TESIS
Oleh
WITA SISWANI
067005044/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
TESIS
Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora
dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
Oleh
WITA SISWANI
067005044/HK
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Muhammad Abduh, SH) Ketua
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, M.Hum)
Anggota Anggota
Ketua Program Studi, Direktur,
(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Muhammad Abduh, SH
Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH
2. Dr. Faisal Akbar SH, M.Hum 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS
ABSTRAK
Terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2008, maka telah dilimpahkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan bertanggungjawab. Dalam Pasal 4 Undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk melakukan pembentukan baik berupa pemekaran atau penggabungan, dengan memenuhi syarat administratif, teknis dan fisik kewilayahan. UU No 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Serdang Bedagai merupakan implementasi dari otonomi daerah. Dampak negatif dari pemekaran daerah Kabupaten Serdang Bedagai adalah: munculnya sengketa batas wilayah, sengketa elite dalam memperebutkan asset, penyerahan pegawai negeri sipil.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris dan pendekatan histories, menggunakan dua teknik pengumpulan data, yaitu: penelitian penelitian lapangan (field research), dan penelitian kepustakaan (library research), dengan menghimpun data sekunder dari peraturan-peraturan.
Dari penelitian yang dilakukan maka didapatkan hasil sebagai berikut:
1). Permasalahan batas wilayah disebabkan oleh Warga yang mengatasnamakan Persekutuan Masyarakat Adat Batak Timur wilayah Serdang Hulu sembilan desa di Kecamatan Bangun purba menolak bergabung dengan Serdang Bedagai karena tidak sesuai aspirasi masyarakat, jarak yang jauh serta isu terpisahnya dari kerabat adatnya. 2). Ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan kabupaten induk harus menyerahkan asset daerah dan dana bantuan daerah, namun belum terlaksana
3). ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf a UU No 36 Tahun 2003 menyatakan bahwa Deli Serdang harus menyerahkan PNS yang karena tugasnya dibutuhkan Serdang Bedagai, namun berlum terlaksana.
Tindakan yang ditempuh Pemerintah Serdang Bedagai adalah sebagai berikut: 1). Pemerintah telah melakukan sosialisasi kepada masyarakat di seluruh wilayah Kabupaten Serdang Bedagai Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, dan melantik kepala desa di daerah konflik agar meredam keinginan masyarakat serta membangun fasilitas publik agar lebih mudah melayani kepentingan masyarakat.
2). Ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003, menyatakan bahwa Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas dari Gubernur Sumatera Utara dan apabila menemukan hambatan dapat meminta bantuan dari Mendagri, dan Mendagri mengirimkan surat tentang data aset Serdang Bedagai
3). ketentuan Pasal 15 ayat (2) UU No 36 Tahun 2003 menyebutkan Serdang Bedagai dapat meminta fasilitas Gubernur Sumatera Utara dan Mendagri serta Menpan Untuk menyelesaikan masalah penyerahan PNS, namun belum menemukan hasil yang diharapkan sehingga Pemerintah Serdang Bedagai tidak melaksanakan hak dan kewajiban PNS yang tidak ingin bergabung ke Serdang Bedagai tersebut.
ABSTRACT
The publishing of UU No 32/2004 about Area Governance and altered by UU is No 12/2008, hence have overflowed to area manifestly, wide and responsible. In Section 4 the Code/Law expressed by that enabled to [do/conduct] the good forming in the form or affiliation, by administrative up to standard, technical and region physical. UU No 36 Year 2003 about Forming of Regency of Serdang Bedagai represent the implementation from area autonomy. Negative impact of area of Regency of Serdang Bedagai, is: dispute appearance of concerning regional boundary, dispute elite in fighting over asset and economic resources in area, delivery of public servant of civil which is because its duty is needed by Regency of Serdang Bedagai.
This Research use the empirical approach yuridis method and approach histories, using two data collecting technique, that is: research of field research ( field research), and bibliography research ( library research), [done/conducted] by mustering secondary from regulation of through/ passing substance punish the primary and substance punish the secondary and also substance punish the tertier.
From research done/conducted is hence got by a the following result:
1). regional Boundary problems because of Citizen which Federation of Society of regional Custom Batak East of Serdang Pate;Upstream nine countryside in Subdistrict Develop;Build ancient refuse to joint forces with the Serdang Bedagai of because disagree with society aspiration, distance which far and also the existence of its his separate issue from its custom consanquinity.
2). Rule Section 15 sentence ( 1) letter of b UU No 36/2003 mentioning mains regency have to deliver the asset of area and relief fund area, but uncommitt
3). rule Section 15 sentence ( 1) letter of a UU No 36/2003 expressing that Deli Serdang have to deliver the PNS which is because its duty is required by Serdang Bedagai, but not executed
Action which is gone through by Government of Serdang Bedagai shall be as: 1). Government have done/conducted the socialization to society ofnis totality region of Regency of Serdang Bedagai of Number Code/Law 36/2003, and constitute the countryside head in conflict area of so that/ to be weakening society desire and also develop;build the public facility so that/ to be easier serve the society importance. 2). Rule Section 15 sentence ( 2) UU No 36/2003, expressing that Serdang Bedagai can ask the facility from Governor of North Sumatra and if finding resistance can have recourse from Mendagri, and Mendagri deliver the letter about data asset of Serdang Bedagai
3). rule Section 15 sentence ( 2) UU No 36/2003 mentioning Serdang Bedagai can ask the facility of Governor of North Sumatra and Mendagri and also Menpan To finish the problem of delivery PNS, but not yet found the result expected governmental So that Serdang Bedagai do not execute the rights and obligations of PNS which do not wish to join to the Serdang Bedagai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah Swt, karena dengan rahmat
dan petunjuk-Nya proses penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan
sebagaimana mestinya. Sholawat dan salam selalu tercurah kepada Nabi Besar
Muhammad Saw.
Tesis yang berjudul “PROBLEMA YURIDIS PASCA PEMEKARAN
DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI”, diselesaikan guna memenuhi
persyaratan yang harus dilengkapi dalam rangkaian pembelajaran pada Program Studi
Magister Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Administrasi Negara Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.
Penulis menyadari penyelesaian tesis ini dapat terlaksana karena bantuan
dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih
dan penghargaan yang tulus kepada:
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM &
H,Sp.A(K)
2. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.
Chairunnisa B.MSc, atas kesempatan kepada penulis menjadi mahasiswa
Program Magister pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara
3. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara, Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH, atas segala pengarahan dan
penyelesaian tesis di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak Prof Muhammad Abduh, SH, selaku Ketua Komisi Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan tesis ini
5. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang
telah memberikan curahan waktu dan membimbing, mengarahkan, mendorong
dan memotivasi penulis dalam penyelesaian tesis
6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS dan Ibu Dr. Sunarmi Sunarmi, SH,
M.Hum, masing-masing selaku Komisi Penguji yang telah banyak memberikan
masukan demi penyempurnaan tesis pada saat seminar proposal dan seminar hasil
penelitian.
7. Bapak dan Ibu dosen pada Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara yang mendidik dan menyumbangkan ilmu
pengetahuan
8. Bapak dan Ibu staf administrasi Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera
Utara khususnya Program Magister Ilmu Hukum yang telah melayani penulis dari
mulai pendaftaran sampai pada penyelesaian studi
9. Rekan-rekan Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum khususnya Konsentrasi
Hukum Administrasi Negara Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
Secara khusus, ucapan terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga
penulis sampaikan kepada Ayahanda Aswad dan Ibunda Ismarwati serta ayahanda
Sutrisno dan Alm. Ibunda Hanifah Marwah, yang telah memberikan doa dan motivasi
kepada penulis hingga saat ini. Ucapan terima kasih dan rasa cinta yang mendalam
penulis sampaikan kepada suamiku Dudy Agung Trisna dan adik-adikku Muhammad
Mardiansyah, Harry Trisna Syahputra, Laila Siswanda dan Azwar Kurniawan, yang
penuh kesabaran dan kasih sayang serta doa, semangat, motivasi dan inspirasi bagi
penulis untuk menyelesaikan tesis ini
Penulis berusaha sebaik-baiknya dalam menyelesaikan tesis ini, dan
penulis menyadari masih banyak kekurangan yang ditemukan, untuk itu kepada Allah
penulis minta ampun dan kepada segenap pembaca, penulis mengharapkan kritik dan
saran demi kesempurnaan tesis ini.
