22 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. TINJAUAN PUSTAKA 1. Tindak Pidana
Kata-kata Hukum Pidana merupakan kata-kata yang mempunyai lebih daripada satu pengertian. Sebagai contoh pengertian Hukum Pidana telah dikemukakan oleh Prof. Dr. W.L.G Lemaire yang mengatakan Hukum Pidana itu terdiri dari norma-norma yang berisi keharusan-keharusan dan larangan-larangan (oleh pembentuk undang-undang) telah dikaitkan dengan suatu sanksi berupa hukuman, yakni suatu penderitaan yang bersifat khusus. Dengan demikian dapat juga dikatakan, bahwa Hukum Pidana itu merupakan suatu sistem norma-norma yang menentukan terhadap tindakan-tindakan yang mana dalam keadaan-keadaan bagaimana hukuman itu dapat dijatuhkan, serta hukuman yang bagaimana yang dapat dijatuhkan bagi tindakan-tindakan tersebut1. Didalam tindak pidana juga, kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja atau karena kelalaian telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan dilakukan dengan mampu bertanggungjawab. Kesalahan selalu ditujukan pada perbuatan yang tidak patut2.
Pemidanaan pada hakekatnya sangat berhubungan erat dengan tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana. Sedangkan penggunaan istilah pidana diartikan sebagai sanksi pidana atau sering juga digunakan istilah lain yaitu hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan hukuman, pemberian pidana dan hukuman pidana3.
Soedarto menyatakan bahwa “penghukuman” berasal dari kata dasar
“hukum”. Sehingga dapat diartikan sebagai “menetapkan hukuman” atau
“memutuskan tentang hukumannya” (Berechten). “Menetapkan hukum” untuk suatu peristiwa tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja tetapi juga
1 P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 2.
2 Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana, Rangkang Education, Yogyakarta, 201, h. 47-48.
3 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika,Jakarta, 2012, hal. 185.
23
hukum perdata. Istilah “penghukuman” dapat disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang bersinonim dengan “pemidanaan” atau
“pemberian/penjatuhan pidana” oleh hakim. Penghukuman dalam arti yang demikian, mempunyai makna sama dengan Sentence Conditionally atau Voorwaardelijk Veroodeeld yang sama artinya dengan “hukum bersyarat” atau
“dipidana bersyarat”. Istilah “hukuman” kadang-kadang digunakan untuk pengganti perkataan “straf” namun kata “pidana” lebih baik dari pada “hukuman”4. Menurut P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu5:
1) Untuk memeperbaiki pribadi dari penjahat itu sendiri;
2) Untuk membuat orang menjadi jera;
3) Untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara cara yang lain sudah tidak dapat diperbaiki lagi
Tindak pidana juga diartikan sebagai suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan asas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundangundangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu)6. Menurut Pompe bahwa ada 2 (dua) macam definisi terkait tindak pidana yaitu7 :
4 Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, PT. Alumni,Bandung, 1981, hal. 71-72.
5 P.A.F Lamintang & Theo Lamintang, Hukum Panitensier Indonesia, Sinar Grafika,Jakarta, 2012, hal.11.
6 Amir Ilyas, Op.Cit,hal.27.
7 Abidin,Andi Zainal. Hukum Pidana I, Jakarta, Sinar Grafika,1995, hal.225.
24
a. Definisi Teoritis yaitu pelanggaran norma (kaidah dan tata hukum), yang diadakan karena kesalahan pelanggar, dan harus diberikan pidana untuk dapat mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan umum.
b. Definisi yang bersifat perundang-undangan yaitu suatu peristiwa yang oleh Undang-Undang ditentukan mengandung perbuatan (handeling) dan pengabaian (nalaten); tidak berbuat; berbuat pasif, biasanya dilakukan di dalam beberapa
keadaan yang merupakan bagian dari suatu peristiwa.
Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk- bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggungjawabkan atas segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar telah terjadinya suatu tindak pidana yang dilakukannya, maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya8.
Moeljatno yang menggunakan istilah perbuatan pidana mengartikan yaitu,
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”9
Selanjutnya Moeljatno berpendapat bahwa “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, asal saja dalam pidana itu diingat bahwa larangan tersebut ditujukan pada perbuatannya yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelalaian orang, sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian tersebut.”10
8 Amir Ilyas, Op.Cit,hal.28.
9 C.S.T. Kansil dan Christine, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 77.
10 Ibid, hlm. 56.
25
Barda Nabawi Arief mendefinisikan bahwa yang dimaksud tindak pidana adalah “perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana”.26 Sedangkan Wiryono Projodikoro menyatakan tindak pidana berarti “suatu perbuatan yang berlakunya dapat dikenakan hukum pidana dan berlakunya ini dapat dikenakan subjek pidana.”11
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang- undang melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabakan perbuatan dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normative mengenai kesalahan yang dilakukan.12
Pendapat lain menyebutkan tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam denganpidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.13
Selain itu juga, tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana. Tindak pidana merupakan suatu pengertian yuridis, lain halnya denganistilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan merupakan bentuk tingkah laku yang melanggar undang-undang pidana.
Setiap perbuatan yang dilarang oleh undang-undnag harus dihindari dan barang siapa melanggarnya maka akan dikenakan pidana. Jadi larangan-larangan dan kewajiban-kewajiban tertentu yang harus ditaati oleh setiap warga Negara wajib dicantumkan dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah.14
11 Wiryono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, PT. Eresco, Jakarta, 2002, hlm. 50.
12 AndiHamzah, Bunga Rampai Hukum Pidanadan Acara Pidan. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2001. hlm. 19.
13 P.A.F. Laminating, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Adityta Bakti. Bandung. 1996. hlm. 16
14 Ibid. hlm. 17
26
Tindak pidana atau peristiwa pidana adalah suatu kejadian yang mengandung unsur–unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang, sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman).15
Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam KUHP pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua macam unsur, yakni unsur subyektif dan unsur objektif. Unsur subyektif artinya unsur yang melekat pada diri si pelaku. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.16
Unsur-unsur subyektif dari tindak pidana itu adalah:
1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa);
2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging;
3. Macam-macam maksud seperti yang terdapat dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan;
4. Merencanakan lebih dulu seperti yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah:
1. Sifat melawan hukum;
2. Kualitas dari pelaku;
3. Kausalitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.17
2. Pertanggungjawaban Pidana
Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini menganut asas kesalahan sebagai salah satu asas disamping asas legalitas.
Pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk perbuatan dari pelaku tindak pidana terhadap kesalahan yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena ada kesalahan yang merupakan tindak pidana
15 Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm.62.
16 Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 193.
17 Ibid. hlm. 194
27
yang dilakukan oleh seseorang, dan telah ada aturan yang mengatur tindak pidana tersebut. Roeslan Saleh18 menyatakan bahwa:
“Dalam membicarakan tentang pertanggungjawaban pidana, tidaklah dapat dilepaskan dari satu dua aspek yang harus dilihat dengan pandanganpandangan falsafah. Satu diantaranya adalah keadilan, sehingga pembicaraan tentang pertanggungjawaban pidana akan memberikan kontur yang lebih jelas.
Pertanggungjawaban pidana sebagai soal hukum pidana terjalin dengan keadilan sebagai soal filsafat”.
Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk hal pertanggungjawaban.
Perbuatan pidana hanya menunjuk pada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak apabila orang yang melakukan perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.
3. Korban
Korban merupakan individu atau kelompok yang menderita secara fisik, mental, dan sosial karena tindakan kejahatan. Secara yuridis, pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban selanjutnya disingkat UU PSK, bahwa yang dinyatakan korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.19
Menurut Arief Gosita yang dimaksud dengan korban adalah, mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari
18 Roeslan Saleh. 1982. Pikiran-pikiran Tentang Pertanggungjawaban Pidana. Ghalia Indonesia. Jakarta. hlm. 10
19 Lihat Pasal 1 Angka 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
28
pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita.20
Muladi berpendapat yang dimaksud dengan korban adalah, orang-orang yang baik secara individual maupun kolektif menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.21
Pendefinisian korban dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang selanjutnya disingkat UU PTPPO, diatur dalam Pasal 1 Angka 3 bahwa “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang.
Dengan mengacu pada pengertian korban diatas, dapat dilihat bahwa korban tidak hanya orang perseorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yaang menimbulkan kerugian/pendertaan, bahkan lebih luas lagi termasuk didalamnya keluarga atau tanggungan langsung dari korban maupun orang-orang yang membantu korban mengatasi penderitaannya.
Dalam Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban selanjutnya disingkat PP No. 44 Tahun 2008, didefinisikan bahwa korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Sementara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat selanjutnya disingkat PP No. 2 Tahun 2002, mendefinisikan korban
20 Andi Hamzah, 1986, Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung, hlm. 33.
21 Muladi, 2000, Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Univers itas Diponegoro, Semarang, hlm 108.
29
adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.
Dari berbagai definsi diatas, dapat dilihat bahwa tidak ada satu pengertian yang baku mengenai korban, namun pada hakikatnya adalah sama yaitu sebagai korban tindak pidana. Hal ini dikarenakan pengertian korban disesuaikan dengan masalah yang diatur dalam perundang-undangan, tergantung sebagai korban tindak pidana apa, misalnya perdagangan orang, kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya.22
Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi enam tipe, yaitu:
a. Korban yang sama sekali tidak bersalah;
b. Korban yang sedikit sekali kesalahannya;
c. Korban yang kesalahannya seimbang dengan kesalahan pembuat kejahatan;
d. Korban yang kesalahannya lebih besar dari kesalahan pembuat kejahatan;
e. Korban yang salah sendiri; dan
f. Korban karena imajinasinya sendiri.12
Menurut keadaan dan status korban, korban dibagi menjadi enam tipe, yaitu:
a. Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku, misalnya pada kasus kecelakaan pesawat. Dalam hal ini tanggung jawab sepenuhnya terletak pada pelaku;
b. Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban, misalnya pada kasus selingkuh, dimana korban juga sebagai pelaku;
c. Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban;
22 Bambang Waluyo, 2011, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 10.
30
d. Biologically victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban;
e. Socially weak victims, yaitu mereka yang mempunyai kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban;
f. Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri, misalnya korban obat bius, aborsi, judi, prostitusi.13
Selain pengelompokan diatas, masih ada pengelompokan korban menurut Sellin dan Wolf, yaitu:
a. Primary victimization, yaitu korban berupa individual atau perorangan (bukan kelompok);
b. Secondary victimization, yitu korban kelompok, misalnya badan hukum;
c. Tertiary victimization, yaitu korban masyarakat luas;
d. No victimization, yaitu korban yang tidak dapat diketahui, misalnya konsumen yang tertipu dalam menggunakan suatu produk.14
Menurut Bambang Waluyo, korban dapat dibedakan atas korban “murni”
dan korban tidak “murni” dari suatu kejahatan. Korban murni artinya korban memang korban yang sebenar-benarnya/senyatanya. Korban tidak bersalah hanya semata-mata sebagai korban. Mengapa menjadi korban, kemungkinan penyebabnya; kealpaan, ketidaktahuan, kurang hati-hati, kelemahan korban, atau mungkin akibat dari kelalaian negara untuk melindungi warganya. Sedangkan perkembangan global, faktor ekonomi, politik, sosiologis, ataupun faktor-faktor negatif yang lain, memungkinkan adanya korban tidak “murni. Disini korban tersangkut atau menjadi bagian dari pelaku kejahatan, bahkan sekaligus menjadi pelakunya.23
Kondisi dan situasi korban dapat merangsang orang atau kelompok lain melakukan kejahatan terhadapnya. Ada kejahatan yang disadari tetapi ada pula kejahatan yang tidak disadari korban akan menimpa dirinya, sama halnya dengan
23 Bambang Waluyo, op. cit., hlm. 19.
31
korban tindak pidana perdagangan orang, Korban menyadari bahwa dapat terjadi tindak pidana perdagangan orang terhadap dirinya dan ada yang tidak menyadari karena ditipu atau dibujuk, sehingga menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.24
Dengan klasifikasi korban di atas maka dapat diketahui peranan atau tingkat keterlibatan korban atau kesalahan korban dalam suatu tindak pidana. Hal ini dapat bermanfaat bagi penegak hukum khususnya dalam kegiatan dan usaha pencegahan kejahatan.
4. Perlindungan Korban
Dalam penyelesaian perkara pidana, sering kali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan. Banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateril maupun materil.
