ANALISIS PUTUSAN SANKSI PIDANA MALPRAKTEK
YANG DILAKUKAN OLEH BIDAN
(Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Disusun Oleh :
JAN BOSARMEN SINAGA NIM : 090200103
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Disetujui Oleh :
KETUA DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
Dr. M. Hamdan., S.H ,M.H NIP : 195703261986011001
DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II
Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum Syafruddin, S.H., M.H., D.F.M NIP : 195405251981031003 NIP : 196305111989031001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
karena anugerah dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
ini, yang merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul : Analisis Putusan sanksi pidana malpraktek yang dilakukan oleh bidan (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung)
Berkat bimbingan dan arahan serta petunjuk dari dosen pembimbing sehingga
penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam
penulisan skripsi ini masih banyak ditemukan kelemahan-kelemahan serta
kekurangan-kekurangannya, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran-saran dan
arahan-arahan yang bersifat membangun agar penulis dapat menjadi lebih baik lagi dikemudian
hari.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan
motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara,
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, sebagai Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H, DFM, sebagai Pembantu Dekan II
4. Bapak Muhammad Husni, S.H., M.Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara,
5. Dr. M. Hamdan,S.H.,MH sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
6. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum sebagai Sekretaris Departemen Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
7. Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum sebagai Dosen Pembimbing I, yang
membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai
penyelesaian skripsi ini,
8. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H.,M.H, DFM, sebagai Dosen Pembimbing II,
yang membimbing dan mendukung penulis dalam masa penulisan sampai
penyelesaian skripsi ini,
9. Orangtua, Ayahku Yanser Sinaga, S.H dan Ibuku Dra. Raidou br.Purba untuk
dukungan yang diberikan baik moril dan materil untuk penulis. Buat
saudara-saudaraku dr. Rezkita Gloria br.Sinaga dan Silvia Sari Dewi br. Sinaga untuk
motivasinya,
10.Joseph Tulus Purba, Hasiolan Purba, Simon Fresly Purba yang sejak kecil
sampai sekarang menjadi saudara dan sahabat yang terus memberikan motivasi
kepada penulis,
11.Teman-teman sepergerakan di GMKI yang selalu melayani baik dalam keadaan
senang ataupun sulit, yang selalu memberikan dukungan kepada penulis.
Teman-teman Mapala NATURAL JUSTICE yang selalu memberi dukungan
12.Saudara-saudara saya di ALBUMED yang selalu menerima saya dalam keadaan
baik atau tidak baik, untuk motivasi yang diberikan kepada penulis,
13.Bang bona, Yesaya Syahkata Singarimbun, Anggie Tumpak Hasoloan Sihotang,
Ruth Sonya Oktavia Siahaan, Hardi Primadi Pakpahan yang selalu membantu
penulis dalam bentuk moril dan spiritual,
14.Jefri Sihotang , Frans Sinarta, Julius Simanjuntak, Rony Pasha, Jonathan Sinaga,
Rudi V,S , Scot, Fredrick, Frans Wardhana, Bobby, Arjuna, Mei , Merti, Defina,
Dessy, yang selalu membantu penulis selama perkuliahan,
15.Samuel Pangaribuan S,H dan Donal Hutagaol S,E yang selalu memberikan
bantuan moril dan materil kepada penulis,
Demikianlah skripsi ini penulis selesaikan, semoga bermanfaat. Sekian dan
terimakasih.
Medan, Oktober 2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
ABSTRAK
Halaman
Bab I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 4
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 4
D. Keaslian Penulisan... 5
E. Tinjauan Kepustakaan ... 6
F. Metode Penelitian ... 18
G. Sistematika Penulisan ... 19
Bab II PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP. A. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU No.36 tahun 2009 ... 21
Bab III FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA
1. Faktor kelalaian (culpa) ... 44 2. Faktor kesengajaan (dolus/ intentional) ... 51 3. Factor Kesalahpahaman (dwaling) ... 57
4. Faktor Kekeliruan Penilaian Klinis (Non-neglicent clinical
error of judgment ) ... 59
5. Faktor Contributory negligence ... 59
Bab IV PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK
PIDANA MALPRAKTEK
A. Kebijakan Pidana Terhadap Tindak Pidana malpraktek
1. Kebijakan Penal ... 61
2. Kebijakan Non Penal ... 69
B. Penerapan sanksi pidana terhadap dalam kasus putusan MA
No.2101 K/Pid.Sus/2010 ... 73
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 92
B. Saran ... 96
ABSTRAK
Jan Bosarmen Sinaga
Pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek saat ini menjadi sorotan penting dikarenakan aturan hukum yang mengaturnya masih kabur. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai kualifikasi perbuatan malpraktek tidak jelas dicantumkan aturan hukumnya, perbuatan malpraktek ini tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang keilmuan saja, melainkan dari segi ilmu hukum juga. Perbuatan malpraktek mengandung unsur pidana dan perdata hal ini seharusnya diperhatikan agar setiap pihak tidak memberikan penafsiran masing-masing menurut keilmuan masing-masing.
Faktor penyebab tindak pidana malpraktek ini masih simpang siur. Di satu sisi pelaku malpraktek tidak dapat dipersalahkan mengingat perbuatannya dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah akan tetapi perbuatannya tidak menjamin selesainya masalah tersebut. Di sisi lain kurangnya profesionalitas dalam menjalan profesi sehingga menimbulkan perbuatan malpraktek. Untuk itu penulis menjadikan faktor penyebab menjadi kajian dari skripsi ini.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penulis mengumpulkan bahan hukum primer yakni UU No.36 tahun 2009 dan KUHP sebagai landasan peraturan hukum pidana, khususnya tindak pidana malpraktek. Untuk menemukan suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan, mempelajari dan menganalisa secara sitematis buku-buku, internet, putusan-putusan, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
Hasil yang didapat dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan belum cukup untuk mengatur mengenai tindak pidana malpraktek, di dalam KUHP juga tida ditemukan mengenai kualifikasi dari perbuatan malpraktek yang ditemukan hanya kualifikasi akibat perbuatan malpraktek tersebut. Untuk itu menurut penulis, pengaturan mengenai tindak pidana malpraktek ini harus di bentuk baik dari segi kuaifikasi perbuatan malpraktek, akibat dari perbuatan malpraktek dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana malpraktek.
