• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

i

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT

HUKUMNYA

OLEH :

ALINDA AFRIANI FIRMAN

NPM : 1210122009

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2017

(2)

ii ABSTRACT

A marriage is a commitment between two people, in this case a man and woman, with material purpose to build a happy and everlasting family (household) based on Belief in the one and only God which is the first principle of Pancasila(Five Principles). Asset/property issue may arise due to marriage. The development of society’s mindset lead them to enter into a prenuptial agreement before they get married considering that both husband and wife are able to earn asset/property. Besides that, there are many other reasons to enter into a prenuptial agreement. Prenuptial Agreement is an agreement which is made by two people (betrothed couple) before they get married. Prenuptial Agreement had been stipulated in Article 29 Law No. 1 of 1974. However, since the Constitutional Court issued the Decision No. 69/PUU-XIII/2015, Prenuptial Agreement has several modifications which are presently being pros and cons in society. The matter which is being researched in this thesis is: what is the legal consequence of a prenuptial agreement which is made after marriage and based on the Decision of Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015. The approach method which is used herein is normative legal research. The law material sources are primary law material and secondary law material in form of books and Legislation. Data analyses used in this research are processing and analyzing the data qualitatively andthen descriptively drawn up. The result of this research found the differences between Prenuptial Agreement which is stipulated in Article 29 Law No. 1 of 1974 and the Prenuptial Agreement which is stipulated in the Decision of Constitutional Court No. 69/PUU-XIII/2015.

Keywords: Prenuptial Agreement, After Marriage, Legal Effect.

(3)

iii ABSTRAK

Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam Pancasila.

Dalam perkawinan yang dilakukan salah satunya akan melahirkan akibat perkawinan terhadap harta kekayaan. Semakin berkembangnya situasi dan kondisi di masyarakat banyak para calon pasangan yang akhirnya memutuskan untuk membuat Perjanjian Kawin mengingat hal ini dikarenakan baik pihak laki- laki maupun perempuan mampu menghasilkan harta kekayaan masing-masing dan masih banyak alasan lain kenapa harus membuat perjanjian kawin.

Perjanjian Kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon suami istri) sebelum dilangsungkannya perkawinan. Perjanjian Kawin telah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 namun dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 terjadi beberapa perubahan dalam Perjanjian Kawin yang saat ini masih menjadi Pro Kontra di dalam masyarakat.

Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah: bagaimana pengaturan perjanjian kawin di Indonesia dan bagaimana akibat hukum perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan yang didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015. Metode pendekatan yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Sumber bahan hukum yang digunakan adalah sumber bahan hukum primer dan sumber bahan hukum sekunder berupa buku- buku dan Perundang-Undangan. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan studi dokumenya itu membaca dan mempelajari buku-buku peraturan Perundang-Undangan. Adapun analisis bahan hukum di dalam penelitian ini, dilakukan dengan mengolah dan menganalisis secara kualitatif dan dituangkan secara deskriptif. Hasil penelitian pada simpulan pertama bahwa pengaturan perjanjian kawin di Indonesia terdapat dalam beberapa Undang-Undang antara lain KUHPerdata, UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, KHI dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2016, dan pada simpulan hasil penelitian yang kedua terdapat perbedaan antara Perjanjian Kawin yang di atur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan Perjanjian Kawin yang diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.

Kata Kunci : PerjanjianKawin, SetelahPerkawinan, AkibatHukum.

(4)

iv DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGAJUAN HALAMAN PERSETUJUAN PERNYATAAN ORISINILITAS KATA PENGANTAR

ABSTRAK DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.3.1 Tujuan Umum ... 10

1.3.2 Tujuan Khusus ... 10

1.4 Kegunaan Penulisan ... 10

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 10

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 10

1.4 Tinjauan Pustaka ... 11

1.5 Metode Penelitian ... 21

1.5.1 Tipe Penelitian Dan Pendekatan Masalah ... 21

1.5.2 Sumber Bahan Hukum ... 21

1.5.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 22

1.5.4 Analisis Bahan Hukum ... 22

BAB II PENGATURAN PERJANJIAN KAWIN DI INDONESIA... 24

2.1 Pengertian Perjanjian Kawin dan Dasar Hukum ... 24

(5)

v

2.2 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin ... 27

2.2.1 KUH Perdata ... 27

2.2.2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang ... 31 27 2.2.3 Kompilasi Hukum Islam ... 33

2.3 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ... 35

BAB III AKIBAT HUKUM PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN ... ... 42

3.1 Mekanisme Pembuatan Perjanjian Kawin ... 42

3.2 Akibat Hukum Pembuatan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan berdasarkanPutusanMahkamahKonstitusi (MK) ... 47

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN ... ... 50

4.1 Simpulan ... 50

4.2 Saran ... 51

DAFTAR BACAAN ... ... 52

(6)

1 BAB I

PERJANJIAN KAWIN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

1.1 Latar Belakang Masalah

Sejak lahir ke dunia, manusia sebagai makhluk individu tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain. Meskipun dikatakan sebagai makhluk individu dan mandiri, namun pada dasarnya sebutan sebagai makhluk sosial lebih tepat diberikan kepada tiap manusia. Tiap manusia diciptakan untuk hidup berpasangan dan untuk memulai suatu hubungan dengan pasangannya tersebut harus dilakukan dengan perkawinan. Melalui ikatan perkawinan terbentuklah sebuah keluarga yang akan melahirkan keturunan.

Perkawinan yang dilangsungkan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan memiliki tujuan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diamanatkan oleh agama, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, dan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Oleh karena itu, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang diakui tidak hanya secara hukum melainkan pula secara agama dan kepercayaan yang dianut oleh masing-masing pihak.

Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa “Perkawinan adalah ikatan lahir batin seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri sebagai tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Apabila dicermati bunyi Pasal 1 tersebut, perkawinan merupakan suatu ikatan suci yang terjalin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Suci dalam arti ikatan yang terjalin didasarkan atas dasar suka sama suka dan tidak ada paksaan serta didasari atas keyakinan dan kepercayaan yang dianut.

(7)

2

Masyarakat beranggapan melalui ikatan lahir batin yang terjalin antara pasangan suami istri akan tercipta keluarga yang kekal dan bahagia. Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini merupakan payung hukum atau dasar hukum bagi masyarakat dalam hal pelaksanaan perkawinan yang berlaku di seluruh wilayah Indonesia.

Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai suatu unifikasi hukum di bidang perkawinan dibentuk sesuai dengan dasar filosofis bangsa Indonesia yang majemuk dengan adanya 5 (lima) agama dan beraneka ragam adat istiadat maupun kebiasaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air, sehingga untuk menyatakan sah atau tidaknya suatu perkawinan, Undang- Undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan berpedoman pada hukum masing-masing agama dan kepercayaan yang dianut oleh para pihak.

Hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistik. Artinya di Indonesia masih berlaku beberapa hukum perkawinan yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia antara lain :

a. Hukum perkawinan menurut hukum perdata barat (BW) yang diperuntukan bagi WNI keturunan asing atau yang beragama Kristen.

b. Hukum perkawinan menurut hukum islam yang diperuntukan bagi WNI keturunan atau pribumi yang beragama islam.

c. Hukum perkawinan menurut hukum adat yang diperuntukan bagi masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.1

1 Titik Triwulan Tutik, 2008, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Edisi Pertama, Cetakan Kedua, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Titik Triwulan Tutik I), hal. 97.