Korban justru tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undang-undang kepada pelaku kejahatan.25
Isu perlindungan korban kejahatan didasarkan pada penghormatan dan penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Penjabaran HAM berkaitan dengan perlindungan korban dan saksi tertuang dalam beberapa undang-undang.
Menurut Pasal 1 Angka 8 UU PSK:
“Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Saksi dan/atau Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.”
Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa pengertian perlindungan korban dapat dilihat dari dua makna, yaitu:26
24 Farhana, 2010, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 154.
25 Dikdik Arif Mansyur dan Elistaris Gultom, op.cit., hlm. 24-25.
26 Barda Nawawi Arief; Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidanadalam Penanggulangan Kejahatan; Kencana, Jakarta, 2007, hlm. 61.
32
a. dapat diartikan sebagai “perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban tindak pidana”, (berarti perlindungan HAM atau kepentingan hukum seseorang).
b. dapat diartikan sebagai “perlindungan untuk memperoleh jaminan/santunanhukum atas penderitaan/ kerugian orang yang telah menjadi korban tindak pidana”, (jadi identik dengan “penyantunan korban”). Bentuk santunan itu dapat berupa pemulihan nama baik (rehabilitasi), pemulihan keseimbangan batin (antara lain dengan pemaafan), pemberian ganti rugi (restitusi, kompensasi, jaminan/santunan kesejahteraan sosial), dan sebagainya.
Perlindungan korban dapat mencakup bentuk perlindungan yang bersifat abstrak (tidak langsung) maupun yang konkret (langsung). Perlindungan yang abstrak pada dasarnya merupakan bentuk perlindungan yang hanya bisa dirasakan secara emosional (psikis), seperti rasa puas. Sedangkan bentuk perlindungan korban secara konkret/langsung berupa ganti kerugian yang dapat berbentuk restitusi maupun kompensasi.
UU PSK menegaskan tujuan perlindungan saksi dan korban adalah untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana. 19 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) mengatur secara khusus perlindungan korban dan saksi pada Bab V, Pasal 34 yang menegaskan bahwa:
a. Setiap korban dan saksi dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun;
b. Perlindungan tersebut wajib dilaksanakan oeh para penegak hukum dan aparat keamanan secara cuma-cuma.
Dalam rangka memberikan perlindungan pada korban kejahatan, terdapat dua model pengaturan yaitu:
1. Model hak-hak prosedural (the prosedural rights model), disini korban diberi hak untuk memainkan peran aktif dalam proses penyelesaian perkara pidana,
33
seperti hak untuk mengadakan tuntutan pidana, membantu jaksa atau hak untuk dihadirkan dan didengar pada tingkatan pemeriksaan perkara dimana kepentingannya terkait didalamnya termaasuk hak untuk diminta konsultasi sebelum diperiksa lepas bersyarat, juga hak untuk mengadakan perdamaian. Di Prancis model ini disebut Partie Civile Model atau Civil Action Model. Disini korban diberi hak juridis yang luas untuk menentukan dan mengejar kepentingan-kepentingannya.
2. Model pelayanan (the services model), disini tekanan ditujukan pada perlunya diciptakan standar baku bagi pemidanaan korban kejahatan, yang dapat digunakan oleh polisi misalnya dalam bentuk pedoman dalam rangka modifikasi kepada korban dan atau jaksa dalam rangka penanganan perkaranya, pemberian kompensasi sebagai sanksi pidana yang bersifat restitutif dan dampak pernyataan-pernyataan korban sebelum pidana dijatuhkan. Disini korban kejahatan dipandang sebagai sarana khusus untuk dilayani dalam kerangka kegiatan polisi dan para penegak hukum lainnya.27
Kedua model tersebut memberi peluang yang dapat dikembangkan dalam upaya memberikan perlindungan pada korban kejahatan. Keuntungan model hak- hak prosedural dianggap dapat memenuhi perasaan korban dan masyarakat sehingga fungsi pidana dapat berjalan baik dan bahkan dapat menciptakan kerjasama polisi, jaksa, dan korban sebagai kesatuan elemen dlm mewujudkan tujuan sistem peradilan pidana. Namun kelemahannya, model ini dapat menciptakan konflik antara kepentingan pribadi korban dan kepentingan umum.28 Selain itu keterlibatan korban yang didasarkan atas pemikiran yang emosional akan menimbulkan upaya pembalasan sehingga suasana peradilan yang bebas dan asas praduga tidak bersalah dapat terganggu.29
27 Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit., hlm. 78-80.
28 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbitan Universitas Diponegoro, Semarang, hlm. 67.
29 Lilik Mulyadi, 2007, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Kriminologi dan Viktimologi, Penerbit Djambaran, Jakarta, hlm. 123.
34 5. Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia atau HAM adalah hak-hak yang sudah dipunyai oleh seseorang sejak ia masih dalam kandungan. Hak asasi manusia dapat berlaku secara universal. Dasar-dasar HAM yang tertuang dalam deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat atau Declaration of Independence of USA serta yang tercantum dalam UUD 1945 Republik Indonesia, seperti yang terdapat pada pasal 27 ayat 1, pasal 28, pasal 29 ayat 2, pasal 31 ayat 1, serta pasal 30 ayat 1.
HAM merupakan hak fundamental yang tidak dapat dicabut karena ia adalah seorang manusia. HAM yang dirujuk sekarang merupakan seperangkat hak yang dikembangkan PBB sejak awal berakhirnya perang dunia II. Sebagai konsekuensinya, negara-negara tidak dapat berkelit untuk tidak melindungi hak asasi manusia yang bukan warga negaranya.
Menurut Soetandyo Wignjosoebroto, HAM adalah hak-hak mendasar (fundamental) yang diakui secara universal sebagai hak-hak yang melekat pada manusia karena hakikat dan kodratnya sebagai manusia.30
Menurut Jack Donnely, HAM adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.31
Menurut Pasal 1 Angka 2 UU RI Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kewajiban Dasar Manusia adalah Kewajiban dasar manusia adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksana dan tegaknya hak asasi manusia.
Pasal 1 Angka 6 UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mendefinisikan bahwa, pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun
30 Soetandyo Wignjosoebroto (2003), Hak-hak Asasi Manusia: Konsep Dasar Dan Pengertianya Yang Klasik Pasa Masa masa Awal Perkembangannya dalam Toleransi Keragaman, Dalam: Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia (HAM); Universitas Diponegoro, Semarang, Cet. II, 2012, h. 2.
