• Tidak ada hasil yang ditemukan

Problema Yuridis Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Problema Yuridis Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

WITA SISWANI

067005044/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

WITA SISWANI

067005044/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)

Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2. Dr. Faisal Akbar SH, M.Hum 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS

(5)
(6)

ABSTRAK

Terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2008, maka telah dilimpahkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan bertanggungjawab. Dalam Pasal 4 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk melakukan pembentukan baik berupa pemekaran atau penggabungan, dengan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. UU No 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai merupakan implementasi dari otonomi daerah. Dampak negatif dari pemekaran daerah Kabupaten Serdang Bedagai adalah: munculnya sengketa batas wilayah, sengketa elite dalam memperebutkan asset, penyerahan pegawai negeri sipil.

Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan pendekatan histories, menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu: penelitian penelitian lapangan (field research), dan penelitian kepustakaan (library research), dengan menghimpun data sekunder dari peraturan-peraturan.

Dari penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut:

1). Permasalahan batas wilayah disebabkan oleh Warga yang mengatasnamakan Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur wilayah Serdang Hulu sembilan desa di Kecamatan Bangun purba menolak bergabung dengan Serdang Bedagai karena tidak sesuai aspirasi masyarakat, jarak yang jauh serta isu terpisahnya dari kerabat adatnya. 2). Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan kabupaten induk harus menyerahkan asset daerah dan dana bantuan daerah, namun belum terlaksana

3). ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU No 36 Tahun 2003 menyatakan bahwa Deli Serdang harus menyerahkan PNS yang karena tugasnya dibutuhkan Serdang Bedagai, namun berlum terlaksana.

Tindakan yang ditempuh Pemerintah Serdang Bedagai adalah sebagai berikut: 1). Pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, dan melantik kepala desa di daerah konflik agar meredam keinginan masyarakat serta membangun fasilitas publik agar lebih mudah melayani kepentingan masyarakat.

2). Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003, menyatakan bahwa Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas dari Gubernur Sumatera Utara dan apabila menemukan hambatan dapat meminta bantuan dari Mendagri, dan Mendagri mengirimkan surat tentang data aset Serdang Bedagai

3). ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas Gubernur Sumatera Utara dan Mendagri serta Menpan Untuk menyelesaikan masalah penyerahan PNS, namun belum menemukan hasil yang diharapkan sehingga Pemerintah Serdang Bedagai tidak melaksanakan hak dan kewajiban PNS yang tidak ingin bergabung ke Serdang Bedagai tersebut.

(7)

ABSTRACT

The publishing of UU No 32/2004 about Area Governance and altered by UU is No 12/2008, hence have overflowed to area manifestly, wide and responsible. In Section 4 the Code/Law expressed by that enabled to [do/conduct] the good forming in the form or affiliation, by administrative up to standard, technical and region physical. UU No 36 Year 2003 about Forming of Regency of Serdang Bedagai represent the implementation from area autonomy. Negative impact of area of Regency of Serdang Bedagai, is: dispute appearance of concerning regional boundary, dispute elite in fighting over asset and economic resources in area, delivery of public servant of civil which is because its duty is needed by Regency of Serdang Bedagai.

This Research use the empirical approach yuridis method and approach histories, using two data collecting technique, that is: research of field research ( field research), and bibliography research ( library research), [done/conducted] by mustering secondary from regulation of through/ passing substance punish the primary and substance punish the secondary and also substance punish the tertier.

From research done/conducted is hence got by a the following result:

1). regional Boundary problems because of Citizen which Federation of Society of regional Custom Batak East of Serdang Pate;Upstream nine countryside in Subdistrict Develop;Build ancient refuse to joint forces with the Serdang Bedagai of because disagree with society aspiration, distance which far and also the existence of its his separate issue from its custom consanquinity.

2). Rule Section 15 sentence ( 1) letter of b UU No 36/2003 mentioning mains regency have to deliver the asset of area and relief fund area, but uncommitt

3). rule Section 15 sentence ( 1) letter of a UU No 36/2003 expressing that Deli Serdang have to deliver the PNS which is because its duty is required by Serdang Bedagai, but not executed

Action which is gone through by Government of Serdang Bedagai shall be as: 1). Government have done/conducted the socialization to society ofnis totality region of Regency of Serdang Bedagai of Number Code/Law 36/2003, and constitute the countryside head in conflict area of so that/ to be weakening society desire and also develop;build the public facility so that/ to be easier serve the society importance. 2). Rule Section 15 sentence ( 2) UU No 36/2003, expressing that Serdang Bedagai can ask the facility from Governor of North Sumatra and if finding resistance can have recourse from Mendagri, and Mendagri deliver the letter about data asset of Serdang Bedagai

3). rule Section 15 sentence ( 2) UU No 36/2003 mentioning Serdang Bedagai can ask the facility of Governor of North Sumatra and Mendagri and also Menpan To finish the problem of delivery PNS, but not yet found the result expected governmental So that Serdang Bedagai do not execute the rights and obligations of PNS which do not wish to join to the Serdang Bedagai

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt, karena dengan rahmat

dan petunjuk-Nya proses penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan

sebagaimana mestinya. Sholawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Besar

Muhammad Saw.

Tesis yang berjudul “PROBLEMA YURIDIS PASCA PEMEKARAN

DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI”, diselesaikan guna memenuhi

persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian pembelajaran pada Program Studi

Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Administrasi Negara Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Penulis menyadari penyelesaian tesis ini dapat terlaksana karena bantuan

dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih

dan penghargaan yang tulus kepada:

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM &

H,Sp.A(K)

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.

Chairunnisa B.MSc, atas kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa

Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pengarahan dan

(9)

penyelesaian tesis di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Prof Muhammad Abduh, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang

telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan tesis ini

5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang

telah memberikan curahan waktu dan membimbing, mengarahkan, mendorong

dan memotivasi penulis dalam penyelesaian tesis

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. Sunarmi Sunarmi, SH,

M.Hum, masing-masing selaku Komisi Penguji yang telah banyak memberikan

masukan demi penyempurnaan tesis pada saat seminar proposal dan seminar hasil

penelitian.

7. Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara yang mendidik dan menyumbangkan ilmu

pengetahuan

8. Bapak dan Ibu staf administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara khususnya Program Magister Ilmu Hukum yang telah melayani penulis dari

mulai pendaftaran sampai pada penyelesaian studi

9. Rekan-rekan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum khususnya Konsentrasi

Hukum Administrasi Negara Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

(10)

Secara khusus, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga

penulis sampaikan kepada Ayahanda Aswad dan Ibunda Ismarwati serta ayahanda

Sutrisno dan Alm. Ibunda Hanifah Marwah, yang telah memberikan doa dan motivasi

kepada penulis hingga saat ini. Ucapan terima kasih dan rasa cinta yang mendalam

penulis sampaikan kepada suamiku Dudy Agung Trisna dan adik-adikku Muhammad

Mardiansyah, Harry Trisna Syahputra, Laila Siswanda dan Azwar Kurniawan, yang

penuh kesabaran dan kasih sayang serta doa, semangat, motivasi dan inspirasi bagi

penulis untuk menyelesaikan tesis ini

Penulis berusaha sebaik-baiknya dalam menyelesaikan tesis ini, dan

penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ditemukan, untuk itu kepada Allah

penulis minta ampun dan kepada segenap pembaca, penulis mengharapkan kritik dan

saran demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Agustus 2008

Penulis

Wita Siswani

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Wita Siswani

Tempat/ Tgl Lahir : Tanjung Beringin/ 26 Agustus 1981

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pendidikan : 1. SD Swasta Dewi Sartika, Tahun 1987 – 1993

2. SMP Swasta Berdikari, Tahun 1993 – 1996

3. SMA Negeri 1 Tebing Tinggi, Tahun 1996 – 1999

4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Tahun 1999 – 2003

5. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

DAFTAR SINGKATAN... xi

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penelitian... 14

E. Keaslian Penelitian... 15

F. Kerangka Teori ... 15

(13)

BAB II : FAKTOR PEMBENTUKAN DAERAH KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI... 24

A. Landasan Teoritis Pembentukan Daerah ... 24

B. Pengaturan Tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia ... 39

C. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 63

BAB III : PROBLEMA YURIDIS PASCA PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI... 71

A. Batas Wilayah... 75

B. Aset Daerah dan Dana Bantuan Daerah ... 87

C. Status Pegawai Negeri Sipil... 91

BAB IV : LANGKAH – LANGKAH YANG DITEMPUH DALAM MENGATASI PROBLEMA-PROBLEMA PASCA PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ... ... 94

(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

1. Perbandingan Istilah Government dengan Governance... 9

2. Paradigma Baru Hubungan Pusat dan Daerah ... 32

3. Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia... 61

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

(16)

DAFTAR SINGKATAN

BPPKSD : Badan Pendukung Pemekaran Kabupaten Deli Serdang BAWASDA : Badan Pengawas Daerah

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DEPDAGRI : Departemen Dalam Negeri

GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat MK : Mahkamah Konstitusi

NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia PAD : Pendapatan Asli Daerah

PLN : Perusahaan Listrik Negara PENPRES : Penetapan Presiden

PPKD : Panitia Pembentukan Kabupaten Deli

P3KSB : Panitia Pembentukan Pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai PABU : Pilar Acuan Batas Utama

PNS : Pegawai Negeri Sipil

SD : Sekolah Dasar

SMP : Sekolah Menengah Pertama

TAP MPR : Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat UUD : Undang-Undang Dasar

(17)
(18)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan dirubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008

tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka telah

dilimpahkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan

bertanggungjawab. Hal ini merupakan perwujudan komitmen pemerintah pusat agar

lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat

strategis.” Dengan adanya kebijakan tentang otonomi daerah, maka daerah akan

mengalami proses pemberdayaan dan mampu membangun kemandirian daerah secara

lebih signifikan. Kemampuan, prakarsa dan kreatifitas daerah akan terpacu sehingga

kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai permasalahan daerah akan semakin kuat.

Disamping itu merupakan wujud dari adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada

daerah, agar daerah tertantang untuk melakukan inovasi-inovasi kebijakan di daerah,

dan sekaligus menemukan solusi-solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang

dihadapi daerah”.1

1

Sutiyoso, Perspektif Daerah terhadap Permasalahan Implementasi dan Solusi Kebijkan

Desentralisasi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi, (Jakarta:Lembaga

(19)

Mengingat keberadaan dan untuk menjaga penyelenggaraan tertib

pemerintahan yang baik dan efisien, maka kekuasaan negara tentu tidak dapat

dipusatkan dalam satu tangan kekuasaan saja. Oleh sebab itu penyebaran kekuasaan

haruslah dijalankan secara efektif untuk mencapai cita-cita dan tujuan akhir negara

sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945. sebagai konsekuensinya

maka wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas beberapa daerah, baik

besar maupun kecil.

Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan:

1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah

provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten

dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan

Undang-undang

2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dengan

mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas

pembantuan

3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum

4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan

(20)

5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan

pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah

pusat

6. Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya

untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.

7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam

undang-undang.

Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 di atas implementasinya diatur oleh

peraturan perundangan-undangan tentang pemerintahan daerah yang mengatur

pemerintahan lokal yang bersifat otonom sebagai pencerminan pelaksanaan asas

desentralisasi di bidang pemerintahan. Keberadaan pemerintah lokal yang bersifat

otonom ditandai dengan pemberian wewenang yang sekaligus menjadi kewajiban

bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak dan kewajiban untuk mengurus

urusan rumah tangga sendiri inilah yang disebut dengan otonomi.

Reformasi sistem pemerintahan daerah merupakan wujud kebijaksaan

otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pada hakekatnya merupakan salah satu komitmen Nasional

Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan aspirasi gerakan

reformasi total disegala bidang, komitmen reformasi itu terwujud melalui

(21)

otonom kabupaten dan kota sebagai pemegang kewenangan yang luas, nyata dan

bertanggungjawab dalam berbagai bidang pemerintahan berdasarkan asas

desentralisasi.2

Tahun 1999 merupakan tonggak penting dalam pelaksanaan desentralisasi

di Indonesia yang ditandai dengan dimulainya pelaksanaan otonomi daerah. Selama

pelaksanaan otonomi daerah tersebut telah terjadi beberapa perubahan dalam tata

pemerintahan di berbagai daerah. Pelaksanaan otonomi daerah disambut pemerintah

daerah dengan melakukan pembenahan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari

tata kelembagaan pemerintahan, pembenahan dibidang perekonomian,

kemasyarakatan, dan sebagainya.

Keberadaan desentralisasi tidak lain adalah untuk mendekatkan

masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara masyarakat dan pemerintah dapat

tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun

dalam implementasi kebijakan. Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini maka

diharapkan akan dapat terwujud decentralitation for democracy (desentralisasi untuk

demokrasi)3

Secara implisit tujuan utama yang hendak dicapai melalui desentralisasi

adalah meliputi terwujudnya demokratisasi di tingkat lokal, terciptanya efisiensi dan

efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di

2

Desi Fernanda, Perkembangan otonomi Daerah dalam Perspektif Teori dan Praktek, dalam

Jurnal Desentralisasi Volume 3 Nomor 2, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian

Kinerja Otonomi Daerah, 2003), hlm 6

3

(22)

daerah. Sisi positif pelaksanaan otonomi daerah adalah masyarakat berperan serta

dalam perencanaan pembangunan daerah dan untuk mewujudkan good governance

dimana penyelenggaraan otonomi daerah tersebut harus dilaksanakan dengan

memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan

keadilan serta memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah.

