SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
DEFI SATIATIKA
1110048000029
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
i
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA
OUTSOURCING
PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Defi Satiatika
NIM. 1110048000029
Pembimbing
Prof. Dr. Abdullah Sulaiman S.H. M.H.
NIP. 19591231 198609 1003
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
ii
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-
IX/2011”
telah
diajukan dalam sidang munaqosyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 7 Mei
2014, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 7 Mei 2014
Mengesahkan
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Dr. H. JM Muslimin, M.A.
NIP.196808121999031014
PANITIA UJIAN
1.
Ketua
: Dr. Djawahir Hejazziey, S.H., M.A.
( ..….……… )
NIP.195510151979031002
2.
Sekertaris
: Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum.
( ……… )
NIP.196509081995031001
3.
Pembimbing
: Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.
( ……… )
NIP.195912311986091003
4.
Penguji I
: Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H.
( ……… )
iii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1.
Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil dari jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 April 2014
iv
OUTSOURCING
PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
NO.27/PUU-IX/2011. Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah
dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2013 M.
viii + 67 Halaman + 24 lampiran.
Praktik
outsourcing
di Indonesia telah mengakibatkan pekerja
outsourcing
tidak
menerima hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan, pekerja
outsourcing
juga tidak
diberikan jaminan perlindungan atas keberlangsungan pekerjaan mereka. Adanya
pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
kepada Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66 yang
dinyatakan
inkonstitusional
bersyarat,
Mahkamah
Konstitusi
memutuskan
mengabulkan sebagian atas pasal-pasal yang diajukan, yaitu hanya Pasal 65 ayat (7)
dan Pasal 66 ayat (2) b yang memuat mengenai Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
(PKWT). Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan
perundang-undangan bidang ketenagakerjaan jenis pekerjaan
outsourcing
dan
perlindungan hukum yang diterapkan pada pekerja
outsourcing
pasca putusan MK
No.27/PUU-IX/2011. Metode penelitian yang digunakan yaitu metode yuridis
normatif, yaitu penelitian yang dilakukan mengacu pada norma hukum yang terdapat
pada peraturan perundang-undangan dan keputusan pengadilan dalam hal ini putusan
MK No.27/PUU-IX/2011. Putusan Mahkamah Konstitusi, berdampak pada adanya
perubahan terhadap pelaksanaan
outsourcing
dalam rangka melindungi hak-hak
pekerja
outsourcing
dengan menerapkan prinsip pengalihan perlindungan.
Kata Kunci
: Perlindungan Hukum,
Outsourcing
, Prinsip Pengalihan Perlindungan
Pembimbing : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H, M.H.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tiada daya
dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah. Shalawat serta salam selalu tercurah
kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan para
pengikutnya hingga akhir zaman. Tiada cipta karya melainkan atas petunjuk
dari-Nya. Atas rahmat dan ridho-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
ber
judul “PERLINDUNGAN
HUKUM PEKERJA
OUTSOURCING
PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011
”.
Dalam penulisan dan penyelesaian skripsi ini tentu tidaklah mudah. Namun,
segala hambatan menjadi ringan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :
1.
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr.
H. JM. Muslimin, M.A.
2.
Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum, Bapak Dr. Djawahir Hejazziey,
S.H., M.A. dan Drs. Abu Tamrin S.H., M.Hum.
3.
Pembimbing Skripsi Penulis, Bapak Prof. Dr. H. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H.
terimakasih atas waktu bimbingan dan saran yang diberikan.
4.
Penguji Skripsi Penulis, Bapak Drs. R. Prastowo Sidhi, S.H., M.H. dan Bapak H.
M. Yasir, S.H., M.H. terimakasih atas kritik dan sarannya sehingga penulis dapat
memperbaiki skripsinya.
vi
terimakasih atas segalanya yang telah dibagi ke adik bungsunya, cerita
pengalaman, pengetahuan, perjuangan tanpa henti dalam meraih cita-cita.
7.
Ninis, Ajeng, Abila, Zia, Ocha, penyemangat paling mujarab. Teman-teman
seperjuangan Hukum Bisnis, Liza, Atiek, Apri, Fika, Nourma, Cantika, dan
seluruh teman-teman di UIN yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Kartika
Puspitasari S.H., yaitu
sahabat yang „pembimbing‟ skripsi penulis.
8.
Husni Mubarok,
my study survival motivator
.
9.
Dinar Deniz, Danesh Dayan, Dharanindra Demir, dan Disa Ghadiza, yaitu balita
ajaib keponakan-keponakan penulis.
Semoga segala kebaikan dan sumbangsihnya dicatat oleh Allah SWT, penulis
hanya dapat menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Hanya doa lah
yang dapat penulis sampaikan, semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan
dengan kasih sayang-Nya. Semoga skripsi ini memberikan manfaat kepada penulis
khususnya dan kepada pembaca umumnya.. amin.
Jakarta, 22 April 2014
vii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... i
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK
... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI
... vii
BAB I
:
PENDAHULUAN ... 1
A.
Latar Belakang Masalah ... 1
B.
Identifikasi Masalah ... 5
C.
Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
E.
Tinjauan dan Kajian Terdahulu ... 8
F.
Kerangka Teori dan Konseptual ... 9
G.
Metode Penelitian ... 11
H.
Sistematika Penulisan ... 14
BAB II :
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KETENAGAKERJAAN JENIS PEKERJAAN OUTSOURCING DI INDONESIA ... 16A. Pengertian
Outsourcing ...
16
B.
Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur
Outsourcing
di
Indonesia ... 18
C.
Pengaturan
Outsourcing
di Indonesia
...
20
BAB III :
PERLINDUNGAN
HUKUM
DAN
HAK-HAK
PEKERJA
OUTSOURCING ...
27
A.
Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh
Outsourcing ...
27
viii
BAB IV :
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA OUTSOURCING PASCA
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011 ... 40
A.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011 ... 40
B.
Perlindungan Hukum Pekerja
Outsourcing
Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011 Dengan Menerapkan
Prinsip Pengalihan Perlindungan ... 52
C.
Penerapan Prinsip Pengalihan Perlindungan Pekerja
Outsourcing ..
58
BAB V :
PENUTUP ... 61
A.
Kesimpulan ... 61
B.
Saran ... 63
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia dalam sila kelima
menyebutkan
bahwa, “Keadilan Sosial Bagi S
el
uruh Rakyat Indonesia”. Hal ini
bermakna bahwa keadilan untuk rakyat adalah lebih penting dibandingkan dengan
keadilan kelompok tertentu.
