• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

PENGATURAN PERJANJIAN KAWIN DI INDONESIA

2.3 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU-XIII/2015.

Mahkamah Konstitusi merupakan Lembaga Tinggi Negara yang lahir pasca amandemen. Dalam sejarah pembentukannya, Mahkamah Konstitusi lahir didasari oleh dua alasan. Pertama, perlunya mekanisme pengujian yudisial agar Undang-Undang selalu konsisten dengan UUD NRI 1945. Kedua, perlunya mekanisme pengujian yang dapat dioperasionalkan terhadap semua peraturan Perundang-Undangan yang selama ini tidak pernah dapat dioperasionalkan.25 Ketiga, dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistim konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.26 Sebagai pengawal konstitusi atau the guardian of contitution, Mahkamah Konstitusi juga merupakan pengawal hak-hak asasi manusia (the guardian of human rights) dan hak-hak konstitusional warga negara (the

25 Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:Rajawali Perss, 2010), hal. 260.

26 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara,2010) hal. 9.

36

guardian of citizen rights). Hal ini merupakan konsekuensi dari amandemen yang dilaksankan di Indonesia dari kurun waktu 1999-2002. Dengan diatur secara komprehensif dalam UUD 1945 mengenai HAM dalam Pasal 28, dan 28A-28J, serta beberapa pengaturan terkait dengan hak-hak asasi manusia di luar bab tentang hak asasi manusia, menjadikan UUD 1945 pasca amandemen adalah salah satu konstitusi paling lengkap dalam jaminan perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia.27 Atas dasar tersebutlah Mahkamah Konstitusi berperan penuh untuk menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia, karena menegakkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional warga negara adalah bagian dari penegakkan konstitusi itu sendiri.

Sejarah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada tanggal 27 Oktober 2016 tentang Putusan Permohonan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh Ny. Ike Ferida yang adalah Warga Negara Indonesia menikah dengan Warga Negara Asing. Ny. Ike Ferida mengajukan Permohonan Uji Materi tersebut karena pembelian apartemen yang ingin dibelinya dibatalkan secara sepihak oleh salah satu developer dengan alasan Warga Negara Indonesia perkawinan campuran tidak punya hak memiliki Hak Milik (HM) atau Hak Guna Bangunan (HGB) jika ia tidak memiliki Perjanjian Kawin yang harus dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan. Prinsip nasionalitas dalam Peraturan Agraria di Indonesia tidak mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) memiliki tanah di Indonesia. Bahkan, Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah melakukan perkawinan campuran dengan WNA tidak dapat

27 Janedri M Gaffar, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Jurnal Konstitusi Volume 10, Nomor 1, Maret 2013, hal. 7.

37

mempunyai hak milik atas tanah, karena tanah tersebut dapat bercampur dan menjadi bagian dari harta bersama perkawinan.

Dalam perkawinan campuran seorang WNI menikah dengan seorang WNA, baik perkawinan itu dilakukan di Indonesia muapun di luar Indonesia. Dari segi kepemilikan tanah, khususnya bagi WNI, perkawinan campuran dapat mengakibatkan seorang WNI kehilangan tanah hak miliknya. Sesuai UUPA, seorang WNI yang memiliki tanah dengan hak milik dan menikah dengan WNA, harus melepaskan tanah tersebut. Pelepasan itu dapat dilakukan dengan cara, misalnya, menjual atau menghibahkannya. Pelepasan itu harus dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sejak WNI memperoleh tanahnya, atau sejak WNI melakukan perkawinan campuran. Jika waktu tersebut lewat dan hak kepemilikan tanah itu tidak dilepaskan, maka hak atas tanah tadi akan hapus secara hukum dan tanahnya jatuh ke tangan negara. Perlunya dilakukan pelepasan hak atas tanah itu terjadi karena dalam perkawinan antara WNI dan WNA terjadi percampuran harta. Tanah hak milik yang dipunyai WNI bercampur dengan harta kekayaan WNA di dalam harta bersama perkawinan.

Dengan alasan ini Ny, Ike Ferida mengajukan Permohonan Uji Materi yang salah satunya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi.

Terkait Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam Sidang Pleno

38

Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, 27 Oktober 2016 memutuskan:28

1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “selama perkawinan

berlangsung, Perjanjian Perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari

kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

28 Lihat amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

39

Adapun maksud dari amar Putusan di atas adalah:

1. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. “Sepanjang tidak dimaknai” artinya Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dan tetap mengikat jika dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkannya atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

3. Artinya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini, Perjanjian Perkawinan juga dapat dibuat “selama dalam ikatan perkawinan” yang dalam bahasa awam Perjanjian Kawin setelah Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat diajukan atau dibuat untuk kemudian disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan.

Berdasarkan penjabaran pengaturan Perjanjian Kawin menurut Putusan Mahkamah Konstitusi diatas, dapat dikemukakan bahwa Keabsahan Perjanjian Kawin menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dapat ditentukan apabila Perjanjian Kawin tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Perjanjian Kawin dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak;

b. Perjanjian Kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris;

40

c. Perjanjian Kawin dapat dibuat sebelum perkawinan, pada saat perkawinan dan setelah perkawinan dilangsungkan.

Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 dapat dijadikan landasan bagi pasangan suami isteri yang pada saat dilangsungkannya pernikahan tidak membuat Perjanjian Kawin dengan berbagai alasan yang salah satunya ketidaktahuan para calon pasangan tentang syarat dan mekanisme pembuatan Perjanjian Kawin, maka berbahagialah bagi mereka dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat dengan segera membuat suatu Perjanjian Kawin atas kesepakatan kedua belah pihak. Banyak dalam prakteknya di masyarakat pasangan calon suami dan isteri yang hendak menikah hanya memikirkan tentang bagaimana pesta acara pernikahan mereka berlangsung dan setelah acara pernikahan mereka dapat hidup bahagia dalam kekurangan masing-masing. Namun banyak juga dari mereka berfikir untuk apa membuat Perjanjian Kawin sedangkan mereka tidak memiliki harta banyak pada saat menikah, namun mereka tidak berfikir bagaimana kedepannya setelah menikah dari hasil bekerja dan berbisnis mereka malah memiliki harta lebih dan ternyata di saat itulah pasangan mereka melakukan sesuatu hal yang tidak sesuai dengan visi dan misi di awal pernikahan dan membuat rugi salah satu pasangan karena sang suami misalnya, memiliki hutang yang banyak atau bahkan memiliki WIL (Wanita Idaman Lain) dan menggunakan harta bersama untuk menghidupinya. Atau ada juga dalam prakteknya di masyarakat, setelah menikah lama baru mereka menyadari resiko pekerjaan salah satu pasangan dengan harta yang dimiliki selama ini jika mengalami pailit atau bahkan memilki hutang untuk pekerjaan salah satu pasangan, karena kebanyakan kasus yang

41

terjadi dalam masyarakat mereka menyadarinya setelah terjadi suatu masalah dengan harta yang mereka miliki. Bahkan sebelum lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 sudah ada Penetapan Pengadilan Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri No.

459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr tentang pemisahan harta setelah pernikahan dilangsungkan dengan membuat suatu Perjanjian Kawin setelah perkawinan. Jadi dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 makin kuatlah dasar hukum bagi mereka yang mengalami kasus sama seperti ini.

42 BAB III

AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH

Dokumen terkait