Dalam mewujudkan suatu kepemerintahan yang baik (good governance)

UNDP mengemukakan pentingnya keseimbangan dan sinergitas dari berbagai

komponen yang meliputi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Untuk

menciptakan sinergitas dari ketiga pilar good governance tersebut, dibutuhkan

prinsip-prinsip yang akan menjembatani dan menjadi dasar terwujudnya sinergitas

tersebut. Dan berbagai ahli telah mengembangkan dan membuat prinsip-prinsip yang

secara teknis berbeda namun demikian terdapat beberapa prinsip yang sama,

diantaranya prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh UNDP (United Nation

Development Program) yang terdiri dari:4

1. Partisipasi

Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan

berbangsa, bernegara dan berpemerintahan yaitu: pertama ada rasa sukarela

(tanpa paksaan), kedua ada keterlibatan secara emosional, dan ketiga

4

Erna Irawati, Implementasi Pelaksanaan Good Local Governance ditinjau dari sisi

ketatalaksanaan: persepsi Pemerintah Daerah, dalam Jurnal Desentralisasi Volume 4 Nomor 3,(

(23)

memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari

keterlibatannya.

2. Berdasar hukum (rule of law)

Langkah awal penciptan good governance adalah membangun sistem hukum

yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat keras maupun sumberdaya

manusia yang menjalankan sistem.

3. Transparansi

Keterbukaan atau transparansi mencakup semua aspek aktivitas yang

menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan

penggunaan dana-dana publik sampai pada tahap evaluasi

4. Berdaya Tanggap (responsiveness)

Upaya peningkatan daya tanggap terutama ditujukan pada sektor publik yang

selama ini cenderung tertutup, arogan dan berorientasi pada kekuasaan. Untuk

itu perlu mengetahui kepuasaan publik terhadap pelayanan yang diberikan

dengan melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasaan konsumen

5. Berorientasi pada consensus (consensus orientation)

Dalam good governance pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah

(24)

kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan

bersama.

6. Keadilan (equity)

Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh

kesejahteraan, dimana sektor publik perlu memainkan peranan agar

kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan beriringan.

7. Efektivitas dan Efisiensi

Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor

publik karena sektor ini menjalankan aktivitas secara monopolistik

8. Akuntabilitas (accountability)

Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu

mempertanggungjawabkan kepada publik

9. Bervisi strategis (strategic vision)

Dalam era yang berkembang secara dinamis, setiap domain dalam good

governance perlu memiliki visi yang strategis . tanpa adanya visi yang jelas

maka suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan.

Menurut UNDP, governance atau tata pemerintahan memiliki tiga domain

(25)

ketiga masyarakat. Sektor pemerintah lebih banyak memainkan peranan sebagai

pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak

berkecimpung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor

masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintah maupun swasta.

Karena di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di bidang politik, ekonomi maupun

sosial budaya. Governance yang dijalankan ketiga domain tersebut tidak sekedar

jalan melainkan harus masuk kategori yang baik. Berdasarkan penjelasan

sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dibuat perbandingan antara kata goverment

(26)

Tabel 1. Perbandingan Istilah Government dengan Governance5

No Unsur perbandingan Kata Government Kata Governance

1 Pengertian

Dapat berarti badan lembaga atau fungsi yang dijalankan oleh suatu organ tertinggi dalam suatu negara

Dapat berarti cara,penggunaan atau pelaksaan

2 Sifat hubungan

Hirarkis, dalam arti yang memerintah berada di atas sedangkan warga negara yang diperinah ada di bawah

Heterarkhis, dalam arti ada kesetaraan kedudukan dan hanya berbeda dalam fungsi

3 Komponen yang terlibat Sebagai subjek hanya ada satu yaitu institusi pemerintah

Ada tiga komponen yang terlibat yaitu:

1. sektor publik

2. sektor swasta

3. masyarakat

4 Pemegang peranan dominan Sektor pemerintah Semua memegang peran sesuai dengan fungsinya masing-masing

5 Efek yang diharapkan Kepatuhan warga negara Partisipasi warga negara

6 Hasil akhir yang diharapkan Pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warga negara

Pencapaian tujuan negara dan tujuan masyarakat melalui partisipasi sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat

Banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang

memberikan wewenang yang besar kepada kabupaten dan kota sebagaimana yang

diamanatkan oleh undang-undang otonomi daerah akan mampu mendorong

percepatan terwujudnya tata pemerintahan yang baik kewenangan besar yang kepada

daerah kabupaten dan kota jika tidak diikuti dengan penguatan peran dan kepastian

5

(27)

lembaga non pemerintah untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya

pemerintahan dapat membuat kepentingan publik justru terabaikan.

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia secara radikal telah merubah

hubungan hirarki yang selama ini terjadi antara berbagai tingkat pemerintahan.

Dalam era pemerintahan yang sentralistik, kewenangan kabupaten dan kota sangat

terbatas. Pemerintah kabupaten dan kota sekarang memiliki kewenangan yang besar

untuk merumuskan kebijakan dan program-programnya sesuai dengan keinginan dan

aspirasi mereka, diluar bidang pertahanan dan keamanan, moneter, agama,

kehakiman dan hubungan luar negeri. Pemberian kewenangan yang luar biasa

besarnya kepada pemerintah kabupaten dan kota tentu membawa potensi yang sangat

positif bagi pembangunan di daerah, termasuk dalam mempercepat terwujudnya

pemerintahan yang lebih baik.

Namun perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak serta

merta mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat

luas di daerah. Untuk itu diperlukan inisiatif, inovasi dan kreatifitas di dalam

menciptakan strategi yang tepat untuk membuat perubahan tersebut.

Konsep otonomi daerah pada hakekatnya mengandung arti adanya

kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif,

menurut prakarsa sendiri. Oleh karena itu kemandirian daerah suatu hal yang penting,

tidak boleh ada intervensi dari pemerintah pusat. Ketidakmandirian daerah berarti

(28)

otonomi daerah adalah pemekaran wilayah, perubahan yang menyertai pelaksanaan

otonomi daerah sangat berpengaruh terhadap kehidupan ditingkat daerah,

diantaranya adalah dengan banyaknya dijumpai semangat-semangat daerah yang

ingin memekarkan wilayahnya, karena pada dasarnya daerah ingin menentukan

sendiri kebijakan tentang pengembangan dan pembangunan wilayahnya, walaupun

pada akhirnya permasalahan-permasalahan akan segera timbul, diantaranya adalah

infrastruktur yang belum memadai, permasalahan batas wilayah, daerah induk yang

tidak memberikan dukungan dana, permasalahan penyerahan asset oleh kabupaten

induk, dan sebagai daerah baru belum mampu menggali sumber pendapatan asli

daerah (PAD) jadi cenderung memungut pajak dan retribusi, dan sebagainya.

Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk

melakukan pembentukan daerah berdasarkan Undang-undang, pembentukan daerah

yang dimaksud dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari

satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, dengan harus memenuhi syarat

administratif, teknis dan fisik kewilayahan.