1Keadilan harus dijunjung tinggi dengan tetap
memegang teguh prinsip keadilan demi terwujudnya masyarakat sejahtera, adil,
makmur, dan merata baik secara materil maupun spiritual.
2Keadilan harus dijunjung tinggi misalnya dalam hal pemenuhan hak dan
kewajiban pekerja/buruh. Pekerja/buruh yang telah memenuhi kewajiban dan
tanggung
jawabnya,
berhak
untuk
mendapatkan
hak-haknya,
karena
pekerja/buruh merupakan salah satu bagian dari rakyat Indonesia yang
hak-haknya harus dilindungi. Perlindungan pekerja/buruh itu juga harus ditingkatkan,
baik mengenai upah, kesejahteraan dan harkatnya sebagai manusia.
3Berbicara mengenai hak-hak bagi pekerja/buruh, tidak terlepas dari
permasalahan sistem alih daya dalam ketenagakerjaan. Alih daya (bahasa Inggris :
outsourcing
atau
contracting out
) adalah pendelegasian operasi dan manajemen
1
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 14.
2
Ahmad Fadlil Sumadi, “Mahkamah Konstitusi dan Kontrak Outsourcing”, Jurnal Konstitusi
IX, No.1 (Maret 2012) : h.10. 3
harian dari suatu proses bisnis kepada pihak luar (perusahaan penyedia jasa alih
daya).
4Praktik alih daya (yang untuk selanjutnya disebut
outsourcing
) sebenarnya
sudah
ada
sebelum
pemerintah
mengundangkan
Undang-Undang
Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 (yang untuk selanjutnya disebut
Undang-Undang Ketenagakerjaan). Setelah beberapa periode dipakai di Indonesia,
outsourcing
diakui lebih banyak merugikan pekerja/buruh.
5Kerugian itu misalnya, upah pekerja/buruh menjadi lebih rendah, tidak
ada jaminan sosial, meskipun ada jaminan sosial tersebut hanya sebatas minimal,
tidak adanya
job security
serta tidak adanya jaminan pengembangan karier.
6Hal
ini kemudian menimbulkan berbagai reaksi dari kalangan pekerja/buruh untuk
menuntut hak-haknya.
Bentuk reaksi pekerja/buruh tersebut misalnya, perjuangan kaum buruh
dalam menghapuskan sistem
outsourcing
melalui permohonan pengujian
konstitusionalitas beberapa pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan ke
Mahkamah Konstitusi (yang untuk selanjutnya disebut MK). Permohonan
diajukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat Aliansi Petugas Pengukur Meteran
Listrik (yang untuk selanjutnya disebut AP2ML) pada 21 Maret 2011.
7
4
Asri Wijayanti, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), h. 52.
5
Juanda Pangaribuan, “Legalitas Outsourcing Pasca Putusan MK” artikel diakses pada tanggal 28 Oktober 2013 dari http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt4f4b372fe9227/legalitas-ioutsourcing-i-pasca-putusan-mkbr-oleh--juanda-pangaribuan/
6
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 219.
7
3
Pemohon mengajukan permohonan uji materi Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65,
dan Pasal 66 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan
dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28D ayat (2) dan Pasal 33 ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945. Permohonan itu didasarkan pada argumentasi bahwa,
ketentuan kontrak
outsourcing
pada pasal 59, 64, 65, 66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang bertujuan untuk efisiensi dengan upah murah justru
berakibat pada hilangnya keamanan kerja bagi para pekerja. Status sebagai buruh
kontrak juga menghilangkan hak-hak tunjangan kerja dan jaminan sosial yang
dinikmati pekerja tetap.
8Menjawab permohonan tersebut, MK berpendapat bahwa syarat-syarat
dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan
outsourcing
berdasarkan
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (yang untuk selanjutnya disebut PKWT) dalam
Pasal 59 dan Pasal 64 Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah wajar dan cukup
memberikan perlindungan kerja.
9Selanjutnya, mengenai Pasal 65 ayat (7) dan
Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan, MK berpendapat
bahwa harus ada jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja
antara pekerja dan perusahaan
outsourcing.
Jaminan kepastian hukum itu tidak cukup hanya dengan PKWT saja,
maka MK memberikan solusi dengan memutuskan 2 (dua) model perlindungan
dan jaminan hak bagi pekerja. Pertama, menyaratkan agar perjanjian kerja tidak
8
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 35.
berbentuk PKWT, melainkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (yang untuk
selanjutnya disebut PKWTT). Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja.
10Melalui prinsip pengalihan tindakan perlindungan
tersebut, pekerja
outsourcing
dapat terhindar dari hilangnya hak-hak
konstitusional yang mereka miliki.
MK memutuskan bahwa jika dua model tersebut diterapkan dalam PKWT
outsourcing
, maka Pasal 65 ayat (7) dan Pasal 66 ayat (2) huruf b UU
Ketenagakerjaan tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan memiliki kekuatan
hukum mengikat.
11Prinsip pengalihan tindakan perlindungan yang lahir dari
putusan MK No.27/PUU-IX/2011 tersebut merupakan hasil perjuangan kaum
buruh dalam menghapus sistem
outsourcing.
Putusan MK menjadi justifikasi
jaminan kepastian hukum yang adil dalam hubungan kerja antara pekerja dan
perusahaan
outsourcing
.
12Untuk menciptakan pelaksanaan
outsourcing
yang diarahkan untuk
menciptakan iklim hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan,
Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (yang untuk selanjutnya disebut
Kemenakertrans)
menerbitkan
Peraturan
Menteri
Ketenagakerjaan
dan
Transmigrasi No.19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain (yang untuk selanjutnya disebut
10
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44.
11
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 46-47.
12
5
Permenakertrans No.19 Tahun 2012) yang memuat aturan persyaratan, perjanjian,
dan pengawasan
outsourcing
.
Lahirnya
prinsip
pengalihan
tindakan
perlindungan
hasil
uji
konstitusionalitas
Undang-Undang
Ketenagakerjaan
dan
terbitnya
Permenakertrans No.19 Tahun 2012 merupakan hal yang penting untuk dikaji,
agar hasil kajian penelitian ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dalam
perjanjian
outsourcing.
Selain itu, agar pihak-pihak terkait memahami putusan
MK No.27/PUU-IX/2011 dan implementasi prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh sehingga terpenuhinya seluruh hak-hak
pekerja/buruh
outsourcing
di Indonesia.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka penulis tertarik
untuk mengadakan penelitian yang hasilnya akan dituangkan dalam bentuk
skripsi yang berjudul
“Perlindun
gan Hukum Pekerja Outsourcing Pasca
Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011
”
B.