Medan, Agustus 2008
Penulis
Wita Siswani
RIWAYAT HIDUP
Nama : Wita Siswani
Tempat/ Tgl Lahir : Tanjung Beringin/ 26 Agustus 1981
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pendidikan : 1. SD Swasta Dewi Sartika, Tahun 1987 – 1993
2. SMP Swasta Berdikari, Tahun 1993 – 1996
3. SMA Negeri 1 Tebing Tinggi, Tahun 1996 – 1999
4. S-1 Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Tahun 1999 – 2003
5. S-2 Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR ISI... vii
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
DAFTAR SINGKATAN... xi
BAB I : PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang... 1
B. Perumusan Masalah ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 14
D. Manfaat Penelitian... 14
E. Keaslian Penelitian... 15
F. Kerangka Teori ... 15
BAB II : FAKTOR PEMBENTUKAN DAERAH KABUPATEN
SERDANG BEDAGAI... 24
A. Landasan Teoritis Pembentukan Daerah ... 24
B. Pengaturan Tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia ... 39
C. Faktor Penyebab Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai ... 63
BAB III : PROBLEMA YURIDIS PASCA PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI... 71
A. Batas Wilayah... 75
B. Aset Daerah dan Dana Bantuan Daerah ... 87
C. Status Pegawai Negeri Sipil... 91
BAB IV : LANGKAH – LANGKAH YANG DITEMPUH DALAM MENGATASI PROBLEMA-PROBLEMA PASCA PEMEKARAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ... ... 94
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
1. Perbandingan Istilah Government dengan Governance... 9
2. Paradigma Baru Hubungan Pusat dan Daerah ... 32
3. Kebijakan Otonomi Daerah di Indonesia... 61
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
DAFTAR SINGKATAN
BPPKSD : Badan Pendukung Pemekaran Kabupaten Deli Serdang BAWASDA : Badan Pengawas Daerah
DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DEPDAGRI : Departemen Dalam Negeri
GBHN : Garis-garis Besar Haluan Negara MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat MK : Mahkamah Konstitusi
NKRI : Negara Kesatuan Republik Indonesia PAD : Pendapatan Asli Daerah
PLN : Perusahaan Listrik Negara PENPRES : Penetapan Presiden
PPKD : Panitia Pembentukan Kabupaten Deli
P3KSB : Panitia Pembentukan Pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai PABU : Pilar Acuan Batas Utama
PNS : Pegawai Negeri Sipil
SD : Sekolah Dasar
SMP : Sekolah Menengah Pertama
TAP MPR : Ketetapan Majelis Pemusyawaratan Rakyat UUD : Undang-Undang Dasar
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak diberlakukannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan dirubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, maka telah
dilimpahkannya kewenangan kepada daerah secara nyata, luas dan
bertanggungjawab. Hal ini merupakan perwujudan komitmen pemerintah pusat agar
lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro nasional yang bersifat
strategis.” Dengan adanya kebijakan tentang otonomi daerah, maka daerah akan
mengalami proses pemberdayaan dan mampu membangun kemandirian daerah secara
lebih signifikan. Kemampuan, prakarsa dan kreatifitas daerah akan terpacu sehingga
kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai permasalahan daerah akan semakin kuat.
Disamping itu merupakan wujud dari adanya kepercayaan pemerintah pusat kepada
daerah, agar daerah tertantang untuk melakukan inovasi-inovasi kebijakan di daerah,
dan sekaligus menemukan solusi-solusi untuk mengatasi berbagai permasalahan yang
dihadapi daerah”.1
1
Sutiyoso, Perspektif Daerah terhadap Permasalahan Implementasi dan Solusi Kebijkan
Desentralisasi Pemerintahan Daerah Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi, (Jakarta:Lembaga
Mengingat keberadaan dan untuk menjaga penyelenggaraan tertib
pemerintahan yang baik dan efisien, maka kekuasaan negara tentu tidak dapat
dipusatkan dalam satu tangan kekuasaan saja. Oleh sebab itu penyebaran kekuasaan
haruslah dijalankan secara efektif untuk mencapai cita-cita dan tujuan akhir negara
sebagaimana disebutkan dalam pembukaan UUD 1945. sebagai konsekuensinya
maka wilayah negara kesatuan Republik Indonesia dibagi atas beberapa daerah, baik
besar maupun kecil.
Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah provinsi dan daerah
provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap Provinsi, Kabupaten
dan Kota itu mempunyai Pemerintahan Daerah yang diatur dengan
Undang-undang
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota mengatur dengan
mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas
pembantuan
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah yang anggotanya dipilih melalui pemilihan umum
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan
5. Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan
pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah
pusat
6. Pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya
untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam
undang-undang.
Ketentuan Pasal 18 UUD 1945 di atas implementasinya diatur oleh
peraturan perundangan-undangan tentang pemerintahan daerah yang mengatur
pemerintahan lokal yang bersifat otonom sebagai pencerminan pelaksanaan asas
desentralisasi di bidang pemerintahan. Keberadaan pemerintah lokal yang bersifat
otonom ditandai dengan pemberian wewenang yang sekaligus menjadi kewajiban
bagi daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak dan kewajiban untuk mengurus
urusan rumah tangga sendiri inilah yang disebut dengan otonomi.
Reformasi sistem pemerintahan daerah merupakan wujud kebijaksaan
otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, pada hakekatnya merupakan salah satu komitmen Nasional
Pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan aspirasi gerakan
reformasi total disegala bidang, komitmen reformasi itu terwujud melalui
otonom kabupaten dan kota sebagai pemegang kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab dalam berbagai bidang pemerintahan berdasarkan asas
desentralisasi.2
Tahun 1999 merupakan tonggak penting dalam pelaksanaan desentralisasi
di Indonesia yang ditandai dengan dimulainya pelaksanaan otonomi daerah. Selama
pelaksanaan otonomi daerah tersebut telah terjadi beberapa perubahan dalam tata
pemerintahan di berbagai daerah. Pelaksanaan otonomi daerah disambut pemerintah
daerah dengan melakukan pembenahan dalam berbagai aspek kehidupan mulai dari
tata kelembagaan pemerintahan, pembenahan dibidang perekonomian,
kemasyarakatan, dan sebagainya.
Keberadaan desentralisasi tidak lain adalah untuk mendekatkan
masyarakat, sedemikian rupa sehingga antara masyarakat dan pemerintah dapat
tercipta interaksi yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun
dalam implementasi kebijakan. Dengan mendudukkan desentralisasi seperti ini maka
diharapkan akan dapat terwujud decentralitation for democracy (desentralisasi untuk
demokrasi)3
Secara implisit tujuan utama yang hendak dicapai melalui desentralisasi
adalah meliputi terwujudnya demokratisasi di tingkat lokal, terciptanya efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan ekonomi di
2
Desi Fernanda, Perkembangan otonomi Daerah dalam Perspektif Teori dan Praktek, dalam
Jurnal Desentralisasi Volume 3 Nomor 2, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian
Kinerja Otonomi Daerah, 2003), hlm 6
3
daerah. Sisi positif pelaksanaan otonomi daerah adalah masyarakat berperan serta
dalam perencanaan pembangunan daerah dan untuk mewujudkan good governance
dimana penyelenggaraan otonomi daerah tersebut harus dilaksanakan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan
keadilan serta memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah.