31 Jack Donnely dalam Knut D. Asplund, Suparman Marzuki, Eko Riyadi (Penyunting/Editor); Op Cit., h. 28.
35
tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukummengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompokorang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akanmemperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.
6. Hak Restitusi
Bahwa salah satu hak korban tindak pidana perdagangan orang ialah hak untuk memperoleh restitusi, Restitution (restitusi) merupakan bentuk perlindungan hukum secara materil. Romli Atmasasmita memaparkan bahwa di masa abad pertengahan, ketika hukum yang bersifat primitif masih berlaku pada masyarakat bangsa-bangsa di dunia, telah diterapkan personal reparation atau semacam pembayaran ganti rugi, yang dilakukan oleh seseorang yang telah melakukan tindak pidana atau offender atau keluarganya terhadap korban yang telah dirugikan sebagai akibat tindak pidana tersebut.
Pengertian dari restitusi lainnya adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materil dan/atau immaterial yang diderita korban atau ahli warisnya. Hak ini diberikan kepada korban oleh pelaku sebagai bentuk ganti rugi atas penderitaan yang dialami korban akibat terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Dalam Pasal 1 Angka 13 UU PTPPO dijelaskan bahwa yang dimaksud restitusi adalah:
“Pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.”
Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban dirumuskan bahwa yang dimaksud dengan restitusi adalah:
36
“Ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga, dapat berupa pengembalian harta milik, pembayaran ganti kerugian untuk kehilangan atau penderitaan, atau penggantian biaya untuk tindakan tertentu.”
Restitusi lebih diarahkan pada tanggung jawab pelaku terhadap akibat yang ditimbulkan oleh kejahatan sehingga sasaran utamanya adalah menanggulangi semua kerugian yang diderita oleh korban.
Menurut Galeway tujuan dari kewajiban mengganti kerugian adalah:
1. Meringankan penderitaan korban,
2. Sebagai unsur yang meringankan hukuman yang akan dijatuhkan.
3. Sebagai salah satu cara merehabilitasi terpidana, 4. Mempermudah proses peradilan,
5. Dapat mengurangi ancaman atau reaksi masyarakat dalam bentuk tindakan balas dendam.
Dalam KUHP, ketentuan yang mengatur tentang perlindungan korban kejahatan penggantian kerugian dapat dilihat pada Pasal 14c KUHP yang pada intinya menyatakan: dalam hal hakim menjatuhkan pidana bersyarat, hakim dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana untuk mengganti kerugian, baik semua, atau sebagian yang timbul akibat dari tindak pidana yang dilakukan. Sekalipun KUHP mencantumkan aspek perlindungan korban berupa pemberian ganti kerugian, namun ketentuan ini tidak luput dari berbagai kendala dalam pelaksanaannya, yaitu:
a. Penetapan ganti rugi tidak dapat diberikan oleh hakim sebagai sanksi yang berdiri sendiri disamping pidana pokok, jadi hanya sebagai “syarat khusus”
untuk dilaksanakannya atau dijalaninya pidana pokok yang dijatuhkan kepada terpidana;
b. Penetapan syarat khusus berupa ganti kerugian ini hanya dapat diberikan apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana pengganti;
37
c. Syarat khusus berupa ganti rugi ini menurut KUHAP hanya bersifat fakultatif, tidak bersifat imperatif.
Dalam Pasal 1 Angka 13 UU PTPPO dijelaskan bahwa yang dimaksud restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan/atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
Ketentuan tentang perlindungan hukum kepada korban tindak pidana perdagangan orang khususnya mengenai restitusi dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang PTPPO diatur pada pasal 48 ayat (1) yang menentukan bahwa “setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi”.
Restitusi dalam Pasal 48 UUPTPPO adalah mencakup kehilangan kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang. Yang dimaksud kerugian lain tersebut misalnya kehilangan harta milik, biaya transportasi dasar, biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses hukum, atau kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.
Dalam Pasal 1 Angka 2 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban selanjutnya disingkat PP No. 44 Tahun 2008, didefinisikan bahwa “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana."
Sementara itu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran HAM yang Berat selanjutnya disingkat PP No. 2 Tahun 2002, mendefinisikan:
“Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan pihak manapun.”
38
Menurut penjelasan umum Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, mengatur bahwa setiap manusia di anugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa akal budi dan nurani yang memberikan kepadanya kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk yang akan membimbing dan mengarahkan sikap dan perilaku dalam menjalani kehidupannya. Dengan akal budi dan nuraninya itu, maka manusia memiliki kebebasan untuk memutuskan sendiri perilaku atau perbuatannya. Disamping untuk mengimbangi kebebasan tersebut, manusia memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukannya. Kebebasan dasar dan hak-hak dasar itulah yang disebut Hak Asasi Manusia yang melekat pada manusia, hak ini tidak dapat diingkari, pengingkaran terhadap hak tersebut berarti mengingkari martabat kemanusiaan. Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
7. Perdagangan Orang
Trafficking atau perdagangan digunakan untuk pengistilahan tindakan perdagangan manusia. Terminologi istilah trafficking merupakan isu baru di Indonesia. Sampai saat ini belum ada terjemahan yang tepat dalam bahasa Indonesia dan dapat dengan jelas membedakan dari “trading” (perdagangan).
Meskipun dengan penggunaan persamaan kata yang kurang tepat, istilah perdagangan digunakan untuk menerjemahkan istilah trafficking.32
Secara Internasional, pengaturan tentang perlindungan korban perdagangan manusia di atur dalam Protokol Palermo (Protocol to Prevent, Suppress and Punish Traffikking in Person, Especially Women and Children, Supplement the United Nation Convention Againts Transnational Organization Crime/ Protokol tentang Mencegah, Menindak dan Menghukum (Pelaku) Perdagangan Orang Khususnya Perempuan dan Anak) mendefinisikan:
32 Rachmad Syafaat, Dagang Manusia Kajian Trafficking terhadap Perempuan dan Anak di Jawa Timur, Lappera Pustaka Utama, Yogyakarta, hlm. 11.