Identifikasi Masalah
Sebelum
merumuskan
masalah,
terlebih
dahulu
penulis
mengidentifikasi masalah yang terjadi dalam bidang ketenagakerjaan jenis
pekerjaan
outsourcing
di Indonesia
1.
Hak-hak buruh
outsourcing
belum dilindungi peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3.
Pro dan kontra sistem
outsourcing
pasca putusan MK No.27/PUU-IX/2011
hasil judicial review Pasal 59, 64, 65, dan 66 Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
C.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
1.
Pembatasan Masalah
Pembahasan mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh sangatlah
luas. Agar pembahasan permasalahan karya ilmiah ini tidak melebar dan lebih
fokus pada masalah, maka penulis membatasi karya ilmiah ini hanya kepada
perlindungan bagi pekerja/buruh
outsourcing
pasca putusan MK
No.27/PUU-IX/2011 yang ditinjau dari Undang-Undang Ketenagakerjaan dan
Permenakertrans No.19 Tahun 2012.
2.
Perumusan Masalah
Sesuai dengan pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
beberapa masalah yang akan dibahas dalam skripsi ini, antara lain sebagai
berikut :
a.
Bagaimana pengaturan jenis pekerjaan
outsourcing
menurut
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
b.
Apa saja jenis perlindungan pada jenis pekerjaan
outsourcing
?
7
D.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini antara lain
sebagai berikut :
a.
Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan ketenagakerjaa pada
jenis pekerjaan
outsourcing
di Indonesia.
b.
Untuk mengetahui perlindungan pada jenis pekerjaan
outsourcing.
c.
Untuk mengetahui perlindungan bagi pekerja/buruh
outsourcing
berdasarkan pasca putusan MK. No.27/PUU-IX/2011?
2.
Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini dibedakan menjadi dua,
yaitu :
a.
Manfaat Teoritis :
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai tambahan bahan
masukan bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum
Ketenagakerjaan khususnya bidang
outsourcing
.
b.
Manfaat Praktis :
1)
Bagi Akademis
Dapat memberikan informasi yang jelas tentang prinsip pengalihan
tindakan perlindungan bagi pekerja/buruh dan implementasinya pada
sistem
outsourcing
serta hambatan dalam pelaksanaanya.
Penulisan ini juga bermanfaat bagi berbagai pihak terkait yaitu
meliputi masyarakat luas, perusahaan pemberi pekerjaan, perusahaan
penyedia jasa pekerja dan buruh/pekerja yang bersangkutan agar lebih
memahami
prinsip
pengalihan
perlindungan
hak-hak
bagi
pekerja/buruh dan dapat melaksanakannya sesuai dengan ketentuan.
3)
Bagi Pemerintah
Dapat menjadi masukan kepada pemerintah untuk agar dapat membuat
kebijakan yang lebih tegas dan jelas dalam melindungi hak-hak
pekerja
outsourcing
di Indonesia.
E.
Tinjauan Kajian Terdahulu
Dalam studi pendahuluan ini penulis mencoba me
review
skripsi yang
membahas sistem alih daya
(outsourcing)
, yaitu sebagai beriukut :
Judul Skripsi
: “Perlindungan Buruh
Outsourcing
Menurut UU
Ketenagakerjaan dan Hukum Islam”
Penulis
: Gilang Henris Pratama
Program Studi
: Perbandingan Mahzab Hukum
Fakultas
: Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tahun
: 2011
9
perlindungan bagi pekerja/buruh dan penerapan prinsip pengalihan tindakan
perlindungan bagi pekerja/buruh.
Sedangkan, penulis disini akan mengulas secara detil mengenai
perlindungan hukum yang diberikan kepada pekerja
outsourcing
pasca putusan
MK No.27/PUU-IX/2011.
F.
Kerangka Teori dan Konseptual
1.
Kerangka Teori
Teori
“Prima Facie”
menguraikan bahwa, pembenaran terhadap
pembebasan para kaum buruh dari pengaturan kerja waktu tertentu dapat
dilakukan, karena pengaturan kerja waktu tertentu merugikan kaum buruh
baik sebelum hingga setelah melaksanakan tugas. Pengaturan kerja waktu
tertentu yang melahirkan pelanggaran hukum bukan dikarenakan kesalahan
atau kesengajaan buruh.
13Teori
“Bargaining”
menguraikan bahwa tingkat upah dipasar tenaga
kerja ditentukan oleh kekuatan ekonomi yang berlawanan dari pekerja dan
majikan. Upah yang ada merupakan hasil persetujuan kedua belah pihak. Jika
pekerja meningkatkan ekonominya dengan cara bertindak bersama-sama
13Abdullah Sulaiman, “Implementasi Sistem Outsourcing Tenaga Kerja di Indonesia : Pra
dan Pasca Putusan MK tentang Outsourcing Tenaga Kerja”, Dalam Studium General Prodi Ilmu
melalui serikat pekerjanya sebagai
bargaining agent
, maka mereka dapat
meningkatkan upah mereka.
142.
Kerangka Konseptual
Pembahasan mengenai perlindungan hukum bagi pekerja/buruh
outsourcing
menuntut adanya kejelasan tentang apa yang dimaksud dengan
perlindungan pekerja/buruh dan
outsourcing
di Indonesia. Pasal-pasal dalam
UUD 1945 yang menyebutkan adanya jaminan perlindungan bagi
pekerja/buruh yaitu :
1)
Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, yaitu setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum.
2)
Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945 “Setiap orang
berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan
kerja”
Perlindungan hukum pada pekerja juga dinyatakan pada Pasal 4 huruf
c Undang-Undang
Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “tujuan pembangun
ketenagakerjaan adalah memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam
mewujudkan kesejahteraan”.
Selanjutnya pasal-pasal dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang mengatur perlindungan, pengupahan dan kesejahteraan
terdapat pada Bab X dalam Pasal 67-101.
14
11
Jaminan perlindungan tersebut diperkuat lagi semenjak lahirnya
Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, dalam putusan ini menyebutkan dua model
outsourcing
.
Pertama,
dengan menyaratkan agar perjanjian kerja antara
pekerja dan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing
tidak
berbentuk PKWT, tetapi berbentuk PKWTT.
Kedua,
menerapkan prinsip
pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja yang bekerja pada perusahaan
yang melaksanakan pekerjaan
outsourcing
. Prinsip pengalihan perlindungan
atau
Transfer of Undertaking Protection of Employment
sebelumnya adalah
prinsip yang diterapkan pada suatu perusahaan yang diambil alih oleh
perusahaan lain, sehingga hak-hak pekerja/buruh tetap terjamin.
