• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Pemberian Hak Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Proses penegakan hukum tergantung kepada beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan peranannya masing – masing yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut harus mengutamakan keadilan dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk oleh anggota masyarakat.

Kebijakan hukum pidana dalam melindungi hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang selanjutnya disingkat UU PTPPO, yang memberi landasan hukum materil dan formil. UU PTPPO merupakan wujud nyata dari negara dalam memperhatikan dan melindungi kepentingan korban tindak pidana perdagangan orang termasuk untuk memperjuangkan hak restitusi akibat kerugian yang dideritanya kepada pelaku.

Dalam memerangi perdagangan orang, penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim sangat berperan dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban. Menurut Muladi, dalam konsep pengaturan terhadap perlindungan korban tindak pidana, hal pertama yang harus diperhatikan yakni esensi kerugian yang diderita oleh korban. Esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau

46

penderitaan fisik saja tetapi tetapi juga yang bersifat psikologis.38 Adapun peranan penegak hukum dalam implementasi pemenuhan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang yaitu sebagai berikut:

a. Peran Penyidikan

Peran Kepolisian dalam penegakan hukum secara jelas diatur dalam UU No 2tahun 2002 yaitu Pasal 2, yang menyatakan bahwa “fungsi kepolisian adalah salahsatu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarkat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Berdasarkan penjelasan pasal 2, fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan. Pasal 5 ayat 1 UU No. 2 tahun 2002 menegaskan kembali peran Kepolisian yaitu:

“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarkat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.

Berdasarkan ketentuan diatas nampak secara tegas dinyatakan bahwa peran Kepolisian Negara Republik Indonesia salah satunya adalah penegakan hukum.

Penegakan hukum merupakan salah satu tugas pokok yang harus dijalankan oleh anggota kepolisian. Sedangkan Peran Kepolisian dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban kejahatan perdagangan manusia, salah satunya adalah melalui pencegahan dan pemberantasan kejahatan perdagangan manusia. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlidungan korban dapat juga dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan.

UU PTPPO juga mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum. UU PTTPO memberikan perhatian terhadap korban akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang

38 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm. 177

47

harus diberikan oleh pelaku sebagai ganti kerugian bagi korban dan mengatur hak korban atas rehabilitasi medis, psikologi, dan sosial.47

Hak untuk mendapatkan restitusi diatur dalam Pasal 48 UU PTPPO yaitu:

1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.

2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:

a. kehilangan kekayaan atau penghasilan;

b. penderitaan;

c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang;

4) Pemberian restitusi sebagiamana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.

5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.

6) Pemberian restitusi dilaksanakan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusan agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.

Hak atas restitusi juga diatur di dalam UU LPSK yang dtuangkan dalam satu pasal yaitu Pasal 7A UU LPSK yang menjelaskan:

1. Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa:

a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan,

b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau,

c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.

48

2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.

3. Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.

4. Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.

5. Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.

6. Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.

Dalam ketentuan ini mekanisme pengajuan restitusi dilaksankan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan, Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan.48 Selanjutnya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU PTPPO menyebutkan bahwa apabila pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.

Pengumpulan informasi mengenai kerugian yang diderita korban dan kesediaan pelaku tindak pidana perdagangan orang untuk mengganti kerugian, ada ditangan polisi. Oleh karenanya polisi harus membuka peluang bagi korban untuk memberikan semua informasi berkenaan dengan bukti-bukti atas kerugian yang diderita korban. Hal ini juga dengan jelas diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban bahwa dalam

49

pemeriksaan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang harus ada pertanyaan yang diajukan dalam rangka mendapatkan keterangan mengenai substansi perkara yang diperiksa, antara lain kerugian yang diderita oleh saksi dan/atau korban sebagai bahan pengajuan restitusi atau pemberian ganti rugi.39 b. Peran Penuntut Umum

Peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) pada dasarnya sama dengan jenis tindak pidana lainnya, yaitu melaksanakan penuntutan setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Kejaksaan menunjuk seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Hasil penyidikan yang telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri.

Adapun faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah:

a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu masih kurang optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana perdagangan orang (traficking) dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian.

b) Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana perdagangan orang (traficking).

c) Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (traficking).

39 Republik Indonesia, Pasal 17 ayat 3 poin c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban.

50 c. Peran Hakim

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili. Mengadili merupakan serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara hukum berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disebuah sidang pengadilan berdasarkan ketentuan perundangundangan. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain dalam memutusjkan perkara.

Apabila hakim mendapatkan pengaruh dari pihak lain dalam memutuskan perkara, maka keputusan hakim cenderung tidak adil, yang pada akhirnya akan meresaahkan masyarakat, serta wibawa hukum dan hakim akan hilang.

Penulis berpendapat bahwa Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim memiliki peran penting dalam kasus hak korban restitusi dalam tindak pidana perdagangan orang. Tapi dalam hal ini, hakim tidak dapat memberikan keputusan tentang putusan yang harus diberikan kepada pelaku untuk ganti kerugian yaitu restitusi jika dalam amar putusan tidak dimasukan. Hal ini terjadi apabila korban tidak meminta untuk ganti kerugian tersebut kepada pelaku. Dalam masalah ganti kerugian terutama restitusi banyak korban yang tidak mengetahui adanya hak mereka yang berupa hak restitusi atau ganti kerugian berupa materil, ini merupakan salah satu faktor keterbatasan korban yang tidak memiliki wawasan yang luas atau tidak mengetahui dengan adanya pasal 48 UU No.21 Tahun 2007.

Terkait masalah restitusi dalam Perlindungan Saksi dan Korban, jika dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang juga diterapkan UU pelaksaannya mungkin implementasi dalam penerapan hak restitusi tersebut akan berjalan normal.

Harusnya ada sosialisasi lebih jauh untuk korban dan keluarganya mengetahui dan mengingatkan bahwa untuk menuntut kerugian yang dialami korban terhadap pelaku, yang bisa di lakukan bersamaan dengan proses pidana bahkan dimulai dari awal penyelidikan tersebut.

Dari kasus tindak pidana perdagangan orang dapat dilihat bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban,

51

terlebih lagi dari kasus yang terungkap mayoritas korban diperdagangkan untuk tujuan pelacuran atau bentuk ekploitasi seksual lainnya. Hal ini merupakan salah satu dari kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) dimana perempuan dan anak perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya. Oleh karenanya penting bagi penegak hukum untuk memberikan perhatian khusus pada saat berurusan dan berhadapan dengan korban.

Dokumen terkait