• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP

PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA PERSETUBUHAN

A. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

Induk peraturan hukum pidana positif di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yang mempunyai nama asli yaitu Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali bersama dengan Konninklijk Berluit (Titah Raja) Nomor 33 tanggal 15 Oktober 1915, dan keduanya diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918.

Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1886. Sehingga walaupun Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie

(WvSNI) merupakan turunan dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (persamaan/penyesuaian) bagi pemberlakuan Wetboek van Strafrecht (WvS) di negara jajahannya, termasuk di negara Indonesia. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas Wilayah Indonesia.23

23

Djamali, Abdoel. 2005, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Hlm. 22

Perbedaan yang paling penting antara Wetboek van Strafrecht (WvS) dengan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) adalah adanya hukuman mati yang berlaku di Indonesia sejak tahun 1918

Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tahun 1945 dan untuk mengisi kekosongan hukum pidana yang diberlakukan di Indonesia, maka dengan dasar Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) tetap diberlakukan. Pemberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) menjadi hukum pidana ini menggunakan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana di Indonesia. Dalam Pasal VI Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 disebutkan bahwa nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht dan dapat disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan disamping itu undang-undang ini juga tidak memberlakukan kembali Peraturan-peraturan Pidana yang dikeluarkan oleh Pemerintah Jepang maupun oleh Panglima Tertinggi Balatentara Hindia Belanda.

Perubahan yang penting dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) ciptaan Hindia Belanda ini telah diadakan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946. Dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) itu, maka mulai 1 Januari 1918 berlakukan satu macam Hukum Pidana untuk semua golongan penduduk Indonesia (Unifikasi Hukum Pidana).

Perjuangan Bangsa Indonesia belum selesai pada tahun 1946 dan munculnya dualisme Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) setelah tahun tersebut. Karena setelah tahun tersebut masih berlaku dua jenis Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yakni:

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Republik Indonesia; dan

2) Wetboek van Straftrecht voor Indonesia (Staatsblad 1915 No. 732)

Tahun 1958 dikeluarkanlah Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 yang memberlakukan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 bagi seluruh wilayah Republik Indonesia. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang lahir pada tanggal 1 Januari 1918 masih diberlakukan di Indonesia karena belum diadakannya Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Hal ini berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 Jo. Pasal 192 Konstitusi RIS 1949 Jo. Pasal 142 UUDS 1950.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) terdiri atas 3 buku yang berjumlah 569 pasal. Buku Kesatu mengenai Ketentuan Umum terdapat 9 bab terdiri dari 103 pasal (Pasal 1 - Pasal 103), Buku Kedua mengenai Kejahatan terdapat 31 bab terdiri dari 385 pasal (Pasal 104 – Pasal 488), dan Buku Ketiga tentang Pelanggaran terdapat 9 bab yang terdiri dari 81 pasal (Pasal 489 – Pasal 569).

Seluruh 569 Pasal yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut, hanya terdapat 3 (tiga) pasal didalamnya yang terkait dan mengatur tentang Perlindungan Anak sebagai pelaku tindak pidana dalam bentuk pertanggungjawaban pemidanaan pelaku anak, yaitu :

» Pasal 45 KUHP

Dalam hal penuntutan pidana terhadap orang yang belum dewasa karena melakukan suatu perbuatan sebelum umur 16 (enam belas) tahun, Hakim dapat menentukan; memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun; atau memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan

kepada pemerintah tanpa pidana apapun, jika perbuatan merupakan kejahatan atau salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 489, 490, 492, 496, 497,503 – 505, 514, 517 – 519, 526, 531, 532,536, dan 540 serta belum lewat dua tahun sejak dinyatakan bersalah karena melakukan kejahatan atau salah satu pelanggaran tersebut di atas, dan putusannya telah menjadi tetap; atau menjatuhkan pidana kepada yang bersalah.

» Pasal 46 KUHP

(1) Jika Hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia dimasukkan dalam rumah pendidikan negara supaya menerima pendidikan dan pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan, atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

(2) Aturan untuk melaksanakan Ayat 1 pasal ini ditetapkan dengan undang-undang.

» Pasal 47 KUHP

(1) Jika Hakim menjatuhkan pidana, maka maksimum pidana pokok terhadap pidananya dikurangi 1/3 (satu pertiga).

(2) Jika perbuatan itu merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, maka dijatuhkan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

(3) Pidana tambahan dalam pasal 10 butir b, nomor 1 dan 3, tidak dapat diterapkan

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak mengatur batas usia seseorang dapat dikategorikan sebagai anak dan juga batas usia minimum seorang anak dapat dihukum akibat perbuatan pidana yang dilakukannya. Namun dalam

Pasal 45 KUHP tersebut diatas dapat dilihat dengan jelas bahwa yang dikatakan orang yang belum dewasa dan dapat dihukum adalah seseorang yang berusia belum 16 (enam belas) tahun. Namun batas usia anak sebagai korban kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) adalah seseorang yang belum berusia 15 (lima belas) tahun.

Pasal-pasal tersebut di atas bukanlah aturan alasan penghapusan pemidanaan terhadap pelaku anak di bawah umur 16 (enam belas) tahun, melainkan hanya mengatur mengenai aturan pemidanaan yang dijatuhkan kepada anak yang berumur di bawah 16 (enam belas) tahun sebagai alasan yang dapat meringankan hukuman pidana anak. Anak yang belum berusia 16 (enam belas) tahun, baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, apabila terbukti melakukan suatu perbuatan pidana, baik berupa kejahatan maupun pelanggaran, maka hakim yang mengadili perkara tersebut diberikan 3 (tiga) alternatif dalam memutuskan suatu perkara, yaitu sebagai berikut :

a. Mengembalikan anak kepada orang tua, wali, atau pemeliharanya, tanpa dikenakan pidana apapun;

b. Menyerahkan anak kepada pemerintah tanpa pidana apapun jika melakukan tindak pidana tertentu; dan

c. Menjatuhkan pidana kepada anak.

Pasal 45, 46, dan 47 KUHP memberikan kewenangan kepada hakim untuk menimbang tentang kecakapan rohani pelaku anak sebelum memberikan hukuman yang pantas sesuai dengan jiwa pelaku anak tersebut. Apabila hakim menganggap anak memiliki akal dan telah mampu membeda-bedakan mana

perbuatan baik dan perbuatan buruk, hakim dapat menjatuhkan pidana kepada anak yang telah bersalah melakukan kejahatan atau pelanggaran. Pidana yang dapat diberikan oleh hakim kepada pelaku anak haruslah tidak boleh lebih dari 2/3 (dua per tiga) dari maksimum hukuman yang diancamkan.

Hakim dapat memutuskan agar anak dihukum dengan cara diserahkan kepada negara. Anak dapat diserahkan kepada pemerintah dengan masuk ke dalam rumah pendidikan anak-anak nakal, departemen sosial, lembaga amal, yayasan, atau badan hukum yang berdomisili di wilayah Indonesia untuk menerima pendidikan, pembinaan atau latihan kerja. Tujuannya adalah untuk memberikan bekal kepada anak dengan memberikan keterampilan dengan harapan anak mampu hidup mandiri. Hakim dalam penetapannya menentukan dimana anak ditempatkan dalam lembaga tempat pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja itu dilaksanakan. Pendidikan dan latihan kerja yang diberikan tersebut hanya berlangsung sampai anak mencapai umur 18 (delapan belas) tahun.