(8)

3

Melihat pengertian perkawinan tersebut sudah jelas bahwa perkawinan menurut hukum Indonesia tidak hanya berkaitan dengan suatu proses administrasi atau hubungan keperdataan antara suami dan istri, melainkan lebih menekankan pada adanya ikatan lahir batin yang didasarkan atas Ketuhan Yang Maha Esa. Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus didasari oleh adanya ikatan diantara satu sama lain, bukan hanya karena dorongan alamiah untuk membuat keturunan sebagai penerus keluarga. Pengakuan adanya ikatan lahir batin antara suami istri juga menjadi tolak ukur agar perkawinan harus dilakukan dengan kerelaan masing-masing pihak dan bukan karena adanya paksaan dari pihak lain.

Perkawinan merupakan suatu perjanjian yang diadakan oleh dua orang, dalam hal ini perjanjian antara seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan material, yakni membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagai asas pertama dalam pancasila.2 Perkawinan menimbulkan hak dan kewajiban dari suami istri yang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Suatu perkawinan dapat melahirkan persoalan tentang harta kekayaan yaitu mengenai harta benda bersama suami istri maupun harta pribadi dan atau harta bawaan.3 Mengenai persoalan tentang harta ini diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

(1) Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2 Soedharyo Soimin, 2004, Hukum Orang Dan Keluarga: Perspektif Hukum Perdata Barat/BW, Hukum Islam, dan Hukum Adat, Edisi Revisi, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, hal.

6.

3 Elisabeth Nurhaini Butarbutar, 2012, Hukum Harta Kekayaan Menurut Sistematika KUHPerdata dan Perkembangannya, PT. Refika Aditama, Bandung, hal. 22.

(9)

4

(2) Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah dibawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Mengenai harta perkawinan ini juga diatur di dalam Pasal 119 sampai dengan Pasal 125 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan dalam Undang-Undang No.

1 Tahun 1974 tentang perkawinan diatur dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37. Walaupun mengatur hal yang sama namun terdapat perbedaan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam menyikapi harta perkawinan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menganut asas percampuran bulat, hal ini ditunjukan dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana disebutkan dalam Pasal tersebut

bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri sekedar mengenai itu dengan perjanjian perkawinan tidak diadakan ketentuan lain.

Pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan pada umumnya sangat jarang atau bahkan tidak pernah mempermasalahkan mengenai harta masing- masing pihak atau percampuran harta yang akan terjadi setelah perkawinan.

Landasan yang diterapkan adalah asas saling percaya dan memahami satu sama lain. Namun semakin berkembangnya situasi dan kondisi dalam masyarakat, terutama dengan semakin banyaknya pengaruh budaya asing masuk ke Indonesia, sedikit demi sedikit merubah pola hidup dan pandangan masyarakat.

Harta masing-masing pihak maupun percampuran harta dalam perkawinan menjadi suatu permasalahan yang disoroti oleh pasangan suami istri yang

(10)

5

hendak melangsungkan perkawinan. Hal ini dikarenakan saat ini baik pihak laki- laki maupun perempuan mampu menghasilkan harta kekayaan masing-masing hingga dipandang perlu untuk mengatur mengenai pemisahan harta bersama dalam suatu perkawinan. Upaya yang ditempuh untuk pemisahan harta tersebut dilakukan dengan membuat suatu Perjanjian Kawin.

Perjanjian Kawin adalah perjanjian yang dibuat oleh dua orang (calon suami istri) sebelum dilangsungkannya perkawinan mereka, untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang menyangkut harta kekayaan.4 Perjanjian perkawinan adalah suatu kesepakatan seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang akan melangsungkan perkawinan untuk memisahkan kepemilikan harta dan utang piutang, dan kesepakatan tentang sejumlah hal penting lain pada saat mengarungi bahtera rumah tangga.

Perjanjian Kawin sebenarnya bukanlah perjanjian yang dibuat dalam rangka perceraian. Meskipun banyak yang beranggapan apabila ada pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan kemudian memutuskan untuk membuat suatu perjanjian kawin, maka mereka mempersiapkan untuk perceraiannya. Terlepas dari anggapan negatif masyarakat tentang perjanjian kawin, ada nilai-nilai positif dibalik maksud dibuatnya perjanjian kawin tersebut.

Perjanjian Kawin memberikan perlindungan bagi suami istri yang akan terikat dalam suatu perkawinan.

Perjanjian Kawin yang dibuat dapat mengatasi penilaian negatif bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan apabila salah satu pihak berasal dari keluarga sederhana, sementara pihak lainnya berasal dari keluarga

4 R. Soetojo Prawirohamidjojo, 2000, Hukum Orang Dan Keluarga (Personen En Familie- Rect), Airlangga University Press, Surabaya, hal. 73.

(11)

6

terpandang. Anggapan perkawinan tersebut hanya dilakukan untuk mencari kekayaan pihak lainnya dapat ditepis dengan dibuatnya Perjanjian Kawin. Contoh lainnya adalah, perjanjian kawin yang dibuat oleh pasangan yang berasal dari dunia bisnis, dimana salah satu pihak memiliki bidang usaha yang beresiko tinggi yang ada kalanya dapat mengalami kemunduran karena sangat tergantung pada situasi perekonomian. Apabila salah satu pihak ingin mengajukan kredit pada bank dengan jaminan harta yang dimilikinya, maka hutang yang akan timbul setelahnya hanya akan mengikat pihak yang terkait saja, sedangkan pasangannya akan terbebas dari kewajiban dan resiko pembayaran hutang.

Kemudian apabila debitur dinyatakan bangkrut maka harta kekayaannya saja yang akan disita oleh kreditur, sementara harta pasangannya tidak. Dengan demikian keluarganya masih bisa menjalankan kehidupan sehari-hari terutama menjamin kesejahteraan kedua belah pihak dan anak-anak dengan menggunakan harta yang dimiliki pasangannya sehingga tidak ada pihak lain yang dirugikan dalam hal ini. Pemahaman yang sesungguhnya mengenai perjanjian kawin akan merubah pandangan masyarakat mengenai pasangan yang membuat perjanjian kawin sebelum melangsungkan perkawinan dan memberikan kepastian bagi tiap pasangan dalam menjalankan bahtera rumah tangga.

Perjanjian Kawin sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat mengenai segala hal, asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur dengan jelas mengenai isi dari Perjanjian Kawin itu sendiri selain pengaturan yang telah disebutkan di atas.