Kata kunci : Faktor penyebab tindak pidana malpraktek, pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek.
ABSTRAK
Jan Bosarmen Sinaga
Pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek saat ini menjadi sorotan penting dikarenakan aturan hukum yang mengaturnya masih kabur. Hal ini dikarenakan pengaturan mengenai kualifikasi perbuatan malpraktek tidak jelas dicantumkan aturan hukumnya, perbuatan malpraktek ini tidak dapat dilihat dari satu sudut pandang keilmuan saja, melainkan dari segi ilmu hukum juga. Perbuatan malpraktek mengandung unsur pidana dan perdata hal ini seharusnya diperhatikan agar setiap pihak tidak memberikan penafsiran masing-masing menurut keilmuan masing-masing.
Faktor penyebab tindak pidana malpraktek ini masih simpang siur. Di satu sisi pelaku malpraktek tidak dapat dipersalahkan mengingat perbuatannya dilakukan untuk menyelesaikan suatu masalah akan tetapi perbuatannya tidak menjamin selesainya masalah tersebut. Di sisi lain kurangnya profesionalitas dalam menjalan profesi sehingga menimbulkan perbuatan malpraktek. Untuk itu penulis menjadikan faktor penyebab menjadi kajian dari skripsi ini.
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penulis mengumpulkan bahan hukum primer yakni UU No.36 tahun 2009 dan KUHP sebagai landasan peraturan hukum pidana, khususnya tindak pidana malpraktek. Untuk menemukan suatu kebenaran ilmiah dalam penulisan skripsi, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, yaitu mengumpulkan, mempelajari dan menganalisa secara sitematis buku-buku, internet, putusan-putusan, peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
Hasil yang didapat dari penelitian dalam skripsi ini adalah bahwa Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan belum cukup untuk mengatur mengenai tindak pidana malpraktek, di dalam KUHP juga tida ditemukan mengenai kualifikasi dari perbuatan malpraktek yang ditemukan hanya kualifikasi akibat perbuatan malpraktek tersebut. Untuk itu menurut penulis, pengaturan mengenai tindak pidana malpraktek ini harus di bentuk baik dari segi kuaifikasi perbuatan malpraktek, akibat dari perbuatan malpraktek dan pertanggungjawaban pelaku tindak pidana malpraktek.
Kata kunci : Faktor penyebab tindak pidana malpraktek, pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek.
BAB I PENDAHULUAN A.LATAR BELAKANG
Malpraktek (malapraktek) atau malpraktik terdiri dari suku kata mal dan
praktik atau praktek. Mal berasal dari kata Yunani, yang berarti buruk. Praktik
(Kamus Umum Bahasa Indonesia, Purwadarminta, 1976) atau praktik (Kamus
Dewan Bahasa dan Pustaka kementrian Pendidikan Malaysia, 1971) berarti
menjalankan perbuatan yang tersebut dalam teori atau menjalankan pekerjaan
(profesi). Jadi, malpraktik berarti menjalankan pekerjaan yang buruk kualitasnya,
tidak lege artis, tidak tepat. Malpraktik tidak hanya terdapat dalam bidang
kedokteran, tetapi juga dalam profesi lain seperti perbankan, pengacara, akuntan
publik, dan wartawan. Dengan demikian, malpraktik medik dapat diartikan
sebagai kelalaian atau kegagalan seorang dokter atau tenaga medis untuk
mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang cedera menurut ukuran di
lingkungan yang sama.1
Kelalaian tersebut tidak hanya berfokus kepada profesi dokter saja, akan
tetapi berlaku juga untuk tenaga medis lainnya, dalam skripsi ini yang dibahas
adalah bidan yang sebagai salah satu tenaga medis yang berprofesi.
1
Hanafiah, M.Yusuf dan Amri Amir, Etika Kedokteran Dan Hukum Kesehatan,
Perkembangan pendidikan kebidanan berjalan seiring dan selalu
berhubungan dengan perkembangan pelayanan kebidanan. Dalam
perkembangannya, selalu mengikuti tuntutan atau kebutuhan masyarakat di satu
sisi, di sisi lain pun mengikuti sistem manajemen modern serta pelayanan yang
semakin modern pula.2
Bidan merupakan suatu profesi dinamis yang harus mengikuti
perkembangan era ini. Oleh karena itu bidan harus berpartisipasi mengembangkan
diri mengikuti permainan global. Partisipasi ini dalam bentuk peran aktif bidan
dalam meningkatkan kualitas pelayanan, pendidikan dan organisasi profesi.3
Defenisi bidan menurut Internasional Confederation Of Midwives (ICM) ke 27, bulan Juli 2005, yang diakui oleh Who dan Federation of Internasional Gynecologist obstetrition (FIGO), “ Bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan yang diakui di negaranya, telah lulus dari pendidikan
tersebut, serta memenuhi kualifikasi untuk didaftar (register) dan atau memiliki
izin yang sah (lisensi) untuk melakukan praktik bidan.4
Bidan diakui sebagai tenaga profesional yang bertanggung jawab dan
akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan ,
asuhan dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan dan masa nifas,
memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan
kepada bayi baru lahir dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan,
promosi persalinan normal, deteksi komplikasi kepada ibu dan anak , dan akses
2
Dwiana Estiwidani dkk, Konsep Kebidanan, Fitrimaya, Yogyakarta, 2009, halaman :25.
3
Ibid, halaman : 61.
4
bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan tindakan
kegawatan daruratan.
Bidan mempunyai tugas penting dalam konseling dan pendidikan
kesehatan, tidak hanya kepada perempuan, tetapi juga kepada keluarga dan
masyarakat. Kegiatan ini harus mencakup pendidikan antenatal dan persiapan
menjadi orang tua serta dapat meluas pada kesehatan perempuan, kesehatan
seksual atau kesehatan reproduksi.