Anak juga dapat dijatuhi ancaman hukuman pidana oleh hakim. Pidana pokok yang diberikan kepada anak terdapat di dalam Pasal 10 KUHP, kecuali butir b nomor 1 dan 3, yaitu :

- Pasal 10 KUHP Pidana terdiri atas :

a. Pidana pokok : 1. Pidana mati. 2. Pidana penjara. 3. Pidana kurungan. 4. Pidana denda. 5. Pidana tutupan. b. Pidana tambahan :

Pidana pokok yang dapat diberikan kepada anak di atas harus dikurangi sepertiga dari maksimum ancaman pidana pokok yang diberikan kepada orang dewasa. Apabila hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup ataupun hukuman mati terhadap anak, maka ancaman hukuman yang dapat diberikan kepada anak menjadi hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Bentuk perlindungan hukum terhadap pelaku anak yang diatur di dalam ketiga pasal di KUHP tersebut hanya terdapat pada pemberian sanksi pidana terhadap anak yang berbeda dengan pemidanaan terhadap orang dewasa. Namun pemidanaan terhadap anak dan pemidanaan terhadap orang dewasa tersebut sama-sama berorientasi kepada ukuran kuantitatif, sehingga sanksi yang diberikan kepada pelaku anak didasarkan kepada lama atau pendeknya waktu. Padahal secara psikologis terdapat perbedaan motif terhadap anak-anak dan orang dewasa dalam melakukan tindak pidana, sehingga sangat tidak mencerminkan perlindungan yang baik bagi anak.

Ketiga pasal tersebut hanya mengatur sanksi pemidanaan terhadap anak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran, namun proses penyidikan terhadap anak tidak diatur sama sekali. Proses peradilan anak sama dengan proses peradilan orang dewasa yang diatur di dalam Hukum Acara Pidana. Berarti anak dituntut dan diadili sama seperti dengan orang dewasa. Padahal untuk melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak, diperlukan dukungan baik yang menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih mantap dan memadai. Kejahatan yang dilakukan oleh seorang anak seharusnya diselesaikan dengan proses peradilan pidana yang disesuaikan dengan kondisi

psikologis anak. Dengan demikian hal ini menunjukkan adanya perkembangan dalam perlindungan anak. Oleh karena itu ketentuan mengenai penyelenggaraan pengadilan anak perlu penjabaran dan pengaturan lebih lanjut dalam suatu undang-undang khusus tentang anak.

Tahun 1959 Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1959 yang mengatur tentang pemeriksaan perkara anak dengan pintu tertutup. Kemudian pada tahun 1971 Mahkamah Agung mengeluarkan instruksi dengan Nomor M.A/Pem./048/1971 tanggal 4 Januari yang menginstruksikan bahwa “Masalah anak wajib disalurkan melalui peradilan yang menjamin bahwa pemeriksaan dan putusan dilakukan demi kesejahteraan anak dan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksanakannya keadilan, sehingga disarankan ditunjuk Hakim Khusus yang mempunyai pengetahuan, perhatian, dan dedikasi terhadap anak.”

Tahun 1981 dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana pada Pasal 153 Ayat (3) dan (4) yang pada pokoknya menyatakan bahwa sidang anak dilakukan dengan pintu tertutup dan bila tidak demikian maka putusan akan batal demi hukum.

Tahun 1997 Menteri Kehakiman mengeluarkan peraturan tentang Tata Tertib Persidangan. Dan Pada tahun 1997 akhirnya disahkannya Rancangan Undang-undang tentang Pengadilan Anak menjadi Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Bagian Penutup Bab VIII Pasal 67 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 berisikan :

Pada saat mulai berlakunya undang-undang ini, maka Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.

Pasal tersebut secara eksplisit membatalkan Pasal 45, 46, dan 47 KUHP sehingga mengakhiri polemik tentang peradilan anak di Indonesia. Hal ini dalam ilmu hukum dikenal sebagai lex specialis derogat legi generalis yang berarti aturan hukum yang lebih khusus mengesampingkan aturan hukum yang lebih umum, sehingga pengaturan hukum tentang anak sebagai pelaku pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak berlaku dan yang berlaku hanya yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak saja.