(12)

7

Dasar hukum dari keadaan tersebut di atas, dapat dilihat dari bunyi Pasal 1320 juncto Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata berbunyi sebagai berikut :

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat;

1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan 3. suatu hal tertentu

4. suatu sebab yang halal

Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata menyatakan sebagai berikut :

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

Unifikasi hukum perkawinan di Indonesia telah mengatur mengenai perjanjian perkawinan dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengaturan tersebut tercantum pada Pasal 29 ayat (1) sampai dengan ayat (4), sebagai berikut:

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Perjanjian Kawin merupakan salah satu bentuk perjanjian yang dalam pembuatannya harus mengikuti syarat-syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Apabila perjanjian telah dibuat sesuai dengan

(13)

8

syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut dan tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan seperti tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, maka perjanjian tersebut sudah dapat dikatakan sah. Namun sahnya suatu Perjanjian Kawin seperti yang tercantum dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah setelah disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pendaftaran Perjanjian Kawin penting diakukan dalam hubungannya dengan pihak ketiga. Pendaftaran Perjanjian Kawin dilakukan agar pihak ketiga mengetahui bahwa perkawinan yang terjadi tidak didasarkan atas pembulatan harta kekayaan dan telah terjadi pemisahan harta kekayaan antara suami istri tersebut. Apabila Perjanjian Kawin tersebut tidak didaftarkan maka pihak ketiga dapat menganggap bahwa pasangan tersebut melangsungkan perkawinan dengan kesatuan harta kekayaan. Hal ini memiliki resiko seandainya salah satu pihak mempunyai kewajiban kepada pihak ketiga namun tidak dapat melaksanakan kewajibannya, maka pasangannya akan ikut menanggung kewajibannya yang telah dilakukan pasangannya tersebut.

Perkembangan ini menarik karena di dalam Pasal 29 Undang-Undang tentang perkawinan dikatakan bahwa Perjanjian Kawin dilakukan sebelum atau pada saat dilansungkannya perkawinan. Fenomena ini tentunya telah memicu perdebatan dan bahkan telah menimbulkan berbagai persoalan dalam proses pencatatan dalam akta perkawinan maupun dampaknya terhadap pihak ketiga.Secara umum perbuatan hukum pembuatan Perjanjian Kawin yang dilakukan setelah perkawinan dilangsungkan, tidak diatur dalam ketentuan Pasal 29 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang hanya menentukan

(14)

9

bahwa Perjanjian Kawin dilakukan sebelum atau pada saat berlangsungnya perkawinan, namun pada kenyataannya di dalam praktek ada Perjanjian Kawin yang dilakukan sesudah perkawinan, yang dilaksanakan dengan cara mengajukan permohonan Penetapan ke Pengadilan Negeri dan kasus terbaru dan masih hangat mengajukan permohonan Penetapan ke Mahkamah Konstitusi, hal inilah yang oleh Penulis diartikan adanya terobosan hukum untuk mengatasi adanya perkembangan hukum dengan keluarnya penetapan-penetapan tersebut.

Dimana pada beberapa kasus benar-benar ada dan terjadi dalam praktiknya antara lain Penetapan Pengadilan Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr dan Penetapan Pengadilan Negeri No. 459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr yang dengan adanya penetapan tersebut dapat dijadikan landasan hukum bagi Notaris untuk membuat Perjanjian Kawin setelah perkawinan bagi pasangan suami istri. Kasus tersebut bahkan terjadi sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

Fenomena ini juga menarik untuk didalami dan penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh keabsahan Perjanjian Kawin yang dilakukan setelah perkawinan dengan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015. Untuk itu penulis membuat skripsi ini dengan judul “Perjanjian Kawin yang dibuat Setelah Perkawinan dan Akibat Hukumnya”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dibuat tersebut diatas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Pengaturan Perjanjian Kawin di Indonesia?

(15)

10

2. Bagaimana akibat hukum Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkawinan yang didasarkan pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 ?

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

a. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyampaikan pikiran ilmiah teoritis secara tertulis.

b. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan hukum.

c. Mahasiswa dapat mengetahui penerapan hukum atau peraturan yang mengatur mengenai Perjanjian Kawin.

1.3.2 Tujuan Khusus

a. Untuk dapat mengetahui pengaturan Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkwinan dilangsungkan.

b. Untuk mengetahui akibat hukum Perjanjian Kawin yang dibuat setelah perkawinan

1.4 Kegunaan Penulisan 1.4.1 Kegunaan Teoritis

Khasanah ilmu pengetahuan penulis dan memberi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan dibidang hukum pada umumnya, khususnya dibidang hukum perjanjian dan hukum perkawinan yang berkaitan dengan Perjanjian Kawin setelah perkawinan.

1.4.2 Kegunaan Praktis

Sebagai bahan masukan bagi para praktisi Notaris, Hakim, Pengacara, Aparatur pemerintahan dibidang kependudukan, dalam menjalankan

(16)

11

profesinya, terutama apabila ada pembuatan akta apapun dan penyelesaian sengketa yang berkaitan dengan Perjanjian Kawin.

1.5 Tinjauan Pustaka

Pelaksanaan mengenai hukum perkawinan di Indonesia bersifat pluralistik.

Artinya di Indonesia masih berlaku beberapa hukum perkawinan yang dijadikan dasar dalam pelaksanaan perkawinan di Indonesia. Sistem hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia antara lain :

a. Hukum perkawinan menurut hukum perdata barat (BW) yang diperuntukan bagi WNI keturunan asing atau yang beragama Kristen.

b. Hukum perkawinan menurut hukum islam yang diperuntukan bagi WNI keturunan atau pribumi yang beragama islam.

c. Hukum perkawinan menurut hukum adat yang diperuntukan bagi masyarakat pribumi yang masih memegang teguh hukum adat.5 Perkawinan menurut Hukum Perdata (KUHPerdata) adalah

hubungan keperdataan antara seorang pria dengan seorang wanita dalam hidup bersama sebagai suami istri. 6

Ketentuan mengenai perkawinan diatur mulai dari Pasal 26 sampai dengan Pasal 102 KUHPerdata. Pada ketentuan umum yang hanya tercantum dalam Pasal 26 KUHPerdata disebutkan bahwa

“Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan- hubungan perdata”.

Perkawinan atau kawin dalam bahasa arab berasal dari kata nikah- nikaahun, yang apabila diterjemahkan dapat berarti kumpul, yaitu berkumpulnya dua manusia berlainan jenis antara laki-laki dan perempuan. Apabila dilihat dari sudut pandang yang lebih luas, kata nikah mengandung makna yang lebih luas

5 Titik Triwulan Tutik, 2008, op.cit

6 J.B. Daliyo, 1995, Pengantar Hukum Indonesia Buku Panduan Mahasiswa, Cetakan Kedua, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 111.

(17)

12

adalah sutu akad atau perjanjian yang sangat sakral antara laki-laki dan perempuan dengan maksud hidup bersama dalam suatu rumah tangga mentaati perintah Allah.7 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 2 mengatur pula mengenai pengertian perkawinan

pengertian menurut hukum islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannnya merupakan ibadah.

Perkawinan selain diatur dalam peraturan Perundang-Undangan (hukum positif) diatur pula dalam hukum adat. Perkawinan dalam hukum adat dipandang sebagai suatu peristiwa yang sangat penting dalam penghidupan masyarakat.