15Outsourcing
adalah
“P
engalihan sebagian atau seluruh pekerjaan
dan/atau wewenang kepada pihak lain guna mendukung strategi pemakai jasa
outsourcing
baik pribadi, perusahaan, divisi atau pun sebuah unit dalam
perusahaan”.
16Ketentuan mengenai
outsourcing
diatur dalam pasal 64
Undang-Undang Ketenagakerjaan yaitu, perusahaan dapat menyerahkan sebagian
pelaksanaan pekerjaan kepada perusaan lainnya melalui perjanjian
pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara
tertulis Kemudian tata aturan pelaksanaannya diatur dalam Permenakertrans
No.19 Tahun 2012.
15
Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara No.27/PUU-IX/2011, h. 44.
16
G.
Metode Penelitian
1.
Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan penelitian ini
adalah penelitian yurisdis normatif,
yaitu penelitian yang dilakukan mengacu
pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan dan
keputusan pengadilan serta norma-norma yang berlaku di masyarakat atau
juga yang menyangkut kebiasaan yang berlaku di masyarakat.
172.
Pendekatan Masalah
Dalam studi hukum, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan
perundang-undangan
(statute approach)
dan pendekatan konsep (
conceptual
approach
). Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti
aturan-aturan yang membahas mengenai prinsip pengalihan tindakan perlindungan
bagi pekerja/buruh. Pendekatan konsep digunakan untuk memahami
konsep-konsep perlindungan hukum bagi pekerja/buruh.
3.
Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data primer
dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama,
17
13
yakni masyarakat melalui penelitian.
18Sedangkan data sekunder terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
a.
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif
artinya mempunyai otoritas.
19Bahan-bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini,
bahan hukum primer yang digunakan adalah yang berhubungan dengan
outsourcing
dan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi
pekerja/buruh.
b.
Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk
skripsi, tesis, dan disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum (dalam bentuk
online juga termasuk).
20Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
berupa buku-buku yang berkaitan dengan Hukum Ketenagakerjaan.
c.
Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang bersifat menunjang
sumber hukum primer dan sumber hukum sekunder, seperti kamus bahasa
dan website resmi dalam internet.
4.
Teknik Pengolahan Data
Penulis menggunakan teknik pengumpulan data secara studi
kepustakaan. Baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder
18
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. III, ( Jakarta : UI Press, 2008 ), h. 12.
19
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, ( Jakarta : Kencana, 2005 ), h. 141.
20
dikumpulkan berdasarkan topik permasalahan yang telah diklasifikasi
menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji secara komprehensif.
5.
Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum
Adapun bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi
kepustakaan, disajikan dalam penulisan yang telah dirumuskan. Bahwa cara
pengolahan bahan hukum dilakukan dengan dianalisis yang nantinya
menghasilkan sebuah kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat
umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
H.
Sistematika Penulisan
Skripsi ini disusun berdasarkan buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun
2012 Untuk mempermudah penyusunan, penulis membagi skripsi ini menjadi
beberapa bab dan setiap bab terdiri dari sub bab, dengan sistematika sebagai
berikut :
BAB I :
Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Identifikasi Masalah,
Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Tinjauan dan Kajian Terdahulu, Kerangka
Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II :
Tinjauan Umum tentang Pengaturan Perundang-undangan
Ketenagakerjaan pada jenis pekerjaan
outsourcing
di
Indonesia, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu : Pengertian
15
Outsourcing
di Indonesia, dan Pengaturan
Outsourcing
di
Indonesia.
BAB III :
Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum dan
Hak-hak Pekerja
Outsourcing
, yang terdiri dari empat sub bab
yaitu : Perlindungan Bagi Pekerja
Outsourcing
, Tujuan
Perlindungan Hukum Bagi Pekerja
Outsourcing
, Hak-hak Bagi
Pekerja dan Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-hak
Pekerja
Outsourcing
.
BAB IV :
Menyajikan pembahasan mengenai Perlindungan Hukum Bagi
Pekerja
Outsourcing
Pasca Putusan Mahkamah Konstutsi
No.27/PUU-IX/2011, yang terdiri dari tiga sub bab yaitu :
Analisis Putusan MK No.27/PUU-IX/2011, Perlindungan
Pekerja Outsourcing Pasca Putusan MK No.27/PUU-IX/2011
Dengan Menerapkan Prinsip Pengalihan Perlidungan dan
Penerapan
Prinsip
Pengalihan
Perlindungan
Pekerja
Outsourcing
di Indonesia.
16
A.
Pengertian
Outsourcing
Menurut definisi Maurice Greaver,
Outsourcing
dipandang sebagai
tindakan mengalihkan beberapa aktivitas perusahaan dan hak pengambilan
keputusannya kepada pihak lain (
outside provider
), di mana tindakan ini terikat
dalam suatu kontrak kerja sama.
1Dapat juga dikatakan
outsourcing
sebagai penyerahan kegiatan
perusahaan baik sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang
tertuang dalam kontrak perjanjian. Penyerahan kegiatan ini dapat meliputi bagian
produksi, beserta tenaga kerjanya, fasilitas, peralatan, teknologi dan aset lain serta
pengambilan keputusan dalam kegiatan perusahaan. Penyerahan kegiatan ini
kepada pihak lain merupakan hasil dari keputusan internal perusahaan yang
bertujuan meningkatkan kinerja agar dapat terus kompetitif dalam menghadapi
perkembangan ekonomi dan teknologi global.
Dalam
bidang
ketenagakerjaan,
outsourcing
diartikan
sebagai
pemanfaatan tenaga kerja untuk memproduksi atau melaksanakan suatu pekerjaan
oleh suatu perusahaan, melalui perusahaan penyedia/pengerah tenaga kerja.
1
17
Perusahaan penyedia tenaga kerja secara khusus mempersiapkan, menyediakan,
mempekerjakan tenaga kerja untuk kepentingan perusahaan lain.
2Untuk mempermudah penjelasan menganai istilah
outsourcing
, penulis
akan memberikan ilustrasi sebagai berikut
3: A diangkat sebagai karyawan di
perusahaan X. Sebelum diangkat sebagai karyawan, antara A dan perusahaan X
dibuat perjanjian kerja yang isinya menyatakan bahwa A bersedia untuk
ditempatkan di Perusahaan Y, disitu dapat dilihat bahwa perusahaan X adalah
perusahaan penyedia jasa pekerja dan perusahaan Y adalah perusahaan pemberi
kerja. Setelah perjanjian kerja antara A dan perusahaan X disepakati maka
perusahaan X akan membuat perjanjian dengan perusahaan Y yang isinya bahwa
perusahaan X akan mempekerjakan karyawannya di perusahaan Y. Terhadap
penempatan tersebut, perusahaan Y membayar sejumlah dana kepada perusahaan
X.