Pasal 5 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 berturut-turut menyebutkan syarat administratif yang dimaksud untuk

kabupaten/ kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/ kota dan Bupati/

Walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomenasi

(29)

pembentukan daerah yang menjadi pembentukan daerah yang mencakup faktor

kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan,

luas wilayah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan

terselenggaranya otonomi daerah. Adapun syarat fisik meliputi sedikitnya 5 (lima)

kecamatan untuk pembentukan kabupaten, untuk pembentukan kota, lokasi calon

ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten

Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara merupakan implementasi dari ketentuan

pembentukan daerah pemekaran dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah

tersebut. Kabupaten serdang Bedagai adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten

Deli Serdang. Sejak dimekarkan pada tanggal 7 Januari 2003 dengan Undang-undang

Nomor 36 Tahun 2003 hingga saat ini masih banyak hak dan kewajiban Kabupaten

Deli Serdang sebagai Kabupaten Induk sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan

Pasal 15 dan Pasal 16 yang belum terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya,

diantaranya adalah masalah batas wilayah dengan Kabupaten Deli Serdang, daerah

induk yang tidak memberikan dukungan dana yang seharusnya diserahkan,

permasalahan penyerahan asset oleh Kabupaten Induk, dan disamping itu sebagai

daerah baru Kabupaten Serdang Bedagai belum mampu menggali sumber pendapatan

asli daerah (PAD) jadi cenderung memungut pajak dan retribusi, serta infrastruktur

(30)

Ketentuan tentang batas wilayah, penyerahan alokasi dana perimbangan

dari kabupaten induk, penyerahan asset, pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 15

dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, namun dalam pelaksanaan dan

prakteknya banyak menemui kendala dan hambatan. Berdasarkan uraian-uraian yang

telah disampaikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Problema

Yuridis Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat

dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun

perumusan masalah dalam penulisan ini adalah:

1. Apakah faktor penyebab pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai dari

Kabupaten Deli Serdang?

2. Apakah problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca

pemakaran daerah?

3. Apakah langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi problema-problema

(31)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, adapun tujuan yang hendak

dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah faktor penyebab pemekaran Kabupaten Serdang

Bedagai dari Kabupaten Deli Serdang

2. Untuk mengetahui problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang

Bedagai pasca pemakaran daerah

3. Untuk mengetahui langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi

problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca pemakaran daerah

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang berjudul “Problema Yuridis Pasca Pemekaran Daerah

Kabupaten Serdang Bedagai”, diharapkan akan dapat memberikan manfaat sebagai

berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan kajian dan sumbangan

pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bagi

kabupaten/kota lainnya yang berencana atau telah melakukan pemekaran

daerah.

2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada

pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar dapat lebih selektif dalam

(32)

E. Keaslian Penelitian

Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara

pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya dengan melihat bahwa Kabupaten

Serdang Bedagai sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang banyak

menemui problema-problemadalam praktek pelaksanaannya. Tulisan ini bukanlah

merupakan hasil ciptaan atau hasil penggadaan dari karya tulis orang lain, karena itu

keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada terdapat pendapat

atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan dan

diperlukan dalam penyempurnaan tulisan ini.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam pelaksanaan amanat otonomi daerah mempunyai pengertian bahwa

pemerintah pusat melimpahkan kepada pemerintah daerah untuk kewenangan dan

pengurusan rumah tangganya sendiri, tetapi tetap dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Untuk itu berbicara masalah pembentukan daerah pemekaran,

yang bersumber pada gagasan dan inisiatif msyarakat, juga berada dalam kerangka

negara kesatuan pula. Dengan demikian dalam penelitian ini akan digunakan teori

(33)

Otonomi daerah adalah merupakan konsekuensi dari salah satu varian dari

desentralisasi. Rondinelli secara berani menyatakan bahwa dalam praktek

desentralisasi memiliki empat varian yakni: dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan

privatisasi.6 Pakar ini mengulas bagaimana kekuasaan yang ada pada pemerintah dikelola dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal.

Dalam konteks ini maka apabila kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada

masyarakat itu oleh pemerintah diserahkan kepada pejabat pusat maka konsep ini

dimaknai sebagai dekonsentrasi. Sebaliknya apabila kewenangan itu diserahkan

kepada daerah otonomi maka konsep ini dimaknai sebagai devolusi yang

konsekuensinya akan ada otonomi daerah.

Disamping itu untuk hal-hal tertentu kewenangan itu diberikan kepada

badan atau lembaga tertentu untuk mengelolanya seperti listrik kepada PLN, maka

konsep ini dimaknai sebagai delegasi, sedangkan varian yang keempat adalah

manakala kewenangan itu diserahkan kepada swasta untuk mengelolanya, maka

konsepnya dimaknai sebagai privatisasi.

Otonomi daerah yang dilaksanakan oleh Indonesia disebut sebagai

perubahan radikal atau Big Bang dalam system pemerintahan dari semula yang amat

sentralistik menjadi salah satu negara yang amat desentralistik, demikian laporan

6

Oentarto Sindung Mawardi, Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Impementasi,

Permasalahan dan Solusi, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi,

(34)

Bank Dunia Nomor 26191-IND yang dikeluarkan Juni 2003 dalam buku yang

berjudul Decentralizing Indonesia.7

Kebijakan desentralisasi mengakibatkan pemerintah daerah dapat

mengembangkan potensi sumber daya alam lebih maksimal untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi daerahnya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan

ekonomi secara nasional. Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan

pemerintah daerah pada perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi,

yaitu merupakan suatu hak atau wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk

mengurus sendiri dan mengatur sendiri daerahnya dengan mengambil keputusan, baik

politik maupun administratif menurut prakarsa sendiri sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

2. Kerangka Konsepsi

Atas dasar kerangka teoritis yang disebutkan di atas, dapat diuraikan

kerangka konsepsi sebagai berikut, Definisi tentang desentralisasi tidak ada yang

tunggal, namun banyak defenisi yang dikemukan oleh para pakar mengenai

desentralisasi. Dari defenisi yang ada secara garis besar ada dua defenisi dari

prespektif administratif dan persepktif politik8. Menurut perspektif administratif, desentralisasi didefenisikan sebagai the transfer of administerative responsibility

7

Harry Azhar Aziz, Teori Big Bang Otonomi Daerah, dalam Desentralisasi Pemerintahan

NKRI Implementasi dan Revitalisasi, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja

Otonomi Daerah, 2004), hlm 73

8

Lili Romli, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Jurnal desentralisasi

Volume 4 Nomor 3, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,

(35)

from central to local governments. Dalam undang-undang Pemerintahan Daerah

dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh

pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan

pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desentralisasi administratif menurut Rondinelli sebagaimana dikutip

Machfud Sidik adalah pelimpahan wewenang yang dimaksud untuk mendistribusikan

kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan

pelayanan publik termasuk menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen

fungsi pemerintahan pusat kepada aparatnya di daerah yaitu pada tingkatan yang

lebih rendah9. Jadi dapat dikatakan maksud dari desentralisasi administratif di atas adalah pelimpahan wewenang kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah yang

bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah

dan pembangunan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah-daerah. Dengan

demikian desentralisasi administratif adalah berupa kekuasaan pemerintah pusat yang

dijalankan di daerah-daerah.