Perkawinan bukan hanya suatu peristiwa yang mengenai mereka yang bersangkutan (suami-istri) tetapi juga orang tua, saudara-saudara dan keluarga kedua belah pihak.8 Tujuan perkawinan menurut hukum adat pada umumnya adalah untuk mempertahankan dan meneruskan kelangsungan hidup dan kehidupan masyarakat adatnya. Namun Karena sistem kekerabatan atau kekeluargaan masing-masing masyarakat berlainan, maka penekananan dari tujuan perkawinan pun disesuaikan dengan sistem kekeluargaannya. Misalnya, pada masyarakat patrilineal, perkawinan mempunyai tujuan untuk mempertahankan garis keturunan bapak, sebaliknya pada masyarakat

7 Solahudin Pugung, 2011, Mendapatkan Hak Asuh Anak Dan Harta Bersama Di Pengadilan Agama, Cetakan Kesatu, Indonesia Legal Centre Publishing, Jakarta, hal. 5.

8 Titik Triwulan Tutik, 2006, Pengantar Perdata Di Indonesia, Prestasi Pustaka Publisher, Jakarta, (Selanjutnya disebut dengan Tititk Triwulan Tutik II), hal. 113

(18)

13

matrilineal, perkawinan mempunyai tujuan untuk mempertahankan garis keturunan ibu.9

Pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa

“perkawinan adalah sah, apabilan dilakukan menurut hukum masing- masing agamanya dan kepercayaannya itu”.

Syarat-syarat bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan diatur dalam Pasal 6 dan 7 Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Di dalam ketentuan tersebut ditentukan dua syarat untuk melangsungkan perkawinan, yaitu syarat intern dan syarat eksteren. Syarat intern tersebut antara lain :

a. Persetujuan kedua belah pihak

b. Izin dari kedua orang tua apabila belum mencapai umur 21 tahun c. Pria berumur 19 tahun dan wanita berumur 16 tahun

d. Kedua belah pihak dalam keadaan tidak kawin

e. Wanita yang kawin untuk kedua kalinya harus lewat masa tunggu (iddah)

Syarat-syarat eksteren antara lain :

a. Harus mengajukan laporan ke Pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk

9 Taufiqurrohman Syahuri, 2013, Legislasi Hukum Perkawinan Indonesia: Pro-Kontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 64

(19)

14

b. Pengumuman, yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat, yang memuat:

1) Nama, umur, agama, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon, dan menyebutkan juga nama istri atau suami terdahulu.

2) Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan dilangsungkan.

KUHPerdata juga mengatur mengenai persyaratan yang harus dipenuhi bagi para calon pasangan suami istri yang hendak melangsungkan perkawinan.

Syarat-syarat tersebut dibagi menjadi syarat materiil dan syarat formil.

1. Syarat materiil adalah syarat yang menyangkut pribadi para pihak yang akan melangsungkan perkawinan dan izin-izin yang harus diberikan oleh pihak ketiga dalam hal-hal yang ditentukan oleh Undang-Undang. Syarat ini meliputi:

a) Syarat meteriil absolute adalah mengenai syarat pribadi seorang yang harus diindahkan untuk perkawinan pada umumnya antara lain:

- Pihak-pihak calon mempelai dalam keadaan tidak kawin

- Masing-masing pihak harus mencapai umur minimum yang ditentukan oleh Undang-Undang, laki-laki berumur 18 tahun dan perempuan berumur 15 tahun

(20)

15

- Seorang wanita tidak diperbolehkan kawin lagi sebelum lewat 300 hari terhitung sejak bubarnya perkawinan

- Harus ada izin dari pihak ketiga

- Dengan kemauan yang bebas, tidak ada paksaan.

b) Syarat materiil relatif adalah syarat-syarat bagi pihak yang akan dikawini, antara lain:

- Tidak adanya hubungan darah (keturunan) atau hubungan keluaraga (antar ipar atau semenda) sangat dekat antara keduanya

- Antara keduanya tidak pernah melakukan overspel

- Tidak melakukan perkawinan terhadap orang yang sama setelah cerai (reparative huwelijk) untuk yang ketiga kalinya.

2. Syarat formil adalah syarat yang berhubungan dengan tata cara atau formalitas yang harus dipenuhi sebelum proses perkawinan.

Ketentuan ini hanya berlaku bagi golongan Eropa saja yakni mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 70 KUHPerdata. Salah satu ketentuan mengenai syarat formil ini adalah adanya pemberitahuan terlebih dahulu kepada Pejabat Catatan Sipil untuk dibukukan dalam daftar pemberitahuan perkawinan. Pengaturan ini terdapat pada Pasal 50 dan Pasal 51 KUHPerdata.

(21)

16

Para pasangan yang hendak melakukan perkawinan, selain harus memenuhi persyaratan untuk sahnya suatu perkawinan, mereka juga harus memperhatikan beberapa larangan-larangan dalam melangsungkan perkawinan, diantaranya adalah:

a. Ada hubungan darah dalam garis keturunan ke bawah atau ke atas

b. Ada hubungan darah dalam garis keturunan menyamping c. Ada hubungan darah semenda, yaitu mertua, anak tiri,

menantu dan ibu atau bapak tiri

d. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang untuk kawin.10

Setiap hubungan hukum yang terjadi antara tiap individu dengan individu lainnya akan menimbulkan akibat-akibat terkait dengan hubungan hukum yang terjadi. Perkawinan sebagai salah satu bentuk hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita yang terjalin didasarkan atas adanya ikatan lahir batin diantara keduanya, akan menimbulkan akibat hukum baik bagi pasangan suami istri tersebut maupun pada hal-hal lain dan pihak lain yang terkait dengan perkawinan tersebut. Akibat perkawinan yang terdapat dalam peraturan Perundang-Undangan mengenai perkawinan dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

a. Adanya hubungan suami istri b. Hubungan orang tua dengan anak c. Masalah harta kekayaan

10 Titik Triwulan Tutik II, op. cit, hal 119

(22)

17

Sejak awal terjadinya perkawinan antara pasangan suami istri, timbulah hubungan hukum antara suami istri. Hubungan hukum tersebut adalah adanya hak dan kewajiban antara suami istri. Pengaturan mengenai hak dan kewajiban suami istri dapat ditemukan pada Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Apabila selama perkawinan berlangsung suami lalai dalam menjalankan semua kewajibannya maka istri dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menuntut pembatalan perkawinan.

Hak dan kewajiban suami istri tidak hanya terdapat dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, melainkan diatur pula dalam Pasal 103 KUHPerdata.

Hak dan kewajiban antara suami istri diatas akan hapus apabila perkawinan yang dilangsungkan antara suami dan istri tersebut putus karena perceraian.

Berkaitan dengan hubungan orang tua dengan anak yang muncul sebagai akibat perkawinan, hak dan kewajiban orang tua terhadap anak diatur dalam Pasal 45 sampai dengan Pasal 49 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Lain halnya dengan hubungan hukum antara suami istri yang dapat putus karena perceraian, hubungan hukum antara orang tua dengan anaknya tidak akan putus meskipun perkawinan yang dibina oleh kedua orang tuanya putus oleh perceraian. Hak dan kewajiban orang tua akan tetap melekat dan harus

(23)

18

tetap dijalankan oleh setiap orang tua meskipun hubungan perkawinan tersebut telah putus.

