• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU

B. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut KUHP

Pelayanan kesehatan yang diberikan seorang tenaga medis kepada pasien merupakan tindakan profesi tenaga medis. Tindakan medis merupakan suatu tindakan yang penuh dengan risiko. Risiko tersebut dapat terjadi disebabkan oleh sesuatu yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya atau risiko yang terjadi akibat tindakan medis yang salah. Dikatakan tindakan salah apabila tenaga medis tidak melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medik & prosedur tindakan medik. Apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan salah, maka tenaga medis tersebut dapat dikategorikan melakukan tindakan malpraktik, sehingga dapat menyangkut aspek hukum pidana.

Tenaga medis adalah suatu profesi yang memiliki persyaratan tertentu karena dalam pelaksanaan profesi ini penuh dengan risiko. Persyaratan tertsebut meliputi persyaratan teknis yang berkaitan dengan kemampuan (berkaitan dengan ‘basic science’ serta keterampilan teknik) serta persyaratan yuridis, berkaitan dengan kompetensi.

Profesi tenaga medis mengandung risiko tinggi karena bentuk, sifat & tujuan tindakan yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dapat berpotensi menimbulkan bahaya bagi seseorang. Undang-undang memberikan kewenangan secara mandiri kepada tenaga medis untuk melakukan & bertanggung jawab dalam melaksanakan ilmu medis menurut sebagian atau seluruh ruang lingkupnya serta memanfaatkan kewenangan tersebut secara nyata. Seorang tenaga medis dinyatakan melakukan kesalahan profesional apabila melakukan tindakan yang menyimpang atau lebih dikenal sebagai malpraktik.

Dalam pengertian sempit, disebut juga sebagai malpraktik kriminal. Suatu tindakan dikatakan sebagai malpraktik kriminal apabila memenuhi kriteria sebagai berikut :

1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela (actus reus). 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea).

3. Merupakan perbuatan yang sengaja (intensional), ceroboh (recklessness), atau kealpaan (negligence).

Apabila tindakan tersebut tidak didasari dengan motif untuk menimbulkan akibat buruk, maka tindakan tersebut adalah tindakan kelalaian. Akibat yang ditimbulkan dari suatu kelalaian sebenarnya terjadi di luar kehendak yang melakukannya.

Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan malpraktek tersebut.

Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 361.

22

Pasal 360

Ayat 1 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan selama-lamanya satu tahun”.

Ayat 2 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500,-

Pada pasal 360 memiliki perbedaan dengan pasal 359, yakni pada pasal 359 dijelaskan akibat dari perbuatan yang menyebabkan “kematian” orang sedangkan dalam pasal 360 adalah :

22

R.Soesilo , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, POLITEIA, Bogor, 2007 , halaman : 248.

a. Luka berat

Di dalam pasal 90 KUHP dijelaskan mengenai luka berat atau luka parah yakni :

1. 23Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukan luka berat. 2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan.

Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu masuk luka berat.

3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera. 4. Verminking atau cacat sehingga jelek rupanya.

5. Verlamming (lumpuh) artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya.

6. Pikirannya terganggu melebihi empat minggu.

7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.

b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek) atau terhalang pekerjaan sehari-hari.

Sedangkan karena salahnya (kurang hati-hatinya) menyebabkan orang luka ringan tidak dikenakan pasal ini.

Pasal 361

“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu diumumkan”.

Yang dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan, ahli-obat, sopir, kusir dokar, masinis yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu mengabaikan peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan dalam pekerjaannya, sehingga menyebabkan mati (pasal 359) atau luka berat (pasal 360), maka akan dihukum lebih berat.

Sehubungan dengan aturan tindak pidana malpraktik maka diperlukan pembuktian terhadap tindak pidana malpraktik tersebut. Pembuktian dalam hal malpraktik merupakan upaya untuk mencari kepastian yang layak melalui pemeriksaan dan penalaran hukum tentang benar tidaknya peristiwa itu terjadi dan

mengapa mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi tujuan pembuktian ini adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran materil, bukan mencari kesalahan terdakwa. Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan syarat ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua alat bukti tersebut atau sistem pembuktian menurut teori ‘negative wetelijk’, karena menggabungkan antara unsur keyakinan hakim & unsur alat-alat bukti yang sah menurut UU.