Dari ilustrasi di atas, dapat kita lihat bahwa dalam sistem
outsourcing
terdapat dua perjanjian yaitu, yaitu :
1.
Perjanjian kerja antara A denga perusahaan X.
2.
Perjanjian penempatan A, antara perusahaan X dan perusahaan Y.
Dengan adanya dua perjanjian yang terpisah tersebut, walaupun A
sehari-hari bekerja di perusahaan Y, status A tetap sebagai karyawan perusahan X. Oleh
karena itu, dalam sistem
outsourcing
ini pemenuhan kebutuhan hak-hak A, seperti
2
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2012), h. 187.
3
perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja serta perselisihan yang
timbul tetap menjadi tanggung jawab perusahaan Y.
Kecenderungan suatu perusahaan untuk memperkerjakan karyawan
dengan sistem
outsourcing
, pada umumnya dilatarbelakangi oleh strategi
perusahaan untuk melakukan efisiensi biaya produksi. Dengan menggunakan
sistem
outsourcing
tersebut, pihak perusahaan berusaha untuk menghemat
pengeluaran dalam membiayai sumber daya manusia yang bekerja di perusahaan
yang bersangkutan.
4B.
Sejarah Hukum Ketenagakerjaan yang Mengatur
Outsourcing
di Indonesia
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan, istilah
outsourcing
sebenarnya
berusumber dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, yang menyatakan adanya suatu perjanjian kerja yang dibuat
antara pengusaha dengan tenaga kerja, di mana perusahaan tersebut dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyedia jasa pekerja yang dibuat secara
tertulis. Dalam praktiknya ketentuan tentang penyediaan jasa pekerja yang diatur
dalam peraturan tersebut akhirnya memunculkan istilah
outsourcing
(dalam hal
ini maksudnya menggunakan sumber daya manusia dari pihak di luar
perusahaan).
5
4
Adrian Sutedi, Hukum Perburuhan, h. 217.
5
19
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1601 b diatur adanya
pengakuan terhadap perjanjian pemborongan pekerjaan. Menurut Pasal 1601 b
tersebut
outsourcing
disamakan dengan perjanjian pemborongan sehingga
pengertian
outsourcing
adalah suatu perjanjian di mana pemborong mengikatkan
diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan
dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain memborongkan pekerjaan
kepsda pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
6Pada intinya dari kedua peraturan di atas menyatakan bahwa
outsourcing
boleh diterapkan di Indonesia dengan pelaksanaan yang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan dapat memberikan kepastian hukum pelaksanaan
outsourcing
yang dalam waktu bersamaan memberikan perlindungan pekerja.
Penerapan
outsourcing
di Indonesia hingga saat ini memang masih
merupakan hal yang tidak disukai tapi masih dibutuhkan bagi masyarakat
Indonesia sehingga sering timbul pro dan kontra dari masyarakat. Tentunya, jika
dilihat dari maraknya unjuk rasa yang dilakukan para pekerja dapat disimpulkan
pihak
pro-outsourcing
adalah para pengusaha sedangkan pihak
kontra-outsourcing
adalah para pekerja/buruh. Unjuk rasa dari serikat pekerja mayoritas
menyampaikan kepada pemerintah untuk menghapuskan
outsourcing
dari sistem
kerja di Indonesia dan ada juga pekerja
outsourcing
yang menuntut untuk
dijadikan pekerja tetap di suatu perusahaan.
7
6
Iftida Yasar, Apakah Benar Outsourcing Bisa Dihapus?, h.20.
7
C.
Pengaturan
Outsourcing
di Indonesia
Dasar hukum
outsourcing
terdapat pada Pasal 64 Undang-Undang
Ketenagakerjaan yaitu perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan
atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Perlu diketahui
bahwa istilah perusahaan lainnya dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan sama
dengan perusahaan pemborong atau penyedia jasa pekerja/buruh yang dalam hal
ini adalah perusahaan
outsourcing.
Ketentuan mengenai pemborongan pekerjaan juga diatur dalam Pasal
1601 b Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun dalam Pasal tersebut
belum diatur mengenai perlindungan bagi pekerja/buruh yang dipekerjakan
maupun penyedia jasa pekerja/buruh. Oleh karena itu, Undang-Undang
Ketenagakerjaan mengatur mengenai penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan
kepada perusahaan lain. Dalam perjalanannya, ketentuan ini telah diajukan
permohonan
judicial review
dan telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi dengan
Putusan MK No.27/PUU-IX/2011.
21
Pedoman Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Semenjak
diundangkannya, pelaksanaan
outsourcing
mengacu pada Permenakertrans No. 19
Tahun 2012 tersebut.
1.
Pihak-Pihak Terkait Dalam
Outsourcing
Ketentuan lain mengenai
outsourcing
terdapat pada Pasal 65 dan 66
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Berdasarkan kedua pasal tersebut dapat
diketahui pihak-pihak yang terkait dalam praktik
outsourcing
dan dijelaskan
lebih lanjut pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012.
Ada 3 (tiga) pihak yang terkait dalam praktik
outsourcing
yaitu
perusahaan pemberi kerja, perusahaan yang melaksanakan sebagian
pekerjaan, dan pekerja. Adapun penjelasan dari pihak-pihak yang terkait
dalam praktik
outsourcing
yaitu :
a.
Perusahaan Pemberi Kerja
Menurut Pasal 1 Angka 1 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
perusahaan pemberi pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaanya kepada perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh.
b.
Perusahaan Yang Melaksanakan Sebagian Pekerjaan :
1)
Perusahaan Penerima Pemborongan
badan hukum yang memenuhi syarat untuk menerima pelaksanaan
sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi pekerjaan.
2)
Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja
Menurut Pasal 1 Angka 3 Permenakertrans No.19 Tahun 2012,
perusahaan penyedia jasa pekerja adalah perusahaan yang berbentuk
badan hukum Perseroan Terbatas (PT) yang memenuhi syarat yaitu
berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi ketenagakerjaan untuk
melaksanakan kegiatan jasa penunjang perusahaan pemberi pekerjaan.
c.
Pekerja
Pengertian pekerja/buruh dalam konteks praktik
outsourcing
diatur
dalam Pasal 1 Angka 6 Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu, setiap
orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau
imbalan dalam bentuk lain. Penegasan imbalan dalam bentuk lain ini
karena ada pula pekerja/buruh yang menerima imbalan dalam bentuk
barang.
