud dengan kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara lisan dan tulisan adalah tercakup pengertian tentang kemerdekaan pers.49

Untuk mempertegas kelemahan pasal 28 UUD 1945 tersebut yang dianggap banci tentang kemerdekaan pers, maka berdasarkan Sidang Umum MPR RI Tahun 2000 dan berdasarkan amandemen kedua, lahirlah pasal 28 f UUD 1945. Pasal ini berbunyi “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”50

Ada beberapa frase kunci dalam pasal tersebut yang dapat ditafsirkan berarti sama dengan kemerdekaan pers, yaitu hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Sama halnya dengan pasal 28 UUD 1945, pasal 28 f UUD 1945 yang merupakan produk hukum pada era Reformasi yang dinilai demokratis dan seharusnya mengelurkan produk hukum responsif, namun tidak

48

Lihat UUD 1945 49

Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.39

50

menyebutkan secara eksplisit tentang pentingnya hak dan perlindungan kemerdekaan pers dijamin dan dimasukkan ke dalam pasal UUD 1945 tersebut.51

Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 sebetulnya merupakan ekspresi dari pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa- Bangsa, yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa ganguan, untuk mencari, menerima, menyampaikan informasi, buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah. Piagam Hak Asasi Manusia di atas ternyata jika dibandingkan dengan pasal 20, pasal 21, dan pasal 40 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998, terdapat kesamaan elemen :52 a. Pasal 20 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang berhak

berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya”. Unsur ini mengandung kesamaan dengan elemen pertama Piagam Hak Asasi Manusia PBB yang memberikan hak berkomuniasi dan memperoleh informasi.

b. Pasal 21 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Unsur ini juga terdapat dalam elemen kedua dan ketiga pasal 19 Piagam Hak Asasi Manusia PBB.

c. Pasal 42 Tap MPR RI No. XVII/MPR/1998 berbunyi “Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi.”

51

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal..40 52

Piagam Hak Asasi Manusia PBB merumuskan perlindungan hak berkomunikasi dan memperoleh informasi setiap orang itu dengan perumusan bebas dari segala gangguan. Jadi, walaupun rumusannya berbeda, substansinya sama, yaitu perlindungan hukum atau bebas dari gangguan berkomunikasi dan memperoleh informasi.

UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat sebenarnya tidak ditujukan untuk mengatur media, melainkan untuk mengatur kegiatan unjuk rasa dan perlindungan terhadap hak menyatakan pendapat di depan umum. Dengan demikian, UU No.9 Tahun 1998 sebenarnya lebih tepat digolongkan dalam kelompok hukum media structural, namun di sisi lain ketentuan mengenai menyampaikan pendapat di muka umum bisa pula disamakan dengan ketentuan mengenai kemerdekaan atau kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of expression). Dengan demikian undang-undang ini secara substansial dapat dimasukkan ke dalam dasar-dasar hukum media.53

Pencantuman deklarasi umum tentang hak asasi manusia sebagai bagian dari hukum media massa fundamental merupakan suatu hal yang penting, mengingat ketentuan itu telah menjadi milik dunia. Bangsa Indonesia sebagai warga dunia tidak terlepas dari kesepakatan-kesepakatan tentang HAM di dunia internasional, khususnya sebagai anggota PBB.54

53

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.156 54

2. Sumber Hukum Fungsional

Sumber hukum fungsional adalah sumber hukum media massa yang berisi peraturan perundang-undangan yang mengatur atau menjabarkan penggunaan atau fungsi dari hukum media fundamental. Ketentuan ini berisi tentang teknis operasional media massa, yaitu UU Pers (UU No.40 Tahun 1999). Konsiderans undang-undang tentang pers ini lahir enam bulan setelah kejatuhan Orde Baru, yang menyebutkan setidak-tidaknya latar belakang kelahirannya, yaitu :55

a. Kemerdekaan pers merupakan perwujudan kedaulatan rakyat dan unsur penting dalam kehidupan demokrasi, sesuai dengan amanat pasal 28 UUD 1945;

b. Kemerdekaan pers, yang merupakan perwujudan dari kemerdekaan menyatakan pendapat secara lisan dan tulisan, merupakan hak asasi manusia; c. Kemerdekaan pers harus bebas dari campur tangan kekuasaan;

d. UU No.21 Tahun 1982 yang mengharuskan adanya SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), harus dicabut, karena menghambat kemerdekaan pers.