Desentralisasi politik menurut Rondinelli adalah pemberian hak kepada

warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk

mengambil keputusan publik10. Desentralisasi politik dimaksud bagaimana gambaran distribusi kekuasaan pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah sehingga

9

Faisal Akbar, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom dalam Rangka Menunjang

Keberhasilan Otonomi Daerah, (Medan : Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,

2007) hlm 98

10

(36)

masyarakat lokal memiliki kesempatan yang luas untuk merencanakan dan

menentukan sendiri kebijakan-kebijakan yang tepat untuk menyelenggarakan

kepentingan-kepentingan yang bersifat spesifik atau khas lokal tersebut, dengan

asumsi bahwa sesungguhnya hanya masyarakat setempatlah yang tahu persis

bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berkarakter lokal serta dapat

memecahkan sendiri persoalan-persoalan yang dihadapi berkenaan dengan

kesejahteraan masyarakat yang bersifat kedaerahan.

Dalam perspektif politik daerah, desentralisasi politik dapat pula dipahami

sebagai satu cara untuk menumbuhkan sikap partisipasi masyarakat daerah dalam

beragam aktivitas politik ditingkat lokal, disamping pendidikan bagi masyarakat lokal

untuk meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap maju mundurnya perkembangan

daerahnya. Desentralisasi politik merupakan perwujudan hak-hak dan kewajiban

masyarakat lokal dalam keterlibatannya untuk memilih dan dipilih pada

jabatan-jabatan pada pemerintahan lokal dan pusat sehingga dapat membina hubungan yang

harmonis antara kedua tingkat pemerintahan tersebut yang ada kaitannya pada

partisipasi masyarakat secara politik. Sentralisasi kekuasaan akan menimbulkan

kesulitan-kesulitan dalam menjalankan urusan pemerintah, namun pada satu sisi

pelaksanaan sentralisasi memberikan kemudahan dalam proses pengambilan

keputusan Karena hanya dilakukan oleh satu badan atau orang yang diberikan

kekuasaan. Untuk itu sejak tahun 1999 isu desentralisasi semakin mencuat di mana

(37)

Sesuai dengan amanat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 4 disebutkan bahwa diberikan kesempatan

kepada daerah untuk menggabungkan atau memekarkan daerah, atas dasar ini

masyarakat dapat memekarkan daerahnya dengan tujuan untuk lebih mendekatkan

pelayanan kepada masyarakat daerah. Dengan harus memenuhi syarat administratif

yaitu mendapat persetujuan DPRD dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam

Negeri,syarat teknis meliputi daerah yang akan dimekarkan harus memiliki

kemampuan, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,

pertahanan dan keamanan yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

Dan syarat fisik paling sedikit memiliki paling sedikit 5 (lima) kecamatan, lokasi

ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.

G. Metode Penelitian

1. Penentuan Lokasi Penelitian

Alasan yang mendasari pemilihan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai

lokasi penelitian adalah karena Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu

kabupaten yang baru dimekarkan dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 dan

memiliki masalah mengenai tapal batas wilayah, penyerahan asset daerah dan dana

perimbangan serta status pegawai negeri sipil yang karena tugasnya diperlukan oleh

(38)

Deli Serdang sebagai kabupaten induk kepada Kabupaten Serdang Bedagai sebagai

kabupaten pemekaran.

2. Jenis Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis

empiris dan pendekatan historis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji

peraturan-peraturan hukum mengenai pemekaran daerah Kabupaten Serdang Bedagai

dan selanjutnya dikaitkan dengan penerapannya dalam praktek pelaksanaan.

“Sedangkan pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dalam kerangka

pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Disamping itu pendekatan ini

dapat memberikan pemahaman dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan

hukum tersebut”.11

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data,

yaitu:

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), dilakukan dengan menghimpun

data sekunder dari peraturan-peraturan. Data sekunder yaitu melalui penelitian

kepustakaan berupa: diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder serta bahan hukum tertier

11

(39)

1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa peraturan

perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya Undang-undang No 22

Tahun 1999 jo Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

daerah dan Undang-undang No 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan

Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera

Utara dan peraturan perundang-undangan pendukung lainya.

2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap bahan

hukum primer berupa hasil penelitian di bidang hukum dan karya ilmiah

lainnya.

3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder untuk

melengkapi atau menunjang data penelitian. Seperti surat kabar, majalah,

internet yang berhubungan dengan pemekaran daerah.

b. Penelitian Lapangan (Field Research), dilakukan untuk memperoleh data

sekunder yang diperoleh langsung dari informan karena tidak semua

bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan

4. Alat Pengumpulan Data

Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini

adalah dengan menggunakan studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen adalah

(40)

buletin dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Wawancara

dilakuan secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan isi dan kebenaran dengan

menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap informan yang memiliki

pengetahuan yang luas tentang masalah pemekaran daerah di Kabupaten Serdang

Bedagai. informan dalam penelitian mencakup dari aparat pemerintah Kabupaten

Serdang Bedagai dan Kabupaten Deli Serdang, kalangan DPRD, dan unsur

masyarakat.

5. Analisis Data

Setelah data yang dibutuhkan terkumpul selanjutnya dilakukan editing

guna memeriksa kembali kelengkapan jawaban yang diperoleh dari informan untuk

kejelasan, konsistensi jawaban atau informasi serta relevansi dengan penelitian dan

keragaman data, kemudian data yang telah diperoleh dikoding dengan membuat

klasifikasi data untuk memudahkan analisis.

Analisis data yang digunakan adalah deskrifitif kualitatif, artinya data

yang telah diklasifikasikan, dipaparkan kembali dengan menggunakan kalimat yang

teratur sehingga dapat menguraikan dan menggambarkan yang ada dan juga

(41)

BAB II

FAKTOR PEMBENTUKAN DAERAH KABUPATEN

SERDANG BEDAGAI

A. Landasan Teoritis Pembentukan Daerah

Sejak Republik Indonesia lahir, para founding father telah meletakkan

gagasan ideal mengenai pengaturan daerah di seluruh Indonesia, sesuai dengan

kemajemukan yang ada. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa pembagian daerah

indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan

ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan dari pasal ini menyebutkan bahwa

dalam membentuk pemerintahan daerah harus melihat hak-hak asal usul daerah yang

bersifat istimewa.

Namun dalam penjabaran bentuk peraturan perundangan di bawahnya,

bentuk pemerintahan daerah tidak mencerminkan demokrasi. Pengaturan pemerintah

daerah lebih menekankan asas sentralisasi ketimbang desentralisasi. Praktek ini

terlihat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini selain

menerapkan asas desentralisasi, juga menerapkan asas dekonsentrasi. Daerah tidak

memiliki kewenangan apa-apa selain hanya melaksanakan kebijakan yang telah

ditetapkan pemerintah. Kecenderungan yang terjadi adalah sentralisasi.

Sentralisasi ini pada gilirannya membuat otonomi daerah tidak berjalan

(42)

melaksanakannya. Daerah tidak mempunyai prakarsa dan inisiatif dalam

mengembangkan daerahnya. Ketika rezim orde baru jatuh, tuntutan akan otonomi

daerah menguat, daerah menuntut keadilan dan kemadirian dalam mengelola

pemerintahan dan sumber-sumber keuangan. Pemerintah merespon dengan

mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pada masa reformasi

undang-undang tersebut diganti dengan Undnag-undang Nomor 32 Tahun 2004.

Berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah yang dalam wacana publik sering pula disebut dengan Undang-undang atau

kebijakan otonomi daerah. Namun demikian tidak semua tampaknya memahami

secara tepat apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian otonomi daerah

tersebut. Sebagian menyatakan pendapatnya bahwa otonomi daerah berarti otonomi

politik, dimana daerah memiliki kedaulatan rakyat yang tercermin pada kelembagaan

DPRD yang terbentuk melalui proses politik pemilihan umum. Tetapi sebagian lain

yang tidak ingin melihat adanya kecenderungan federalisme dalam pengertian

otonomi politik tersebut menyatakan bahwa otonomi yang berlaku di Indonesia

adalah otonomi administrasi atau otonomi administratif, yaitu kekuasaan untuk

mengurus urusan rumah tangga daerah. Bagaimanapun wacana tersebut kurang

memberikan pemahaman yang jelas mengenai otonomi secara hakiki.

Istilah atau kata otonomi menutrut Webater’s Student Dictionary of

English Language berasal dari bahasa Yunani yaitu autos dan nomos12. Autos artinya sendiri sedangkan nomos berarti hukum atau aturan. Sebagai istilah, pengertian autos

12

(43)

nomos atau autonomous dalam bahasa Inggris menurut kamus tersebut adalah kata

sifat yang berarti (1) keberadaan atau keberfungsian yang bebas atau independent dan

(2) memiliki pemerintahan sendiri, sebagai negara atau kelompok dan sebagainya.

Sedangkan pengertian otonomi sebagai kata benda adalah (1) kondisi atau

kualitas yang bersifat independent, khususnya kekuasaan atau hak memiliki

pemerintahan sendiri (the power of right of having self government), dan atau (2)

negara, masyarakat atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri yang

independent (a self-governing state, cummunity or group).

Berdasarkan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian

otonomi daerah secara ringkas adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan

sendiri, atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat atau

independen. Dalam konteks indonesia pengertian independen atau bebas atau

berdaulat inilah yang barangkali tidak diinginkan, karena berkonotasi adanya negara

di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak sesuai dengan

Undang-undang Dasar 1945.

Indonesia pada umumnya menganut pemahaman bahwa otonomi daerah

adalah bersifat administratif yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi

pemerintahan sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

administrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini

dijelaskan oleh Bagir Manan yang mendefenisikan otonomi daerah sebagai

(44)

mengurus sebagian urusan pemerintahan”13. Bahwa kebebasan dan kemandirian itu adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar (NKRI), karena dalam teori negara

kesatuan, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan. Jadi dalam konteks

indonesia, pengertian otonomi daerah menunjukkan hubungan keterikatan antara

daerah yang memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan

kesatuan yang lebih besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan

berarti daerah otonomi yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan

NKRI.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah

diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan

mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai

dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan daerah otonom menurut

Undang-undang tersebut diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan

dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebijakan pemberian otonomi kepada daerah secara umum sangat tipikal

trejadi di negara-negara yang berbentuk kesatuan seperti halnya Indonesia. Hal ini

didasarkan kepada kenyataan bahwa dalam negara kesatuan sesungguhnya otonomi

tersebut merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai suatu kesatuan bangsa,

bukan sebagai kedaulatan berbagai kelompok masyarakat bangsa yang berdiri sendiri.

13

(45)

Akan tetapi berdasarkan kenyataan bahwa pemerintah pusat tidak akan cukup

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasinya yang sangat

beragam dan letak geografis yang sangat jauh, maka pemerintah memberikan

kewenangan otonom kepada daerah agar daerah dapat memenuhi kepentingan dan

aspirasi masyarakat setempat secara lebih efektif dan efisien. Kebijakan inilah yang

kemudian disebut dengan kebijakan desentralisasi.

Melihat sejarahnya, Osmani mengungkapkan bahwa istilah desentralisasi

pertama kali diperkenalkan dalam literatur pembangunan pada tahun 1950-an, ketika

negara-negara kolonial (terutama kerajaan Inggris) melakukan serangkaian perubahan

kelembagaan dalam rangka persiapan pemberian kemerdekaan kepada negara

jajahannya di Afrika. Osmani mengutip Mawhood dan Davey yang mendeskripsikan

bagaimana pola “desentralisasi klasik” yang berlaku pada masa itu, yang diantara lain

memiliki 5 (lima) prinsip sebagai berikut:14

1. Pemerintahan lokal (local authority) harus terpisah dari pemerintah pusat dan

bertanggungjawab atas penyelenggaraan berbagai pelayanan kepada masyarakat

antara lain: pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, pembangunan

(pemberdayaan) masyarakat, jaringan jalan sekunder dan sebagainya

2. Pemerintah lokal tersebut harus memiliki anggaran keuangan sendiri lengkap

dengan sumber-sumber pendapatannya dan berwenang untuk meningkatkan

kemampuan keuangannya melalui penerapan sistem perpajakan langsung yang

dibebankan atas berbagai jasa publik yang diselenggarakan.

14

(46)

3. Pemerintah lokal harus memiliki pegawai sendiri, meskipun pada tahap pertama

mungkin saja para pegawai tersebut berasal dari pegawai pusat yang

diperbantukan

4. Pemerintah lokal dapat diurus atau dikelola secara internal oleh sebuah dewan

(council) yang terdiri dari beberapa orang wakil rakyat dipilih oleh masyarakat

melalui pemilu lokal.

5. Administrator pemerintahan pada tingkat pusat tidak lagi berperan sebagai

pengelola bidang pemerintahan tertentu, tetapi berfungsi sebagai perumus

kebijakan dan atau pengendalian dan pembinaan terhadap pemerintahan lokal.

Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah

penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Dibanyak negara yang sedang berkembang, kebijakan

desentralisasi sejak lama telah dianggap sebagai salah satu prasyarat utama

pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Pemahaman mengenai desentralisasi itu

sendiri sangat bervariasi sesuai bentuk dan materi kebijakan yang terkait dengan isu

desentralisasi itu sendiri. Namun demikian secara umum dapat diartikan bahwa

desentralisasi sebagai prasyarat pembangunan adalah sebagai wujud komitmen para

penyelenggara pembangunan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan melalui kebijakan

(47)

institusi pemerintah daerah yang relatif lebih dekat dan lebih mengerti aspirasi

masyarakat di daerah yang bersangkutan.

Ada dua perspektif dalam mendefenisikan desentralisasi yang pada

akhirnya memiliki implikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang

hendak dicapai. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama

dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi ditingkat lokal sebagai

persamaan politik, akuntabilitas lokal dan kepekaan lokal. Di sisi lain perspektif

administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah

daerah dan pembangunan ekonomi di daerah.

Apabila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif hubungan negara

dan masyarkat dan hubungan pusat dan daerah, maka akan diketahui bahwa

sesungguhnya keberadaan dari desentralisasi tidak lain adalah mendekatkan

pemerintah kepada masyarakat, sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi

yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi

kebijakan.

Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam

rangka mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat.

Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah

tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokratisasi.

Dengan kata lain, otonomi daerah yang bisa meminimalisasi konflik Pusat-Daerah di

(48)

masyarakat lokal di lain pihak, hanya dapat dicapai di dalam kerangka besar

demokratisasi kehidupan bangsa di bidang politik, hukum, ekonomi. Ini berarti

bahwa otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari

demokratisasi kehidupan bangsa seperti restrukturisasi lembaga perwakilan,

restrukturisasi sistem pemilihan bagi eksekutif dan legislatif, penegak hukum dan

(49)

Tabel 2. Paradigma Baru Hubungan Pusat dan Daerah15

Paradigma

No Kategori Relasi

Lama Baru

2 Tekanan sentralisasi kekuasaan,

desentralisasi administrasi, desentralisasi politik

distribusi kekuasaan, desentralisasi politik

3 Sifat Hubungan hierarkis dan dominative partnership dan komplementer

4 Kekuasaan pusat

Tak terbatas dan tak terkontrol terbatas dan terkontrol

5 Kedaulatan Pada negara (manipulasi

kedaulatan rakyat)

Pada rakyat

6 Orientasi otonomi Otonomi pemerintah daerah

Otonomi masyarakat lokal

7 Skala otonomi Seragam Fleksibel/kondisional

8 Titik berat Kabupaten/kota provinsi

9 Cakupan kekuasaan dan wewenang

Belas kasihan pusat Kesepakatan wakil rakyat pusat dan daerah

10 Peran masyarakat Pasif dan mobilized Aktif dan partisipatif

11 Rekrutmen elite Tidak langsung dan tertutup

Langsung dan terbuka

12

Instrumen kebijakan a. jumlah kebijakan b. proses pembuatan Dua arah dan beragam

13 Ekonomi Eksploitatif Distributif, keadilan dan

kesejahteraan 14 Sistem bagi hasil

Tidak proporsional dan tidak adil Sesuai kontribusi daerah

15 Komponen bagi hasil

Terbatas Diperluas termasuk pajak

dan cukai 16 Dana alokai

Pola seragam Sesuai kontribusi lokal

17 Sumber PAD

Terbatas dan seragam Diperluas dan kondisional

15

Syamsuddin Haris, Otonomi Daerah, Demokratisasi, dan Pendekaan Alternatif Resolusi

Konflik Puat dan Daerah dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2007) hlm

(50)

Esensi desentralisasi berdasarkan perspektif hubungan negara dan

masyarakat, secara implisit juga mengindikasikan bahwa tujuan utama yang hendak

dicapai melalui desentralisasi adalah meliputi terwujudnya demokratisasi di tingkat

lokal, terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan

pembangunan ekonomi di daerah.

Desentralisasi dan otonomi daerah secara umum diyakini mampu

memberikan beberapa manfaat yang positif untuk terwujudnya tujuan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi daerah, karena pemerintah

daerah dan masyarakat setempatlah yang paling mengetahui dan memahami kondisi

sosial, ekonomi daerah. Dengan perkataan lain desentralisasi pemerintahan diyakini

dapat menjamin terciptanya efektivitas pemenuhan aspirasi dan kebutuhan

masyarakat lokal daripada program-program yang dirancang secara sentralistik.

Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, peran serta proaktif

masyarakat dalam program peningkatan kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan

lebih mudah diwujudkan, karena akses yang lebih dekat dan terbuka terhadap

kebijakan dan program yang menjadi kewenangan administrasi pemerintah daerah

setempat. Dengan desentralisasi dan kewenangan otonomi yang diberikan kepada

daerah, masyarakat memiliki kesempatan yang lebih luas untuk merencanakan,

melaksanakan dan mengendalikan pembangunan daerahnya, dan memiliki komitmen

yang lebih baik terhadap perubahan dan perilaku sosial, ekonomi dan politik ke arah

(51)

desentralisasi akan mampu mengembangkan daya jangkau dan partisipasi kelompok

masyarakat yang beragam tersebut sesuai dengan aspirasi dan latar belakang sosial

budaya mereka masing-masing.

Hakekat dan tujuan pemberian otonomi daerah, salah satunya adalah

mendekatkan pemerintah pada pelayanan publik. Untuk dapat memberikan pelayanan

publik yang prima, paling tidak tergantung pada dua faktor, pertama dukungan

aparatur birokrasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Kedua

faktor kepemimpinan kepala daerah yang mendorong dan memacu agar aparaturnya

bekerja maksimal sebagai abdi masyarakat dengan melakukan inovasi-inovasi untuk

menggerakkan roda pemerintahan.

Selanjutnya agar pelaksanaan otonomi daerah bisa berjalan dengan

optimal, pemerintah melaksanakan strategi penyelenggaraan otonomi daerah dengan

langakah-langkah sebagai berikut:16 1. Membangun komitmen

dalam melaksanakan otonomi daerah, seluruh stakeholders harus bersama-sama

mempunyai komitmen yang tinggi untuk mensuskseskannya. Komitmen harus

dibangun oleh semua lembaga baik pusat maupun daerah.

2. Membangun sinergitas

Setelah terbangun komitmen bersama di antara para stakeholders kunci sukses

pelaksanaan otonomi daerah adanya sinergitas antara stakeholders tersebut.

Diantara stakeholders harus terbangun kesepahaman tentang fungsi dan tugas

16

(52)

masing-masing agar tidak tumpang tindih dalam mensukseskan kebijakan

otonomi daerah

3. Menyempurnakan Peraturan Perundangan

Dimaksudkan agar tidak ada lagi kebingungan dalam pelaksanaan otonomi

daerah baik pusat maupun daerah dalam melaksanakan peraturan perundangan,

karena banyak peraturan perundangan yang tidak sinkron antara satu dengan

yang lainnya.

4. Meningkatkan Koordinasi antara Departemen

Dalam melaksanakan fungsi pemerintah di bidang pembinaan dan pengawasan

pelaksanaan otonomi daerah maka kerjasama antar departemen mutlak

diperlukan.

5. Meningkatkan sosialisasi otonomi daerah

Sosialisasi perlu dilaksanakan agar setiap pejabat pemerintah dan masyarakat

mempunyai satu persepsi dan penafsiran yang sama atas setiap langkah yang

akan dilakukan dalam mensukseskan otonomi daerah

6. Meningkatkan Keterlibatan masyarakat

Pemberdayaan masyarakat merupakan langkah yang harus dilakukan oleh

pemerintah maupun oleh anggota masyarkat yang lain, agar dapat terlibat

langsung dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masyarakat harus disadarkan

bahwa mereka bukanlah objek otonomi daerah melainkan subjek dalam

(53)

7. Bertahap

Agar pelaksanaan otonomi daerah berjalan suskses, implementasi kebijakan

harus dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.

Seluruh upaya tersebut harus tetap dilakukan dalam rangka mengawal otonomi

daerah senantiasa pada koridor yang antara lain bahwa otonomi daerah

sesungguhnya harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan

mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan umum pemerintah kepada masyarakat

daerah.