Dalam mewujudkan suatu kepemerintahan yang baik (good governance)
UNDP mengemukakan pentingnya keseimbangan dan sinergitas dari berbagai
komponen yang meliputi pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat. Untuk
menciptakan sinergitas dari ketiga pilar good governance tersebut, dibutuhkan
prinsip-prinsip yang akan menjembatani dan menjadi dasar terwujudnya sinergitas
tersebut. Dan berbagai ahli telah mengembangkan dan membuat prinsip-prinsip yang
secara teknis berbeda namun demikian terdapat beberapa prinsip yang sama,
diantaranya prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh UNDP (United Nation
Development Program) yang terdiri dari:4
1. Partisipasi
Syarat utama warga negara disebut berpartisipasi dalam kegiatan
berbangsa, bernegara dan berpemerintahan yaitu: pertama ada rasa sukarela
(tanpa paksaan), kedua ada keterlibatan secara emosional, dan ketiga
4
Erna Irawati, Implementasi Pelaksanaan Good Local Governance ditinjau dari sisi
ketatalaksanaan: persepsi Pemerintah Daerah, dalam Jurnal Desentralisasi Volume 4 Nomor 3,(
memperoleh manfaat secara langsung maupun tidak langsung dari
keterlibatannya.
2. Berdasar hukum (rule of law)
Langkah awal penciptan good governance adalah membangun sistem hukum
yang sehat, baik perangkat lunaknya, perangkat keras maupun sumberdaya
manusia yang menjalankan sistem.
3. Transparansi
Keterbukaan atau transparansi mencakup semua aspek aktivitas yang
menyangkut kepentingan publik mulai dari proses pengambilan keputusan
penggunaan dana-dana publik sampai pada tahap evaluasi
4. Berdaya Tanggap (responsiveness)
Upaya peningkatan daya tanggap terutama ditujukan pada sektor publik yang
selama ini cenderung tertutup, arogan dan berorientasi pada kekuasaan. Untuk
itu perlu mengetahui kepuasaan publik terhadap pelayanan yang diberikan
dengan melakukan survey untuk mengetahui tingkat kepuasaan konsumen
5. Berorientasi pada consensus (consensus orientation)
Dalam good governance pengambilan keputusan maupun pemecahan masalah
kesediaan untuk konsisten melaksanakan konsensus yang telah diputuskan
bersama.
6. Keadilan (equity)
Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh
kesejahteraan, dimana sektor publik perlu memainkan peranan agar
kesejahteraan dan keadilan dapat berjalan beriringan.
7. Efektivitas dan Efisiensi
Tekanan perlunya efektivitas dan efisiensi terutama ditujukan pada sektor
publik karena sektor ini menjalankan aktivitas secara monopolistik
8. Akuntabilitas (accountability)
Setiap aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan publik perlu
mempertanggungjawabkan kepada publik
9. Bervisi strategis (strategic vision)
Dalam era yang berkembang secara dinamis, setiap domain dalam good
governance perlu memiliki visi yang strategis . tanpa adanya visi yang jelas
maka suatu bangsa dan negara akan mengalami ketertinggalan.
Menurut UNDP, governance atau tata pemerintahan memiliki tiga domain
ketiga masyarakat. Sektor pemerintah lebih banyak memainkan peranan sebagai
pembuat kebijakan, pengendalian dan pengawasan. Sektor swasta lebih banyak
berkecimpung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan sektor
masyarakat merupakan objek sekaligus subjek dari sektor pemerintah maupun swasta.
Karena di dalam masyarakatlah terjadi interaksi di bidang politik, ekonomi maupun
sosial budaya. Governance yang dijalankan ketiga domain tersebut tidak sekedar
jalan melainkan harus masuk kategori yang baik. Berdasarkan penjelasan
sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dibuat perbandingan antara kata goverment
Tabel 1. Perbandingan Istilah Government dengan Governance5
No Unsur perbandingan Kata Government Kata Governance
1 Pengertian
Dapat berarti badan lembaga atau fungsi yang dijalankan oleh suatu organ tertinggi dalam suatu negara
Dapat berarti cara,penggunaan atau pelaksaan
2 Sifat hubungan
Hirarkis, dalam arti yang memerintah berada di atas sedangkan warga negara yang diperinah ada di bawah
Heterarkhis, dalam arti ada kesetaraan kedudukan dan hanya berbeda dalam fungsi
3 Komponen yang terlibat Sebagai subjek hanya ada satu yaitu institusi pemerintah
Ada tiga komponen yang terlibat yaitu:
1. sektor publik
2. sektor swasta
3. masyarakat
4 Pemegang peranan dominan Sektor pemerintah Semua memegang peran sesuai dengan fungsinya masing-masing
5 Efek yang diharapkan Kepatuhan warga negara Partisipasi warga negara
6 Hasil akhir yang diharapkan Pencapaian tujuan negara melalui kepatuhan warga negara
Pencapaian tujuan negara dan tujuan masyarakat melalui partisipasi sebagai warga negara maupun sebagai warga masyarakat
Banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang
memberikan wewenang yang besar kepada kabupaten dan kota sebagaimana yang
diamanatkan oleh undang-undang otonomi daerah akan mampu mendorong
percepatan terwujudnya tata pemerintahan yang baik kewenangan besar yang kepada
daerah kabupaten dan kota jika tidak diikuti dengan penguatan peran dan kepastian
5
lembaga non pemerintah untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya
pemerintahan dapat membuat kepentingan publik justru terabaikan.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia secara radikal telah merubah
hubungan hirarki yang selama ini terjadi antara berbagai tingkat pemerintahan.
Dalam era pemerintahan yang sentralistik, kewenangan kabupaten dan kota sangat
terbatas. Pemerintah kabupaten dan kota sekarang memiliki kewenangan yang besar
untuk merumuskan kebijakan dan program-programnya sesuai dengan keinginan dan
aspirasi mereka, diluar bidang pertahanan dan keamanan, moneter, agama,
kehakiman dan hubungan luar negeri. Pemberian kewenangan yang luar biasa
besarnya kepada pemerintah kabupaten dan kota tentu membawa potensi yang sangat
positif bagi pembangunan di daerah, termasuk dalam mempercepat terwujudnya
pemerintahan yang lebih baik.
Namun perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak serta
merta mampu menghasilkan perubahan-perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat
luas di daerah. Untuk itu diperlukan inisiatif, inovasi dan kreatifitas di dalam
menciptakan strategi yang tepat untuk membuat perubahan tersebut.
Konsep otonomi daerah pada hakekatnya mengandung arti adanya
kebebasan daerah untuk mengambil keputusan, baik politik maupun administratif,
menurut prakarsa sendiri. Oleh karena itu kemandirian daerah suatu hal yang penting,
tidak boleh ada intervensi dari pemerintah pusat. Ketidakmandirian daerah berarti
otonomi daerah adalah pemekaran wilayah, perubahan yang menyertai pelaksanaan
otonomi daerah sangat berpengaruh terhadap kehidupan ditingkat daerah,
diantaranya adalah dengan banyaknya dijumpai semangat-semangat daerah yang
ingin memekarkan wilayahnya, karena pada dasarnya daerah ingin menentukan
sendiri kebijakan tentang pengembangan dan pembangunan wilayahnya, walaupun
pada akhirnya permasalahan-permasalahan akan segera timbul, diantaranya adalah
infrastruktur yang belum memadai, permasalahan batas wilayah, daerah induk yang
tidak memberikan dukungan dana, permasalahan penyerahan asset oleh kabupaten
induk, dan sebagai daerah baru belum mampu menggali sumber pendapatan asli
daerah (PAD) jadi cenderung memungut pajak dan retribusi, dan sebagainya.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa dimungkinkan untuk
melakukan pembentukan daerah berdasarkan Undang-undang, pembentukan daerah
yang dimaksud dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau pemekaran dari
satu daerah menjadi dua daerah atau lebih, dengan harus memenuhi syarat
administratif, teknis dan fisik kewilayahan.