Ada beberapa persamaan antara UU No. 40 Tahun 1999 dan UU No.11 Tahun 1966. Kedua undang-undang tentang pers itu lahir pada gejala awal suatu rezim yang sama-sama memimpikan diwujudkan proses demokrasi dengan menggunakan kemerdekaan pers sebagai salah satu pilarnya. Tidak mengherankan, jika prinsip dasar dalam kedua undang-undang pers itu menjanjikan pencabutan semua belenggu yuridis pada rezim represif yang

55

sebelumnya mendera kehidupan pers.56

a. sensor dan pemberedelan pers;

Misalnya, kedua produk hukum itu sama- sama mencabut ketentuan tentang :

b. ketentuan tentang SIT dan SIUPP; c. perlindungan terhadap tugas jurnalistik;

d. pembebasan pers dari belenggu yuridis dan politis, berdampak euforia atau pesta pora kemerdekaan pers, yang pada gilirannya dinilai sudah melanggar koridor hukum, etika profesi, dan membahayakan kepentingan politik penguasa.

Khusus mengenai pencabutan SIT, terdapat perbedaan yang tajam antara UU No. 11 Tahun 1966 dengan UU No. 40 Tahun 1999. Melalui pasal 20 ayat (1) Peraturan Peralihan UU No. 11 Tahun 1966, justru mengingkari substansi pasal sebelumnya yang telah mencabut keharusan SIT bagi setap penerbitan pers, sebab pasal 20 ayat (1a) dan (1b), masih mengharuskan ketentuan SIT selama masa transisi yang diatur Dewan Pers dan pemerintah. Dengan kata lain, UU No. 11 Tahun 1966 ternyata bagaikan cek kosong dalam kemerdekaan pers, seolah-olah ia memerdekakan pers dari praktik represif penguasa, tetapi begitu hendak diaplikasikan ternyata janjinya palsu alias tidak sesuai antara yang tertulis dengan realitas sebenarnya.57

Berbeda halnya dengan UU No. 40 Tahun 1999. Undang-undang produk hukum reformasi ini memberikan kemerdekaan pers tanpa syarat atau embel- embel masa transisi. Janji pencabutan SIUPP ternyata betul-betul efektif, sehingga

56

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.56 57

setiap warga negara yang menerbitkan pers, bisa melakukannya dengan leluasa tanpa hambatan dari pihak manapun.58

3. Sumber Hukum Stuktural

Sumber hukum struktural adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang suatu sektor atau bidang kehidupan masyarakat tertentu yang tidak secara langsung mengatur tentang media massa, namun peraturan hukum itu secara materiil berdampak bagi kehidupan media massa, secara langsung atau tidak langsung, seperti :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

KUHP termasuk dalam kelompok hukum struktural karena hukum ini dibuat sebenarnya untuk mengatur tentang masalah pidana pada umumnya, tidak secara spesifik mengatur tentang pidana media atau delik pers, namun karena terdapat sejumlah ketentuan yang berkaitan dengan media khususnya pers, maka digolongkan dalam hukum media massa struktural.59

Sebuah contoh hukum media massa peninggalan Belanda adalah, tiga pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) : Pasal 154, 156 dan 157, di mana pasal 154 KUHP ini telah dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku lagi oleh MK. Pasal-pasal ini disebut dengan haatzaai-artikelen, yang berarti pasal-pasal penyebar kebencian dalam undang-undang yang berasal dari sistem pers otoriter di Inggris pada abad ke-16, kemudian diterapkan pemerintah kolonial

58

Ibid 59

Belanda di Indonesia. Pasal ini memuat ketentuan-ketentuan pencekalan kebebasan pers atau tindakan serupa.60

Pasal 154 dan 156 KUHP dikenal sebagai pasal mengenai tindak pidana sikap permusuhan berupa pernyataan di muka umum, rasa benci, merendahkan martabat pemerintah Indonesia (pasal 154 KUHP, dan telah dicabut oleh MK), terhadap golongan penduduk (pasal 156 KUHP) diberikan secara otentik (pasal 156 ayat 2 KUHP).61