Bidan dapat praktik di berbagai tatanan pelayanan, termasuk di rumah,
masyarakat, rumah sakit, klinik atau unit kesehatan lainnya. IBI menetapkan
bahwa bidan Indonesia adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan
bidan yang diakui pemerintah dan organisasi profesi di wilayah Negara Republik
Indonesia serta memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi
dan atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan.5
Mengingat besarnya tanggung jawab dan beban kerja bidan dalam
melayani masyarakat, pemerintah bersama dengan IBI telah mengupayakan
pendidikan bagi bidan agar dapat menghasilkan lulusan yang mampu memberikan
pelayanan yang berkualitas dan dapat berperan sebagai tenaga kesehatan
professional.6
Permasalahan yang dihadapi saat ini ialah semakin banyaknya bidan
memiliki izin untuk melakukan kegiatan medis dengan begitu mudahnya,
sehingga memungkinkannya muncul bidan-bidan yang tidak berkompeten dan
dalam skripsi ini dibahas mengenai malpraktik yang terjadi akibat dari
5
Ibid, halaman : 101.
6
bidan yang tidak berkompeten tersebut. Penulis tertarik untuk membahas dari segi
malpraktik dan hukum terhadap rumusan-rumusan masalah yang akan dibahas.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, perumusan masalah yang akan saya
bahas dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU
kesehatan No.36 tahun 2009 dan KUHP.
2. Bagaimana faktor penyebab terjadinya tindak pidana malpraktek.
3. Bagaimana penerapan kebijakan hukum mengenai tindak pidana dalam
kasus malpraktek.
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
Berdasarkan hal-hal diatas yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaiamana pengaturan tindak pidana malpraktek
menurut UU kesehatan No.36 tahun 2009 dan KUHP.
2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya tindak pidana malpraktek.
3. Untuk mengetahui bagaimana penerapan kebijakan hukum mengenai
tindak pidana dalam kasus malpraktek.
Selanjutnya penulisan skripsi ini dapat bermanfaat sebagai berikut :
a. Menambah wawasan dan pengetahuan terhadap tindak pidana
malpraktek yang dapat ditinjau dari segi medis dan kedokteran
serta pertanggungjawaban terhadap tindak pidana malpraktik.
b. Memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang tindak pidana
malpraktik, kategori-kategori dikatakan sebagai tindak pidana
malpraktik dan bagaiman pertanggungjawabannya khususnya di
bidang kebidanan.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat dijadikan sebagai pedoman bagi mahasiswa, tenaga medis
dalam melakukan penelitian yang berhubungan dengan penulisan
skripsi ini.
b. Dapat memberikan informasi yang tepat kepada masyarakat
mengenai tindak pidana malpraktik dan kategori-kategori tindak
pidana malpraktik serta pertanggungjawaban tindak pidana
malpraktik khususnya dibidang kebidanan.
D.Keaslian Penulisan
Sepanjang yang diketahui dan dicermati oleh penulis, di lingkungan
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara bahwa penulisan tentang Analisis Putusan Sanksi Pidana Malpraktek yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi kasus di Pengadilan Negeri Tulungagung) belum pernah dilakukan sebelumnya namun penulisan tentang malpraktek sudah ada sebelumnya , perbedaannya
malpraktek membahas mengenai upaya-upaya pencegahan malpraktek dan
kendala-kendala dalam menentukan malpraktek, sedangkan dalam skripsi ini
membahas mengenai pertanggungjawaban dan kebijakan hukum dalam
malpraktek. Hal ini sejalan dengan pemeriksaan di Perpustakaan Departemen
Hukum Pidana, dan tidak ada judul yang sama. Dengan demikian, dilihat dari
permasalahan serta tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini, maka dapat
dikatakan bahwa skripsi ini adalah merupakan karya penulis yang asli.
Permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini adalah murni hasil pemikiran dari
penulis yang dikaitkan dengan teori-teori hukum yang berlaku maupun
doktrin-doktrin yang ada, dalam rangka melengkapi tugas dan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, dan apabila ternyata di kemudian hari terdapat judul dan permasalahan
yang sama, maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya terhadap skripsi ini.
E.Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian tindak pidana malpraktek.
Tidak ditemukan penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan
strafbaar feit di dalam KUHP maupun di luar KUHP, oleh karena itu para ahli hukum berusaha untuk memberikan arti dan isi dari istilah itu, yang
sampai saat ini belum ada keseragaman pendapat. Pengertian tindak
pidana penting dipahami untuk mengetahui unsur-unsur yang terkandung
upaya menentukan apakah perbuatan seseorang itu merupakan tindak
pidana atau tidak.7
Tindak pidana seringkali disebut sebagai peristiwa pidana. Menurut
hukum positif, demikian Pompe, peristiwa pidana itu suatu peristiwa yang
oleh undang-undang ditentukan mengandung handeling (perbuatan) dan
nalaten (pengabaian; tidak berbuat; berbuat pasif) biasanya dilakukan di dalam beberapa keadaan, merupakan bagian suatu peristiwa. Uraian
perbuatan dan keadaan yang ikut serta, yang disebut gedragstype itulah disebut uraian delik.8
Adapun defenisi malpraktik medik pada intinya mengandung salah satu
unsur berikut.9
1. Dokter atau tenaga medis kurang menguasai ilmu pengetahuan medis
dan keterampilan yang sudah berlaku umum di kalangan profesi medis.
2. Dokter dan tenaga medis memberikan pelayanan medik di bawah
standar (tidak lege artis).
3. Dokter dan tenaga medis melakukan kelalaian berat atau kurang
hati-hati, yang dapat mencakup :
a. Tidak melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya dilakukan,
atau
b. Melakukan sesuatu tindakan yang seharusnya tidak dilakukan.
7
Mohammad Ekaputra, Dasar-dasar Hukum Pidana ,USU Pers, Medan, 2010, halaman : 74.