Pasal 5 ayat (3), ayat (4) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 berturut-turut menyebutkan syarat administratif yang dimaksud untuk
kabupaten/ kota meliputi adanya persetujuan DPRD kabupaten/ kota dan Bupati/
Walikota bersangkutan, persetujuan DPRD provinsi dan Gubernur serta rekomenasi
pembentukan daerah yang menjadi pembentukan daerah yang mencakup faktor
kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan,
luas wilayah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang memungkinkan
terselenggaranya otonomi daerah. Adapun syarat fisik meliputi sedikitnya 5 (lima)
kecamatan untuk pembentukan kabupaten, untuk pembentukan kota, lokasi calon
ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten
Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera Utara merupakan implementasi dari ketentuan
pembentukan daerah pemekaran dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
tersebut. Kabupaten serdang Bedagai adalah kabupaten pemekaran dari Kabupaten
Deli Serdang. Sejak dimekarkan pada tanggal 7 Januari 2003 dengan Undang-undang
Nomor 36 Tahun 2003 hingga saat ini masih banyak hak dan kewajiban Kabupaten
Deli Serdang sebagai Kabupaten Induk sebagaimana yang tertuang dalam ketentuan
Pasal 15 dan Pasal 16 yang belum terlaksana dengan baik sebagaimana mestinya,
diantaranya adalah masalah batas wilayah dengan Kabupaten Deli Serdang, daerah
induk yang tidak memberikan dukungan dana yang seharusnya diserahkan,
permasalahan penyerahan asset oleh Kabupaten Induk, dan disamping itu sebagai
daerah baru Kabupaten Serdang Bedagai belum mampu menggali sumber pendapatan
asli daerah (PAD) jadi cenderung memungut pajak dan retribusi, serta infrastruktur
Ketentuan tentang batas wilayah, penyerahan alokasi dana perimbangan
dari kabupaten induk, penyerahan asset, pada dasarnya telah diatur dalam Pasal 15
dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003, namun dalam pelaksanaan dan
prakteknya banyak menemui kendala dan hambatan. Berdasarkan uraian-uraian yang
telah disampaikan di atas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul “Problema
Yuridis Pasca Pemekaran Daerah Kabupaten Serdang Bedagai”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka dapat
dirumuskan beberapa pokok masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini. Adapun
perumusan masalah dalam penulisan ini adalah:
1. Apakah faktor penyebab pemekaran Kabupaten Serdang Bedagai dari
Kabupaten Deli Serdang?
2. Apakah problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca
pemakaran daerah?
3. Apakah langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi problema-problema
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, adapun tujuan yang hendak
dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apakah faktor penyebab pemekaran Kabupaten Serdang
Bedagai dari Kabupaten Deli Serdang
2. Untuk mengetahui problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang
Bedagai pasca pemakaran daerah
3. Untuk mengetahui langkah-langkah yang ditempuh dalam mengatasi
problema-problema yang dihadapi Kabupaten Serdang Bedagai pasca pemakaran daerah
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Problema Yuridis Pasca Pemekaran Daerah
Kabupaten Serdang Bedagai”, diharapkan akan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat dijadikan kajian dan sumbangan
pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya bagi
kabupaten/kota lainnya yang berencana atau telah melakukan pemekaran
daerah.
2. Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
pemerintah pusat dan pemerintah daerah agar dapat lebih selektif dalam
E. Keaslian Penelitian
Penulisan ini didasarkan pada ide, gagasan serta pemikiran penulis secara
pribadi dari awal hingga akhir penyelesaiannya dengan melihat bahwa Kabupaten
Serdang Bedagai sebagai daerah pemekaran dari Kabupaten Deli Serdang banyak
menemui problema-problemadalam praktek pelaksanaannya. Tulisan ini bukanlah
merupakan hasil ciptaan atau hasil penggadaan dari karya tulis orang lain, karena itu
keaslian penulisan ini dapat dipertanggungjawabkan. Kalaupun ada terdapat pendapat
atau kutipan dalam penulisan ini karena hal tersebut sangat dibutuhkan dan
diperlukan dalam penyempurnaan tulisan ini.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam pelaksanaan amanat otonomi daerah mempunyai pengertian bahwa
pemerintah pusat melimpahkan kepada pemerintah daerah untuk kewenangan dan
pengurusan rumah tangganya sendiri, tetapi tetap dalam wadah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Untuk itu berbicara masalah pembentukan daerah pemekaran,
yang bersumber pada gagasan dan inisiatif msyarakat, juga berada dalam kerangka
negara kesatuan pula. Dengan demikian dalam penelitian ini akan digunakan teori
Otonomi daerah adalah merupakan konsekuensi dari salah satu varian dari
desentralisasi. Rondinelli secara berani menyatakan bahwa dalam praktek
desentralisasi memiliki empat varian yakni: dekonsentrasi, delegasi, devolusi dan
privatisasi.6 Pakar ini mengulas bagaimana kekuasaan yang ada pada pemerintah dikelola dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal.
Dalam konteks ini maka apabila kewenangan untuk memberikan pelayanan kepada
masyarakat itu oleh pemerintah diserahkan kepada pejabat pusat maka konsep ini
dimaknai sebagai dekonsentrasi. Sebaliknya apabila kewenangan itu diserahkan
kepada daerah otonomi maka konsep ini dimaknai sebagai devolusi yang
konsekuensinya akan ada otonomi daerah.
Disamping itu untuk hal-hal tertentu kewenangan itu diberikan kepada
badan atau lembaga tertentu untuk mengelolanya seperti listrik kepada PLN, maka
konsep ini dimaknai sebagai delegasi, sedangkan varian yang keempat adalah
manakala kewenangan itu diserahkan kepada swasta untuk mengelolanya, maka
konsepnya dimaknai sebagai privatisasi.
