• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Pendiri bangsa Indonesia pada dasarnya menyadari bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah, yang mana masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam konteks ini maka para pendiri bangsa merumuskannya dalam bentuk Pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal tersebut disebutkan, “Pembentukan Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undnag-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dalam upaya melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, maka untuk pertama kali Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 dan berlaku di Indonesia selama 3 (tiga) tahun. Jadi sebelum mengatur yang lain, pemerintah lebih dulu mengeluarkan tentang bagaimana mengaplikasi ketentuan Pasal 18 tersebut. Adapun isi dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ini adalah:

Pasal 1 : Komite Nasional Daerah diadakan kecuali di daerah Surakarta dan Yogyakarta, di keresidenan, di kota berotonomi, Kabupaten dan lain-lain daerah yang dianggap perlu oleh Departemen Dalam Negeri

Pasal 2 : Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah, yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Daerah yang lebih luas Pasal 3 : Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang, sebanyak-

banyaknya 5 (lima) orang sebagai badan eksekutif yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari dalam daerah itu

Pasal 4 : Ketua Komite Nasional Daerah lama harus diangkat sebagai Wakil Ketua badan yang dimaksud dalam Pasal 2 dan 3

Pasal 5 : Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh Pemerintah Daerah

Pasal 6 : Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan dalam daerah-daerah harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari

Tentunya Undang-undang ini tidak sempurna dan tidak akan memberikan kepuasan sepenuhnya, tetapi apresiasi yang kita berikan adalah dimana pemerintah tampak segera melaksanakan politik desentralisasi dan memberikan hak-hak otonomi

kepada daerah-daerah disamping tetap menjalankan politik dekonsentrasi. Kemudian dalam perkembangan pertumbuhan pemerintahan daerah setelah keluarnya undang- undang ini yang berjalan begitu cepat dan mendapat tekanan dari pihak Pemerintah Belanda yang ingin menjajah Indonesia kembali, menyebabkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 ini hampir tidak dilaksanakan dalam prakteknya.

2. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948

Menyadari akan kekurangan yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, pemerintah bersama Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BN-KNIP) berupaya melahirkan Undang-undang otonomi daerah yang benar-benar didasarkan pada kedaulatan rakyat. Dalam rangka demikian itu kemudian lahirlah Undang-undang Nomor 22 Tahun1948 tentang Pemerintahan Daerah. Upaya untuk memperbaiki kekurangan tersebut dan agar sesuai dengan harapan rakyat, tampak terlihat dalam Penjelasan Umum dari Undang-undang ini, yaitu: “Baik Pemerintah maupun Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat merasa akan pentingnya untuk dengan segera memperbaiki pemerintah daerah yang dapat memenuhi harapan rakyat, ialah pemerintah daerah yang kolegial berdasarkan kekuasaannya”.18

Satu hal yang prinsip dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 ini adalah memberikan hak otonomi yang seluas-luasnya kepada badan-badan pemerintah daerah yang tersusun secara demokratis dan terpimpin guna mewujudkan

18

. E. Koswara, Otonomi Daerah Untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat, (Jakarta : Yayasan Pariba, 2001) hlm 13

penyelenggaraan pemerintahan yang efektif dan pemerintah daerah dapat mendukung partisipasi masyarakat sebagai elemen penting dalam proses pengambilan keputusan.

Dalam perkembangannya, ada yang menganggap undang-undang ini menganut sistem otonomi materil, yaitu pembagian tugas antara pusat dan daerah dirinci secara tegas. Artinya rumah tangga daerah hanya meliputi tugas-tugas yang ditentukan satu persatu oleh Undang-undang pembentukannya. Di sisi lain ada yang berpendapat bahwa undang-undang ini menganut sistem otonomi formil, yaitu tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah otonom. Kalaupun ada pembagian tugas antara keduanya, itupun dilakukan atas pertimbangan rasional dari segi praktisnya. Artinya pembagian tugas itu tidak disebabkan oleh perbedaan sifat materi yang diatur melainkan karena keyakinan bahwa kepentingan daerah dapat lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan oleh daerah itu sendiri dari pada pusat.19 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 ini berlaku di Indonesia selama kurang lebih 9 (sembilan) tahun.

