• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PENGATURAN MENGENAI PENGELOLAAN KEUANGAN

C. Pengaturan Mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah di Kab.

Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, Dewan Pertimbangan Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung merekomendasikan kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.104

104

Dalam Tap MPR No. IV/MPR/2000 dinyatakan bahwa Daerah yang sanggup melaksanakan otonomi secara penuh dapat segera memulai pelaksanaannya terhitung 1 Januari 2001 yang tercermin dalam anggaran pendapatan dan belanja negara, dan anggaran pendapatan dan belanja daerah. Sementara dalam Tap MPR No. VI/MPR/2002 juga dinyatakan bahwa pelaksanaan undang-undang otonomi daerah selama ini belum diimplementasikan secara utuh sehingga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Pusat, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, serta kevakuman hukum dan kesenjangan antardaerah. Keadaan ini mengakibatkan suasana disharmonis, ketidakpastian hukum, dan tambahan beban biaya bagi dunia usaha. S.H. Sarundajang juga menambahkan bahwa penyempurnaan UU No. 22 Tahun 1999 termasuk juga penyempurnaan pengelolaan keuangan daerah sehingga inti dari penyempurnaan undang-undang tersebut adalah untuk menyesuaikan dengan paket perundang-undangan tentang keuangan negara dan undang-undang tentang sistem perencanaan pembangunan nasional. S.H. Sarundajang, op.cit., hal. 229

Sejalan dengan amanat Tap MPR tersebut serta adanya perkembangan dalam peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara yaitu Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara menyebabkan terjadinya perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem Keuangan Negara.

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa secara yuridis konseptual, pengertian Keuangan Negara telah tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 17 Tahun 2003 yang menyebutkan “Keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”

Dalam PP No. 105 Tahun 2000 juga telah didefinisikan mengenai Keuangan Daerah yaitu dalam Pasal 1 angka 1:

Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban Daerah dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban Daerah tersebut dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Penjelasan Umum PP No. 105 Tahun 2000 telah menerangkan mengenai posisi pengelolan keuangan daerah dalam keseluruhan sistem pengelolaan keuangan:

Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan

Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pemerintah Pusat dengan Daerah merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat. Misi utama dari kedua undang-undang tersebut bukan hanya pada keinginan untuk melimpahkan kewenangan dan pembiayaan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi yang lebih penting adalah keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumber daya Keuangan Daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan Keuangan Daerah pada khususnya.

Dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintahan terlihat bahwa sistem pengelolaan keuangan, pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pemerintahan itu sendiri. Sebagaimana sistem keuangan negara yang diamanatkan dalam Pasal 23 ayat (5) Undang-undang Dasar Tahun 1945, aspek pengelolaan Keuangan Daerah juga merupakan subsistem yang diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah khususnya Pasal 78 sampai dengan Pasal 86. Dalam Pasal 80 ditetapkan bahwa perimbangan keuangan Pusat dan daerah ditetapkan dengan undang- undang. Dengan peraturan tersebut diharapkan terdapat keseimbangan yang lebih transparan dan akuntabel dalam pendistribusian kewenangan, pembiayaan, dan penataan sistem pengelolaan keuangan yang lebih baik dalam mewujudkan pelaksanaan otonomi Daerah secara optimal sesuai dinamika dan tuntutan masyarakat yang berkembang.

Sejalan dengan hal tersebut sudah barang tentu pelaksanaan otonomi Daerah tidak hanya dapat dilihat dari seberapa besar Daerah akan memperoleh Dana Perimbangan tetapi hal tersebut harus diimbangi dengan sejauhmana instrumen atau sistem pengelolaan Keuangan daerah saat ini mampu memberikan nuansa manajemen keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif dan bertanggungjawab sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang tersebut.

Dalam perkembangan terakhir ditetapkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk mengganti Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. UU No. 32 Tahun 2004 ini dapat dikatakan sebagai dasar hukum

yang utama dalam pengelolaan keuangan daerah selain UU No. 33 Tahun 2004, UU No. 17 Tahun 2003, dan UU No. 1 Tahun 2004.