Otonomi daerah yang dilaksanakan oleh Indonesia disebut sebagai
perubahan radikal atau Big Bang dalam system pemerintahan dari semula yang amat
sentralistik menjadi salah satu negara yang amat desentralistik, demikian laporan
6
Oentarto Sindung Mawardi, Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah: Impementasi,
Permasalahan dan Solusi, dalam Desentralisasi Pemerintahan NKRI Implementasi dan Revitalisasi,
Bank Dunia Nomor 26191-IND yang dikeluarkan Juni 2003 dalam buku yang
berjudul Decentralizing Indonesia.7
Kebijakan desentralisasi mengakibatkan pemerintah daerah dapat
mengembangkan potensi sumber daya alam lebih maksimal untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi daerahnya sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan
ekonomi secara nasional. Desentralisasi sebagai salah satu asas penyelenggaraan
pemerintah daerah pada perkembangan berikutnya melahirkan pengertian otonomi,
yaitu merupakan suatu hak atau wewenang dan kewajiban suatu daerah otonom untuk
mengurus sendiri dan mengatur sendiri daerahnya dengan mengambil keputusan, baik
politik maupun administratif menurut prakarsa sendiri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
2. Kerangka Konsepsi
Atas dasar kerangka teoritis yang disebutkan di atas, dapat diuraikan
kerangka konsepsi sebagai berikut, Definisi tentang desentralisasi tidak ada yang
tunggal, namun banyak defenisi yang dikemukan oleh para pakar mengenai
desentralisasi. Dari defenisi yang ada secara garis besar ada dua defenisi dari
prespektif administratif dan persepktif politik8. Menurut perspektif administratif, desentralisasi didefenisikan sebagai the transfer of administerative responsibility
7
Harry Azhar Aziz, Teori Big Bang Otonomi Daerah, dalam Desentralisasi Pemerintahan
NKRI Implementasi dan Revitalisasi, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja
Otonomi Daerah, 2004), hlm 73
8
Lili Romli, Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia dalam Jurnal desentralisasi
Volume 4 Nomor 3, (Jakarta : Lembaga Administrasi Negara Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah,
from central to local governments. Dalam undang-undang Pemerintahan Daerah
dinyatakan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi administratif menurut Rondinelli sebagaimana dikutip
Machfud Sidik adalah pelimpahan wewenang yang dimaksud untuk mendistribusikan
kewenangan, tanggung jawab, dan sumber-sumber keuangan untuk menyediakan
pelayanan publik termasuk menyangkut perencanaan, pendanaan dan manajemen
fungsi pemerintahan pusat kepada aparatnya di daerah yaitu pada tingkatan yang
lebih rendah9. Jadi dapat dikatakan maksud dari desentralisasi administratif di atas adalah pelimpahan wewenang kekuasaan pemerintah pusat kepada daerah yang
bertujuan untuk menciptakan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah-daerah. Dengan
demikian desentralisasi administratif adalah berupa kekuasaan pemerintah pusat yang
dijalankan di daerah-daerah.
Desentralisasi politik menurut Rondinelli adalah pemberian hak kepada
warga negara melalui perwakilan yang dipilih suatu kekuasaan yang kuat untuk
mengambil keputusan publik10. Desentralisasi politik dimaksud bagaimana gambaran distribusi kekuasaan pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah sehingga
9
Faisal Akbar, Sumber-sumber Pembiayaan Daerah Otonom dalam Rangka Menunjang
Keberhasilan Otonomi Daerah, (Medan : Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara,
2007) hlm 98
10
masyarakat lokal memiliki kesempatan yang luas untuk merencanakan dan
menentukan sendiri kebijakan-kebijakan yang tepat untuk menyelenggarakan
kepentingan-kepentingan yang bersifat spesifik atau khas lokal tersebut, dengan
asumsi bahwa sesungguhnya hanya masyarakat setempatlah yang tahu persis
bagaimana cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang berkarakter lokal serta dapat
memecahkan sendiri persoalan-persoalan yang dihadapi berkenaan dengan
kesejahteraan masyarakat yang bersifat kedaerahan.
Dalam perspektif politik daerah, desentralisasi politik dapat pula dipahami
sebagai satu cara untuk menumbuhkan sikap partisipasi masyarakat daerah dalam
beragam aktivitas politik ditingkat lokal, disamping pendidikan bagi masyarakat lokal
untuk meningkatkan rasa tanggungjawab terhadap maju mundurnya perkembangan
daerahnya. Desentralisasi politik merupakan perwujudan hak-hak dan kewajiban
masyarakat lokal dalam keterlibatannya untuk memilih dan dipilih pada
jabatan-jabatan pada pemerintahan lokal dan pusat sehingga dapat membina hubungan yang
harmonis antara kedua tingkat pemerintahan tersebut yang ada kaitannya pada
partisipasi masyarakat secara politik. Sentralisasi kekuasaan akan menimbulkan
kesulitan-kesulitan dalam menjalankan urusan pemerintah, namun pada satu sisi
pelaksanaan sentralisasi memberikan kemudahan dalam proses pengambilan
keputusan Karena hanya dilakukan oleh satu badan atau orang yang diberikan
kekuasaan. Untuk itu sejak tahun 1999 isu desentralisasi semakin mencuat di mana
Sesuai dengan amanat dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dalam Pasal 4 disebutkan bahwa diberikan kesempatan
kepada daerah untuk menggabungkan atau memekarkan daerah, atas dasar ini
masyarakat dapat memekarkan daerahnya dengan tujuan untuk lebih mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat daerah. Dengan harus memenuhi syarat administratif
yaitu mendapat persetujuan DPRD dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam
Negeri,syarat teknis meliputi daerah yang akan dimekarkan harus memiliki
kemampuan, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah,
pertahanan dan keamanan yang memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.
Dan syarat fisik paling sedikit memiliki paling sedikit 5 (lima) kecamatan, lokasi
ibukota, sarana dan prasarana pemerintahan.
G. Metode Penelitian
1. Penentuan Lokasi Penelitian
Alasan yang mendasari pemilihan Kabupaten Serdang Bedagai sebagai
lokasi penelitian adalah karena Kabupaten Serdang Bedagai merupakan salah satu
kabupaten yang baru dimekarkan dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2003 dan
memiliki masalah mengenai tapal batas wilayah, penyerahan asset daerah dan dana
perimbangan serta status pegawai negeri sipil yang karena tugasnya diperlukan oleh
Deli Serdang sebagai kabupaten induk kepada Kabupaten Serdang Bedagai sebagai
kabupaten pemekaran.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan yuridis
empiris dan pendekatan historis, yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji
peraturan-peraturan hukum mengenai pemekaran daerah Kabupaten Serdang Bedagai
dan selanjutnya dikaitkan dengan penerapannya dalam praktek pelaksanaan.
“Sedangkan pendekatan historis adalah pendekatan yang dilakukan dalam kerangka
pelacakan sejarah lembaga hukum dari waktu ke waktu. Disamping itu pendekatan ini
dapat memberikan pemahaman dan perkembangan filosofi yang melandasi aturan
hukum tersebut”.11
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan dua teknik pengumpulan data,
yaitu:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Research), dilakukan dengan menghimpun
data sekunder dari peraturan-peraturan. Data sekunder yaitu melalui penelitian
kepustakaan berupa: diperoleh melalui bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder serta bahan hukum tertier
11
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum berupa peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia khususnya Undang-undang No 22
Tahun 1999 jo Undang-undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
daerah dan Undang-undang No 36 Tahun 2003 tentang Pembentukan
Kabupaten Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai di Provinsi Sumatera
Utara dan peraturan perundang-undangan pendukung lainya.
2. Bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan terhadap bahan
hukum primer berupa hasil penelitian di bidang hukum dan karya ilmiah
lainnya.
3. Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk
maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder untuk
melengkapi atau menunjang data penelitian. Seperti surat kabar, majalah,
internet yang berhubungan dengan pemekaran daerah.
b. Penelitian Lapangan (Field Research), dilakukan untuk memperoleh data
sekunder yang diperoleh langsung dari informan karena tidak semua
bahan-bahan yang diperlukan dapat diperoleh atau tersedia di perpustakaan
4. Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian ini
adalah dengan menggunakan studi dokumen dan wawancara. Studi dokumen adalah
buletin dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini. Wawancara
dilakuan secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan isi dan kebenaran dengan
menggunakan teknik wawancara mendalam terhadap informan yang memiliki
pengetahuan yang luas tentang masalah pemekaran daerah di Kabupaten Serdang
Bedagai. informan dalam penelitian mencakup dari aparat pemerintah Kabupaten
Serdang Bedagai dan Kabupaten Deli Serdang, kalangan DPRD, dan unsur
masyarakat.
5. Analisis Data
Setelah data yang dibutuhkan terkumpul selanjutnya dilakukan editing
guna memeriksa kembali kelengkapan jawaban yang diperoleh dari informan untuk
kejelasan, konsistensi jawaban atau informasi serta relevansi dengan penelitian dan
keragaman data, kemudian data yang telah diperoleh dikoding dengan membuat
klasifikasi data untuk memudahkan analisis.