Konteks mendekatkan pelayanan publik pada pelaksanaan otonomi daerah

adalah pada kabupaten atau kota, hal ini sesuai dengan harapan masyarakat, karena

kabupaten dan kota merupakan satuan wilayah pemerintahan yang rentang jaraknya

relatif dengan masyarakat. Pada gilirannya pemerintah kabupaten dan kota

mengetahui, memahami, dan mengerti tentang keinginan dan kebutuhan masyarakat.

Penyelenggaraan desentralisasi menuntut penebaran urusan pemerintahan

oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan

pemerintah yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang

menjadi kompetensi pemerintah. Persebaran urusan pemerintahan memiliki dua

prinsip pokok, yaitu:

1. selalu terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada

(54)

2. tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada

daerah, yang diserahkan hanyalah yang menyangkut kepentingan masyarakat

setempat. Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan yang

dilaksanakan oleh kabupaten/kota, ada bagian-bagian yang diselenggarkan oleh

provinsi dan ada juga yang diselenggarkan oleh pemeirntah pusat.

Kebijakan pemberian otonomi kepada daerah secara umum sangat tipikal

terjadi di negara-negara yang berbentuk kesatuan seperti halnya Indonesia. Hal ini

didasarkan kepada kenyataan bahwa dalam negara kesatuan sesungguhnya otonomi

tersebut merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai satu kesatuan bangsa

(nation), bukan sebagai kedaulatan berbagai kelompok masyarakat bangsa yang

berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi berdasarkan kenyataan bahwa pemerintah pusat

tidak akan cukup mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

berdasarkan aspirasinya yang sangat beragam dan letak geografis yang jauh, maka

pemerintah memberikan wewenang otonomi kepada daerah agar daerah dapat

memenuhi kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat secara lebih efektif dan

esisien.

Desentralisasi dan otonomi daerah secara umum diyakini mampu

memberikan beberapa manfaat yang positif untuk terwujudnya tujuan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi daerah, karena pemerintah

daerah dan masyarakat setempatlah yang paling mengetahui dan memahami kondisi

(55)

Walaupun demikian desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah

hadir bukan tanpa kendala dan keterbatasan. Smith mengungkapkan bahwa

berdasarkan beberapa teori kenegaraan, desentralisasi justru mendekatkan

parokialisme dan separatisme yang bisa mengarah pada anti-egalitarianisme.17 Ini

berarti pada saat desentralisasi terbentuk, sesungguhnya batasan untuk tidak

tergelincir pada “primordialisme” menjadi sangat tipis sekali. Dari perspektif lain,

otonomi daerah justru sering dijadikan instrumen legitimasi dan rujukan bagi

kelompok elit politik tertentu dalam penguasaan sember daya alam dan ekonomi di

daerah.

Otonomi daerah juga juga bisa menyebabkan friksi atau berbedaan

kepentingan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya daerah yang

sekaligus bisa memicu konflik yang laten antara pusat dan daerah. Selain itu adanya

perbedaan kekayaan sumber daya alam dan ekonomi daerah justru bisa menimbulkan

kesenjangan ekonomi baru, yang penyelesaiannya akan relatif sulit, karena daerah

yang kaya akan merasa memiliki hak yang lebih untuk menikmati sumber kekayaan

daerah tersebut dibanding daerah lain. Sementara fungsi pusat dalam upaya

mengatasi kesenjangan tersebut justru telah terbatasi oleh kebijakan otonomi itu

sendiri.

Artinya, mesti dipahami bahwa desentralisasi bukanlah satu kebijakan

yang bersifat “Quick Fix” bagi penyelesaian masalah ekonomi,politik maupun sosial

17

(56)

di negara berkembang. Desentralisasi baru akan mampu memberikan manfaat yang

optimal jika saja elemen masyarakat (civil society) telah terberdayakan dengan baik

dan optimal.

B. Pengaturan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia

1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945

Pendiri bangsa Indonesia pada dasarnya menyadari bahwa bangsa

Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah, yang mana

masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam konteks ini maka

para pendiri bangsa merumuskannya dalam bentuk Pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal

tersebut disebutkan, “Pembentukan Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,

dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undnag-undang, dengan

memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan

negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.

Dalam upaya melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, maka

untuk pertama kali Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 1945 dan berlaku di Indonesia selama 3 (tiga) tahun. Jadi sebelum

mengatur yang lain, pemerintah lebih dulu mengeluarkan tentang bagaimana

mengaplikasi ketentuan Pasal 18 tersebut. Adapun isi dari Undang-undang Nomor 1

(57)

Pasal 1 : Komite Nasional Daerah diadakan kecuali di daerah Surakarta dan

Yogyakarta, di keresidenan, di kota berotonomi, Kabupaten dan lain-lain

daerah yang dianggap perlu oleh Departemen Dalam Negeri

Pasal 2 : Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah,

yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah

menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya asal tidak

bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Daerah yang lebih luas

Pasal 3 : Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang,

sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang sebagai badan eksekutif yang bersama-sama

dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan

sehari-hari dalam daerah itu

Pasal 4 : Ketua Komite Nasional Daerah lama harus diangkat sebagai Wakil

Ketua badan yang dimaksud dalam Pasal 2 dan 3

Pasal 5 : Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh

Pemerintah Daerah

Pasal 6 : Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan

dalam daerah-daerah harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14

hari

Tentunya Undang-undang ini tidak sempurna dan tidak akan memberikan

kepuasan sepenuhnya, tetapi apresiasi yang kita berikan adalah dimana pemerintah

Gambar

Tabel 1. Perbandingan Istilah Government dengan Governance5
Tabel  2. Paradigma Baru Hubungan Pusat dan Daerah15
Tabel  3. Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan penelitian adalah untuk mendeskripsikan teknis penyelenggaraan usaha peternakan puyuh di Desa Jati Mulyo, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai dan desa

Adapun evaluasi untuk PkM ini terhadap siswa-siswi setelah melakukan praktikum, latihan dan diskusi yaitu mereka dapat memahami proses pembuatan website sederhana

Bookmark not defined.144 Gambar 105 Data Access Layer Design System Sequence Diagram - Proses Permohonan Klaim Kesehatan

Saat ini melalui salah satu program kegiatannya, DED Rehabilitasi Sedang Berat Gedung Kantor , Pemrintah Kota Manado telah mengarahkan suatu kebijakan

Perbaikan sifat fisika tanah, seperti tanah yang bertekstur pasir atau tanah yang mempunyai fraksi pasir lebih tinggi (>70%) dapat dilakukan dengan pembenah kompos

Kandungan Logam Berat Pada Air, Sedimen dan Ikan Nila (Oreochromisniloticus Linn.) Di Karamba.. Danau

Penelitian lanjutan mengenai jenis logam berat yang berbeda serta parameter lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap akumulasi logam berat oleh organisme seperti suhu, pH

bakteri dalam aktivitas enzimatik. Secara keseluruhan, reuterin menghambat proses perubahan ribonukleotida menjadi deoksiribonukleotida, sehingga bakteri mengalami