Secara umum, berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah akan membawa perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kewenangan pemerintah. Demikian pula berlakunya Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, sekaligus memberi dasar perubahan dalam hal keuangan, sehingga hal tersebut akan membawa perubahan secara keseluruhan dalam aspek kesisteman di Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Berdasarkan kedua undang-undang ini pula, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam upaya penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan masyarakat sehingga pengelolaan keuangan Daerah sebagaimana dimaksud merupakan subsistem dari sistem pengelolaan keuangan negara dan merupakan elemen pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Sebagaimana sistem keuangan negara dalam Pasal 23 C UUD 1945 (amandemen ketiga yang disahkan 10 Nopember 2001), aspek keuangan daerah juga merupakan subsistem yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004, khususnya Pasal 155 sampai dengan Pasal 194.

Sementara itu Pasal 18A ayat (2) UUD 1945 juga mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, serta pemanfaatan Sumber Daya Alam dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. Dengan dasar ini

maka dibentuk UU No. 33 Tahun 2004 yang dimaksudkan untuk mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintahan daerah yang diatur dalam UU No. 32 Tahun 2004 dimana pendanaan dimaksud menganut prinsip money follow

function, yang mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan

yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan. Pasal 155 sampai dengan Pasal 194 UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur tentang masalah keuangan daerah dimana dalam Pasal 155 UU No. 32 Tahun 2004 dinyatakan bahwa:

(1) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(2) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah didanai dari dan atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara.

(3) Administrasi pendapatan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan secara terpisah dari administrasi pendanaan penyelenggaraan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud ayat (2).

Dengan demikian, berarti bahwa dalam setiap kegiatan pengelolaan keuangan daerah terdapat aspek-aspek manajemen Anggaran dan Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pasal 157 UU No. 32 Tahun 2004 juga telah menetapkan mengenai sumber pendapatan daerah:

Sumber pendapatan daerah terdiri atas:

a. pendapatan asli daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu: 1) hasil pajak daerah;

2) hasil retribusi daerah;

4) lain-lain PAD yang sah; b. dana perimbangan;

c. lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Dari ketentuan Pasal di atas sumber-sumber pendapatan pemerintahan daerah dapat digali secara luas sehingga dana keuangan daerah menjadi tidak limitatif. Pasal 5 UU No. 33 Tahun 2004 menetapkan:

(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan.

(2) Pendapatan Daerah sebagaimana pada ayat (1) bersumber dari: a. Pendapatan Asli Daerah;

b. Dana Perimbangan; dan c. Lain-lain Pendapatan.

(3) Pembiayaan sebagaimana pada ayat (1) bersumber dari: a. sisa lebih perhitungan anggaran daerah;

b. penerimaan pinjaman daerah; c. dana cadangan daerah; dan

d. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Dengan demikian dasar pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah menurut UU No. 33 Tahun 2004 mengikuti asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Hal ini menimbulkan banyaknya perbedaan persepsi mengenai mekanisme pengelolaan keuangan daerah. Dalam Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2004 dirumuskan:

(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD;

(2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN;

(3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN;

(4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan

dari Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana.

Sebelumnya, untuk melaksanakan ketentuan Pasal 86 UU No. 22 Tahun 1999 dan Pasal 26 UU No. 25 Tahun 1999 terutama mengenai pengelolaan keuangan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi, ditetapkan PP No. 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Akan tetapi, walaupun kemudian UU No. 22 Tahun 1999 telah diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 namun ternyata ketentuan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah sesuai dengan amanat UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004 sampai awal Desember 2005 belum mengalami perubahan, sehingga dikarenakan PP dimaksud belum ada maka banyak Peraturan Daerah mengenai pengelolaan keuangan daerah masih berdasarkan PP No. 105 Tahun 2000.