3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

Pada saat Indonesia kembali menjadi negara kesatuan dan berdasarkan Undang-undang Dasar Sementara 1950, pemerintah mengeluarkan Undang-undang baru tentang pemerintahan daerah, yaitu Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957

19

Nurul Aini, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Demkkratisasi Pemerintahan Daerah

tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Adapun dasar pertimbangan untuk mengeluarkan undang-undang ini adalah sebagai berikut:20

1. bahwa berhubung dengan perkembangan ketatanegaraan maka Undang-undang tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri perlu diperbaharui sesuai dengan bentuk negara kesatuan 2. bahwa pembaruan itu perlu dilakukan dalam suatu undang-undang yang berlaku

untuk seluruh Indonesia.

Undang-undang ini secara garis besar mengandung tiga prinsip dasar desentralisasi, yaitu:21

a. Di daerah-daerah (daerah besar dan kecil), hanya akan ada satu bentuk susunan pemerintahan, yaitu pemerintahan daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (daerah otonom)

b. Daerah-daerah dibentuk menurut susunan derajat dari atas ke bawah sebanyak- banyaknya tiga tingkat.

c. Kepada daerah-daerah akan diberikan hak otonom yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerahnya dengan menganut sistem otonomi riil

Ketika politik berubah, di mana Indonesia tidak lagi menganut Demokrasi Parlementer tetapi menerapkan Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dengan kembali berlakunya UUD 1945, otonomi daerah mengalami

20

C.S.T Kansil, Pemerintah Daerah di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm 31

21

kemunduran. Mengapa hal ini sampai terjadi, karena pemerintah mengambil tindakan drastis yaitu dengan merubah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 dan menggantinya dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959 dan kemudian disempurnakan melalui Penpres Nomor 5 Tahun 1960.

Dalam Penpres Nomor 6 Tahun 1959 menetapkan prinsip-prinsip pokok, yaitu:22

a. Penyelenggaraan tugas di bidang pemerintahan umum pusat di daerah dan tugas di bidang ekonomi daerah diletakkan pada satu tangan yaitu kepala daerah. b. Kedudukan kepala daerah tidak lagi hanya sebagai alat daerah tetapi sekaligus

juga sebagai wakil pemerintah pusat di daerah.

c. Dalam kedudukan seperti ini kepala daerah adalah sebagai pegawai negara tidak lagi bertanggungjawab kepada DPRD melainkan kepada Presiden.

d. Dalam menjalankan kekuasaan eksekutif kepala daerah tidak lagi bersifat kolegial melainkan bersifat tunggal.

e. Kepala daerah mempunyai kekuasaan untuk menangguhkan keputusan pemerintah daerah bawahannya.

f. Menurut Penpres Nomor 5 Tahun 1960, kepala daerah karena jabatannya adalah Ketua DPRD dan bukan anggota.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, menurut beberapa orang dianggap menggunakan perpaduan antara sistem otonomi materil dan formil atau kemudian dikenal dengan sistem rumah tangga yang riil, yaitu otonomi yang didasarkan pada

22

keadaan dan faktor-faktor yang nyata, sehingga tercapai harmoni antara tugas dengan kemampuan dan kekuatan baik daerah itu sendiri maupun dengan pemerintah pusat. Sistem yang sama, yaitu otonomi riil yang seluas-luasnya juga ditemukan dalam Penpres Nomor 6 tahun 1959.23 Ketentuan Undang-undang ini berlaku di Indonesia selama 2 (dua) tahun.

4. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada tahun 1965, pemerintah baru mengeluarkan Undang-undang sebagai pengganti Penpres Nomor 6 Tahun 1959, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. Undang-undang ini mencoba merangkum pokok-pokok pikiran cita-cita desentralisasi dari perundang-undangan sebelumnya. Dalam penjelasan umumnya disebutkan bahwa pemerintah akan terus dan konsekuen menjalankan politik desentralisasi yang kelak akan menuju kearah tercapainya desentralisasi teritorial riil dan seluas-luasnya dalam tangan pemerintah daerah.

Sejalan dengan pembentukan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, dibenntuk pula Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang desa praja sebagai bentuk peralihan untuk mempercepat terwujudanya Daerah Tingkat III di seluruh tanah air. Namun sayang Undang-undang ini tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan dan Undang-undang ini hanya berjalan beberapa bulan di Indonesia.