Akibat perkawinan yang terakhir adalah mengenai harta benda dalam perkawinan. Pengaturan mengenai harta benda dalam perkawinan terdapat dalam Pasal 35 sampai dengan Pasal 37 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum pada pasal tersebut, harta benda dalam perkawinan dibagi menjadi dua, yaitu harta bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing pihak selama perkawinan berlangsung, sedangkan harta bawaan adalah harta yang diperoleh oleh masing-masing pihak sebelum perkawinan dilangsungkan sebagai hadiah atau warisan. Para pihak menguasai penuh harta bawaan masing-masing sepanjang hal tersebut tidak ditentukan lain. Apabila pada saat perkawinan berlangsung terjadi perceraian, maka harta bersama para pihak dalam perkawinan tersebut akan dibagi menurut ketetentuan yang terdapat dalam peraturan Perundang-Undangan.

Perjanjian Kawin merupakan salah satu bentuk perjanjian pada umumnya, maka sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjanjian kawin ada baiknya diuraikan terlebih dahulu mengenai perjanjian pada umumnya.

Pengertian perjanjian itu sendiri terdapat di dalam peraturan Perundang- Undangan, doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khususnya dibidang perjanjian maupun di dalam kamus, yaitu sebagi berikut:

a. Perjanjian menurut KUHPerdata yang diatur dalam Pasal 1313

(24)

19

yaitu suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

b. Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.11

c. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan dalam perjanjian berasal dari kata “janji” yang berarti persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu) dan arti kata perjanjian itu sendiri persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

Berdasarkan beberapa uraian mengenai pengertian perjanjian tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang telah saling sepakat mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal baik dalam bidang harta kekayaan maupun dalam hal bidang lainnya.

Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang mulai dikenal di masyarakat adalah Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin merupakan perjanjian penting yang dibuat dengan tujuan memisahkan harta perkawinan antara suami dan istri sehingga mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda perkawinan di antara suami istri. Perjanjian Kawin dalam istilah asing disebut dengan

11 Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 78.

(25)

20

Prenuptial Agreement. “Prenuptial Agreement is an agreement entered by the parties to a marriage before the marriage”.12

Perjanjian Kawin sebagai salah satu aspek penting dalam perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Namun dalam pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai pengertian perjanjian kawin maupun tentang isi Perjanjian Kawin itu sendiri. Apabila dilihat bunyi Pasal 29 ayat (1) hanya disebutkan

bahwa kedua belah pihak (dalam hal ini calon suami dan istri) dapat mengadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Adanya ketidakjelasan pengertian Perjanjian Kawin mengakibatkan munculnya perbedaan pendapat dari para ahli yang menafsirkan mengenai pengertian Perjanjian Kawin. Pendapat-pendapat yang dikemukakan lebih cenderung mengacu pada ketentuan-ketentuan tentang Perjanjian Kawin yang terdapat dalam KUHPerdata sebagai peraturan Perundang-Undangan yang telah lebih dahulu mengatur mengenai Perjanjian Kawin.

Adapun pengertian Perjanjian Kawinan menurut para ahli sebagai berikut:

a. Menurut R. Subekti, Perjanjian Kawin adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.13

12 Charles P. Nemeth, 2008, The Paralegal Resource Manual, McGraw-Hill/Irwin, New York, hal. 486.

13 R. Subekti, 1996, Pokok-Pokok Hukum Perdata, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 9.

(26)

21

b. Menurut Libertus Jehani, Perjanjian Kawin (huwelijksvoorwaarden) adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri yang memuat tentang status kepemilikan harta dalam perkawinan mereka.14

c. Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, Perjanjian Kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.15

1.6 Metode Penelitian

1.6.1 Tipe Penelitian dan Pendekatan Masalah

Penelitian hukum yang digunakan dalam penyusunan proposal skripsi ini merupakan tipe penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normantif dilakukan dengan cara meneliti peraturan Perundang- Undangan dan kepustakaan hukum. Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan adalah peraturan Perundang-Undangan,konseptual dan perbandingan hukum.

1.6.2 Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang penulis gunakan adalah sumber bahan hukum yang berkaitan dengan rumusan masalah, adapun sumber bahan hukum yang dipergunakan adalah:

14 Libertus Jehani, 2012, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Pedoman Bagi (Calon) Suami Istri, Cetakan Pertama, Rana Pustaka, Jakarta, hal. 8.

15 Soetojo Prawirohamidjojo, 1986, Pluralisme Dalam Perundang-undangan Perkawinan Di Indonesia, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 57

(27)

22 1. Sumber Bahan Hukum Primer

Sumber bahan hukum dalam penulisan proposal ini bersumber dari hasil yang diperoleh penulis dari permasalahan yang terjadi dalam masyarakat, Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No. 207/Pdt.P/2005/PN.Jkt.Tmr., Studi Kasus Penetapan Pengadilan Negeri No. 459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tmr., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

2. Sumber Bahan Hukum Sekunder

Dalam penulisan dengan menggunakan bahan hukum yang terdiri dari literatur, buku-buku, beserta tulisan ilmiah yang terkait dengan masalah yang dibahas dimana bahan yang digunakan adalah hasil penelitian di lapangan dengan membandingkan dengan peraturan Perundang-Undangan.

3. Sumber Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum yang bisa memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti ensiklopedia, majalah, artikel-artikel, surat kabar dan jurnal-jurnal hukum.

1.6.3 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berdasarkan metode pendekatan yang digunakan, maka alat pengumpulan data dilakukan dengan studi dokumen yaitu membaca,

(28)

23

mempelajari buku-buku peraturan Perundang-Undangan dan sumber lainnya yang berkaitan dengan penulisan kemudian dikutip oleh penulis.

1.6.4 Analisis bahan Hukum

Bahan-bahan Hukum yang telah diperoleh dari hasil pengutipan dan pencatatan dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, lalu diolah bersadarkan kwalitas bahan hukum tersebut, dan dari hasil pengolahannya dilakukan penganalisaan berdasarkan pola pikir deduktif-induktif untuk dapat memecahkan masalah yang dibahas, kemudian disajikan secara deskriptif analisis yakni disajikan dengan disertai uraian-uraian guna mengungkapkan kebenaran yang ada.

(29)

24 BAB II

PENGATURAN PERJANJIAN KAWIN DI INDONESIA

2.1 Pengertian Perjanjian Kawin dan Dasar Hukum

Perjanjian Kawin merupakan salah satu bentuk perjanjian pada umumnya, maka sebelum membahas lebih lanjut mengenai perjanjian kawin ada baiknya diuraikan terlebih dahulu mengenai perjanjian pada umumnya.

Pengertian perjanjian itu sendiri terdapat di dalam peraturan Perundang- Undangan, doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum khususnya dibidang perjanjian maupun di dalam kamus, yaitu sebagai berikut:

a. Perjanjian menurut KUHPerdata yang diatur dalam Pasal 1313 yaitu

suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

b. Menurut Abdulkadir Muhammad perjanjian adalah suatu persetujuan dimana dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta kekayaan.16

c. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan dalam perjanjian berasal dari kata “janji” yang berarti persetujuan antara dua pihak (masing-masing menyatakan kesediaan dan kesanggupan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu) dan arti kata perjanjian itu sendiri persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat oleh dua pihak atau lebih masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

16 Abdulkadir Muhammad, 1990, Loc.cit

(30)

25

Berdasarkan beberapa uraian mengenai pengertian perjanjian tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa perjanjian merupakan suatu persetujuan antara dua orang atau lebih yang telah saling sepakat mengikatkan dirinya untuk melaksanakan suatu hal baik dalam bidang harta kekayaan maupun dalam hal bidang lainnya.