A. Keterangan saksi

Berdasarkan Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri & ia alami sendiri. Keterangan saksi ini menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan salah satu dari alat bukti dalam perkara. Untuk menggunakan keterangan saksi sebagai alat bukti diperlukan paling sedikit 2 orang saksi, karena satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis). Dalam kasus ini beberapa saksi dapat diajukan di dalam persidangan pidana antara lain saksi korban, dokter anestesi & perawat yang turut dalam tindakan operasi. Keluarga penderita tidak dapat dijadikan saksi karena mereka termasuk memiliki hubungan keluarga/semenda sampai derajat ketiga dengan terdakwa yang dilarang

menjadi saksi berdasarkan Pasal 168 KUHAP dgn kekecualian Pasal 169.24

B. Keterangan ahli

Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang berkeahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seorang dokter yang sederajat keahliannya dapat dijadikan pemberi keterangan ahli & dalam penunjukannya akan lebih baik apabila berkonsultasi dengan IDI. Mereka termasuk dalam kelompok yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 28, Pasal 120, & Pasal 179 ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli pada kasus ini diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana malpraktik tersebut menjadi lebih terang & jelas.

C. Alat bukti surat

Rekam medik penderita selama menjalani perawatan di sarana kesehatan dapat dijadikan alat bukti surat, karena rekam medik dibuat berdasarkan undang-undang (UU no.29/2004). Dari rekam medik ini akan dapat dilihat apa yang dilakukan dokter selama operasi berlangsung dari laporan operasi yang dibuat oleh dokter.

24

http://hukumkes.wordpress.com/2008/03/15/aspek-hukum-pidana-dalam-pelayanan-kesehatan/ akses tanggal 13 Agustus 2013, jam : 13:43 WIB.

D. Alat bukti petunjuk

Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti berupa perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan telah terjadi suatu tindak pidana & siapa pelakunya.

E. Keterangan terdakwa

Keterangan terdakwa merupakan pernyataan terdakwa tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami sendiri. Keterangan dokter yang melakukan tindakan medik dapat dijadikan alat bukti yang kebenarannya dapat dicocokkan dengan rekam medik.

BAB III

FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA MALPRAKTEK

Dalam media massa kita sering membaca tentang “malpraktek” dan “kelalaian” di bidang medik. Namun belum ada terbaca istilah “kecelakaan medik”. Apa yang dimaksud dengan’kecelakaan”? The Oxford Illustrated Dictionary (1975) mengatakan :

“suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tidak disengaja (acccident, mishp, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck). Dan peristiwa yang terjadi tak terduga itu adalah sesuatu yang tidak enak, tidak menguntungkan, bahkan men”celakakan”, membawa malapetaka. Hal ini bukan saja bisa terjadi di jalan raya, tetapu juga di bidang medik.

Timbul pertanyaan : apa bedanya “kelalaian medik: dan : kecelakaan medik”? Dengan pertanyaan ini kita sudah menginjak bidang disiplin hukum medik yang sedang berkembang dan akan dikembangkan. Pembedanya adalah “kecelakaan medik” merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan dan tidak dihukum. Lain halnya dengan kelalaian medik (medical neglience) yang bisa juga termasuk delik pidana.

Jangkauan hukum medik menyangkut berbagai cabang hukum. Hukum Perdata, Hukum Pidana, Tata Usaha Negara, di samping disiplin, dan juga etik. Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kecelakaan medik harus kita melihat kepada literatur hukum pidana. Kecelakaan adalah lawan dari kesalahan, kelalaian (schuld, error). Tegasnya dalam arti kelalaian tidak termasuk kecelakaan (accident) yang juga terjadi walaupun sudah dilakukan dengan baik dan hati-hati.

Jika suatu peristiwa naas terjadi karena ada unsur kelalaian, maka hal itu termasuk kesalahan (schuld, dalam arti negligence). Maka perlu kita mengetahui ciri-ciri apa saja yang termasuk kesalahan, sehingga kita dapat memilah-milahkan antara kecelakaan dan kelalaian.