PP No. 105 Tahun 2000 memberikan pedoman yang bersifat umum dan lebih menekankan pada hal-hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah. Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah ditetapkan oleh masing-masing daerah melalui Perda, sementara itu sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah secara rinci diatur dalam Keputusan Kepala Daerah sesuai dengan Perda. Dalam hal ini setiap daerah didorong untuk lebih tanggap, kreatif dan mampu mengambil inisiatif dan perbaikan, serta pemutakhiran sistem dan prosedurnya serta meninjau kembali sistem tersebut secara terus menerus dengan tujuan memaksimalkan efisiensi dan efektivitas berdasarkan keadaan, kebutuhan, dan kemampuan masing-masing daerah.

PP No. 105 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengelolaan keuangan daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan dan kepatutan. Ini merupakan asas umum pengelolaan keuangan daerah yang sejalan dengan prinsip good governance105 yang seharusnya menjadi tumpuan pengaturan keuangan daerah di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam PP tersebut juga diatur secara tegas bagaimana Pemerintah Daerah menata sistem pemerintahan, khususnya di bidang keuangan. Penyusunan RAPBD dengan pendekatan kinerja, penerapan Sistem Akuntansi Keuangan Daerah, penyajian Neraca daerah dan Laporan Arus Kas sebagai bentuk pertanggungjawaban kepala Daerah merupakan beberapa hal yang diamanahkan dalam PP tersebut. Dasar- dasar pengelolaan keuangan daerah, dalam hal ini APBD (yang merupakan dasar dari pengelolaan keuangan daerah dalam tahun anggaran tertentu) telah diatur secara detail di dalam PP yakni tersebut mulai dari perencanaan atau penyusunan APBD, pelaksanaan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Dalam proses perencanaan dan penyusunan APBD, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kinerja (performance budget). Pendekatan kinerja dalam hal ini memuat:

1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja/pengeluaran

105

Selain itu untuk pemetaan good governance pada sektor publik telah diformalkan dalam UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, yaitu menyangkut asas atau prinsip tertib penyelenggara negara, akuntabilitas, keterbukaan, kepentingan umum, profesionalitas, proporsionalitas, dan kepastian hukum.

2. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan;

3. Sumber pendapatan dalam APBD dan pemanfaatannya.

Artinya, apakah seluruh atau sebagian besar dana PAD dipergunakan untuk membiayai belanja rutin daerah di luar belanja pegawai, ataukah ada kebijakan atau pendekatan di dalam pemanfaatan atau penggunaan setiap jenis pendapatan daerah.

Performance budget atau anggaran kinerja merupakan suatu sistem penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah yang berorientasi pada pencapaian hasil atau kinerja dari organisasi pemerintahan. Hal ini berarti bahwa tujuan akhir yang ingin dicapai adalah meningkatnya kualitas pelayanan publik. Untuk mencapai kinerja anggaran yang baik, maka prinsip efisiensi dan efektivitas menjadi syarat mutlak. Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kinerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) seharusnya disusun secara berimbang antara penerimaan dan pengeluaran. Paling tidak, terdapat empat metode untuk mengatasi kesenjangan antara penerimaan dan pengeluaran yang umum dilakukan dalam setiap negara, yaitu:

1. Penerimaan-penerimaan tingkat propinsi dapat ditingkatkan meskipun dengan peluang yang sangat kecil di antara semua potensi yang dapat digali.

2. Pengeluaran propinsi dapat dikurangi. Terlepas dari kepopulerannya (dari sisi Pusat) dan merupakan suatu keharusan. Pendekatan ini juga tidak perlu disarankan jika sistem sudah dirancang dengan baik sejak dini.

3. Fungsi-fungsi pengeluaran dapat dialihkan ke jenjang pemerintahan yang lebih tinggi, yang memiliki sumber-sumber penerimaan lebih banyak (kewenangan penerimaan lebih banyak), atau dialihkan ke jenjang pemerintahan lebih rendah yang memiliki pengeluaran lebih banyak. Lagi-lagi ini tidak perlu dan tidak bijaksana jika pondasi struktur sistemnya sudah benar.

4. Sebagian dari pendapatan yang dikumpulkan Pusat dapat ditransfer ke Pemerintahan Propinsi. Akhirnya, pada setiap negara, alternatif inilah yang hampir selalu dilaksanakan.106

Dalam PP No. 105 Tahun 2000 telah diatur mengenai langkah-langkah penyusunan APBD. Pasal 15 sampai dengan Pasal 19 PP No. 105 Tahun 2000 pada dasarnya mengatur tentang struktur dan pengertian mengenai APBD. Struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan pembiayaan. Selisih lebih pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut surplus anggaran, sementara selisih kurang pendapatan daerah terhadap belanja daerah disebut defisit anggaran. Jumlah pembiayaan sama dengan jumlah surplus/defisit anggaran.

Pendapatan daerah dirinci menurut kelompok pendapatan dan jenis pendapatan, sedangkan belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja. Adapun pembiayaan dirinci menurut sumber pembiayaan. Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya tidak tersangka disediakan dalam bagian anggaran pengeluaran tidak tersangka.

Sedangkan dalam PP 58 Tahun 2005 penyusunan APBD diawali dengan penyampaian kebijakan umum APBD sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah

106

Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijasikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (selanjutnya disingkat SKPD).

Kepala SKPD selanjutnya menyusun Rencana Kerja dan Anggaran SKPD (RKA-SKPD) yang disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. RKA ini disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun. Rencana Kerja dan Anggaran ini kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. Hasil pembahasan ini disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.

Proses selanjutnya Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD disertai penjelasan dari dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD untuk dibahas dan disetujui. APBD yang disetujui DPRD ini terinci sampai unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja. Jika DPRD tidak menyetujui Rancangan Perda APBD tersebut, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat melaksanakan pengeluaran daerah setinggi- tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya dengan prioritas untuk belanja yang mengikuti dan wajib.

Kepala Daerah selaku pemegang kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah juga pemegang kekuasaan dalam pengelolaan keuangan daerah.

Selanjutnya kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah dan dilaksanakan oleh SKPD selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah di bawah koordinasi Sekretaris Daerah. Pemisahan ini akan memberikan kejelasan dalam pembagian wewenang dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme check and balances serta untuk mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan. Dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang maksimal guna kepentingan masyarakat.

Telah dijelaskan dalam bagian terdahulu bahwa proses pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Langkat masih mengacu pada Perda No. 1 Tahun 2004 dan Keputusan Bupati Langkat No. 1 Tahun 2004 dimana aturan tersebut masih berlandaskan pada PP No. 105 Tahun 2000. Meskipun demikian, pedoman pengelolaan keuangan daerah yang diatur dalam PP No. 105 Tahun 2000 bersifat umum dan lebih menekankan pada hal yang bersifat prinsip, norma, asas, dan landasan umum dalam pengelolaan keuangan daerah, contohnya pokok-pokok muatan yang terkandung dalam PP tersebut antara lain:

1. Prinsip-prinsip bagi transparansi dan akuntabilitas mengenai penyusunan, perubahan, dan perhitungan APBD, pengelolaan kas, tata cara pelaporan, pengawasan intern, otorisasi, serta pedoman bagi sistem dan prosedur pengelolaan.

2. Pedoman laporan pertanggungjawaban yang berkaitan dengan pelayanan yang dicapai, biaya satuan komponen kegiatan, dan standar akuntansi pemerintah daerah, serta persentase jumlah penerimaan APBD untuk membiayai administrasi umum dan pemerintahan umum.

Sementara itu sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah secara rinci ditetapkan oleh masing-masing daerah. Pada saat ini pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah yang berlandaskan prinsip good governance di Kabupaten Langkat menunjukkan kondisi yang rata-rata menuju ruang untuk perbaikan. Hal ini ditunjukkan dari upaya pemerintah daerah untuk menerapkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 dalam proses penyusunan APBD yang akan datang.

Untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan anggaran daerah di Kabupaten Langkat, telah dilakukan analisis atas penerapan Sistem Pengendalian Intern, meliputi:

1. Organisasi

Struktur organisasi dan tugas serta fungsi perangkat daerah Kabupaten Langkat telah diatur dengan Peraturan Daerah Kabupaten Langkat Nomor 10 Tahun 2004 tanggal 12 Juli 2004 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah Kabupaten Langkat. Berdasarkan Perda tersebut, organisasi Sekretariat Daerah dipimpin oleh Sekretaris Daerah dibantu oleh 3 (tiga) asisten, dan 11 (sebelas) kepala bagian. Sedangkan Sekretariat DPRD dipimpin oleh Sekretaris Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten yang dalam menjalankan tugasnya bertanggungjawab kepada Pimpinan DPRD dan secara administratif dibina oleh Sekretaris Daerah Kabupaten. Penatausahaan pembukuan atas pelaksanaan APBD diselenggarakan oleh Bagian Keuangan Sekretariat Daerah yang terdiri dari 3 (tiga) sub bagian, yaitu Sub Bagian Anggaran, Sub Bagian Pembukuan dan Verifikasi, serta Sub Bagian Perbendaharaan dan Gaji.

2. Kebijaksanaan

Dalam rangka pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah, Pemerintah Daerah dengan persetujuan DPRD Kabupaten Langkat telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2004 tanggal 10 Maret 2004 tentang Pokok-pokok Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah. Perda tersebut diikuti dengan Surat Keputusan Bupati Langkat No. 900-15/SK/2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengelolaan Administrasi Keuangan Daerah. Dalam penyelenggaraan APBD, Pemerintah Kabupaten Langkat belum sepenuhnya mengikuti kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat khususnya ketentuan/peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pedoman pelaksanaan dan penyusunan perhitungan anggaran, bentuk dan susunan APBD dan buku-buku serta catatan- catatan yang digunakan. Oleh karena itu Pemerintah Kabupaten Langkat diberi keleluasaan untuk menetapkan peraturan daerah tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah sepanjang hal tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi agar daerah secara terus menerus

dapat memaksimalkan efisiensi dan efektivitas pengelolaan keuangan daerah berdasarkan keadaan, kebutuhan dan kemampuan yang ada. Dengan demikian, sejalan dengan keluarnya PP No. 58 Tahun 2005 dengan Permendagri No. 13 Tahun 2006 terdapat keharusan bagi Pemerintah Kabupaten Langkat untuk menata kembali kelembagaan pengelolaan keuangan daerah, merubah kembali sistem dan prosedur dengan menerbitkan Perda yang sudah tidak sesuai lagi dengan peraturan yang ada demi tercipta dan terlaksananya pengelolaan keuangan daerah yang memiliki keabsahan yuridis serta berlandaskan pada peraturan-peraturan yang ada di atasnya dan berdasarkan prinsip-prinsip good governance.

3. Perencanaan

Untuk menciptakan agar pengurusan APBD dilaksanakan dengan tertib, sesuai ketentuan, efektif, efisien dan ekonomis, maka untuk anggaran belanja (Belanja Administrasi Umum, Belanja Operasi dan Pemeliharaan serta Belanja Modal) telah ditetapkan rincian kegiatan yang dituangkan dalam DASK (Daftar Anggaran Satuan Kerja). Konsep DASK yang disampaikan oleh satuan kerja tersebut, oleh Bagian Keuangan diteliti terlebih dahulu sebelum disampaikan kepada Bupati untuk disahkan.

Dalam proses penyusunan APBD yang sejalan dengan prinsip good governance yang harus diperhatikan adalah membuat APBD yang demokratis dengan mengedepankan unsur peran serta masyarakat. Elemen masyarakat menjadi penting artinya dalam proses pembuatan APBD di samping pemerintah daerah dan DPRD

dengan maksud untuk mempertajam substansi APBD sebagai perwujudan kedaulatan rakyat. Berkaitan dengan hal tersebut perlu dijelaskan bahwa dalam tahap penyusunan APBD, pemerintah daerah berfungsi sebagai penyusun rancangan APBD kepada DPRD untuk mendapat persetujuan.

Selanjutnya pemerintah daerah mengkordinasi satuan kerja perangkat daerah (dalam hal ini dinas-dinas, badan, dan kantor) untuk mempersiapkan usulan kegiatan di bidangnya, serta menyiapkan bahan-bahan rancangan APBD untuk diusulkan