39
“Perdagangan orang sebagai perekrutan, pengiriman, pemindahan, penampungan atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan, kebohongan, atau penyalahgunaaan kekuasaan atau posisi rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau memperoleh keuntungan agar dapat memperoleh persetujuan dari seseorang yang berkuasa atas orang lain, untuk tujuan eksploitasi. Eksploitasi termasuk, paling tidak, ekploitasi untuk melacurkan orang lain atau bentuk-bentuk lain dari ekploitasi seksual, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik- praktik serupa perbudakan, perhambaan atau pengambilan organ tubuh.”
Pasal 1 Angka 1 UU RI No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Orang, mengatur bahwa:
Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
8. Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 1 Angka 2 UU RI No. 21 Tahun 2007, menentukan bahwa Tindak Pidana Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana. Pembentuk undang-undang menggunakan perkataan strafbaar feit untuk menyebutkan tindak pidana di dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana. Perkataan feit dalam Bahasa Belanda berarti sebagian dari suatu kenyataan, sedangkan straftbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara
40
harfiah, perkataan staftbaar feit itu dapat diterjemahkan sebagai sebagian dari suatu kenyataan yang dapat dihukum, sifat penting dari tindak pidana strafbaar feit ialah onrechtmatigheid atau sifat melanggar hukum dari perbuatan33.
Perkataan straftbaar feit itu secara teoritis dapat dirumuskan sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku, dimana penjatuhan hukum terhadap pelaku tersebut adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Tindak pidana sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, di mana penjatuhan pidana pada pelaku adalah demi tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum34.
Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang- undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.
Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggung jawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan orang tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas, diketahui bahwa tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang memiliki unsur kesalahan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, penjatuhan pidana terhadap pelaku adalah demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Pengertian tindak pidana perdagangan orang adalah setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk
33 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2001.hlm 23
34 P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung, PT. Citra Adityta Bakti, 1996. hlm 16
41
tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp.120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)35.
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari perbudakan manusia.
Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kemiskinan pada umumnya dianggap sebagai faktor utama penyebab perdagangan orang, meskikpun demikian kemiskinan bukanlah satu-satunya indikator untuk terjadinya perdagangan orang. Kemiskinan akan menempatkan orang pada posisi putus asa yang membuat mereka rentan untuk mengalami eksploitasi. Meski demikian, kemiskinan dan keinginan seseorang untuk meningkatkan kondisi ekonominya tetap merupakan faktor yang harus dipertimbangkan dalam program dan kebijakan pembangunan untuk menghapuskan praktik perdagangan orang agar tidak berkembang dan mengancam generasi muda bangsa. Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu.
Tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang dianggap baru dalam sistem hukum di Indonesia, sekalipun bentuk perbuatan sudah ada sejak
35 Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
42
lama. Hal ini dikarenakan UU PTPPO baru muncul dan disahkan pemerintah pada tanggal 19 April 2007 dalam Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 58.36
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 Ayat 1, menerangkan bahwa:
“Perdagangan Manusia adalah Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan,penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.
Kata “eksploitasi” dalam Pasal 1 UU PTPPO dipisahkan dengan
“eksploitasi seksual” yang kemudian dijelaskan sebagai:
“Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan/ mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”
“Eksploitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.”
Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur perdagangan orang adalah sebagai berikut:
36 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagngan Oran
43
1. Adanya tindakan atau perbuatan, seperti perekrutan, transportasi, pemindahan, penempatan dan penerimaan orang.
2. Dilakukan dengan cara, menggunakan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk paksaan lain, penculikan, tipu daya, penyalahgunaan kekuasaan, pemberian atau penerimaan pembayaran/keuntungan untuk memperoleh persetujuan.
3. Ada tujuan atau maksud yaitu untuk tujuan eksploitasi dengan maksud mendapatkan keuntungan dari orang tersebut.
Definisi perdagangan orang dalam UU PTPPO di atas memang memiliki kesamaan dengan definisi perdagangan orang yang diatur dalam Protokol Palermo.
Perbedaan keduanya terdapat pada adanya penambahan bentuk perdagangan orang berupa penjeratan utang di UU PTPPO. Kemiripan ini dapat dipahami mengingat salah satu pendorong lahirnya UU PTPPO untuk merespon dan mewujudkan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol Palermo.
Ada empat hal sifat dasar Perdagangan Orang, yaitu:
1. Bersifat manipulatif atau penyalahgunaan, yaitu penyimpangan dari rencana semula atau hal yang diinformasikan kepada korban. Pada saat membujuk dikatakan akan diberikan pekerjaan layak tetapi pada kenyataannya dijadikan budak, dieksploitasi, dipekerjakan pada pekerjaan buruk, dijadikan obyek transplantasi, dan sebagainya.
2. Ada transaksi, dalam trafiking terjadi transaksi uang antara calo, penjual dan pembeli atau pemakai.
3. Tidak mengerti, yakni korban pada umumnya tidak mengerti bahwa ia akan menjadi korban dari tindak pidana, karena ketika akan bermigrasi dalam niatnya akan mencari pekerjaan atau tujuan lainnya yang tidak ada hubungan dengan sindikat tindak pidana.
4. Ada migrasi, yaitu perpindahan korban yang melampaui batas negara atau batas propinsi. Karena faktor jarak dan melampaui batas-batas administrasi, maka trafiking biasanya dilakukan oleh sebuah sindikat.
44
Penelitian yang dilakukan oleh Harkristuti Harkrisnowo juga diperoleh bentuk perdagangan orang di Indonesia, antara lain:
a. Dijadikan sebagai pekerja rumah tangga;
b. Dipekerjakan di klub-klub malam atau tempat-tempat lain yang serupa (diantaranya sebagai pemandu karaoke);
c. Dijadikan sebagai pelacur;
d. Dipekerjakan sebagai model, artis atau penyanyi pada industri pornografi;
e. Dipekerjakan secara paksa sebagai penjual obat-obatan terlarang;
f. Bekerja di luar negeri;
g. Kawin kontrak;
h. Eksploitasi anak untuk dijadikan sebagai pengemis;
i. Perdagangan bayi yang meliputi penculikan bayi, penculikan wanita hamil, peminjaman uang kepada orang tua bayi yang tidak mungkin bisa dikembalikan, sehingga konsekuensinya mereka harus mengganti dengan bayi mereka;
j. Praktik penyamaran sebagai dokter di rumah sakit;
k. Penipuan dnegan kedok penawaran kerja yang tidak berat dengan imingiming gaji yang tinggi;
l. Penipuan dengan kedok penawaran kerja pada perempuan yang ternyata dipaksa untuk menjadi pelacur;
m. Penculikan bayi atau ibu hamil yang memiliki kerterbatasan ekonomi untuk bersalin, caranya dengan menawarkan bantuan biaya persalinan. Pada saat melahirkan, bayi ibu itu diambil paksa oleh pelaku untuk diperdagangkan;
n. Anak dipaksa bekerja selayaknya orang dewasa dengan waktu yang melebihi batas kemampuan, tanpa diperhatikan keselamatan dan kesehatannya serta tidak mendapatkan gaji.37
Pelaku tindak pidana perdagangan orang, melakukan perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan
37 Harkristuti Harkrisnowo, 2003, Indonesia Court Report : Human Trafficking, Universitas Indonesia, Human Right Center, Jakarta, hlm. 44
45
menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban. Tindak pidana perdagangan orang merupakan bentuk nyata pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).
9. Pengaturan Pemberian Hak Restitusi bagi Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Proses penegakan hukum tergantung kepada beberapa faktor, salah satunya adalah faktor lembaga penegak hukum. Lembaga penegak hukum harus menjalankan tugasnya dengan baik dan sesuai dengan peranannya masing – masing yang diatur dalam peraturan perundangundangan. Dalam menjalankan tugasnya tersebut harus mengutamakan keadilan dan profesionalisme, sehingga menjadi panutan masyarakat serta dipercaya oleh semua pihak termasuk oleh anggota masyarakat.
Kebijakan hukum pidana dalam melindungi hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang selanjutnya disingkat UU PTPPO, yang memberi landasan hukum materil dan formil. UU PTPPO merupakan wujud nyata dari negara dalam memperhatikan dan melindungi kepentingan korban tindak pidana perdagangan orang termasuk untuk memperjuangkan hak restitusi akibat kerugian yang dideritanya kepada pelaku.
Dalam memerangi perdagangan orang, penyidik Polri, Jaksa Penuntut Umum, dan Hakim sangat berperan dalam pemenuhan hak dan perlindungan korban. Menurut Muladi, dalam konsep pengaturan terhadap perlindungan korban tindak pidana, hal pertama yang harus diperhatikan yakni esensi kerugian yang diderita oleh korban. Esensi kerugian tersebut tidak hanya bersifat material atau
46
penderitaan fisik saja tetapi tetapi juga yang bersifat psikologis.38 Adapun peranan penegak hukum dalam implementasi pemenuhan hak restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang yaitu sebagai berikut:
a. Peran Penyidikan
Peran Kepolisian dalam penegakan hukum secara jelas diatur dalam UU No 2tahun 2002 yaitu Pasal 2, yang menyatakan bahwa “fungsi kepolisian adalah salahsatu fungsi pemerintahan Negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarkat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.” Berdasarkan penjelasan pasal 2, fungsi kepolisian harus memperhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan keadilan. Pasal 5 ayat 1 UU No. 2 tahun 2002 menegaskan kembali peran Kepolisian yaitu:
“Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarkat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
Berdasarkan ketentuan diatas nampak secara tegas dinyatakan bahwa peran Kepolisian Negara Republik Indonesia salah satunya adalah penegakan hukum.
Penegakan hukum merupakan salah satu tugas pokok yang harus dijalankan oleh anggota kepolisian. Sedangkan Peran Kepolisian dalam upaya perlindungan hukum terhadap korban kejahatan perdagangan manusia, salah satunya adalah melalui pencegahan dan pemberantasan kejahatan perdagangan manusia. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa perlidungan korban dapat juga dilihat sebagai perlindungan hukum untuk tidak menjadi korban kejahatan.
UU PTPPO juga mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum. UU PTTPO memberikan perhatian terhadap korban akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang
38 Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 2000, hlm. 177
47
harus diberikan oleh pelaku sebagai ganti kerugian bagi korban dan mengatur hak korban atas rehabilitasi medis, psikologi, dan sosial.47
Hak untuk mendapatkan restitusi diatur dalam Pasal 48 UU PTPPO yaitu:
1) Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
2) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa ganti kerugian atas:
a. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. penderitaan;
c. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau d. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
3) Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana perdagangan orang;
4) Pemberian restitusi sebagiamana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
5) Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
6) Pemberian restitusi dilaksanakan dalam 14 (empat belas) hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7) Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusan agar uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Hak atas restitusi juga diatur di dalam UU LPSK yang dtuangkan dalam satu pasal yaitu Pasal 7A UU LPSK yang menjelaskan:
1. Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa:
a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan,
b. Ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau,
c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
48
2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan LPSK.
3. Pengajuan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK.
4. Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya.
5. Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi kepada pengadilan untuk mendapat penetapan.
6. Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.
Dalam ketentuan ini mekanisme pengajuan restitusi dilaksankan sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan tindak pidana yang dilakukan, Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan.48 Selanjutnya ketentuan Pasal 50 ayat (4) UU PTPPO menyebutkan bahwa apabila pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Pengumpulan informasi mengenai kerugian yang diderita korban dan kesediaan pelaku tindak pidana perdagangan orang untuk mengganti kerugian, ada ditangan polisi. Oleh karenanya polisi harus membuka peluang bagi korban untuk memberikan semua informasi berkenaan dengan bukti-bukti atas kerugian yang diderita korban. Hal ini juga dengan jelas diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban bahwa dalam
49
pemeriksaan terhadap korban tindak pidana perdagangan orang harus ada pertanyaan yang diajukan dalam rangka mendapatkan keterangan mengenai substansi perkara yang diperiksa, antara lain kerugian yang diderita oleh saksi dan/atau korban sebagai bahan pengajuan restitusi atau pemberian ganti rugi.39 b. Peran Penuntut Umum
Peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) pada dasarnya sama dengan jenis tindak pidana lainnya, yaitu melaksanakan penuntutan setelah menerima berkas atau hasil penyidikan dari penyidik kepolisian. Kejaksaan menunjuk seorang jaksa untuk mempelajari dan menelitinya yang kemudian hasil penelitiannya diajukan kepada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari). Hasil penyidikan yang telah lengkap dan dapat diajukan ke pengadilan Negeri. Dalam hal ini Kajari menerbitkan surat penunjukan Penuntutan Umum. Penuntut umum membuat surat dakwaan dan setelah surat dakwaan selesai kemudian dibuatkan surat pelimpahan perkara yang ditujukan kepada Pengadilan Negeri.
Adapun faktor-faktor yang menghambat peranan jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara tindak pidana perdagangan orang (traficking) adalah:
a) Faktor aparat penegak hukum, yaitu masih kurang optimalnya pelaksanaan tugas kejaksaan disebabkan karena berkas penyidikan tindak pidana perdagangan orang (traficking) dari pihak kepolisian yang belum lengkap sehingga harus menunggu kelengkapan berkas dari pihak kepolisian.
b) Faktor Sarana dan Prasarana, yaitu belum tersedianya program jaringan komputer antar Kejaksaaan Tinggi yang berisi database tindak pidana perdagangan orang (traficking).
c) Faktor Masyarakat, yaitu adanya ketakutan atau keengganan masyarakat untuk menjadi saksi dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana perdagangan orang (traficking).
39 Republik Indonesia, Pasal 17 ayat 3 poin c Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008 tentang Pembentukan Ruang Pelayanan Khusus dan Tata Cara Pemeriksaan Saksi dan/atau Korban.
50 c. Peran Hakim
Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undangundang untuk mengadili. Mengadili merupakan serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara hukum berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak disebuah sidang pengadilan berdasarkan ketentuan perundangundangan. Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh kekuasaan-kekuasaan lain dalam memutusjkan perkara.
Apabila hakim mendapatkan pengaruh dari pihak lain dalam memutuskan perkara, maka keputusan hakim cenderung tidak adil, yang pada akhirnya akan meresaahkan masyarakat, serta wibawa hukum dan hakim akan hilang.
Penulis berpendapat bahwa Penyidik, Penuntut Umum, maupun Hakim memiliki peran penting dalam kasus hak korban restitusi dalam tindak pidana perdagangan orang. Tapi dalam hal ini, hakim tidak dapat memberikan keputusan tentang putusan yang harus diberikan kepada pelaku untuk ganti kerugian yaitu restitusi jika dalam amar putusan tidak dimasukan. Hal ini terjadi apabila korban tidak meminta untuk ganti kerugian tersebut kepada pelaku. Dalam masalah ganti kerugian terutama restitusi banyak korban yang tidak mengetahui adanya hak mereka yang berupa hak restitusi atau ganti kerugian berupa materil, ini merupakan salah satu faktor keterbatasan korban yang tidak memiliki wawasan yang luas atau tidak mengetahui dengan adanya pasal 48 UU No.21 Tahun 2007.
Terkait masalah restitusi dalam Perlindungan Saksi dan Korban, jika dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang juga diterapkan UU pelaksaannya mungkin implementasi dalam penerapan hak restitusi tersebut akan berjalan normal.
Harusnya ada sosialisasi lebih jauh untuk korban dan keluarganya mengetahui dan mengingatkan bahwa untuk menuntut kerugian yang dialami korban terhadap pelaku, yang bisa di lakukan bersamaan dengan proses pidana bahkan dimulai dari awal penyelidikan tersebut.
Dari kasus tindak pidana perdagangan orang dapat dilihat bahwa perempuan dan anak merupakan kelompok yang paling rentan menjadi korban,
51
terlebih lagi dari kasus yang terungkap mayoritas korban diperdagangkan untuk tujuan pelacuran atau bentuk ekploitasi seksual lainnya. Hal ini merupakan salah satu dari kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) dimana perempuan dan anak perlu dilindungi harga diri dan martabatnya serta dijamin hak hidupnya untuk tumbuh dan berkembang sesuai fitrah dan kodratnya. Oleh karenanya penting bagi penegak hukum untuk memberikan perhatian khusus pada saat berurusan dan berhadapan dengan korban.
B. Hasil Penelitian
1. Putusan Nomor 231/Pid.Sus/2015/PT Bandung a. Dakwaan
Bermula sekitar bulan Maret 2014 Udin Alias Hasanudin selaku sponsor mendatangi rumah saksi korban an. Kuryati Binti Jaelani, Atmi Binti Kalil Idris dan Marni Binti Kalil Idris untuk menawarkan pekerjaan di Hongkong dengan majikan orang Abu Dhabi dengan menjanjikan dibayar uang sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta rupiah) kalau mau berangkat dan menjanjikan akan menyiapkan segala keperluan keberangkatan, karena para saksi percaya terhadap sponsor Udin Alias Hasanudin yang merupakan tetangga kampung para saksi, sekitar tanggal 10 Maret 2014 saksi Kuryati Binti Jaelani, Atmi Binti Kalil Idris dan Marni Binti Kalil Idris dibawa oleh sponsor Udin Alias Hasanudin kerumah Terdakwa Nurhayati Alias Nur Binti Komar, yang beralamat Perumahan Puri Gading JL Alam Raya 1 Blok M1 NO. 7 Rt 01 Rw 012 Bekasi.
Bahwa sesampainya dirumah Terdakwa Nurhayati Alias Nur Binti Komar, saksi Kuryati Binti Jaelani, Atmi Binti Kalil Idris dan Marni Binti Kalil Idris ditampung selama satu hari, lalu saksi diperkenalkan oleh Terdakwa kepada bosnya yaitu Bungawati alias Bunga, setelah berkenalan Bungawati alias Bunga menginterview saksi Kuryati Binti Jaelani, Atmi Binti Kalil Idris dan Marni Binti Kalil Idris dengan mengatakan “kalian akan kerja di Hongkong dengan majikan orang Abu Dhabi dengan gaji $ 300/bulan tanpa potongan” sama halnya yang disampaikan oleh
52
Terdakwa Nurhayati Alias Nur Binti Komar kepada saksi korban dan saksi juga dijanjikan Bungawati alias Bunga akan mengantar langsung ke Malaysia dan terus ke Hongkong setelah penyampaian itu saksi Kuryati Binti Jaelani, Atmi Binti Kalil Idris dan Marni Binti Kalil Idris percaya dan kemudian keesokan harinya tanggal 11 Maret 2014 saksi pergi melakukan medical cek up di Klinik Prima dan keesokan harinya tanggal 12 Maret 2014 saksi Kuryati Binti Jaelani, Atmi Binti Kalil Idris dan Marni Binti Kalil Idris di berangkatkan ke Sukabumi di antar oleh pegawai Terdakwa yaitu Adi dan Yeti dalam rangka pembuatan paspor, namun karena Kantor Imigrasi sudah tutup saksi korban menginap di rumah Pa Samsu lsatu malam lalu besoknya kembali ke Kantor Imigrasi untuk pembuatan paspor, setelah masing- masing saksi mendapatkan paspor dengan nomor A. 7626147 an. Kuryati Binti Jaelani, nomor : A 7626146 an . Atmi Binti Kalil Idris dan nomor. A. 7626148 an.