8
H.A.Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Sinar Grafika, Jakarta , 2007, halaman : 226.
9
4. Melakukan tindakan medik yang bertentangan dengan hukum.
Dalam praktiknya banyak sekali hal yang dapat diajukan sebagai
malpraktik, seperti salah diagnosis atau terlambat diagnosis karena
kurang lengkapnya pemeriksaan, pemberian terapi yang sudah
ketinggalan zaman, kesalaha teknis waktu melakukan pembedahan,
salah dosis obat, salah metode tes atau pengobatan, perawatan yang
tidak tepat, kelalaian dalam pemantauan pasien, kegagalan
komunikasi, dan kegagalan peralatan.
Malpraktik medik adalah kelalaian seorang dokter atau tenaga
medis untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu
pengetahuan yang lazim dipergunakan dalam mengobati pasien atau
orang yang terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama. Yang
dimaksud dengan kelalaian di sini ialah sikap kurang hati-hati, yaitu
tidak melakukan apa yang seseorang dengan sikap hati-hati
melakukannya dengan wajar, atau sebaliknya melakukan apa yang
seorang dengan sikap hati-hati tidak akan melakukannya dalam situasi
tersebut. Kelalaian diartikan pula dengan melakukan tindakan
kedokteran di bawah standar pelayanan medik.
2. Pelaku-pelaku tindak pidana malpraktek.
Pelaku-pelaku tindak pidana malpraktek medik ialah para tenaga medis
yang dalam penulisan skripsi ini adalah bidan. Keberadaan bidan di Indonesia
kebidanan berada di mana-mana dan kapan saja selama ada proses reproduksi
manusia.
Ada beberapa pengertian tentang bidan. Dari berbagai pengertian tersebut
dapat disimpulkan bahwa bidan adalah profesi yang khusus, dinyatakan suatu
pengertian bahwa bidan adalah orang pertama yang melakukan penyelamat
kelahiran sehingga ibu dan bayinya lahir dengan selamat. Tugas yang diemban
oleh bidan, berguna untuk kesejahteraan manusia.
Bidan juga dinamakan midwife atau pendamping isteri. Kata bidan berasal
dari bahasa Sansekerta “Wirdhan” yang artinya “Wanita Bijaksana”.10
Bidan sebagai profesi memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Mengembangkan pelayanan yang unik kepada masyarakat.
2. Anggota-anggotanya dipersiapkan melalui suatu program pendidikan,
yang ditujukan untuk maksud profesi yang bersangkutan.
3. Memiliki serangkaian pengetahuan ilmiah.
4. Anggota-anggotanya menjalankan tugas profesinya sesuai dengan kode
etik yang berlaku.
5. Anggota-anggotanya bebas mengambil keputusan dalam menjalankan
profesinya.
6. Anggota-anggotanya wajar menerima imbalan jasa atas pelayanan yang
diberikan.
7. Memiliki suatu organisasi profesi yang senantiasa meningkatkan kualitas
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat oleh anggotanya.
10
I. Arti dan Ciri Jabatan Profesional
Secara populer seseorang pekerja dibidang apapun sering diberi predikat
profesional dalam bahasa keseharian tersebut adalah seorang pekerja yang
terampil atau cakap dalam kerjanya, biarpun ketrampilan atau kecakapan tersebut
produk dari fungsi minat dan belajar dari kebiasaan.
Pengertian jabatan profesional perlu dibedakan dari jenis pekerjaan yang
menuntut dan dapat dipenuhi lewat pembiasaan melakukan ketrampilan tertentu
(magang, keterlibatan langsung dalam situasi kerja di lingkungannya, dan
ketrampilan kerja sebagai warisan orang tuanya atau pendahulunya). Seseorang
pekerja profesional perlu dibedakan dari seorang teknisi keduanya (pekerja
profesional dan teknisi) dapat saja terampil dalam unjuk kerja yang sama
(misalnya : menguasai teknik kerja yang sama dapat memcahkan
masalah-masalah teknis dalam bidang kerjanya), tetapi seorang pekerja profesional dituntut
menguasai visi yang mendasari ketrampilannya. Dari kesimpulan di atas dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa bidan tergolong jabatan profesional karena memnuhi
ketiga macam persyaratan di atas.
Secara lebih rinci, ciri-ciri jabatan profesional tersebut adalah sebagai
berikut (termasuk bidan).11
1. Bagi pelakunya secara nyata (defacto) dituntut berkecakapan kerja (keahlian) sesuai dengan tugas-tugas khusus serta tuntutan dari jenis
jabatannya (cenderungke spesialisasi).
2. Kecakapan atau keahlian seseorang pekerja profesional bukan sekedar
hasil pembiasaan atau latihan rutin yang terkondisi, tetapi perlu didasari
oleh wawasan keilmuan yang mantap. Jabatan yang terprogram secara
relevan serta berbobot, terselanggara secara efektif-efesien, dan tolok ukur
evaluatifnya terstandar.
3. Pekerja profesional dituntut berwawasan sosial yang luas, sehingga pilihan
jabatan serta kerjanya didasari oleh kerangka nilai tertentu, bersikap positif
terhadap jabatan dan perannya, dan bermotivasi serta berusaha untuk
berkarya sebaik-baiknya. Hal ini mendorong pekerja profesional yang
bersangkutan untuk selalu meningkatkan (menyempurnakan) diri serta
karyanya. Orang tersebut secara nyata mencintai profesinya dan memiliki
etos kerja yang tinggi.
4. Jabatan profesional perlu mendapat pengesahan dari masyarakat dan atau
negaranya. Jabatan profesional memiliki syarat-syarat serta kode etik yang
harus dipenuhi oleh pelakunya, hal ini menjamin kepantasan berkarya dan
sekaligus merupakan tanggung jawab sosial pekerja profesional tersebut.