Pasal 157 ayat 1 berbunyi, “Barang siapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan di muka umum, tulisan atau lukisan yang isinya mengandung pernyataan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-golongan rakyat Indonesia, dengan maksud isinya diketahui atau lebih diketahui oleh umum, diancam dengan pidana paling lama dua tahun enam bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Pasal 157 ayat 2 berbunyi: “Jika yang bersalah, melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan pencarian, dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak adanya Adapun bunyi pasal 156 yang sering disebut pasal sara itu adalah “Barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”. Perkataan golongan dalam pasal berikutnya berarti, tiap-tiap bagian rakyat Indonesia, yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena rasnya, negara asalnya, bangsanya atau kedudukannya menurut hukum tata negara”.

60

Wikrama Iryans Abidin, Op.Cit., hal.61 61

pemidanaan yang menjadi tetap, karena kejahatan semacam itu juga, maka dapat dilarang pencarian tersebut”.62

Pasal-pasal sikap permusuhan ini, diadopsi dari British Indian Penal Code. Kemudian berdasarkan Undang-undang No. 1 Tahun 1946, ketentuan haatzaai- artikelen itu berlaku di Indonesia bersamaan dengan diberlakukannya KUHP. Belanda sendiri telah menghapus pasal-pasal ini dari KUHP-nya lebih dari 50 tahun silam sebagai pengejawantahan kritik para pakar hukum pidana di sana, antara lain JM van Bemellen. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak sesuai di era kemerdekaan dan merintangi demokrasi dalam hal kebebasan mengeluarkan pendapat dan berbicara.63

Dunia pers juga dihadapkan pada ketentuan-ketentuan delik pers dalam KUHP, terutama delik penghinaan atau penyerangan terhadap kehormatan atau nama baik seseorang. Delik penghinaan ini kemudian dirumuskan secara khusus berupa pencemaran (pasal 310 ayat (1) KUHP); pencemaran tertulis (pasal 310 ayat (2) KUHP), fitnah (pasal 311 KUHP), penghinaan ringan (pasal 315 KUHP, pengaduan fitnah (pasal 317 KUHP, persangkaan palsu (pasal 318 KUHP) dan penghinaan terhadap orang mati (pasal 320-321 KUHP).64

62 diakses pada hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.00 WIB

hari Kamis, 21 Januari 2010, pukul 14.35 WIB

b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Kitab Undang-undang Hukum Perdata juga mengatur mengenai media massa. Pasal-pasal dalam KUHPerdata biasanya menyangkut ganti rugi dan pernyataan maaf yang harus dilakukan oleh media massa. Ganti rugi tersebut misalnya dijelaskan dalam pasal 1365 dan 1372 KUH Perdata.65

D. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru dan Era Reformasi

Pasal 1365 berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Pasal 1372 KUH Perdata mengatur “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan adalah bertujuan mendapat penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”.

1. Kemerdekaan Pers Pada Massa Orde Baru

Yang dimaksud dengan era Orde Baru adalah suatu periode politik sejak tahun 1966 di bawah pemerintahan kepemimpinan Jendral Soeharto (11 Maret 1966) hingga kejatuhannya (21 Mei 1998). Era politik di bawah kepemimpinan Soeharto itu disebut sebagai konfigurasi atau sistem politik Orde Baru. Pergeseran konfigurasi politik Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno ke konfigurasi politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto telah mengubah dengan cepat berbagai politik hukum di Indonesia.66

Salah satunya adalah dalam bidang pers misalnya, lahir produk hukum responsif, yaitu Tap MPRS No.XXXII/1966 dan UU No.11 Tahun 1966 yang

65

Prija Djatmika, Strategi Sukses Berhubungan dengan Pers dan Aspek-aspek hukumnya, Bayumedia Publishing, Malang, 2004, hal.84

66

mencabut segala bentuk ketentuan hukum yang pada periode Orde Lama dianggap sebagai faktor penghambat praktik kemerdekaan pers. Perubahan politik hukum di era Orde Baru ini tentu ada kaitannya dengan perubahan titik tolak atau paradigma politik dari yang bersifat otoritarian ke arah yang lebih demokratis.67

Pada waktu awal sistem politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, misalnya tampak sekali peranan Soeharto, dengan partai tunggal Golkar dan militer menjadi pilar utama kekuasaan pada waktu itu. Hubungan antara militer, Golkar, pers, dan mahasiswa, yang menjadi pilar demokrasi di awal Orde Baru itu terlihat sangat harmonis. Hal ini ditandai dengan berbagai indikator, misalnya, di lingkungan pers, Peraturan Panglima Perang Tertinggi No.10 Tahun 1960 yang mewajibkan SIT bagi setiap penerbit dicabut melalui UU No.11 Tahun 1966. Begitu juga tentang sensor, bredel, dan izin cetak pers dicabut.68

Masalahnya, hubungan dekat antara elemen pers, mahasiswa dengan sistem politik Orde Baru segera berubah. Hal ini disebabkan pergeseran karakteristik pemerintahan Orde Baru yang represif dan militeristik. Realitas itu ditolak dan mendapat kecaman keras dari pers dan mahasiswa. Perbedaan sikap ini membuat watak represif konfigurasi politik Orde Baru yang sudah berubah menjadi represif dan keras. Sikap represif makin kuat sehingga mengarah kembali ke watak sistem pemerintahan Orde Lama yang pernah dikoreksi oleh berbagai komponen utama Orde Baru. Sebagai pelaksanaan dari amanat Tap MPRS XXXII/1966 tersebut, keluarlah UU No.11 Tahun 1966, tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pers. Undang-undang baru ini sangat responsif, karena mencabut

67

Alfian, Pemikiran Politik Indonesia, cet.1, hal.135 (dikutip dalam buku karangan Wikrama Iryans Abidin, Politik Hukum Pers Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2005, hal.77)

68

tentang keharusan SIT, dan menjamin tidak ada lagi sensor dan pemberedelan pers yang sebelumnya menjadi momok para praktisi pers yang pro kemerdekaan pers.69

Pasal 4 UU Pokok Pers tersebut secara tegas menyatakan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan sensor dan pembredelan. Pasal 5 ayat (1) berbunyi bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang memberi jaminan kebebasan pers.70

UU No.11 Tahun 1966 di tengah jalan diubah dengan UU No.4 Tahun 1967. Sebuah perubahan yang tidak substansial dan hanya terdiri dari dua pasal.

Bahkan disebutkan bahwa kebebasan pers adalah bagian dari hak asasi manusia, namun dalam UU Pers itu juga dicantumkan sebuah “Peraturan Peralihan”. Sesuai dengan namanya, ketentuan ini mengesankan sebagai peraturan yang bersifat sementara. Pasal 20 Peraturan Peralihan berbunyi :”Dalam masa peralihan keharusan mendapat Surat Izin Terbit (SIT) masih berlaku sampai ada keputusan pencabutannya oleh pemerintah dan DPR-GR.”

71

Pada awal Orde Baru (1966 hingga awal 1970-an) sering dikatakan merupakan bulan madu antara pemerintah Orde Baru dan kaum pro-demokrasi. Mengenai perizinan muncul Peraturan Menteri Penerangan RI No.03/Per/Menpen 1969 tentang permohonan Surat Izin Terbit (SIT). Di samping SIT masih ada Surat Izin Cetak (SIC) yang dikeluarkan oleh Pelaksana Khusus (Laksus) Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

69

Ibid 70

Hari Wiryawan, Op.Cit., hal.101

71

Pers mengalami kebangkitan baik dari segi jumlah maupun dari segi isi media. Kritik yang tajam, berita yang panas mewarnai media cetak Indonesia pada tahun 1966-1974. Dari segi jumlah ada peningkatan yang signifikan sejak tahun 1966, namun setahun kemudian kondisinya sudah berubah. Salah satu penyebab utama dari menurunnya produktivitas media di Indonesia pada saat itu adalah situasi ekonomi yang memburuk akibat terkena inflasi yang tinggi, namun di antara media yang bertahan tetap menyuarakan pendangan-pandangan yang sangat kritis kepada pemerintah.72