Analisis data yang digunakan adalah deskrifitif kualitatif, artinya data
yang telah diklasifikasikan, dipaparkan kembali dengan menggunakan kalimat yang
teratur sehingga dapat menguraikan dan menggambarkan yang ada dan juga
BAB II
FAKTOR PEMBENTUKAN DAERAH KABUPATEN
SERDANG BEDAGAI
A. Landasan Teoritis Pembentukan Daerah
Sejak Republik Indonesia lahir, para founding father telah meletakkan
gagasan ideal mengenai pengaturan daerah di seluruh Indonesia, sesuai dengan
kemajemukan yang ada. Pasal 18 UUD 1945 menyatakan bahwa pembagian daerah
indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahan
ditetapkan dengan undang-undang. Penjelasan dari pasal ini menyebutkan bahwa
dalam membentuk pemerintahan daerah harus melihat hak-hak asal usul daerah yang
bersifat istimewa.
Namun dalam penjabaran bentuk peraturan perundangan di bawahnya,
bentuk pemerintahan daerah tidak mencerminkan demokrasi. Pengaturan pemerintah
daerah lebih menekankan asas sentralisasi ketimbang desentralisasi. Praktek ini
terlihat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, dalam undang-undang ini selain
menerapkan asas desentralisasi, juga menerapkan asas dekonsentrasi. Daerah tidak
memiliki kewenangan apa-apa selain hanya melaksanakan kebijakan yang telah
ditetapkan pemerintah. Kecenderungan yang terjadi adalah sentralisasi.
Sentralisasi ini pada gilirannya membuat otonomi daerah tidak berjalan
melaksanakannya. Daerah tidak mempunyai prakarsa dan inisiatif dalam
mengembangkan daerahnya. Ketika rezim orde baru jatuh, tuntutan akan otonomi
daerah menguat, daerah menuntut keadilan dan kemadirian dalam mengelola
pemerintahan dan sumber-sumber keuangan. Pemerintah merespon dengan
mengeluarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan pada masa reformasi
undang-undang tersebut diganti dengan Undnag-undang Nomor 32 Tahun 2004.
Berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah yang dalam wacana publik sering pula disebut dengan Undang-undang atau
kebijakan otonomi daerah. Namun demikian tidak semua tampaknya memahami
secara tepat apa sebenarnya yang dimaksud dengan pengertian otonomi daerah
tersebut. Sebagian menyatakan pendapatnya bahwa otonomi daerah berarti otonomi
politik, dimana daerah memiliki kedaulatan rakyat yang tercermin pada kelembagaan
DPRD yang terbentuk melalui proses politik pemilihan umum. Tetapi sebagian lain
yang tidak ingin melihat adanya kecenderungan federalisme dalam pengertian
otonomi politik tersebut menyatakan bahwa otonomi yang berlaku di Indonesia
adalah otonomi administrasi atau otonomi administratif, yaitu kekuasaan untuk
mengurus urusan rumah tangga daerah. Bagaimanapun wacana tersebut kurang
memberikan pemahaman yang jelas mengenai otonomi secara hakiki.
Istilah atau kata otonomi menutrut Webater’s Student Dictionary of
English Language berasal dari bahasa Yunani yaitu autos dan nomos12. Autos artinya sendiri sedangkan nomos berarti hukum atau aturan. Sebagai istilah, pengertian autos
12
nomos atau autonomous dalam bahasa Inggris menurut kamus tersebut adalah kata
sifat yang berarti (1) keberadaan atau keberfungsian yang bebas atau independent dan
(2) memiliki pemerintahan sendiri, sebagai negara atau kelompok dan sebagainya.
Sedangkan pengertian otonomi sebagai kata benda adalah (1) kondisi atau
kualitas yang bersifat independent, khususnya kekuasaan atau hak memiliki
pemerintahan sendiri (the power of right of having self government), dan atau (2)
negara, masyarakat atau kelompok yang memiliki pemerintahan sendiri yang
independent (a self-governing state, cummunity or group).
Berdasarkan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pengertian
otonomi daerah secara ringkas adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan
sendiri, atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat atau
independen. Dalam konteks indonesia pengertian independen atau bebas atau
berdaulat inilah yang barangkali tidak diinginkan, karena berkonotasi adanya negara
di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak sesuai dengan
Undang-undang Dasar 1945.
Indonesia pada umumnya menganut pemahaman bahwa otonomi daerah
adalah bersifat administratif yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi
pemerintahan sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
administrasi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini
dijelaskan oleh Bagir Manan yang mendefenisikan otonomi daerah sebagai
mengurus sebagian urusan pemerintahan”13. Bahwa kebebasan dan kemandirian itu adalah dalam ikatan kesatuan yang lebih besar (NKRI), karena dalam teori negara
kesatuan, otonomi adalah subsistem dari negara kesatuan. Jadi dalam konteks
indonesia, pengertian otonomi daerah menunjukkan hubungan keterikatan antara
daerah yang memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan
kesatuan yang lebih besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan
berarti daerah otonomi yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan
NKRI.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah
diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan, sedangkan daerah otonom menurut
Undang-undang tersebut diartikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan
dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan pemberian otonomi kepada daerah secara umum sangat tipikal
trejadi di negara-negara yang berbentuk kesatuan seperti halnya Indonesia. Hal ini
didasarkan kepada kenyataan bahwa dalam negara kesatuan sesungguhnya otonomi
tersebut merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai suatu kesatuan bangsa,
bukan sebagai kedaulatan berbagai kelompok masyarakat bangsa yang berdiri sendiri.
13
Akan tetapi berdasarkan kenyataan bahwa pemerintah pusat tidak akan cukup
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat berdasarkan aspirasinya yang sangat
beragam dan letak geografis yang sangat jauh, maka pemerintah memberikan
kewenangan otonom kepada daerah agar daerah dapat memenuhi kepentingan dan
aspirasi masyarakat setempat secara lebih efektif dan efisien. Kebijakan inilah yang
kemudian disebut dengan kebijakan desentralisasi.
Melihat sejarahnya, Osmani mengungkapkan bahwa istilah desentralisasi
pertama kali diperkenalkan dalam literatur pembangunan pada tahun 1950-an, ketika
negara-negara kolonial (terutama kerajaan Inggris) melakukan serangkaian perubahan
kelembagaan dalam rangka persiapan pemberian kemerdekaan kepada negara
jajahannya di Afrika. Osmani mengutip Mawhood dan Davey yang mendeskripsikan
bagaimana pola “desentralisasi klasik” yang berlaku pada masa itu, yang diantara lain
memiliki 5 (lima) prinsip sebagai berikut:14
1. Pemerintahan lokal (local authority) harus terpisah dari pemerintah pusat dan
bertanggungjawab atas penyelenggaraan berbagai pelayanan kepada masyarakat
antara lain: pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, pembangunan
(pemberdayaan) masyarakat, jaringan jalan sekunder dan sebagainya
2. Pemerintah lokal tersebut harus memiliki anggaran keuangan sendiri lengkap
dengan sumber-sumber pendapatannya dan berwenang untuk meningkatkan
kemampuan keuangannya melalui penerapan sistem perpajakan langsung yang
dibebankan atas berbagai jasa publik yang diselenggarakan.
14
3. Pemerintah lokal harus memiliki pegawai sendiri, meskipun pada tahap pertama
mungkin saja para pegawai tersebut berasal dari pegawai pusat yang
diperbantukan
4. Pemerintah lokal dapat diurus atau dikelola secara internal oleh sebuah dewan
(council) yang terdiri dari beberapa orang wakil rakyat dipilih oleh masyarakat
melalui pemilu lokal.
5. Administrator pemerintahan pada tingkat pusat tidak lagi berperan sebagai
pengelola bidang pemerintahan tertentu, tetapi berfungsi sebagai perumus
kebijakan dan atau pengendalian dan pembinaan terhadap pemerintahan lokal.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, desentralisasi adalah
penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dibanyak negara yang sedang berkembang, kebijakan
desentralisasi sejak lama telah dianggap sebagai salah satu prasyarat utama
pembangunan ekonomi, sosial dan politik. Pemahaman mengenai desentralisasi itu
sendiri sangat bervariasi sesuai bentuk dan materi kebijakan yang terkait dengan isu
desentralisasi itu sendiri. Namun demikian secara umum dapat diartikan bahwa
desentralisasi sebagai prasyarat pembangunan adalah sebagai wujud komitmen para
penyelenggara pembangunan untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan melalui kebijakan
institusi pemerintah daerah yang relatif lebih dekat dan lebih mengerti aspirasi
masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Ada dua perspektif dalam mendefenisikan desentralisasi yang pada
akhirnya memiliki implikasi pada perbedaan dalam merumuskan tujuan utama yang
hendak dicapai. Perspektif desentralisasi politik menekankan bahwa tujuan utama
dari desentralisasi adalah untuk mewujudkan demokratisasi ditingkat lokal sebagai
persamaan politik, akuntabilitas lokal dan kepekaan lokal. Di sisi lain perspektif
administrasi lebih menekankan pada aspek efisiensi penyelenggaraan pemerintah
daerah dan pembangunan ekonomi di daerah.
Apabila desentralisasi dipahami berdasarkan perspektif hubungan negara
dan masyarkat dan hubungan pusat dan daerah, maka akan diketahui bahwa
sesungguhnya keberadaan dari desentralisasi tidak lain adalah mendekatkan
pemerintah kepada masyarakat, sehingga antara keduanya dapat tercipta interaksi
yang dinamis, baik pada proses pengambilan keputusan maupun dalam implementasi
kebijakan.
Otonomi daerah pada dasarnya bukanlah tujuan, melainkan alat dalam
rangka mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
Kebijakan otonomi daerah yang berorientasi kepentingan rakyat tidak akan pernah
tercapai apabila pada saat yang sama tidak berlangsung agenda demokratisasi.
Dengan kata lain, otonomi daerah yang bisa meminimalisasi konflik Pusat-Daerah di
masyarakat lokal di lain pihak, hanya dapat dicapai di dalam kerangka besar
demokratisasi kehidupan bangsa di bidang politik, hukum, ekonomi. Ini berarti
bahwa otonomi daerah harus diagendakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
demokratisasi kehidupan bangsa seperti restrukturisasi lembaga perwakilan,
restrukturisasi sistem pemilihan bagi eksekutif dan legislatif, penegak hukum dan
Tabel 2. Paradigma Baru Hubungan Pusat dan Daerah15
Paradigma
No Kategori Relasi
Lama Baru
2 Tekanan sentralisasi kekuasaan,
desentralisasi administrasi, desentralisasi politik
distribusi kekuasaan, desentralisasi politik
3 Sifat Hubungan hierarkis dan dominative partnership dan komplementer
4 Kekuasaan pusat
Tak terbatas dan tak terkontrol terbatas dan terkontrol
5 Kedaulatan Pada negara (manipulasi
kedaulatan rakyat)
Pada rakyat
6 Orientasi otonomi Otonomi pemerintah daerah
Otonomi masyarakat lokal
7 Skala otonomi Seragam Fleksibel/kondisional
8 Titik berat Kabupaten/kota provinsi
9 Cakupan kekuasaan dan wewenang
Belas kasihan pusat Kesepakatan wakil rakyat pusat dan daerah
10 Peran masyarakat Pasif dan mobilized Aktif dan partisipatif
11 Rekrutmen elite Tidak langsung dan tertutup
Langsung dan terbuka
12
Instrumen kebijakan a. jumlah kebijakan b. proses pembuatan Dua arah dan beragam
13 Ekonomi Eksploitatif Distributif, keadilan dan
kesejahteraan 14 Sistem bagi hasil
Tidak proporsional dan tidak adil Sesuai kontribusi daerah
15 Komponen bagi hasil
Terbatas Diperluas termasuk pajak
dan cukai 16 Dana alokai
Pola seragam Sesuai kontribusi lokal
17 Sumber PAD
Terbatas dan seragam Diperluas dan kondisional
15
Syamsuddin Haris, Otonomi Daerah, Demokratisasi, dan Pendekaan Alternatif Resolusi
Konflik Puat dan Daerah dalam Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Jakarta: LIPI Press, 2007) hlm
Esensi desentralisasi berdasarkan perspektif hubungan negara dan
masyarakat, secara implisit juga mengindikasikan bahwa tujuan utama yang hendak
dicapai melalui desentralisasi adalah meliputi terwujudnya demokratisasi di tingkat
lokal, terciptanya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan ekonomi di daerah.
Desentralisasi dan otonomi daerah secara umum diyakini mampu
memberikan beberapa manfaat yang positif untuk terwujudnya tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi daerah, karena pemerintah
daerah dan masyarakat setempatlah yang paling mengetahui dan memahami kondisi
sosial, ekonomi daerah. Dengan perkataan lain desentralisasi pemerintahan diyakini
dapat menjamin terciptanya efektivitas pemenuhan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat lokal daripada program-program yang dirancang secara sentralistik.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah, peran serta proaktif
masyarakat dalam program peningkatan kesejahteraan dan penghapusan kemiskinan
lebih mudah diwujudkan, karena akses yang lebih dekat dan terbuka terhadap
kebijakan dan program yang menjadi kewenangan administrasi pemerintah daerah
setempat. Dengan desentralisasi dan kewenangan otonomi yang diberikan kepada
daerah, masyarakat memiliki kesempatan yang lebih luas untuk merencanakan,
melaksanakan dan mengendalikan pembangunan daerahnya, dan memiliki komitmen
yang lebih baik terhadap perubahan dan perilaku sosial, ekonomi dan politik ke arah
desentralisasi akan mampu mengembangkan daya jangkau dan partisipasi kelompok
masyarakat yang beragam tersebut sesuai dengan aspirasi dan latar belakang sosial
budaya mereka masing-masing.
Hakekat dan tujuan pemberian otonomi daerah, salah satunya adalah
mendekatkan pemerintah pada pelayanan publik. Untuk dapat memberikan pelayanan
publik yang prima, paling tidak tergantung pada dua faktor, pertama dukungan
aparatur birokrasi dalam melaksanakan tugasnya sebagai pelayan masyarakat. Kedua
faktor kepemimpinan kepala daerah yang mendorong dan memacu agar aparaturnya
bekerja maksimal sebagai abdi masyarakat dengan melakukan inovasi-inovasi untuk
menggerakkan roda pemerintahan.
Selanjutnya agar pelaksanaan otonomi daerah bisa berjalan dengan
optimal, pemerintah melaksanakan strategi penyelenggaraan otonomi daerah dengan
langakah-langkah sebagai berikut:16 1. Membangun komitmen
dalam melaksanakan otonomi daerah, seluruh stakeholders harus bersama-sama
mempunyai komitmen yang tinggi untuk mensuskseskannya. Komitmen harus
dibangun oleh semua lembaga baik pusat maupun daerah.
2. Membangun sinergitas
Setelah terbangun komitmen bersama di antara para stakeholders kunci sukses
pelaksanaan otonomi daerah adanya sinergitas antara stakeholders tersebut.