82.
Hubungan Kerja Pada Perjanjian Kerja
Outsourcing
a.
Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan hukum antara pengusaha dengan
pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja. Adanya perjanjian kerja yang
dibuat merupakan ikatan antara pengusaha dan pekerja. Dengan perkataan
8
23
lain, ikatan karena adanya perjanjian kerja inilah yang merupakan
hubungan kerja.
9Hubungan kerja yang terjadi dalam praktik
outsourcing
ini berbeda
dengan hubungan kerja pada umumnya, karena dalam
outsourcing
terdapat hubungan kerja segi tiga, dikatakan bersegi tiga karena terdapat 3
(tiga) pihak yang terlibat dalam hubungan kerja
outsourcing
, yaitu pihak
perusahaan pemberi pekerjaan, pihak perusahaan yang melaksanakan
sebagaian pekerjaan (Perusahaan
Outsourcing
) dan terakhir adalah pihak
pekerja/buruh. Maka hubungan kerja yang terjalin diantara ketiganya
adalah hubungan kerja antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan
outsourcing
, dan hubungan kerja antara perusahaan
outsourcing
dengan pekerja/buruh.
Hubungan
kerja
antara
perusahaan
outsourcing
dengan
pekerja/buruh diatur dalam Pasal 65 ayat (4), (6) dan (7) Undang-Undang
Ketenagakerjaan, berikut adalah bunyi ayat pada pasal tersebut :
(4) Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh di
perusahaan lain sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan
kerja dan syarat-syarat kerja di perusahaan pemberi pekerjaan, atau
sesuai dengan perundang-undangan.
9
(6) Hubungan kerja pada outsourcing diatur dalam perjanjian kerja
secara tertulis antara perusahaan lain dengan karyawan yang
dipekerjakannya.
(7) Hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) dapat
didasarkan atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) dan
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) apabila memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang yang sama
Pasal 59.
Selain itu hubungan kerja pada pekerjaan
outsourcing
juga diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) Permenakertrans No.19 Tahun 2012. Bunyi Pasal
29 ayat (1) adalah hubungan kerja antara perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh dengan pekerja/buruh dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT).
b.
Perjanjian Kerja
25
perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk
mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan
tertentu yang bersifat sementara dan selesai dalam waktu tertentu.
Perjanjian kerja yang lazim digunakan pada perusahaan
outsourcing
adalah PKWT. Perjanjian ini dianggap lebih fleksibel bagi perusahaan
outsourcing
karena lingkup pekerjaan dan perusahaan pemberi kerja yang
berubah-ubah.
10c.
Jenis Pekerjaan Yang Dapat Diserahkan
Pada dasarnya pekerjaan yang bisa diserahkan (di
outsource
) adalah
pekerjaan penunjang (
non core
) dan bukan pekerjaan utama (
core
). Hal
tersebut
sesuai
dengan
ketentuan
Pasal
66
Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang berbunyi pekerja/buruh dari perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk
melakasanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau
kegiatan yang tidak beruhubungan langsung dengan proses produksi.
Kemudian ketentuan lain yang mengatur jenis pekerjaan yang dapat
diserahkan yaitu Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan jo.
Pasal 3 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pasal tersebut
menyatakan pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
10
(a)
Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
(b)
Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari
pemberi pekerjaan;
(c)
Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
(d)
Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
Jenis pekerjaan yang dapat diserahkan juga dijelaskan lebih lanjut
pada Permenakertrans No.19 Tahun 2012 yaitu Pasal 17 ayat :
(2) Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang
tidak berhubungan langsn dengan proses produksi.
(3) Kegiatan jasa penunjang yang dapat diserahkan pada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh meliputi:
1.
Usaha pelayanan kebersihan (
cleaning service
);
2.
Usaha penyedia makanan bagi pekerja/buruh (
catering
);
3.
Usaha tenaga pengaman (
security
/satuan pengamanan);
27
BAB III
PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK-HAK PEKERJA
OUTSOURCING
A.
Perlindungan Bagi Pekerja/Buruh
Outsourcing
Dalam Pasal 65 ayat (4) Undang-Undang Ketenagakerjaan, juga
dijelaskan mengenai perlindungan kerja pada pekerjaan
outsourcing
sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada
perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku.
Perlindungan kerja dapat dilakukan baik dengan jalan memberikan
tuntunan, santunan, maupun dengan jalan meningkatkan pengakuan hak-hak asasi
manusia, perlindungan fisik dan sosial ekonomi melalui norma yang berlaku
dalam perusahaan. Dengan demikian, secara teoritis dikenal ada tiga jenis
perlindungan kerja, yaitu sebagai berikut:
1)
Perlindungan sosial, yaitu suatu perlindungan yang berkaitan dengan usaha
kemasyarakatan, yang tujuannya untuk memungkinkan pekerja/buruh
mengenyam dan mengambangkan peri kehidupannya sebagai manusia pada
umumnya, dan khususnya sebagai anggota masyarakat dan anggota keluarga.
Perlindungan sosial ini disebut juga dengan kesehatan kerja.
3)
Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan
usaha-usaha untuk meberikan kepada pekerja/buruh suatu penghasilan yang
cukup guna memenuhi keperluan sehari-hari baginya dan keluarganya,
termasuk dalam hal pekerja/buruh tidak mampu bekerja karena sesuatu diluar
kehendaknya. Perlindungan jenis ini biasanya disebut dengan jamian sosial.
1B.
Tujuan Perlindungan Hukum Bagi pekerja
Outsourcing
:
Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja
outsourcing
dalam
perusahaan sekurang-kurangnya sama dengan pekerja pada perusahaan pemberi
kerja tersebut. Hal ini berguna agar terdapat perlakuan yang sama terhadap
pekerja
outsourcing
maupun pekerja dalam perusahaan pemberi kerja karena pada
hakikatnya bersama-sama untuk mencapai tujuan yang sama, sehingga tidak ada
lagi syarat kerja, upah, dan perlindungan kerja yang lebih rendah.
2Perlindungan hukum pekerja
outsourcing
diterapkan untuk melindungi
para pekerja/buruh
outsourcing
dari kesewenang-wenangan pihak pemberi
kerja/pengusaha. Dengan menegakkan perlindungan hukum, hak-hak pekerja
outsourcing
tetap terjamin pada saat masa kerja dan ketika perusahaan pemberi
kerja tidak lagi memberikan pekerjaan borongan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh kepada suatu perusahaan
outsourcing
yang lama karena habis masa
kontrak dan memberikan pekerjaan tersebut kepada perusahaan
outsourcing
yang
baru.