B. UNDANG-UNDANG NO. 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN

ANAK

Tanggal 20 November 1989 lahirnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-Hak Anak. Konvensi Hak Anak (KHA) Perserikatan Bangsa-Bangsa 1989 merupakan perjanjian yang mengikat secara yuridis dan politis di antara berbagai Negara yang mengatur hal-hal yang berhubungan dengan hak anak. Hak anak yang dimaksud adalah hak asasi manusia untuk anak.

Indonesia telah meratifikasi konvensi tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 pada tanggal 25 Agustus 1990. Konvensi itu memuat kewajiban negara-negara yang meratifikasinya dengan menyerapnya ke dalam hukum nasional untuk menjamin terlaksana hak-hak anak. Hal ini sesuai dengan Pasal 19 Konvensi Hak Anak yaitu :

1) Negara peserta akan mengambil semua langkah-langkah legislatif, administratif, sosial, dan pendidikan untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seksual, sementara berada dalam asuhan orang tua, wali, atau orang lain yang memelihara anak.

2) Langkah-langkah perlindungan seperti itu termasuk prosedur-prosedur yang efektif dari diadakannya program-program sosial untuk memberi dukungan yang diperlukan kepada anak dan kepada mereka yang memelihara anak, dan bentuk-bentuk lain dari pencegahan dan tidak lanjut dari kejadian perlakuan salah terhadap anak-anak yang diuraikan terdahulu, dan untuk keterlibatan pengadilan.

Pemerintah Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tersebut, lalu menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi Atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia, terakhir adalah dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Semua instrumen hukum tersebut dimaksudkan untuk memberikan jaminan perlindungan atas hak-hak anak secara lebih kuat ketika berhadapan dengan hukum dan dalam menjalani proses peradilan.

Sejarah lahirnya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak berawal dari keseriusan pemerintah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) tahun 1990. Rancangan Undang-undang Perlindungan Hak Anak ini telah diusulkan sejak tahun 1998. Namun, ketika itu kondisi perpolitikan dalam negeri belum stabil sehingga RUU Perlindungan Anak dibahas Pemerintah

dan DPR pertengahan tahun 2001 dan pada tanggal 22 Oktober 2002 disahkannya RUU Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Indonesia yang mana pasal-pasal serta ayat yang memenuhi undang-undang ini terbaca bahwa bangsa ini bertekad untuk melindungi anak-anak Indonesia.

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah dengan tegas dan jelas mengatur hak-hak anak. Menurut Undang-undang Perlindungan Anak, yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih di dalam kandungan. Sedangkan perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.24

Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 terdiri dari 93 Pasal dan 14 Bab yang berisikan tentang :

1. Bagian 1 tentang Pengertian Anak;

2. Bagian 2 tentang Perlindungan Anak (Definisis Anak; Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dan Pemerintah; Kewajiban dan Tanggung Jawab Orangtua; Kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga);

3. Bagian 3 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak (Asas Perlindungan, Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Agama;

24

Ningsih, Suria. Mengenal Hukum Ketenagakerjaan, Medan : USU Press 2013, Hlm. 106

Penyelenggaraan Perlindungan Anak di Bidang Kesehatan; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Pendidikan; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Sosial; Penyelenggaraan Perlindungan di Bidang Perlindungan Khusus);

4. Bagian 4 tentang Hak dan Kewajiban Anak (Hak Anak dan Kewajiban Anak);

5. Bagian 5 tentang Kedudukan Anak (Definisi Kedudukan Anak; Identitas Anak Dalam Akta Kelahiran; Kedudukan Anak dari Perkawinan Campuran);