Salah satu bentuk perjanjian tertulis yang mulai dikenal di masyarakat adalah Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin merupakan perjanjian penting yang dibuat dengan tujuan memisahkan harta perkawinan antara suami dan istri sehingga mencegah timbulnya permasalahan mengenai harta benda perkawinan diantara suami istri. Perjanjian Kawin dalam istilah asing disebut dengan Prenuptial Agreement. “Prenuptial Agreement is an agreement entered by the parties to a marriage before the marriage”.17

Perjanjian Kawin sebagai salah satu aspek penting dalam perkawinan diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Namun dalam pasal tersebut tidak menyebutkan secara jelas dan tegas mengenai pengertian Perjanjian Kawin maupun tentang isi Perjanjian Kawin itu sendiri. Apabila dilihat bunyi Pasal 29 ayat (1) hanya disebutkan

bahwa kedua belah pihak (dalam hal ini calon suami dan istri) dapat mengadakan perjanjian tertulis pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Adanya ketidakjelasan pengertian Perjanjian Kawin mengakibatkan munculnya perbedaan pendapat dari para ahli yang menafsirkan mengenai pengertian Perjanjian Kawin. Pendapat-pendapat yang dikemukakan lebih

17 Charles P. Nemeth, 2008, Loc.cit

(31)

26

cenderung mengacu pada ketentuan-ketentuan tentang Perjanjian Kawin yang terdapat dalam KUHPerdata sebagai peraturan Perundang-Undangan yang telah lebih dahulu mengatur mengenai Perjanjian Kawin.

Adapun pengertian pengertian dimaksud menurut para ahli adalah sebagai berikut:

a. R. Subekti menyatakan, Perjanjian Kawin adalah suatu perjanjian mengenai harta benda suami istri selama perkawinan mereka yang menyimpang dari asas atau pola yang ditetapkan oleh Undang-Undang.18

b. Libertus Jehani menyatakan, Perjanjian Kawin (huwelijksvoorwaarden) adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami istri yang memuat tentang status kepemilikan harta dalam perkawinan mereka.19

c. Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan, Perjanjian Kawin adalah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon suami istri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.20

Sesuai dengan pengertian-pengertian di atas, dapat diketahui bahwa Perjanjian Kawin merupakan suatu perjanjian yang dibuat oleh calon suami-istri pada saat atau sebelum perkawinan yang mengatur tentang harta benda perkawinan. Calon suami-istri dapat menyampaikan kehendaknya masing-masing ke dalam Perjanjian Kawin berkaitan dengan akibat hukum terjadinya perkawinan

18 R. Subekti, 1996, Loc.cit

19 Libertus Jehani, 2012, Loc.cit

20 Soetojo Prawirohamidjojo, 1986, Loc.cit

(32)

27

terhadap harta benda mereka, apakah yang dikehendaki penggabungan harta, atau pemisahan harta namun hanya sebagian, atau bahkan hendak memisahkan harta benda perkawinan masing-masing pihak secara keseluruhan.

Berkenaan dengan pernyataan kehendak tentang segala hal dari masing-masing pihak yang dituangkan dalam perjanjian diatur dalam berbagai instrumen yakni :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan 3. Kompilasi Hukum Islam

4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 Hal ini akan penulis pertegas dalam sub pokok bahasan selanjutnya.

2.2 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Perkawinan

2.2.1 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin dalam KUHPerdata

Menurut KUHPerdata, dengan adanya perkawinan maka sejak itu harta kekayaan baik harta asal maupun harta bersama suami dan istri bersatu, kecuali ada perjanjian kawin. Perjanjian Kawin merupakan perjanjian khusus yang telah diatur dalam peraturan Perundang-Undangan. Perjanjian Kawin dikatakan perjanjian khusus karena pembuat Undang-Undang telah memiliki pengaturan khusus terkait dengan Perjanjian Kawin.

Perjanjian Kawin merupakan salah satu bentuk perjanjian yang termasuk dalam ruang lingkup hukum keluarga dan tunduk pada ketentuan yang diatur dalam Buku 1 KUHPerdata, yaitu tentang oang. Perjanjian Kawin erat kaitannya dengan hukum perkawinan karena Perjanjian Kawin dibuat oleh calon pasangan

(33)

28

suami istri yang hendak melangsungkan perkawinan guna mengatur mengenai keberadaan harta benda perkawinan.

Di Indonesia, sebelum memiliki payung hukum tersendiri yang mengatur mengenai hukum perkawinan yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengaturan mengenai hukum Perkawinan dapat ditemukan dalam berbagai macam peraturan hukum atau sistim hukum yang berlaku. Peraturan tersebut disesuaikan dengan golongan masyarakat yang ada di Indonesia pada saat itu, ini dijelaskan pada Pasal 131 IS (Indische Staatsregeling) antara lain:

a. Hukum Adat yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli;

b. Hukum Islam yang berlaku bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama islam;

c. Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia (HOCI) S. 1933 No. 74 yang diberlakukan bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen;

d. KUHPerdata yang diberlakukan bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina;

e. Bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan Warga Negara Indonesia keturunan asing lainnya berlaku hukum adat mereka mmasing-masing.21

Sebelum tanggal 1 Oktober 1975 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan diberlakukan di Indonesia, pengaturan terkait dengan Perjanjian Kawin telah diatur terlebih dahulu di KUHPerdata. Pengaturan

21 Hilman Hadikusuma, 2003, Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, CV. Mandar Maju, Bandung, hal.8.

(34)

29

Perjanjian Kawin terdapat pada Buku 1, Bab ke-7 sampai Bab ke-8. Berdasarkan Pasal 119 KUHPerdata

sejak saat perkawinan dilangsungkan, maka demi hukum akan terjadi persatuan harta secara bulat antara pasangan suami istri sepanjang mereka tidak menentukan lain yang dituangkan dalam suatu Perjanjian Kawin.

Oleh karena Undang-Undang memperkenankan dibuatnya penyimpangan- penyimpangan atas harta perkawinan tersebut, para pihak atau pasangan calon suami istri berhak untuk mengadakan Perjanjian Kawin dengan maksud:

a. Apabila salah satu pihak memiliki harta kekayaan yang lebih besar daripada pihak lainnya;

b. Apabila baik calon suami ataupun calon istri sama-sama membawa harta bawaan yang jumlahnya cukup besar ke dalam perkawinan;

c. Apabila baik calon suami ataupun calon istri sama-sama mempunyai usaha sendiri sehingga apabila terjadi pailit pihak lainnya tidak akan ikut tersangkut dan tetap aman;

d. Calon suami dan calon istri akan tetap bertanggung jawab atas pengembalian utang-utang yang dimiliki oleh masing-masing pihak.22

Para pihak yang hendak membuat Perjanjian Kawin harus memperhatikan kehendak masing-masing pihak yang akan dituangkan ke dalam Perjanjian Kawin, sehingga isi dari Perjanjian Kawin itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum.