Masalahnya, hubungan mesra antara penguasa dan elemen demokrasi itu tidak berjalan lama. Pemahaman tentang pentingnya kemerdekaan menyatakan pendapat antara penguasa dan elemen demokrasi mengalami degradasi. Pemerintah yang makin kuat peranannya karena sudah mendapat dukungan dari berbagai elemen demokrasi, pada akhirnya justru merasa seakan stabilitasnya terganggu terhadap sikap kritis dan kontrol sosial dan politik yang juga kian kuat. Berbarengan dengan itu, muncul kecemasan setelah aksi mahasiswa datang bertubi-tubi terhadap praktik politik pemerintahan Orde Baru dalam hal ini Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).73

Hal tersebut mengakibatkan makin berkurangnya dukungan kekuatan demokrasi karena dinilai setelah empat tahun Orde Baru berdiri, terjadi gejala penyimpangan cita-cita Orde Baru. Sebagai reaksi, kemudian muncul gejolak pada tahun 1974, yang dikenal dengan Malari 1974 dan tahun 1980-an. Inti dari gerakan Malari tersebut adalah menolak praktik KKN dan ketergantungan

72

Ibid, hal.104 73

ekonomi pemerintah Orde Baru pada utang luar negeri.74

Lebih dari 10 tahun UU Pokok Pers itu kemudian diubah dengan UU No.21 Tahun 1982. Perubahan itu antara lain adalah pada ketentuan tentang perizinan di mana Surat Izin Cetak dan Surat Izin Terbit dihapuskan. Akan tetapi kemudian muncul aturan baru yaitu Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Alasannya adalah karena di dalam pengelolaan pers diharuskan para pelaku pers yang mengelola pers sebagai sebuah industri memposisikannya sebagai sebuah institusi masyarakat yang bersifat profesional, yang diwujudkan dengan adanya SIUPP.

Hal ini mengakibatkan koran-koran yang semula vokal menjadi lembek, koran-koran yang semula nyaring lalu membisu, dan tentu saja sejumlah koran tidak bisa berkata apa-apa karena sudah ditutup pasca Malari.

75

Pasal 13 ayat (5) UU No.21 Tahun 1982 berbunyi bahwa penerbitan pers yang diselengarakan oleh perusahaan pers harus memiliki SIUPP yang dikeluarkan oleh pemerintah. Persoalannya menjadi lebih rumit dengan keluarnya Peraturan Menteri Penerangan No.01 Tahun 1984. Dengan peraturan itu Menteri berhak membatalkan SIUPP. Secara teoritis pembatalan SIUPP tidak berkaitan dengan kebijakan redaksional. Masalahnya, pembatalan SIUPP tersebut sama bentuk dan sama akibatnya dengan pemberedelan.76 Meskipun Permenpen ini dinggap bertentangan dengan UU Pers, namun ketentuan ini tetap berlaku hingga jatuhnya Orde Baru tahun 1998.

74

Ibid 75

Samsul Wahidin, Op.Cit., hal.96 76

2. Kemerdekaan Pers Pada Massa Reformasi

Berakhirnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 telah membawa bangsa Indonesia kepada pusaran tuntutan perubahan yang fundamental dalam segenap bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Tuntutan reformasi hukum merupakan salah satu yang berembus demikian kuat sejak Mei 1998. Begitu pula halnya dalam bidang politik hukum, termasuk dalam bidang kemerdekaan pers.77

Gejala tuntutan pembaruan politik hukum kemerdekaan pers pada era reformasi ini, sebetulnya tidak jauh berbeda dengan gejala awal kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, pada waktu berlaku UUDS 1950, serta awal berdirinya Orde Baru. Dengan kata lain, ada kesamaan semangat mereformasi hukum tentang kemerdekaan pers pada situasi tertentu, khususnya pada masa awal transisi suatu konfigurasi politik di Indonesia. Kesamaan itu antara lain terletak dalam hal :78

a. keinginan untuk menghapus dan mengganti segala produk hukum pers represif ke arah produk hukum responsif;

b. mengelu-elukan kemerdekaan pers sebagai pilar demokrasi; c. sistem pers yang berlaku cenderung liberal;

d. sistem politik yang berlaku cenderung demokratis.

Gejala perubahan nilai-nilai baru dalam bidang pers itu pada awal konfigurasi politik Reformasi dilakukan dengan proses yang sangat demokratis.79

Dokumen terkait