Menurut Jonkers suatu kesalahan (schuld) mengandung 4(empat) unsur, yaitu :

1. Bahwa tindakan itu bertentangan dengan hukum, (wederrrechtelijkheid),

2. Bahwa akibatnya sebenarnya dapat dibayangkan sebelumnya, (voorzienbaarheid),

3. Akibat itu sebenarnya dapat dicegah atau dihindarkan, (vermijdbaarheid),

4. Sehingga timbulnya akibat itu dapat dipersalahkan kepada si pelaku (verwijtbaarheid).25

Dari uraian Jonkers di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa yang tidak mengandung keempat unsur tadi, bukanlah kesalahan (negligence, schuld), dengan perkataan lain termasuk kecelakaan. Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, seorang tenaga medis hanya wajib berusaha sedapat mungkin untuk menyembuhkan pasiennya ( Inspanningsverbintenis ) dengan mempergunakan segala ilmu, pengetahuan, kepandaian, pengalaman yang dimiliki serta perhatian. Namun ia sama sekali tidak dapat memberikan jaminan akan penyembuhannya.

Setiap tindakan medik, antara mana di bidang operasi dan anestesi selalu mengadung resiko. Ada resiko yang dapat dicegah dan diperhitungkan sebelumnya. Ada pula resiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya , seperti anafilaktik shock, maka resiko itu harus diminimalisir mungkin. Kemungkinan timbulnya akibat-akibat pada pasien demikianharuslah diperhitungkan sebelumnya. Inilah yang dimaksudkan bekerja dengan hati-hati dan teliti, sehingga jika sampai akibat itu benar-benar timbul, maka hal-hal yang berkenaan dengan tindakan antisipasi sudah dipersiapkan sebelumnya dan dapat segera dilakukan. Jika sudah dilakukan dintakan pencegahan tetapi masih juga terjadi han hasilnya negatif, maka hal ini tidka dapat dipersalahkan kepada tenaga medisnya dan termasuk resiko yang harus ditanggung oleh pasien (inherent risk). Maka pada titik inilah sering terjadi perbedaan paham dan salah penafsiran. Ada sementara masyarakat yang beranggapan bahwa suatu tindakan medik harus selalu berhasil. Jika tidak berhasil maka terdapat kelalaian pada tenaga medisnya. Pendapat ini tidaklah benar. Memang harus diakui bahwa ada sementara oknum tenaga medis yang bertindak lalai atau kurang teliti dan hati-hati. Dan ada juga yang berani dan secara sadar melanggar peraturan. Tetapi tidak lantas dapat kita menggeneralisir terhadap seluruh profesi medis. Ada hal-hal yang terletak di luar jangkauan dan kemampuan tenaga medisnya, seperti terjadinya kecelakaan, walaupun telah bekerja dengan hati-hati dan teliti.

Kecelakaan medik tersebut tidaklah terjadi begitu saja, ada beberapa hal yang menjadi faktor-faktor terjadinya kecelakaan medik yang lazim disebut juga

dengan tindak pidana malpraktek. Perbuatan kecelakaan medik ataupun tindak pidana malpraktek tersebut dapat disebabkan oleh 2 faktor :

1. Faktor kelalaian (culpa).

Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena faktor orangnya atau perilakunya. Dalam pelayanan kesehatan faktor penyebab timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan, kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian tenaga medis pada waktu melaksanakan perawatan.

Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam. Pertama,

“kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya dengan melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana, maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP. Kedua , “ kealpaan akibat”. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain seperti yang diatur dalam Pasal 359,360,361 KUHP.

Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidka berbuat sesuatu, padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang dilarang oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan kealpaan yang tidak disadari ada kalau pelaku tidak memikirkan

kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu, sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu maka ia tidak akan melakukannya.

Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan seorang tenaga medis adalah “ kelalaian akibat”. Oleh karena itu yang dipidana adlaah penyebab dari timbulnya akibat, misalnya, tindakan seorang tenaga medis yang menyebabkan cacat atau matinya orang yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat dicelakan kepadanya. Untuk menentukan apakah seorang dokter telah melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu dicari keadaan-keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa pidana itu. Umpamanya karena kelalaian tenaga medis yang memberikan perawatan yang salah kepada pasiennya menyebabkan cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping itu harus pula dilihat apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik, padahal dia sadar sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya. Jika hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan tenaga medis berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang hati-hati dan ceroboh. Kesengajaan seperti ini oleh P.A.F. Lamintang (1984:323) dalam bukunya ditulisnya dengan bewuste schuld. Hal ini dapat terjadi apabila si pelaku telah membayangkan tentang kemungkinan timbulnya suatu akibat atau keadaan lain yang menyertai

tindakannya, akan tetapi ia tidak percaya bahwa tindakan yang akan dilakukannya itu dapat menimbulkan akibat seperti yang telah ia bayangkan sebelumnya, walaupun ia sebenarnya dapat atau haru menyadari bahwa seharusnya ia tidak bersikap demikian.