Sehubungan dengan profesionalisme jabatan bidan, perlu dibahas bahwa
bidan jabatan profesional. Jabatan dapat ditinjau dari dua aspek, yaitu jabatan
struktural dan jabatan fungsional. Jabatan struktural adalah jabatan yang secara
tegas ada dan diatur berjenjang dalam suatu organisasi, sedangkan jabatan
fungsional adalah jabatan yang ditinjau serta dihargai dari aspek fungsinya yang
vital dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain fungsi dan perannya yang
Dalam konteks inilah jabatan bidan adalah jabatan fungsional profesional, dan
wajarlah apabila bidan tersebut mendapat tunjangan fungsional.
II. Bidan adalah Jabatan Profesional
Sesuai dengan uraian tersebut diatas, sudah jelas bahwa bidan adalah
jabatan profesional. Persyaratan dari bidan sebagai jabatan profesional telah
dimiliki oleh bidan tersebut. Persyaratan tersebut adalah :
1. Memberikan pelayanan kepada masyarakat yang bersidat khusus
atau spesialis.
2. Melalui jenjang pendidikan yang menyiapkan bidan sebagai tenaga
profesional.
3. Keberadaannya diakui dan diperlukan oleh masyarakat.
4. Mempunyai kewenangan yang disyahkan atau diberikan oleh
pemerintah.
5. Mempunyai peran dan fungsi yang jelas.
6. Mempunyai kompetensi yang jelas dan terukur.
7. Memiliki organisasi profesi sebagai wadah.
8. Memiliki kode etik bidan.
9. Memiliki etika kebidanan.
10.Memiliki standar kebidanan.
11.Memiliki standar praktek.
12.Memiliki standar pendidikan yang mendasar dan mengembangkan
13.Memiliki standar pendidikan berkelanjutan sebagai wahan
pengembangan kompetensi.
3. Pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek.
I. Kekhilafan dan pertanggungjawaban pidana
12
Menurut Bambang Poernomo, S.H. (Guru Besar Hukum Pidana pada Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta) dalam bukunya asas-asas hukum pidana, terbitan Ghalia Indonesia halaman 132 menyebutkan : “ Bahwa seseorang melakukan perbuatan bersifat melawan hukum, atau melakukan sesuatu perbuatan mencocoki dalam rumusan undang-undang pidana sebagai perbuatan pidana, belumlah berarti bahwa dia langsung dipidana. Dia mungkin dipidana, yang tergantung kepada kesalahannya.
Untuk dapat mempidana seseorang, terlebih dahulu harus ada dua syarat yang menjadi satu keadaan, yaitu perbuatan yang bersifat melawan hukum sebagai sendi perbuatan pidana, dan perbuatana yang dilakukan dapat dipertanggungjawabkan sebagai sendi kesalahan. Putusan untuk menjatuhkan pidana harus ditentukan adanya perbuatan pidana dan adanya kesalahan yang terbukti dari alat bukti dengan keyakinan Hakim terhadap tertuduh yang dituntut.13
Dari pembatasan tersebut dapat dipahami dengan sederhana, bahwa untuk
dapat mempidana seseorang harus berdasarkan atas dua hal, yaitu seseorang itu
harus melakukan perbuatan yang melawan hukum dan seseorang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum.
Pengetian perbuatan melawan hukum dalam konteks ilmu hukum pidana dalam bingkai legalitas adalah perbuatan pidana itu sendiri. Prof. Moeljatno, S.H. mengartikan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan pidana adalah perbuatan
yang dilarang dan diancam pidana, barangsiapa melanggar larang tersebut.14
12 Poernomo, Bambang, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Yogyakarta, 1978, halaman : 132.
13
Waluyadi , Ilmu Kedokteran Kehakiman dalam Perspektif Peradilan dan Aspek Hukum Praktik Kedokteran, Djambatan, Jakarta, 2005, halaman : 120.
14
Jadi kita berpedoman pada pengertian tentang perbuatan pidana
sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Moeljatno tersebut di atas, yang kemudian
kita hubungkan dengan ketentuan pasal 359 dan 360 KUHPidana yang
menggunakan kalimat “Barangsiapa” dapat dikategorikan bahwa dokter dan
tenaga medis dalam hal ini bidan telah melakukan perbuatan pidana. Yang
menjadi persoalan selanjutnya adalah apakah ia dapat dipertanggungjawabkan
(dianggap bersalah).
Secara sederhana dapat disebutkan, bahwa mampu bertanggungjawab
adalah ia ( seseorang itu) tidak masuk dalam kriteria seseorang yang apabila
melakukan tindak pidana ada alasan untuk tidak dipidana.
Untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci tentang unsur dari
kesalahan, berikut saya kutipkan pendapat dari beberapa ahli :
1. Menurut Jonkres bahwa secara garis besar kesalahan tersebut, dapat dibagi menjadi tiga bagian15 :
a. Selain kesengajaan atau kealpaan (opzet schuld)
b. Meliputi juga sifat melawan hukum ( de wederrechtelijkheid)
c. Dan kemampuan bertanggungjawab ( de teorekenbaarheid)
2. Menurut Pompe, pengertian kesalahan mempunyai tanda sebagai hal
tercela (verwijtbaarheid) yang pada hakekatnya tidak mencegah (vermijdbaarheid) kelakuan yang bersifat melawan hukum ( der
wederrechtelijke gedeaging). Kemudian dijelaskannya pula hukum
hakekat tidak mencegah kelakuan yang bersifat melawan hukum
(vermijdbaarheid der wederrechtelijke gesraging) di dalam
perumusannya pada hukum positif di situ mempunyai kesengajaan dan kealpaan (opzet en onachtzaamheid0 yang mengarah kepada sifat melawan hukum (wederrechtlijkheid) dan kemampuan
bertanggungjawab (toerekenbaarheid).16
3. Menurut Vos memandang kesalahan mempunyai tiga tanda khusus, yaitu :17
a. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan
perbuatan (toerekenigsvatbaarheid van de deader).
b. Hubungan bathn tertentu dari orang yang berbuat, yang
perbuatannya itu dapat berupa kesengajaan atau kealpaan.
c. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban bagi si pembuat atas perbuatannya itu.