1
Zaeni Asyhadie, Hukum Kerja,(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2008), h. 86.
2
29
Dengan demikian, maka selama pekerjaan yang diperintahkan untuk
dikerjakan masih ada dan berlanjut, perusahaan penyedia jasa baru tersebut harus
melanjutkan kontrak kerja yang telah ada sebelumnya, tanpa mengubah ketentuan
yang ada dalam kontrak, tanpa persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan,
kecuali perubahan untuk meningkatkan keuntungan bagi pekerja/buruh karena
bertambahnya pengalaman dan masa kerjanya.
C.
Hak-Hak Bagi Pekerja
Hak adalah sesuatu yang harus diberikan seseorang sebagai akibat dari
kedudukan atau status dari seseorang, sedangkan kewajiban adalah suatu prestasi
baik berupa benda atau jasa yang dilakukan oleh seseorang karena kedudukan atas
statusnya.
3Hak bagi pekerja pada dasarnya adalah salah satu hak asasi manusia.
Setiap manusia berhak untuk memiliki standar kehidupan yang layak, yang
menjangkau hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan
lain-lain. Setiap pekerja memiliki hak-hak yang jaminan perlindungannya
tercantum dalam berbagai aturan hukum nasional dan internasional, yaitu :
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Selain itu pada Pasal 28 H
ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatakan pula bahwa setiap orang
3
berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara
utuh sebagai manusia yang bermartabat. Sehingga kedua pasal pada konstitusi
kita mencerminkan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memberikan
jaminan sosial kepada seluruh warga negaranya.
2.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan :
a.
Hak memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan (Pasal 5);
b.
Hak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha (Pasal 6);
c.
Hak memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuan melalui
pelatihan kerja (Pasal 11);
d.
Hak memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti pelatihan kerja
sesuai dengan bidang tugasnya (Pasal 12 ayat (3));
e.
Hak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti
pelatihan kerja yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja
pemerintah, lembaga pelatihan kerja swasta atau pelatihan di tempat
kerja (Pasal 18 ayat (1));
31
g.
Hak pekerja/buruh perempuan untuk memperoleh istirahat selama satu
setengah bulan sebelum saatnya melahirkan dan satu setengah bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan
(Pasal 82 ayat (1));
h.
Hak pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan
untuk memperoleh istirahat satu setengah bulan atau sesuai dengan surat
keterangan dokter kandungan atau bidan (Pasal 82 ayat (2));
i.
Hak untuk menggunakan waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b,c dan d, Pasal 80 dan Pasal 82 dengan
mendapat upah penuh (Pasal 84);
j.
Hak untuk memperoleh perlindungan atas :
1)
Keselamatan kerja;
2)
Moral dan kesusilaan; dan
3)
Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai agama (Pasal 86 ayat (1));
k.
Hak untuk memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan (Pasal 88 ayat (1));
l.
Hak memperoleh jaminan social tenaga kerja (Pasal 99 ayat (1));
m.
Hak untuk membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/buruh (Pasal
104 ayat (1));
3.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja :
a.
Hak atas jaminan sosial tenaga kerja (Pasal 3 ayat (2));
b.
Hak menerima jaminan kecelakaan kerja bagi pekerja/buruh yang
tertimpa kecelakaan kerja (Pasal 8 ayat (1));
c.
Hak untuk menerima jaminan kematian yang diberikan kepada keluarga
pekerja/buruh, bila pekerja/buruh meninggal dunia bukan akibat
kecelakaan kerja (Pasal 12 ayat (1));
d.
Hak untuk memperoleh jaminan pemeliharaan kesehatan bagi
pekerja/buruh berikut dengan suami atau isteri dan anak (Pasal 16 ayat
(1));
e.
Hak atas jaminan hari tua karena faktor usia pensiun 55 (lima puluh
lima) tahun, cacat tetap total atau beberapa alasan lainnya (Pasal 14 dan
Pasal 15);
4.
Pasal 29 ayat (2) Permenakertrans No.19 Tahun 2012 :
a.
Hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b.
Hak atas jaminan sosial;
c.
Hak atas tunjangan hari raya;
d.
Hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
33
f.
Hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi masa
kerja yang dilalui; dan
g.
Hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
dan/atau perjanjian kerja sebelumnya.
5.
Hak-hak pekerja/buruh
outsourcing
juga tertuang dalam perjanjian
internasional yaitu Pasal 22-25 Universal Declaration of Human Right
(UDHR)
a.
Article 22
Everyone, as a member of society, has the right to social security and
is entitled to realization, through national effort and international
co-operation and in accordance with the organization and resources of
each State, of the economic, social and cultural rights indispensable
for his dignity and the free development of his personality.
b.
Article 23
1.
Everyone has the right to work, to free choice of employment, to
just and favorable conditions of work and to protection against
unemployment.
2.
Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay
for equal work.
3.
Everyone who works has the right to just and favorable
worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other
means of social protection.
4.
Everyone has the right to form and to join trade unions for the
protection of his interests.
c.
Article 24
Everyone has the right to rest and leisure, including reasonable
limitation of working hours and periodic holidays with pay.
d.
Article 25
1.
Everyone has the right to a standard of living adequate for the
health and well-being of himself and of his family, including food,
clothing, housing and medical care and necessary social services,
and the right to security in the event of unemployment, sickness,
disability, widowhood, old age or other lack of livelihood in
circumstances beyond his control.
2.
Motherhood and childhood are entitled to special care and
assistance. All children, whether born in or out of wedlock, shall
enjoy the same social protection.
6.
International Covenant On Economic And Social Cultural Rights (ICESCR)
a.
Article 6
The States Parties to the present Covenant recognize the right to work,
35
living by work which he freely chooses or accepts, and will take
appropriate steps to safeguard this right.
b.
Article 7
The States Parties to the present Covenant recognize the right of
everyone to the enjoyment of just and favourable conditions of work
which ensure, in particular:
a)
Remuneration which provides all workers, as a minimum, with:
(1)
Fair wages and equal remuneration for work of equal
value without distinction of any kind, in particular women
being guaranteed conditions of work not inferior to those
enjoyed by men, with equal pay for equal work;
(2)
A decent living for themselves and their families in
accordance with the provisions of the present Covenant;
b)
Safe and healthy working conditions;
c)
Equal opportunity for everyone to be promoted in his employment
to an appropriate higher level, subject to no considerations other
than those of seniority and competence;
d)
Rest, leisure and reasonable limitation of working hours and
periodic holidays with pay, as well as remuneration for public
holidays.