Sedangkan apabila kita berbicara mengenai kealpaan dalam perundang-undangan, kelapaan diartikan sebagai bagian dari peristiwa pidana. Biasanya kealpaan itu di dalam pasal-pasal KUHP selain dirumuskan sebagai “kealpaan” juga dirumuskan dengan perkataan “seharusnya mengetahui atau dapat mengetahui atau menyadari” seperti yang terdapat dalam pasal-pasal KUHP. Dapat disimpulkan bahwa kealpaan itu paling tidak memuat tiga unsur.

1. Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidka tertulis, sehingga sebenarnya ia telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidka berbuat) yang melawan hukum)

2. Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.

3. Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut.26

Berpedoman kepada unsur-unsur kealpaan tersebut, dapat dipahami bahwa kealpaan dalam pelayanan kesehatan mengandung pengertian normatif yang mudah dilihat, artinya perbuatan atau tindakan kealpaan

26

itu selalu dpaat diukur dengan syarat-syarat yang lebih dahulu sudah dipenuhi oleh seorang tenaga medis. Ukuran normatifnya adalah bahwa tindakan tenaga medis tersebut setidak-tidaknya sama dengan apa yang diharapkan dapat dilakukan profesi tenaga medis lainnya dalam situasi yang sama yang dalam penulisan skripsi ini tenaga medis yang dimaksud adalah bidan.

Jadi, untuk mengukur secara objektif tindakan seorang tenaga medis dari sikap tindaknya terlihat apakah ia sudah menerapkan sikap kehati-hatian dan melaksanakan ilmunya, kemampuan, keterampilan, dan pengalamannya, disertai dengan pertimbangan yang dimiliki oleh tenaga medis yang sama dalam situasi yang sama pula. Jika hal tersebut tidak dipenuhi oleh seorang tenaga medis dalam melakukan pelayanan kesehatan atau perawatan terhadap pasiennya, tenaga medis tersebut dapat dikategorikan telah melakukan kelalaian atau kealpaan yang penyebabnya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.

Menurut ketentuan yang diatur dalam hukum pidana bentuk-bentuk kesalahan terdiri dari berikut ini.

1. Kesengajaan, yang dapat dibagi menjadi :

a. Kesengajaan dengan maksud , yakni di mana akibat dari perbuatan itu diharapkan timbul, atau agar peristiwa pidan itu sendiri terjadi;

b. Kesengajaan dengan kesadaran sebagai suatu keharusan atau kepastian bahwa akibat dari perbuatan itu sendiri akan

terjadi, atau dengan kesadaran sebagai suatu kemungkinan saja.

c. Kesengajaan bersyarat (dolus eventualis). Kesengajaan bersyarat di sini diartikan sebagai perbuatan yang dilakuakan dengan sengaja dan diketahui akibatnya, yaitu yang mengarah pada suatu kesadaran bahwa akibat yang dilarang kemungkinan besar terjadi. Kesengajaan beryarat ini disebut juga dengan teori “apa boleh buat” sebab di sini keadaan batin dari si pelaku mengalami dua hal, yaitu :

1) Akibat itu sebenarnya tidak dikehendaki, bahkan ia benci atau takut akan kemungkinan timbulnya akibat tersebut;

2) Akan tetapi meskipun ia tidak menghendakinya, namun apabila akibat atau keadaan itu timbul juga, apa boleh buat, keadaan itu harus diterima. Jadi berarti bahwa ia sadar akan resiko yang harus diterimanya. Maka di sini pun terdapat suatu pertimbangan yang menimbulkan kesadaran yang sifatnya lebih sekadar suatu kemungkinan biasa saja. Sebab sengaja dalam dolus eventualis ini, juga mengandung unsur-unsur mengetahui dan menghendaki, walaupun sifatnya sangat samar sekali atau dapat dikatakn hampir tidak terlihat sama sekali.