6. Bagian 6 tentang Bentuk Alternatif Orangtua Pengganti (Orangtua Asuh dan Pengasuhan, Pengangkatan Anak);

7. Bagian 7 tentang Peran masyarakat dalam Perlindungan Anak;

8. Bagian 8 tentang Komisi Perlindungan Anak Indonesia (Definisi KPAI; Keanggotaan KPAI; Tugas KPAI); dan

9. Bagian 9 tentang Ketentuan Pidana di dalam Undang-undang Perlindungan Anak.

Pasal-pasal serta ayat-ayat yang terdapat di dalam Undang-undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 melarang sanksi hukuman fisik bagi anak-anak. Hal ini jelas di atur dalam Artikel 37 Konvensi Hak Anak PBB yang mengharuskan negara menjamin bahwa :

a) Tak seorang anakpun akan mengalami siksaan, atau kekejaman-kekejaman lainnya, perlakuan atau hukuman yang tidak manusiawi atau yang menurunkan martabat. Baik hukuman mati maupun hukuman seumur hidup tanpa kemungkinan dibebaskan tidak akan dikenakan untuk

kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh orang yang berusia di bawah delapan belas tahun;

b) Tidak seorang anakpun akan kehilangan kebebasannya secara tidak sah dan sewenang-wenang. Penangkapan, penahanan, atau penghukuman anak akan disesuaikan dengan undang-undang dan akan digunakan hanya sebagai langkah terakhir dan untuk masa yang paling singkat dan layak;

c) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan diperlakuan secara manusiawi dan dengan menghormati martabat seorang manusia, dan dengan cara yang memberi perhatian kepada kebutuhan-kebutuhan orang seusianya. Secara khusus, setiap anak yang dirampas kebebasannya akan dipisahkan dari orang dewasa kecuali bila tidak melakukannya dianggap sebagai kepentingan yang terbaik dari anak yang bersangkutan dan anak akan mempunyai hak untuk terus mengadakan hubungan dengan keluarganya melalui surat menyurat atau kunjungan, kecuali dalam keadaan luar biasa;

d) Setiap anak yang dirampas kebebasannya akan mempunyai hak untuk segera mendapat bantuan hukum dan bantuan-bantuan lain yang layak, dan mempunyai hak untuk menantang keabsahan perampasan kebebasan itu di depan pengadilan atau penguasa lain yang berwenang, bebas dan tidak memihak, dan berhak atas keputusan yang cepat mengenai tindakan tersebut.

Hukuman fisik bagi anak merupakan pemangkasan kebebasan hak anak dalam memperoleh hak hidup sebagai remaja yang berpotensi untuk tumbuh, berkembang, dan berpotensi secara positif sesuai apa yang digarisbawahi agama. Selain itu perlakuan kasar kepada anak dapat menyebabkan cedera bagi anak. Akibatnya dapat menyebabkan anak cacat bahkan kematian. Disamping itu akan mengganggu sikap emosional anak yang beresiko membuat anak menjadi depresi, cemas, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan berbagai permasalahan.

Tujuan dari Perlindungan Anak yang terdapat di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, berpartisipasi

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

Anak yang terlibat dalam suatu permasalahan yang berhak diajukan ke Pengadilan Anak haruslah berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan anak yang berhadapan dengan hukum ini memiliki hak-hak yang diatur di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak-hak tersebut adalah :

1. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.25

2. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.26

3. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.27

4. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.28

5. Setiap anak berhak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.29

25

Pasal 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

26

Pasal 5 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

27

Pasal 10 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002tentang Perlindungan Anak

28

6. Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.30

7. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;

b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan

c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.31

8. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.32

9. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapat bantuan hukum dan bantuan lainnya.33

10.Pemerintah dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya

29

Pasal 16 Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

30

Pasal 16 Ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

31

Pasal 17 Ayat (1) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

32

Pasal 17 Ayat (2) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

33

(napza), anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran.34

11.Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 meliputi anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.35

12.Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dilaksanakan melalui :

a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak;

b. Penyediaan petugas pembimbing khusus pendamping khusus anak sejak dini;

c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus;

d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi

Dokumen terkait