23

5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974

Pergantian rezim dari Demokrasi Terpimpin ke Rezim Orde Baru, kebijakan otonomi daerah juga mengalami perubahan. Cita-cita untuk mewujudkan politk desentralisasi menjadi terhambat. Melalui kebijakan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 selain menerapkan asas desentralisasi, pemerintah pusat masih memiliki wewenang dalam mengatur urusan-urusan yang dikelolanya di daerah lewat asas dekonsentrasi. Dalam praktek kebijakan yang dilakukan lebih mencerminkan pelimpahan wewenang ketimbang penyerahan wewenang.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 lebih memfokuskan pada penyerahan tanggungjawab dan kewajiban daerah atas bidang-bidang pemerintahan tertentu, sementara kewenangannya masih terletak pada pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya. Dengan perkataan lain semangat yang terkandung dalam Undang- undang ini sebenarnya bukanlah desentralisasi atau otonomi yang luas, akan tetapi justru dekonsentrasi atau sentralisasi kewenangan pada pemerintah pusat atau pusatnya daerah (propinsi)

Meskipun dalam Undang-undang menyebutkan bahwa pemerintah mencanangkan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab, namun dalam operasional prinsip tersebut menimbulkan perubahan, yaitu dari desentralisasi menjadi dekonsentrasi. Hal ini berdampak daerah tidak memiliki ruang gerak dalam penetapan kebijakan, perencanaan dan pelaksanaan yang bertalian dengan urusan

yang diembannya. Kenyataan lain adalah terbatasnya wewenang daerah dalam bidang keuangan. Sistem yang terpusat juga dijumpai dalam bidang kepegawaian.

Kebijakan desentralisasi pada masa Orde Baru dalam praktek cenderung ke bandul sentralisasi. Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa hingga terjadi seperti itu:

1. sejak awal pemerintah orde baru dalam menciptakan otonomi daerah untuk menciptakan keamanan, ketertiban, ketenangan, persatuan dan stabilitas.

2. pemerintah orde baru menganut formula setengah resmi dalam strategi pembangunan. Dalam strategi ini pada para ahli ekonomi berfungsi sebagai pembuat kebijakan, militer sebagai stabilitator, dan birokrasi sipil sebagai pelaku pelaksana.

3. pemerintah ingin selalu memusatkan sumber daya yang tetap langka untuk keperluan pembangunan, sehingga distribusi dan penggunaannya memenuhi kriteria keadilan dan efisiensi.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 menganut pemahaman otonomi daerah lebih sebagai kewajiban daerah untuk melaksanakan pengaturan dan pengurusan urusan pemerintahan yang diserahkan oleh pemerintah pusat atau daerah tingkat di atasnya, namun kurang memberi fokus pada keleluasaan dan kemandirian daerah otonom untuk menyelenggarakan urusan rumah tangga. Apapaun yang akan dilakukan oleh daerah tidak lepas dari kendali dan intervensi pemerintah pusat atau daerah tingkat atasnya.

Prinsip penggunaan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dituangkan dalam undang-undang ini, dan berlaku di Indonesia selama kurang lebih 25 (dua puluh lima) tahun. Dalam penjelasan umum angka 1 huruf e dinyatakan dengan tegas bahwa prinsip yang dipakai bukan lagi otonomi yang seluas-luasnya, tetapi otonomi yang nyata dan bertanggungjawab. Menururt Undang-undang ini, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri atau disebut sebagai penyelenggara “self government”. Adapun penyelenggaraan pemerintah di daerah didasarkan pada 5 prinsip, yaitu:24

a. Pelaksanaan pemberian otonomi kepada daerah harus menunjang perjuangan rakyat, yaitu memperkokoh negara kesatuan dan mempertinggi tingkat kesejahteraan rakyat indonesia seluruhnya

b. Merupakan otonomi yang nyata dan bertanggungjawab

c. Asas desentralisasi dilaksanakan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi dan memberikan kemungkinan juga bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan

d. Mengutamakan aspek keserasian dan pendemokrasian

e. Untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat untuk meningkatkan pembinaan dan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dari uraian 5 prinsip di atas, kelihatan bahwa pelaksanaan otonomi daerah masih membatasi kewenangan daerah oleh pusat dengan penerapan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

24

Ketentuan tentang pembentukan daerah dalam Undang-undang ini diatur dalam Pasal 3, dinyatakan bahwa daerah dibentuk dan disusun atas Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II, dan perkembangannya didasarkan pada kondisi politik,ekonomi, sosial-budaya serta pertahanan dan keamanan nasional. Dalam Pasal 4 disebutkan daerah dibentuk dengan memperhatiakn syarat-syarat kemampuan ekonomi, jumlah penduduk,luas daerah, pertahanan dan keamanan nasional, dan syarat-syarat lain yang memungkinkan daerah melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik, dan kesatuan Bangsa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan bertanggungjawab.

6. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999

Era reformasi merupakan titik tolak perubahan kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Tampaknya reformasi memberikan hikmah yang sangat besar dan nyata kepada daerah-daerah untuk menikmati otonomi daerah yang sesungguhnya. Apabila sebelumnya di era orde baru, daerah-daerah begitu terkekang tidak memiliki kewenangan apa pun dalam melakukan pembangunan daerah, kini di era reformasi melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, daerah memiliki kebebasan dan berprakarsa untuk mengatur daerahnya sendiri.

Lahirnya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah memang tidak begitu saja datang dari atas. Tentu membutuhkan

perjuangan yang lama. Kedua Undang-undang tersebut lahir adalah karena daerah menuntut kebebasan dan zaman demokratisasi, adalah sebagai solusi pusat untuk mengatasi disintegrasi yang melanda Indonesia. Undang-undang tersebut meniupkan angin segar pada daerah, karena undang-undang ini menyebutkan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan antara lain untuk lebih menekankan prinsip demokrasi, dan meningkatkan peran serta masyarakat.

Adanya kebijakan tersebut diharapkan tuntutan daerah untuk lepas dari Indonesia tidak akan terjadi. Begitu juga mengapa titik beratnya berada pada kabupaten dan kota tidak pada propinsi, karena ketika daerah diberikan otonomi yang seluas-luasnya maka tidak akan terjadi gerakan-gerakan separatis pula. Dengan demikian pemerintah tampak merestui dan menyetujui pemekaran-pemekaran propinsi atau kabupaten dan kota semuanya dalam konteks gerakan separatis.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lebih menitik beratkan pada kemampuan, keleluasaan, dan kemandirian daerah otonom untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam undang-undang ini, penyerahan kewenangan pemerintahan itu berarti adalah penyerahan keseluruhan aspek kemampuan administratif dan politis yang dibutuhkan oleh daerah otonom untuk menyelenggarakan pengaturan dan pengurusan kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat dengan prakarsa sendiri.

Hal ini mengandung pemahaman adanya pemberdayaan kemampuan daerah untuk mandiri dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dengan adanya

keleluasaan untuk mengurus dan mengatur dan dengan kreativitas daerah otonom yang bersangkutan. Pemerintah dengan demikian akan lebih bertindak sebagai fasilitator, penentu kebijakan makro nasional, pemberi pedoman dan pembinaan, serta pengendalian yang lebih bersifat represif tanpa ikut campur dalam mengelola kewenangan yang sudah diserahkan.

Terlepas dari alasan yang sesungguhnya dibalik lahirnya Undang-undang tersebut, yang jelas kebijakan otonomi daerah pada era reformasi sungguh mengalami kemajuan, ada beberapa ciri yang menonjol dari Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ini, yaitu:25

a. Demokrasi dengan demokratisasi. Ciri ini menyangkut dua hal, yaitu mengenai rekruitmen pejabat politik di daerah dan menyangkut proses legislasi di daerah. Dalam hal ini rekruitmen pejabat politik di daerah menyerahkan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat melalui DPRD dan tidak ada lagi campur tangan pemerintah pusat. Sedangkan mengenai proses legislasi dan regulasi di daerah tidak lagi harus disahkan oleh pemerintah pusat.

b. Mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Titik berat otonomi ada pada daerah kabupaten atau kota. Ini dilakukan dalam rangka lebih mendekatkan pelayanan kepada masyarakat.

c. Sistem otonomi luas dan nyata, dengan sistem ini pemerintah daerah berwenang melakukan apa saja yang menyangkut penyelenggaraan pemerintahan kecuali di

25

bidang politik luar negeri, mometer dan fiskal, pertahanan dan keamanan, peradilan dan agama.

d. Tidak menggunakan sistem otonomi bertingkat, dalam Undang-undang ini tidak mengenal daerah tingkat I dan daerah tingkat II serta juga tidak ada hierarki antara propinsi dengan kabupaten dan kota.

e. Penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara.

Dengan demikian Undang-undang Nomor 22 Tahun1999 menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan dan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. 26 Berdasarkan hal tersebut pemberian otonomi kepada daerah pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta memelihara hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Salah satu kekuatan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut adalah adanya keleluasaan daerah untuk berprakarsa sendiri secara mandiri dalam mengatur dan mengurus kepentingannya, pertama daerah tidak lagi harus menunggu petunjuk pelaksana,petunjuk teknis atau instruksi pusat sebagaimana yang terjadi

26

Affan Gaffar, Kebijakan Otonomi daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan

Pemerintahan di Masa Mendatang. Dalam wacana Jurnal Ilmu Sosial Transformatif, Nomor V Tahun

pada masa orde baru. Kedua dimungkinkan pemberdayaan DPRD dalam relasi kekuasaan dengan Kepala Daerah. Hal ini untuk pengawasan politik dan pembatasan kekuasaan monopolitik yang dipegang Kepala Daerah. Ketiga adanya pera serta putera daerah untuk membangun daerahnya masing-masing.