Perbedaan malpraktek dan Kelalaian (Negligence)

Malpraktek adalah suatu istilah yang mempunyai konotasi buruk, stigmatis. Praktek buruk dari seorang yang memegang suatu profesi dalam arti umum. Tidak hanya profesi kedokteran saja, sehingga jika ditujukan kepada profesi kedokteran, seharusnya disebut “malpraktek medik”. Namun entah kenapa, ternyata di mana-mana juga di luar negeri istilah malpraktek selalu diasosiasikan kepada profesi medis.

Ada beberapa penulis otoritas yang mengatakan bahwa sukar untuk mengadakan pembedaan antara negligence dan malpractise. Menurut pendapat mereka lebih baik malpractise dianggap sinonim saja dengan professional negligence (Creighton,167).

Memang di dalam literatur penggunaan kedua istilah itu sering dipakai secara bergantian seolah-olah artinya sama. “Malpractise is a term qhich is increasingly widely used as a synonym for ‘ medical negligence’ ” (Mason-McCall Smith,339).27

Menurut hemat saya, malpraktek tidak sama dengan kelalaian. Kelalaian termasuk dalam arti malpraktek, tetapi di dalam malpraktek tidak selalu terdapat unsur kelalaian. Jika dilihat beberapa defenisi di bawah ini ternyata bahwa :malpractise mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence. Karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktek juga mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (intentional, dolus, opzettelijk) dan

27

Guwandi,J, Kelalaian Medik, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, halaman : 10.

melanggar undang-undang; sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan (culpa), kurang hati-hati, tak acuh, tak peduli, di samping akibat yang ditimbulkan pun bukan merupakan tujuannya.

Harus diakui bahwa kasus malpraktek yang murni (criminal malpractise), dalam arti ada kesengajaan (dolus) yang sampai ke pengadilan tidaklah banyak. Namun perbedaan itu tetap ada. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktek dalam arti luas dapat dibedakan antara perbuatan yang dilakukan :

a. Dengan sengaja (dolus, intentional, Vorsatz, willens en wetens handelen), yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Malpraktek dalam arti sempit, misalnya tanpa indikasi medis, melakukan euthanasia, memberikan surat keterangan yang isinya tidak benar, dsb.

b. Tidak dengan sengaja (negligence, culpa), atau kelalaian, misalnya menelantarkan pasien dan tidak memeriksanya sehingga pasien meninggal.

Perbedaan yang lebih jelas tampak kalau kita melihat pada motif tindakan yang dilakukan, yaitu :28

a. Pada malpraktek ( sempit) : tindakannya dilakukan dengan sadar, dan tujuan tindakan memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku,

Sedangkan

b. Pada kelalaian : tidak ada motif atau pun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibatnya yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendaknya

2. Faktor kesengajaan.

Apabila melihat ketentuan dalam KUHP, maka tidak ada secara eksplisit dijelaskan tentang apa yang dimaksud dengan kesengajaan. Penjelasan tentang apa yang dimaksud opzet dijumpai MvT. Menurut MvT., opzet diartikan sebagai “wiles an weten” (menghendaki dan mengerti / mengetahui). Dengan demikian menurut MvT. Seseorang dikatakan “sengaja” melakukan perbuatan apabila orang tersebut menghendaki dan mengerti dilakukannya perbuatan tersebut, atau kata lain dapat dikatakan, bahwa seseorang yang melakukan perbuatan dengan sengaja haruslah menghendaki perbuatan itu, dan juga harus mengerti akan akibat dari perbuatannya itu.

Jadi apabila orang dipaksa orang lain untuk melakukan suatu perbuatan, maka terhadap orang tersebut tidak dapat dikatakan bahwa ia menghendaki perbuatan itu dan karenanya tidak dapat dikatakan orang tersebut sengaja melakukan perbuatan tersebut. Sehingga dalam diri orang tersebut juga dianggap tidak ada kesalahan.

Berkaitan dengan pengertian opzet yang diberikan oleh MvT tersebut muncul 2 (dua) paham di dalam wacana ilmu pengetahuan hukum pidana yaitu29 :

a. Teori Kehendak (Wils---Theories)

29

A.Fuad dan Tongat , Pengantar Hukum Pidana, Universitas Muhamadiyah Malang

Dokumen terkait