4. Menurut E.Mezger memandang bahwa pengertian kesalahan terdiri dari :
a. Kemampuan bertanggungjawab (zurechnungsfahingist)
b. Adanya bentuk kesalahan (Schuldform) yang berupa kesengajaan
(Vorzate) dan Culpa (Fahrlassigkeit)
c. Tak ada alasan penghapus kesalahan (keinen
Schuldausschiesungsgrunde).
II. Kemampuan Bertanggung jawab
16
Ibid, halaman : 135.
17
Dengan pemahaman yang relatif minimal, masyarakat awam sulit
membedakan antara risiko medik dengan malpraktik. Hal ini berdasarkan bahwa
suatu kesembuhan penyakit tidak semata berdasarkan tindakan petugas kesehatan,
namun juga dipengaruhi faktor-faktor lain seperti kemungkinan adanya
komplikasi, daya tahan tubuh yang tidak sama, kepatuhan dalam penatalaksanaan
regiment therapeutic.
Kecenderungan masyarakat lebih melihat hasil pengobatan dan perawatan,
padahal hasil dari pengobatan dan perawatan tidak dapat diprediksi secara pasti.
Petugas kesehatan dalam praktiknya hanya memberikan jaminan proses yang
sebaik mungkin (ispanningverbintenis), sama sekali tidak menjanjikan hasil (resultaatverbintenis). Kesalahpahaman semacam ini seringkali berujung pada gugatan malpratik. Menurut Paulus Yanuar disebutkan bahwa terdapat formula
malpraktik (malpractice formula) bila terdapat tiga unsur utama malpraktik yaitu18 :
1. Terbukti terjadi pelanggaran standar pelayanan.
2. Terbukti pasien mengalami kerugian atau kerusakan setelah menjalani
perawatan.
3. Terbutki ada hubungan sebab-akibat antara pelaksanaan praktik yang
tidak sesuai standar dengan kerugian yang dialami pasien.
Dalam beberapa literatur untuk membuktikan terjadinya malpraktik haru
memenuhi rumusan 4D :
a. Duty ; kewajiban
18
b. Dereliction of duty ; mentelantarkan kewajiban c. Damage ; rusaknya kesehatan seseorang / kecacatan
d. Direct causation between damage with dereliction of duty ;
adanya hubungan langsung antara tindakan menelantarkan
kewajiban dengan rusaknya kesehatan / kecacatan.
Belum ada jaminan bahwa, pelayanan kesehatan yang diberikan petugas
dapat memberikan kepuasan. Pada saat tertentu pelayanan tersebut justru
menimbulkan kerugian besar pada pasien (cacat,mati). Kerugian tersebut
merupakan risiko para pihak (salah satunya sebagai pemberi pelayanan).
Di dalam KUHPidana tidak menyebutkan secara tersurat maupun tersirat
mengenai apa sesungguhnya yang dimaksud dengan pengertian mampu bertanggung jawab. Pengertian tentang itu, dapat kita temukan dalam ilmu pengetahuan tentang hukum yang diungkapkan oleh para sarjana.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian
hukum normatif yang didasarkan pada bahan hukum sekunder yaitu inventarisasi
peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pertanggungjawaban tindak pidana
malpraktik , selain itu juga bahan-bahan tulisan berkaitan dengan persoalan ini.
Jenis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data
sekunder yang diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan yang mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik
peraturan yang diadaptasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, yaitu
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) maupun peraturan yang
khusus yang mengatur tentang kesehatan, UU No.36 tahun 2009, dan
KEPMENKES RI No.900/MENKES/SK/VII/2002.
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya
dengan bahan hukum primer seperti seminar-seminar, jurnal-jurnal
hukum, majalah-majalah, Koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa
sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan diatas.
c. Bahan hukum tersier yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep
dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder, seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan metode Library Research (studi kepustakaan). Metode Library Research yaitu mempelajari dan menganalisa secara sistematis buku-buku, majalah-majalah, surat kabar, internet, peraturan
perundang-undangan dan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi yang
akan dibahas dalam skrispsi ini.
Data yang diperoleh melalui studi pustaka dikumpulkan dan diurutkan,
data dalam skripsi ini adalah analisa dengan cara kualitatif yaitu menganalisa
secara lengkap dan kompeherensif keseluruhan data sekunder yang diperoleh
sehingga dapat menjawab permasalahan-permasalahan dalam skripsi ini.
G.Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini secara garis besar terdiri dari lima bab dan sub-sub
bab yang diuraikan sebagai berikut :
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi tentang latar belakang, , perumusan masalah,
keaslian penulisan, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan yang terakhir
sistematika penulisan.
BAB. II PENGATURAN HUKUM MENGENAI TINDAK
PIDANA MALPRAKTIK.
Bab ini berisi aturan hukum tindak pidana malpraktik
dalam KUHP dan UU No.36 Tahun 2009 dan
undang-undang atau aturan lain yang mengatur tentang tindak
pidana malpraktik, etika profesi kebidanan.
BAB. III FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA
MALPRAKTIK
BAB. IV PENERAPAN KEBIJAKAN HUKUM TERHADAP
TINDAK PIDANA MALPRAKTIK.
Pada bab ini akan dibahas mengenai kebijakan hukum
penal dan non penal terhadap tindak pidana malpraktik
ditinjau dari Putusan MA No.2101 K/Pid.Sus/2010).
BAB. V PENUTUP
Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab
kesimpulan dan saran yang berisi keseimpulan mengenai
permasalahan yang dibahas dan saran-saran dari penulis
BAB II
PENGATURAN TINDAK PIDANA MALPRAKTEK MENURUT UU NO.36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN DAN KUHP. A. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut UU.No.36 Tahun 2009.