Ketentuan tentang pembentukan daerah dalam undang-undang ini diatur pada Pasal 6, dinyatakan bahwa daerah dapat digabungkan, dimekarkan atau dihapuskan dengan memperhatikan kemampuan ekonomi, potensi dan sosial budaya daerah masing-masing.

7. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

Setelah dua tahun masa transisi (1999-2000), dan lebih dua tahun masa implementasi, terdapat keinginan politik untuk melakukan penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, mengingat dari berbagai dampak, baik positif maupun negatif yang ditimbulkan dalam pelaksanaannya. Namun semangat penyempurnaan tersebut tidak ditujukan untuk melakukan sentralisasi atas apa yang didesentralisasikan, akan tetapi lebih ditujukan untuk mengurangi dampak negatif dan menambah manfaat positif dari otonomi daerah sebagai salah satu agenda utama reformasi.

Pemberlakuan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada dasarnya merupakan perwujudan komitmen pemerintah untuk melaksanakan reformasi sistem administrasi dan pemerintahan Negara

Kesatuan Republik Indonesia pasca orde baru. Dalam prakteknya kinerja implementasi undang-undang tersebut cenderung diwarnai oleh berbagai kontroversi, kerancuan persepsi, ketidakpastian hukum dan sebagainya.

Beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan berkaitan dengan kecenderungan tersebut di atas adalah:27

a. konsepsi dan redaksi pasal-pasal dalam undang-undang yang multi tafsir dan kontradiksi antara satu dengan yang lain

b. masih belum lengkapnya peraturan pelaksana perundang-undangan otonomi daerah

c. belum optimalnya penyesuaian peraturan perundang-undangan sektoral serta masih adanya kecenderungan konflik kepentingan diantara kelembagaan sektoral pemerintah pusat

d. masih belum terselesaikannya konflik dan tumpang tindih kewenangan antara pemerintah pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota

e. berkembangnya disharmoni hubungan antara pusat dengan daerah serta antara provinsi dengan kabupaten/kota, bahkan pernah memuncak ke arah ancaman pemisahan diri beberapa daerah dari tatanan NKRI

f. berkembangnya disharmoni antara DPRD dengan Kepala Daerah dan Perangkat Daerah

27

. Anwar Suprijadi, Sambutan dalam Lokakarya Nasional Implementasi dan Revitalisasi

Kebijakan Desentralisasi Pemerintahan Daerahdalam Desentralisasi Pemerintahan Daerah,

g. berkembangnya kecenderungan inefisiensi penyelenggaraan otonomi daerah akibat proliferasi kelembagaan perangkat daerah

h. kurang terkendalinya penerbitan produk hukum daerah baik peraturan daerah maupun keputusan kepala daerah yang cenderung duplikatif serta bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi

i. kurang terkoordinirnya pembinaan dan fasilitas yang dilakukan oleh pemerintah pusat.

Untuk menyikapi permasalahan yang timbul berlangsung dalam implementasi Undang-undang tersebut, pada tahun 2000 MPR telah mengeluarkan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Salah satu rekomendasi MPR tersebut dalam butir 7 adalah: “sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi, dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintis awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999. revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945, termasuk pemberian otonomi bertingkat terhadap provinsi, kabupaten/kota dan sebagainya”.

Penyempurnaan terhadap Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lebih ditujukan untuk menciptakan kepastian hukum dengan cara menghilangkan tumpang tindih yang timbul, baik dalam tataran implementasi, maupun dalam tataran regulatif.

Adapun landasan hukum yang menjadi dasar penyempurnaan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah:28

a. TAP MPR Nomor XV/ MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia

b. TAP MPR Nomor IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun 1999-2004, dalam ketetapan MPR tersebut ada ketentuan yang tetap harus diperhatikan adalah tentang konsep otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Hal ini berarti bahwa konsep otonomi daerah seperti yang ada pada Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tetap berlanjut

c. TAP MPR Nomor III/ MPR/ 2000 tentang Sumber-sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, yang isinya antara lain:

Dokumen terkait