Diantara stakeholders harus terbangun kesepahaman tentang fungsi dan tugas
16
masing-masing agar tidak tumpang tindih dalam mensukseskan kebijakan
otonomi daerah
3. Menyempurnakan Peraturan Perundangan
Dimaksudkan agar tidak ada lagi kebingungan dalam pelaksanaan otonomi
daerah baik pusat maupun daerah dalam melaksanakan peraturan perundangan,
karena banyak peraturan perundangan yang tidak sinkron antara satu dengan
yang lainnya.
4. Meningkatkan Koordinasi antara Departemen
Dalam melaksanakan fungsi pemerintah di bidang pembinaan dan pengawasan
pelaksanaan otonomi daerah maka kerjasama antar departemen mutlak
diperlukan.
5. Meningkatkan sosialisasi otonomi daerah
Sosialisasi perlu dilaksanakan agar setiap pejabat pemerintah dan masyarakat
mempunyai satu persepsi dan penafsiran yang sama atas setiap langkah yang
akan dilakukan dalam mensukseskan otonomi daerah
6. Meningkatkan Keterlibatan masyarakat
Pemberdayaan masyarakat merupakan langkah yang harus dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh anggota masyarkat yang lain, agar dapat terlibat
langsung dalam pelaksanaan otonomi daerah. Masyarakat harus disadarkan
bahwa mereka bukanlah objek otonomi daerah melainkan subjek dalam
7. Bertahap
Agar pelaksanaan otonomi daerah berjalan suskses, implementasi kebijakan
harus dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan.
Seluruh upaya tersebut harus tetap dilakukan dalam rangka mengawal otonomi
daerah senantiasa pada koridor yang antara lain bahwa otonomi daerah
sesungguhnya harus bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan
mendekatkan fungsi-fungsi pelayanan umum pemerintah kepada masyarakat
daerah.
Konteks mendekatkan pelayanan publik pada pelaksanaan otonomi daerah
adalah pada kabupaten atau kota, hal ini sesuai dengan harapan masyarakat, karena
kabupaten dan kota merupakan satuan wilayah pemerintahan yang rentang jaraknya
relatif dengan masyarakat. Pada gilirannya pemerintah kabupaten dan kota
mengetahui, memahami, dan mengerti tentang keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Penyelenggaraan desentralisasi menuntut penebaran urusan pemerintahan
oleh pemerintah kepada daerah otonom sebagai badan hukum publik. Urusan
pemerintah yang didistribusikan hanyalah merupakan urusan pemerintahan yang
menjadi kompetensi pemerintah. Persebaran urusan pemerintahan memiliki dua
prinsip pokok, yaitu:
1. selalu terdapat urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada
2. tidak ada urusan pemerintahan yang sepenuhnya dapat diserahkan kepada
daerah, yang diserahkan hanyalah yang menyangkut kepentingan masyarakat
setempat. Ini berarti ada bagian-bagian dari urusan pemerintahan yang
dilaksanakan oleh kabupaten/kota, ada bagian-bagian yang diselenggarkan oleh
provinsi dan ada juga yang diselenggarkan oleh pemeirntah pusat.
Kebijakan pemberian otonomi kepada daerah secara umum sangat tipikal
terjadi di negara-negara yang berbentuk kesatuan seperti halnya Indonesia. Hal ini
didasarkan kepada kenyataan bahwa dalam negara kesatuan sesungguhnya otonomi
tersebut merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai satu kesatuan bangsa
(nation), bukan sebagai kedaulatan berbagai kelompok masyarakat bangsa yang
berdiri sendiri-sendiri. Akan tetapi berdasarkan kenyataan bahwa pemerintah pusat
tidak akan cukup mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat
berdasarkan aspirasinya yang sangat beragam dan letak geografis yang jauh, maka
pemerintah memberikan wewenang otonomi kepada daerah agar daerah dapat
memenuhi kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat secara lebih efektif dan
esisien.
Desentralisasi dan otonomi daerah secara umum diyakini mampu
memberikan beberapa manfaat yang positif untuk terwujudnya tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi daerah, karena pemerintah
daerah dan masyarakat setempatlah yang paling mengetahui dan memahami kondisi
Walaupun demikian desentralisasi dan pemberian otonomi kepada daerah
hadir bukan tanpa kendala dan keterbatasan. Smith mengungkapkan bahwa
berdasarkan beberapa teori kenegaraan, desentralisasi justru mendekatkan
parokialisme dan separatisme yang bisa mengarah pada anti-egalitarianisme.17 Ini
berarti pada saat desentralisasi terbentuk, sesungguhnya batasan untuk tidak
tergelincir pada “primordialisme” menjadi sangat tipis sekali. Dari perspektif lain,
otonomi daerah justru sering dijadikan instrumen legitimasi dan rujukan bagi
kelompok elit politik tertentu dalam penguasaan sember daya alam dan ekonomi di
daerah.
Otonomi daerah juga juga bisa menyebabkan friksi atau berbedaan
kepentingan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya daerah yang
sekaligus bisa memicu konflik yang laten antara pusat dan daerah. Selain itu adanya
perbedaan kekayaan sumber daya alam dan ekonomi daerah justru bisa menimbulkan
kesenjangan ekonomi baru, yang penyelesaiannya akan relatif sulit, karena daerah
yang kaya akan merasa memiliki hak yang lebih untuk menikmati sumber kekayaan
daerah tersebut dibanding daerah lain. Sementara fungsi pusat dalam upaya
mengatasi kesenjangan tersebut justru telah terbatasi oleh kebijakan otonomi itu
sendiri.
Artinya, mesti dipahami bahwa desentralisasi bukanlah satu kebijakan
yang bersifat “Quick Fix” bagi penyelesaian masalah ekonomi,politik maupun sosial
17
di negara berkembang. Desentralisasi baru akan mampu memberikan manfaat yang
optimal jika saja elemen masyarakat (civil society) telah terberdayakan dengan baik
dan optimal.
B. Pengaturan tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945
Pendiri bangsa Indonesia pada dasarnya menyadari bahwa bangsa
Indonesia adalah bangsa yang heterogen dan terdiri dari berbagai daerah, yang mana
masing-masing daerah memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Dalam konteks ini maka
para pendiri bangsa merumuskannya dalam bentuk Pasal 18 UUD 1945. Dalam pasal
tersebut disebutkan, “Pembentukan Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undnag-undang, dengan
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan
negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Dalam upaya melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945 tersebut, maka
untuk pertama kali Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1945 dan berlaku di Indonesia selama 3 (tiga) tahun. Jadi sebelum
mengatur yang lain, pemerintah lebih dulu mengeluarkan tentang bagaimana
mengaplikasi ketentuan Pasal 18 tersebut. Adapun isi dari Undang-undang Nomor 1
Pasal 1 : Komite Nasional Daerah diadakan kecuali di daerah Surakarta dan
Yogyakarta, di keresidenan, di kota berotonomi, Kabupaten dan lain-lain
daerah yang dianggap perlu oleh Departemen Dalam Negeri
Pasal 2 : Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah,
yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah
menjalankan pekerjaan mengatur rumah tangga daerahnya asal tidak
bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Daerah yang lebih luas
Pasal 3 : Oleh Komite Nasional Daerah dipilih beberapa orang,
sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang sebagai badan eksekutif yang bersama-sama
dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan
sehari-hari dalam daerah itu
Pasal 4 : Ketua Komite Nasional Daerah lama harus diangkat sebagai Wakil
Ketua badan yang dimaksud dalam Pasal 2 dan 3
Pasal 5 : Biaya untuk keperluan Komite Nasional Daerah disediakan oleh
Pemerintah Daerah
Pasal 6 : Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diumumkan dan perubahan
dalam daerah-daerah harus selesai dalam waktu selambat-lambatnya 14
hari
Tentunya Undang-undang ini tidak sempurna dan tidak akan memberikan
kepuasan sepenuhnya, tetapi apresiasi yang kita berikan adalah dimana pemerintah