Kesehatan merupakan Hak Azasi Manusia (HAM) dan merupakan salah
satu unsur dari upaya pemerintah untuk mensejahterahkan masyarakatnya yang
tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu demi mewujudkan kesejahteraan
umum. Dengan tubuh yang sehat maka kesejahteraan tersebut akan menjadi lebih
baik lagi. Untuk lebih mewujudkan usaha kesejahteraan tersebut, pemerintah
membuat suatu aturan yang konkret mengenai kesehatan. Hal ini dilakukan agar
tidak adanya multi tafsir dari berbagai pihak dalam memberikan pemahaman
mengenai kesehatan mengingat kesehatan tersebut tidak dapat dilihat dari satu sisi
saja akan tetapi dari sisi yang lain juga.
Aturan yang konkret tersebut juga berfungsi untuk menciptakan suatu
kegiatan dalam upaya memelihara dan meningkatkan kesehatan masyarakat dan
dalam rangka pembentukan sumber daya manusia serta meningkatkan ketahanan
dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional dalam bidang kesehatan.
Besarnya dampak kesehatan dalam perkembangan nasional menuntut adanya
perhatian untuk kesehatan di nusantara. Ganguan kesehatan akan menimbulkan
kerugian ekonomi negara. Upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat juga
berarti investasi bagi pembangunan negara. Upaya peningkatan kesehatan tersebut
kesejahteraan (kesehatan) masyarakat. Seiring dengan perkembangan zaman
aturan mengenai kesehatan yang terdahulu yakni UU. No.23 Tahun 1992 tidak
sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, kebutuhan hukum maka dibentuklah
UU.No.36 tahun 2009 yang lebih sesuai dengan kebutuhan hukum saat ini.
Dalam menjaga kesehatan tentu seringkali ditemukan beberapa
tindakan-tindakan yang mengancam kesehatan tersebut dapat berupa kesengajaan,
kelalaian, ataupun kecelakaan. Hal-hal seperti ini dapat dikategorikan sebagai
malpraktek yang lebih ditekankan kepada tindak pidana malpraktek. Didalam UU
Kesehatan tidak dicantumkan pengertian tentang Malpraktek, namun didalam
Ketentuan Pidana pada Bab XX diatur didalam Pasal 190 yang berbunyi:
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang
dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien dalam
keadaan gawat darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal
85 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda
paling banyak Rp.200.000.000 (dua ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan terjadinya kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan tersebut dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah.
Pada pasal 63 UU No.36 Tahun 2009 jelas diatur mengenai upaya
perbuatan malpraktek menurut ketentuan pidana yang terdapat pada pasal 190
diatas.
Pasal 63
(1) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan diselenggarakan untuk
mengembalikan status kesehatan akibat penyakit, mengembalikan fungsi badan
akibat cacat atau menghilangkan cacat.
(2) Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan dilakukan dengan
pengobatan dan atau perawatan.
(3) Pengobatan dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu kedokteran
dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggungjawabkan.
(4) Pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau
ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengobatan dan atau perawatan berdasarkan cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pembentukan perundang-undangan di bidang pelayanan kesehatan
diperlukan, hal ini dilakukan supaya tindak pidana malpraktek dapat dijerat
dengan ketentuan yang tegas. Motif yang ada pada pembentuk
perundang-undangan untuk menyusun peraturan-peraturan mengenai bidang-bidang
kehidupan tertentu sangat bervariasi. Demikian pula halnya dengan
Landasan-landasannya adalah antara lain, sebagai berikut ( W.B.van der Mijn, 1982:15, dan
seterusnya):19
1. Kebutuhan akan pengaturan pemberian jasa keahlian.
Saat ini ada anggapan kuat bahwa tindakan-tindakan yang harus
dilakukan untuk memlihara dan menanggulangi penyakit harus
diberikan oleh pihak-pihak yang memang memperoleh pendidikan
untuk itu. Pembentuk perundang-undangan dapat mengeluarkan
peraturan-peraturan yang mewajibkan orang-orang yang membutuhkan
jasa itu meminta bantuan kepada pihak-pihak tertentu.
Di samping itu, peraturan-peraturan tersebut dapat pula
mewajibkan para ahli untuk menjalani pendidikan pasca atau
purnapasca tertentu. Pembentuk perundang-undangan dapat
mewajibkan organisasi-organisasi profesional tertentu untuk
mewajibkan anggota-anggotanya mengikuti pendidikan tersebut atau
menyelenggarakan sendiri pendidikan itu. Hanya orang-orang yang
telah diakui keahliannya yang diizinkan untuk memberikan jasa-jasa
keahlian di bidang pelayanan kesehatan, atas dasar pengakuan formal
dan material terhadap kemampuan dan kecakapannya.
2. Kebutuhan akan tingkat kualitas keahlian tertentu.
Kewajiban untuk menjalani keahlian kadang-kadang tidak
menjamin tingkat kualitas tertentu yang dikehendaki atau dibutuhkan.
Seseorang yang memerlukan pelayanan kesehatan seyogyanya percaya
19
akan keahlian pihak-pihak yang dimintainya bantuan. Hal ini
disebabkan karena warga masyarakat biasanya benar-benar awam
mengenai ilmu kesehatan dan teknologinya. Untuk mempertahankan
dan meningkatkan kualitas keahlian dan kepercayaan masyarakat,
diperlukan peraturan-peraturan tertentu, misalnya adanya hukum
disipliner atau hukum pengendalian. Penerapan peraturan-peraturan
hukum disipliner atau hukum pengendalian dapat dipercayakan kepada
organisasi profesional yang diakui secara resmi.
3. Kebutuhan akan keterarahan (doelmatigheid).
Syarat berarti berpegang pada jalur tertentu untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Untuk itu diperlukan perumusan
tujuan yang benar dengan upaya-upaya yang direncanakan untuk
memenuhi tujuan itu. Dengan demikian kualitas keahlian dapat
dipertahankan dan kebutuhan-kebutuhan warga masyarakat akan
terpenuhi.