Marni Binti Kalil Idris dan paspor tersebut dipegang masing-masing saksi lalu saksi diberangkatkan ke Jakarta ke rumah Terdakwa Nurhayati Alias Nur Binti Komar, setelah sampai dirumah Terdakwa lalu Terdakwa meminta masing-masing saksi menyerahkan paspor dan paspor tersebut diserahkan kepada Bungawati alias Bunga yang beralamat di Pinang Ranti.
Bahwa setelah persyaratan sudah lengkap masing-masing saksi kembali ke kampung halaman yaitu Cirebon sambil menunggu kabar panggilan ke berangkatan dari Terdakwa, berselang beberapa hari saksi mendapat kabar untuk keberangkatan.
Tepatnya tanggal 19 Maret 2014 saksi an. Kuryati binti Jaelani, Atmi binti Kalil Idris dan Marni binti Kalil Idris, diberangkatkan oleh Terdakwa Nurhayati alias Nur dengan menyuruh Pak Adi untuk pembelian tiket Pesawat Citilink dengan tujuan Jakarta-Batam, sesampainya di Batam saksi dijemput oleh suruhan Terdakwa yaitu Edy kemudian saksi dibawa ke pelabuhan Batam Center lalu naik Ferry menuju Johor Baru dan baru tiba sekitar jam 17.00 waktu Malaysia,setelah itu saksi naik bus menuju Kuala Lumpur dengan waktu perjalanan sekitar 4 jam.
Setibanya di Kuala lumpur saksi tersebut di tampung oleh Mario alias Iyad Mansyur suami dari Bungawati alias Bunga di Hotel New Wave di Serdang Sri Kembangan selama 12 hari namun karena selama 12 hari tidak ada kejelasan untuk bekerja dan
53
merasa ditelantarkan serta ditipu oleh Bungawati alias Bunga dan Terdakwa Nurhayati alias Nur maka Saksi sepakat untuk melarikan diri dan meminta perlindungan di KBRI Kuala Lumpur dan meminta dipulangkan ke Indonesia.
Bahwa dari pengiriman saksi KURYATI binti JAELANI, ATMI Binti KALIL IDRIS dan MARNI Binti KALIL IDRIS ke Kuala Lumpur dengan tujuan Hongkong Terdakwa NURHAYATI ALIAS NUR BINTI KOMAR dijanjikan akan diberikan uang sebesar Rp. 2.000.000 per orang oleh BUNGAWATI alias BUNGA.
Bahwa akibat perbuatan dari Terdakwa Nurhayati Alias Nur Binti Komar, saksi korban Kuryati binti Jaelani, Atmi binti Kalil Idris dan Marni binti Kalil Idris menderita kerugian masing-masingsebesar Rp. 15.000.000 dan atas kerugian tersebut saksi korban Kuryati binti Jaelani, Atmi binti Kalil Idris dan Marni binti Kalil Idris menuntut ganti rugi (restitusi) kepada para Terdakwa secara tanggung renteng. Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal 4 jo. Pasal 11 jo. Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
b. Tuntutan
Telah membaca Surat Tuntutan Pidana (Requisitor) Penuntut Umum tanggal 19 Mei 2015 No.Reg.Perkara: PDM-65/BKASI/02/2015 yang pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bekasi yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa NURHAYATI ALIAS NUR BINTI KOMAR bersalah melakukan tindak pidana merencanakan atau melakukan pemufakatan jahat membawa warga Negara Indonesia keluar Wilayah Negara Republik Indonesia dengan maksud untuk diekploitasi diluar wilayah Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 jo. Pasal 11 jo. Pasal 48 ayat (1) Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa NURHAYATI ALIAS NUR BINTI KOMAR dengan pidana penjara selama 5 (lima) TAHUN PENJARA dengan
54
perintah Terdakwa tetap ditahan dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan dan Denda Rp. 120.000.000.- (seratus dua puluh juta rupiah) subsidiair 6 (enam) bulan Kurungan.
3. Membayar Restitusi kepada saksi korban Kuryati binti Jaelani, Atmi binti Kalil Idris dan Marni binti Kalil Idris masing-masing sebesar Rp.15.000.000, yang dibagi secara tanggung renteng oleh para terdakwa lainnya (Hasanudin dan Bungawati berkas terpisah) dengan ketentuan apabila besarnya biaya restitusi masing-masing sebesar Rp.15.000.000,- tersebut tidak dibayar diganti dengan kurungan selama 6 (enam) bulan;
4. Menetapkan agar Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp.5.000,- (lima ribu rupiah).
c. Fakta-Fakta di Persidangan
Bahwa terdakwa bersama-sama melakukan permufakatan jahat melakukan perdagangan orang untuk dieksploitasi di luar Indonesia, sehingga dipidana selama 3 tahun dan pidana denda sejumlah Rp 120 juta subsidair pidana kurungan selama 1 bulan. Selain itu terdakwa juga dihukum untuk membayar restitusi kepada beberapa saksi korban, masing-masing sejumlah Rp 3 juta subsidair pidana kurungan 1 bulan.
Pada dasarnya terdakwa memenuhi unsur Pasal 4 UU 21/2007. Dalam pertimbangan majelis hakim, dijelaskan perihal unsur dengan maksud sebagai berikut:
Terdakwa yang telah mengurus medical check up, membuatkan passport dan mengurus keberangkatan para saksi korban ke luar wilayah negara Republik Indonesia yaitu Hongkong (namun akhirnya hanya sampai di Kuala Lumpur Malaysia) dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia karena jelas terdakwa mengetahui bahwa para saksi korban tidak dibekali keterampilan, tidak memiliki dokumen perjanian kerja, tidak diasuransikan sebagai dasar perlindungan dan tidak memiliki izin pengiriman tenaga kerja, maka unsur dengan maksud ini ini telah terpenuhi dalam perbuatan terdakwa.
d. Pertimbangan Hakim
Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan primiar yaitu melanggar Pasal 4 jo. Pasal 11 jo. Pasal 48 ayat (1) Undang-