Undang-Undang Ketenagakerjaan. Jaminan perlindungan hukum dan pemberian
hak-hak bagi pekerja
outsourcing
telah juga diatur dalam Permenakertrans No,19
Tahun 2012.
Kemudian konvensi internasional ICESCR memuat ketentuan HAM di
bidang ekonomi, sosial, dan budaya secara lebih luas dan komprehensif
dibandingkan UDHR. Hak-hak yang diatur di ICESCR adalah hak atas pekerjaan,
hak atas kondisi pekerjaan yang sesuai dengan keinginan, hak untuk membentuk
dan bergabung dengan serikat pekerja, hak atas jaminan sosial, hak atas standar
hidup yang layak, hak untuk menikmati kesehatan fisik dan mental, hak atas
pendidikan, dan hak untuk ikutserta dalam pendidikan budaya.
4Maka, secara yurudis sudah terdapat kepastian hukum atas perlindungan
hak-hak pekerja, termasuk pekerja/buruh
outsourcing
.
D.
Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak-Hak Pekerja
Outsourcing
Campur tangan negara (pemerintah) dalam melindungi hak-hak pekerja
outsourcing
merupakan faktor yang sangat penting karena dengan adanya campur
tangan negara maka hak-hak bagi pekerja
outsourcing
terjamin. Namun
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan hanya melindungi buruh secara
yuridis dan peraturan itu belum cukup melindungi hak-hak pekerja
outsourcing
bila dalam pelaksanaanya tidak diawasi oleh seorang ahli yang harus
4 Kartika Puspitasari,”Naskah Akademik RUU Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia di
Luar Negeri”,(Kompetisi Legislative Drafting Tingkat Nasional, Piala Soediman Kartohadiprodjo,
37
mengunjungi tempat kerja pekerja
outsourcing
pada waktu-waktu tertentu. Ada
tiga tugas pokok pengawas ketenagakerjaan yaitu
5:
1.
Melihat dengan jalan memeriksa dan menyelidiki sendiri apakah
ketentuan perundang-undangan ketenagakerjaan sudah dilaksanakan,
dan jika tidak, mengambil tindakan-tindakan yang wajar untuk
menjamin pelaksanaanya;
2.
Membantu baik pekerja maupun pengusaha dengan jalan memberikan
penjelasan-penjalasan teknik dan nasihat yang mereka perlukan agar
mereka memahami apakah yang diminatkan peraturan dan
bagaimanakah melakasanakannya;
3.
Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan dan mengumpulkan
bahan-bahan yang diperlukan untuk penyusunan peraturan perundangan
ketenagakerjaan dan penetapan pemerintah.
Dengan demikian, pengawasan merupakan suatu cara untuk menjamin
terlaksananya peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
Pelaksanaan
pengawasan
dilakukan
oleh
pegawai
pengawas
ketenagakerjaan yang mempunyai kompetensi dan independen guna menjamin
pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Menurut
Pasal 181 Undang-Undang Ketenagakerjaan, pegawai pengawas ketenagakerjaan
dalam melaksanakan tugasnya wajib :
5
1.
Merahasiakan
segala
sesuatu
yang
menurut
sifatnya
patut
dirahasiakan;
2.
Tidak menyalahgunakan kewenangannya.
6Berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Republik Indonesia Nomor : SE.04/MEN/UIII/2013 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Permenakertrans No.19 Tahun 2012, pengawasan terhadap
pelaksanaan
outsourcing
dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan dengan
tahapan sebagai berikut :
1.
Pengawas ketenagakerjaan melakukan pemeriksaan ke perusahaan;
2.
Dalam hal ditemui pelanggaran norma penyerahan sebagian pelaksanaan
pekerjaan kepada perusahaan lain, maka pengawas ketenagakerjaan
menerbitkan nota pemeriksaan yang memerintahakan perusahaan untuk
melaksanakan kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan dalam
batas waktu yang ditetapkan perusahaan tetap tidak melaksanakan
kewajibannya, maka salah satu pihak dapat mengajukan penyelesaiannya
melalui Pengadilan Hubungan Industrial.
Selain itu pemerintah dalam menetapkan hukum dalam rangka melindungi
hak-hak pekerja
outsourcing
hendaknya dengan adil karena Alquran menyatakan
bahwa apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya menetapkan dengan
adil : Hal tersebut dijelaskan di dalam QS. Annisa (58):4
6
39
Artinya : “
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan
adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat
”
.
40
BAB IV
PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA
OUTSOURCING
PASCA PUTUSAN
MAHKAMAH KONSTITUSI NO.27/PUU-IX/2011
A.
Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-IX/2011
1.
Pengujian Materil atas Undang-Undang Ketenagakerjaan
Menurut Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah
Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar. Hal tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar.
41
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang,
badan hukum publik atau privat atau lembaga negara.
Pada tanggal 21 Maret 2011, Didik Supriadi mengajukan permohonan
uji materi Undang-Undang Ketenagakerjaan terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Pemohon adalah Ketua Umum Aliansi Petugas Pembaca Meteran
Listrik Indonesia yang terletak di Provinsi Jawa Timur yang merupakan
Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum, yang bergerak dan didirikan
atas dasar kepedulian untuk memberikan perlindungan dan penegakan
keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnya bagi
buruh/pekerja sebagai pihak yang lemah.
Pemohon berinisiatif mengajukan permohonan
judicial review
atas
kasus pekerja
outsourcing
yang dirugikan atas tidak terpenuhinya hak-hak dan
tidak adanya jaminan perlindungan hukum atas keberlangsungan pekerjaan
mereka. Pemohon juga bertindak atas nama Lembaga Swadaya Masyarakat
Aliansi Petugas Penghitung Meteran Listrik (yang untuk selanjutnya disebut
AP2ML) mengajukan permohonan
judicial review
pasal-pasal yang berkaitan
dengan ketentuan
outsourcing
yaitu Pasal 59, Pasal 64, Pasal 65 dan Pasal 66
dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan. Adapun pasal-pasal tersebut
selengkapnya menyatakan:
(1)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk
pekerjaan tertentu yang menuntut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :
a.
Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
b.
Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu
yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
c.
Pekerjaan yang bersifat musiman; atau
d.
Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan
baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan.
(2)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk
pekerjaan yang bersifat tetap.
(3)
Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau
diperbaharui.
(4)
Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu
tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya
boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1
(satu) tahun.
(5)
Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu
teretentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja
waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
43
(6)
Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan
setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari