BAB II : PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN
C. Pengaturan Outsourcing di Indonesia
Dasar hukum outsourcing terdapat pada Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yaitu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Perlu diketahui
bahwa istilah perusahaan lainnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sama
dengan perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dalam hal
ini adalah perusahaan outsourcing.
Ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan juga diatur dalam Pasal
1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam Pasal tersebut
belum diatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan
maupun penyedia jasa pekerja/buruh. Oleh karena itu, Undang-Undang
Ketenagakerjaan mengatur mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain. Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah diajukan
permohonan judicial review dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan
Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.
Dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis,
dinamis dan berkeadilan, Kemenakertrans menerbitkan Permenakertrans No.19
Tahun 2012. Kemudian, dalam rangka optimalisasi pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain sebagaimana diatur dalam Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
maka Kemenakertrans menerbitkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/VIII/2013 Tentang
21
Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Semenjak
diundangkannya, pelaksanaan outsourcing mengacu pada Permenakertrans No. 19
Tahun 2012 tersebut.
1. Pihak-Pihak Terkait Dalam Outsourcing
Ketentuan lain mengenai outsourcing terdapat pada Pasal 65 dan 66
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat
diketahui pihak-pihak yang terkait dalam praktik outsourcing dan dijelaskan
lebih lanjut pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012.
Ada 3 (tiga) pihak yang terkait dalam praktik outsourcing yaitu
perusahaan pemberi kerja, perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan, dan pekerja. Adapun penjelasan dari pihak-pihak yang terkait
dalam praktik outsourcing yaitu :
a. Perusahaan Pemberi Kerja
Menurut Pasal 1 Angka 1 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b. Perusahaan Yang Melaksanakan Sebagian Pekerjaan :
1) Perusahaan Penerima Pemborongan
Menurut Pasal 1 Angka 2 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 ,
perusahaan penerima pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan
sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
2) Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
Menurut Pasal 1 Angka 3 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
perusahaan penyedia jasa pekerja adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat yaitu
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan untuk
melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.
c. Pekerja
Pengertian pekerja/buruh dalam konteks praktik outsourcing diatur
dalam Pasal 1 Angka 6 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu, setiap
orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini
karena ada pula pekerja/buruh yang menerima imbalan dalam bentuk
barang.
82. Hubungan Kerja Pada Perjanjian Kerja Outsourcing
a. Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Adanya perjanjian kerja yang
dibuat merupakan ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan
8
23
lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan
hubungan kerja.
9Hubungan kerja yang terjadi dalam praktik outsourcing ini berbeda
dengan hubungan kerja pada umumnya, karena dalam outsourcing
terdapat hubungan kerja segi tiga, dikatakan bersegi tiga karena terdapat 3
(tiga) pihak yang terlibat dalam hubungan kerja outsourcing, yaitu pihak
perusahaan pemberi pekerjaan, pihak perusahaan yang melaksanakan
sebagaian pekerjaan (Perusahaan Outsourcing) dan terakhir adalah pihak
pekerja/buruh. Maka hubungan kerja yang terjalin diantara ketiganya
adalah hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan outsourcing, dan hubungan kerja antara perusahaan
outsourcing dengan pekerja/buruh.
Hubungan kerja antara perusahaan outsourcing dengan
pekerja/buruh diatur dalam Pasal 65 ayat (4), (6) dan (7) Undang-Undang
Ketenagakerjaan, berikut adalah bunyi ayat pada pasal tersebut :
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh di
perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja di perusahaan pemberi pekerjaan, atau
sesuai dengan perundang-undangan.
9
(6) Hubungan kerja pada outsourcing diatur dalam perjanjian kerja
secara tertulis antara perusahaan lain dengan karyawan yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang sama
Pasal 59.
Selain itu hubungan kerja pada pekerjaan outsourcing juga diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Bunyi Pasal
29 ayat (1) adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruh dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT).
b. Perjanjian Kerja
Menurut ketentuan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan,
hubungan kerja dalam praktik outsourcing dapat didasarkan atas PKWTT
dan PKWT. PKWTT merupakan perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap,
jangka waktunya tidak ditentukan, baik dalam perjanjian, undang-undang,
maupun kebiasaan. Dalam PKWTT dapat dipersyaratkan adanya masa
percobaan kerja maksimal tiga bulan. Sedangkan PKWT merupakan
25
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu.
Perjanjian kerja yang lazim digunakan pada perusahaan outsourcing
adalah PKWT. Perjanjian ini dianggap lebih fleksibel bagi perusahaan
outsourcing karena lingkup pekerjaan dan perusahaan pemberi kerja yang
berubah-ubah.
10c. Jenis Pekerjaan Yang Dapat Diserahkan
Pada dasarnya pekerjaan yang bisa diserahkan (dioutsource) adalah
pekerjaan penunjang (non core) dan bukan pekerjaan utama (core). Hal
tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berbunyi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melakasanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak beruhubungan langsung dengan proses produksi.
Kemudian ketentuan lain yang mengatur jenis pekerjaan yang dapat
diserahkan yaitu Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan jo.
Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pasal tersebut
menyatakan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
10
(a) Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
(b) Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
(c) Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
(d) Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan juga dijelaskan lebih lanjut
pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu Pasal 17 ayat :
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang
tidak berhubungan langsn dengan proses produksi.
(3) Kegiatan jasa penunjang yang dapat diserahkan pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh meliputi:
1. Usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
2. Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (catering);
3. Usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
4. Usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
5. Usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
27
Dalam dokumen
Perlindungan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/Puu-Ix/2011
(Halaman 29-36)