Pasal 147 KUHPerdata menyebutkan

22 Faizal Kurniawan dan Erni Agustin, 2012, Keabsahan Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Departemen Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, hal. 12.

(35)

30

Perjanjian Kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan oleh calon pasangan suami istri dan harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris, karena jika tidak maka Perjanjian Kawin akan batal demi hukum. Perjanjian Kawin akan berlaku hanya sejak saat perkawinan dilangsungkan dan tidak pada saat lain yang dapat ditentukan oleh para pihak).

Pasal 148 KUHPerdata menyebutkan

Para pihak masih dapat membuat perubahan atas Perjanjian Kawin sepanjang perkawinan antara para pihak belum dilangsungkan. Perubahan yang dimaksud harus sesuai dengan persetujuan para pihak dan perubahan tersebut harus dibuat dalam bentuk Akta.

Selain daripada waktu yang ditentukan dalam Pasal 148 KUHPerdata tersebut, Pasal 149 KUHPerdata menyebutkan

para pihak tidak diperkenankan untuk mengadakan perubahan apapun terhadap Perjanjian Kawin yang telah dibuat.

Pasal Pasal 152 KUHPerdata menyebutkan

Ketentuan-ketentuan yang terdapat pada Perjanjian Kawin akan mengikat pihak ketiga apabila Perjanjian Kawin tersebut telah didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum tempat perkawinan tersebut dilangsungkan dan apabila perkawinan tersebut dilangsungan di luar negeri maka Perjanjian Kawin tersebut didaftarkan di daerah hukum tempat akta perkawinan para pihak didaftarkan.

Berdasarkan penjabaran pengaturan Perjanjian Kawin dalam KUHPerdata diatas, dapat kita ambil kesimpulan tentang pengaturan Perjanjian Kawin yang dibuat oleh para pihak. Kebasahan Perjanjian Kawin menurut KUHPerdata dapat ditentukan apabila Perjanjian Kawin tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Penyimpangan mengenai harta perkawinan yang diatur dalam Perjanjian Kawin tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum;

(36)

31

b. Perjanjian Kawin dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak;

c. Perjanjian Kawin harus dibuat dalam bentuk Akta Notaris;

d. Perjanjian Kawin harus dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.

Dengan demikian, apabila suatu Perjanjian Kawin telah memenuhi segala ketentuan-ketentuan yang diatur dalam KUHPerdata dan memperhatikan setiap larangan-larangan yang tidak diperkenankan oleh KUHPerdata, maka Perjanjian Kawin itu telah dianggap sah.

2.2.2 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin menurut Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Setelah pemerintah mengesahkan dan mengundangkan peraturan nasional yakni Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada tanggal 2 Januari 1974 namun baru dapat berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975 dengan dikeluarkannya PP No. 9 tahun 1975 yang berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia (WNI) tanpa memandang golongan, peraturan- peraturan yang sebelumnya berlaku terkait dengan hukum perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini dapat dilihat dari penjabaran Ketentuan Penutup Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu:

Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-Undang ini, maka dengan berlakunya Undang-Undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonasi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnatie Christien Indonesier S. 1993 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh setelah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.

(37)

32

Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut di atas mengadung pengertian bahwa segala pengaturan yang menyangkut hukum perkawinan sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan lain yang terdapat dalam peraturan-peraturan hukum terdahulu tidak berlaku lagi. Namun sebaliknya, apabila dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut terdapat ketentuan-ketentuan yang belum mendapat pengaturan, maka peraturan-peraturan hukum terdahulu masih dapat dijadikan acuan atau masih dapat diberlakukan kembali.

Pasal 29 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan:

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas- batas hukum, agama, dan kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.

(4) Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada perjanjian untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan dengan bunyi ketentuan Pasal 29 tersebut diatas, maka dapat dikatakan sebagai satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang Perjanjian Kawin. Pasal 29 diatas memang tidak jelas memuat tentang syarat sahnyan Perjanjian Kawin namun bila dilihat dari penjabarannya, syarat sahnya Perjanjian Kawin antara lain:

a. Dibuat atas persetujuan bersama;

b. Dibuat dalam bentuk tertulis;

c. Disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan;

(38)

33

d. Tidak boleh bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan.23 Pengaturan tentang Perjanjian Kawin dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangatlah terbatas apabila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan mengenai Perjanjian Kawin yang diatur dalam KUHPerdata.

Keterbatasan ini dikarenakan Perjanjian Kawin hanya diatur dalam 1 (satu) pasal yaitu Pasal 29 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

2.2.3 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Perjanjian Kawin selain diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KUHPerdata, juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya tidak mengatur tentang percampuran harta dalam perkawinan, baik harta milik suami atau harta milik istri akan tetap menjadi milik dan dikuasai sepenuhnya oleh masing-masing pihak. Meskipun dalam KHI tidak dikenal percampuran harta perkawinan, para pihak tetap dapat mengadakan suatu perjanjian yang mengatur tentang kedudukan harta dalam perkawinan, dan perjanjian yang dimaksud adalah Perjanjian Kawin. Perjanjian Kawin dalam KHI diatur pada Bab VII Pasal 45 dan 47 .

Pasal 45 KHI menyatakan bahwa :

“Kedua calon mempelai dapat mengadakan Perjanjian Perkawinan dalam bentuk Taklik-talak dan perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”.

Pasal 47 KHI menyatakan bahwa :

23 Martiman Prodjohamidjojo, 2011, Hukum Perkawinan Dalam Tanya Jawab, Cetakan Keenam, Edisi Revisi, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, hal. 22.

(39)

34

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai keududukan harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-mamsing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 47 KHI tersebut diatas berarti bahwa Perjanjian Kawin dalam KHI tidak hanya sebatas harta suami istri yang diperoleh selama berlangsungnya perkawinan, melainkan pula mencangkup harta bawaan dari masing-masing pihak, baik suami maupun istri. Perjanjian Kawin tentang harta bersama adalah perjanjian yang dibuat oleh calon mempelai dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah dengan tujuan untuk mempersatukan dan atau memisahkan harta kekayaan pribadi masing-masing pihak selama berlangsungnya perkawinan.24

Berdasarkan uraian mengenai ketentuan Perjanjian Kawin yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, maka dapat disimpulkan bahwa syarat sahnya Perjanjian Kawin menurut KHI adalah sebagai berikut:

a. Perjanjian Kawin dibuat sebelum atau pada saat pekawinan dilangsungkan;

b. Perjanjian Kawin yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan Hukum Islam;

c. Perjanjian Kawin dibuat berdasarkan kehendak para pihak;

d. Perjanjian Kawin dibuat dalam bentuk tertulis;

24 H.A. Damanhuri H.R., 2012, Segi-segi Hukum Perjanjian Perkawinan Harta Bersama, Cetakan Kedua, CV, Mandar Maju, Bandung, hal. 11

(40)

35

e. Perjanjian Kawin disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

2.3 Pengaturan Keabsahan Perjanjian Kawin Setelah Perkawinan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU- XIII/2015.

Mahkamah Konstitusi merupakan Lembaga Tinggi Negara yang lahir pasca amandemen. Dalam sejarah pembentukannya, Mahkamah Konstitusi lahir didasari oleh dua alasan. Pertama, perlunya mekanisme pengujian yudisial agar Undang-Undang selalu konsisten dengan UUD NRI 1945. Kedua, perlunya mekanisme pengujian yang dapat dioperasionalkan terhadap semua peraturan Perundang-Undangan yang selama ini tidak pernah dapat dioperasionalkan.25 Ketiga, dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah kelemahan sistim konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.26 Sebagai pengawal konstitusi atau the guardian of contitution, Mahkamah Konstitusi juga merupakan pengawal hak-hak asasi manusia (the guardian of human rights) dan hak-hak konstitusional warga negara (the

25 Mahfud MD., Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta:Rajawali Perss, 2010), hal. 260.

26 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Ekonomi, (Jakarta:PT. Kompas Media Nusantara,2010) hal. 9.

(41)

36

guardian of citizen rights). Hal ini merupakan konsekuensi dari amandemen yang dilaksankan di Indonesia dari kurun waktu 1999-2002. Dengan diatur secara komprehensif dalam UUD 1945 mengenai HAM dalam Pasal 28, dan 28A-28J, serta beberapa pengaturan terkait dengan hak-hak asasi manusia di luar bab tentang hak asasi manusia, menjadikan UUD 1945 pasca amandemen adalah salah satu konstitusi paling lengkap dalam jaminan perlindungan dan pemajuan hak-hak asasi manusia.27 Atas dasar tersebutlah Mahkamah Konstitusi berperan penuh untuk menjamin perlindungan hak-hak asasi manusia, karena menegakkan hak-hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional warga negara adalah bagian dari penegakkan konstitusi itu sendiri.

Sejarah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada tanggal 27 Oktober 2016 tentang Putusan Permohonan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang dimohonkan oleh Ny. Ike Ferida yang adalah Warga Negara Indonesia menikah dengan Warga Negara Asing. Ny. Ike Ferida mengajukan Permohonan Uji Materi tersebut karena pembelian apartemen yang ingin dibelinya dibatalkan secara sepihak oleh salah satu developer dengan alasan Warga Negara Indonesia perkawinan campuran tidak punya hak memiliki Hak Milik (HM) atau Hak Guna Bangunan (HGB) jika ia tidak memiliki Perjanjian Kawin yang harus dibuat sebelum atau pada saat dilangsungkannya perkawinan. Prinsip nasionalitas dalam Peraturan Agraria di Indonesia tidak mengizinkan Warga Negara Asing (WNA) memiliki tanah di Indonesia. Bahkan, Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah melakukan perkawinan campuran dengan WNA tidak dapat

27 Janedri M Gaffar, Peran Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perlindungan Hak Asasi Manusia terkait Penyelenggaraan Pemilu, Jurnal Konstitusi Volume 10, Nomor 1, Maret 2013, hal. 7.

(42)

37

mempunyai hak milik atas tanah, karena tanah tersebut dapat bercampur dan menjadi bagian dari harta bersama perkawinan.

Dalam perkawinan campuran seorang WNI menikah dengan seorang WNA, baik perkawinan itu dilakukan di Indonesia muapun di luar Indonesia. Dari segi kepemilikan tanah, khususnya bagi WNI, perkawinan campuran dapat mengakibatkan seorang WNI kehilangan tanah hak miliknya. Sesuai UUPA, seorang WNI yang memiliki tanah dengan hak milik dan menikah dengan WNA, harus melepaskan tanah tersebut. Pelepasan itu dapat dilakukan dengan cara, misalnya, menjual atau menghibahkannya. Pelepasan itu harus dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sejak WNI memperoleh tanahnya, atau sejak WNI melakukan perkawinan campuran. Jika waktu tersebut lewat dan hak kepemilikan tanah itu tidak dilepaskan, maka hak atas tanah tadi akan hapus secara hukum dan tanahnya jatuh ke tangan negara. Perlunya dilakukan pelepasan hak atas tanah itu terjadi karena dalam perkawinan antara WNI dan WNA terjadi percampuran harta. Tanah hak milik yang dipunyai WNI bercampur dengan harta kekayaan WNA di dalam harta bersama perkawinan.

Dengan alasan ini Ny, Ike Ferida mengajukan Permohonan Uji Materi yang salah satunya adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan kepada Mahkamah Konstitusi.

Terkait Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 69/PUU-XIII/2015 yang diucapkan dalam Sidang Pleno

(43)

38

Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Kamis, 27 Oktober 2016 memutuskan:28

1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

2. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

3. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “selama perkawinan

berlangsung, Perjanjian Perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari

kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

28 Lihat amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015

(44)

39

Adapun maksud dari amar Putusan di atas adalah:

1. Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

2. “Sepanjang tidak dimaknai” artinya Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan tidak bertentangan dan tetap mengikat jika dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkannya atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

3. Artinya, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi ini, Perjanjian Perkawinan juga dapat dibuat “selama dalam ikatan perkawinan” yang dalam bahasa awam Perjanjian Kawin setelah Putusan Mahkamah Konstitusi ini dapat diajukan atau dibuat untuk kemudian disahkan Pegawai Pencatat Perkawinan.

Berdasarkan penjabaran pengaturan Perjanjian Kawin menurut Putusan Mahkamah Konstitusi diatas, dapat dikemukakan bahwa Keabsahan Perjanjian Kawin menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dapat ditentukan apabila Perjanjian Kawin tersebut telah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

a. Perjanjian Kawin dibuat berdasarkan kesepakatan para pihak;

b. Perjanjian Kawin harus dibuat dalam bentuk tertulis dan disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan atau Notaris;

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada parameter pertumbuhan dan produksi yang meliputi jumlah dompolan per cabang, jumlah cabang berbuah, luas daun per tanaman,

dengan judul “Evaluasi Penerapan Sistem Informasi Akuntansi Di Rumah Sakit Bakti Timah (RSBT) Pangkalpinang”... 1.2

Motor sinkron adalah motor AC, bekerja pada kecepatan tetap pada sistim frekwensi tertentu.Motor ini memerlukan arus searah (DC) untuk pembangkitan daya dan memiliki

Kata yang menjadi kandidat jawaban ialah kata yang memiliki entitas sesuai dengan kata tanya pada query pertanyaan. Dalam perolehan entitas jawaban, yang perlu

menekankan kepada praktik agar.. siswa lebih paham, 3) sering memberikan latihan kepada siswa untuk membaca memindai, dan 4) memberikan banyak contoh wacana

Dari semua ordo dalam kelas Polypodiophyta, ordo Polypodiales mempunyai bentuk dan susunan sori yang sangat beragam seperti berbentuk garis pada tepi daun,

Penelitian yang dilakukan Mailina Harahap (2017) dengan judul “Kajian modal sosial pada usaha tani sayur” Studi kasus pada Kelompok Tani Barokah Kelurahan Tanah

Sjafri dan Aida (2007 : 153) tiap manajemen perlu mengelola dan mengetahui kinerja pegawainya, apakah sudah sesuai dengan standar kinerja perusahaan atau