4. Kebutuhan akan pengendalian biaya.
Pembiayaan kesehatan masyarakat maupun kesehatan individual
bukan merupakan hal yang murah dan sederhana. Biaya
penyelenggaraan kesehatan, terutama yang bersifat kuratif dan
rehabilitatif, tidak murah. Apabila kalau hal itu dikaitkan dengan teraf
daya beli masyarakat. Biaya yang mahal itu tidak hanya berkaitan
dengan harga obat, tetapi juga dengan imbalan jasa keahlian maupun
5. Kebutuhan akan kebebasan warga masyarakat untuk menentukan kepentingannya dan identifikasi kewajiban pemerintah.
Dalam suatu negara hukum dan kesejahteraan dengan
pemerintahan konstitusional, pemerintah berkewajiban untuk
menyelenggarakan kesehatan. Sudah tentu kewajiban ini dapat
diserasikan dengan tanggung jawab sektor swasta. Kewajiban itu tidak
bersifat sepihak, tetapi senantiasa harus diserasikan dengan hak warga
masyarakat. Hak warga masyarakat untuk memilih salah satu metode
pelayanan kesehatan tertentu merupakan salah satu hak asasi baginya.
6. Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum.
Pada masa lampau ada anggapan kuat bahwa kedudukan hukum
pasien lebih rendah daripada tenaga kesehatan (misalnya bidan).
Tenaga kesehatan, misalnya bidan, dianggap ahli yang mahatau
sehingga pasien hanya boleh pasrah saja. Dengan perkembangan ilmu
dan teknologi kesehatan yang pesat, risiko yang dihadapi pasien
semakin tinggi. Oleh karena itu, dalam hubungan antara bidan dengan
pasien, misalnya, terdapat kesederajatan. Di samping bidan, maka
pasien juga memerlukan perlindungan hukum yang proporsional yang
diatur di dalam perundang-undangan. Perlindungan tersebut terutama
diarahkan kepada kemungkinan-kemungkinan bahwa bidan melakukan
Kebutuhan pasien akan perlindungan hukum disertai dengan hak
dan kewajiban pasien.
Hak pasien adalah hak-hak pribadi yang dimiliki manusia sebagai
pasien 20:
a. Pasien berhak memperoleh informasi mengenai tata tertib dan
Peraturan yang berlaku di Rumah sakit atau institusi pelayanan
kesehatan.
b. Pasien berhak atas pelayanan yang manusiawi adil dan
makmur.
c. Pasien berhak memperoleh pelayanan kebidanan sesuai dengan
profesi bidan tanpa diskriminasi.
d. Pasien berhak memperoleh asuhan kebidanan sesuai dengan
profesi bidan tanpa diskriminasi.
e. Pasien berhak memilih bidan yang akan menolongnya sesuai
dengan keinginannya.
f. Pasien berhak mendapatkan informasi yang meliputi kehamilan
persalinan, nifas dan bayinya yang baru dilahirkan.
g. Paien berhak mendapat pendampingan suami selama proses
persalinan berlangsung.
h. Pasien berhak memilih dokter dan kelas perawatan sesuai
dengan keinginannya dan sesuai dengan peraturan yang berlaku
di rumah sakit.
20
i. Pasien berhak dirawat oleh dokter secara bebas menentukan
pendapat kritis dan mendapat etisnya tanpa campur tangan dari
pihak luar.
j. Pasien berhak menerima konsultasi kepada dokter lain yang
terdaftar di rumah sakit tersebut (second opinion) terhadap penyakit yang dideritanya, sepengetahuan dokter yang
merawat.
k. Pasien berhak meminta atas “privacy” dan kerahasian penyakit yang diderita termasuk data-data medisnya.
l. Pasien berhak mendapat informasi yang meliputi:
1) Penyakit yang diderita.
2) Tindakan kebidanan yang dilakukan.
3) Alternatif terapi lainnya.
4) Prognosanya.
5) Perkiraan biaya pengobatan.
m. Pasien berhak menyetujui / memberikan izin atas tindakan yang
akan dilakukan oleh dokter sehubungan dengan penyakit yang
dideritanya.
n. Pasien berhak menolak tindakan yang hendak dilakukan
terhadap dirinya dan mengakhiri pengobatan serta perawatan
atas tanggung jawab sendiri sesudah memperoleh informasi
yang jelas tentang penyakit.
p. Pasien berhak menjalankan ibadah sesuai agama / kepercayaan
yang dianutnya selama itu tidak mengganggu pasien lainnya.
q. Pasien berhak atas keamanan dan keselamatan dirinya selama
dalam perawatan di rumah sakit.
r. Pasien berhak menerima atau menolak bimbingan moril
maupun spiritual.
s. Pasien berhak mendapatkan perlindungan hukum atas
terjadinya kasus malpraktek.
t. Hak untuk menentukan diri sendiri (the right to self determination), merupakan dasar dari seluruh hak pasien.
u. Pasien berhak melihat rekam medik.
Kewajiban pasien sebagai berikut :
a. Pasien dan keluarganya berkewajiban untuk mentaati segala
peraturan dan tata tertib rumah sakit atau institusi pelayanan
kesehatan.
b. Pasien berkewajiban untuk mematuhi segala instruksi
dokter,bidan,perawat yang merawatnya,
c. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban untuk melunasi
semua imbalan atas jasa pelayanan rumah sakit atau institusi
pelayanan kesehatan, dokter, bidan, dan perawat.
d. Pasien dan atau penanggungnya berkewajiban memenuhi
7. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi para ahli.
Para ahli dalam bidang kesehatan, misalnya tenaga medis, dalam
melaksanakan profesinya melakukan suatu pekerjaan yang
kadang-kadang penuh risiko. Kalau yang bersangkutan telah melakukan
tugasnya dengan benar menurut tolak ukur profesional (standar
profesi), maka yang bersangkutan harus mendapat perlindungan
hukum. Dalam hal ini pembentuk perundang-undangan tidak hanya
harus membentuk peraturan-peraturan yang ketat mengenai kualitas
profesi, tetapi diperlukan pula usaha-usaha untuk melindungi profesi
itu (termasuk tenaga ahlinya).
Kebutuhan perlindungan hukum tidak terlepas dari hak dan
kewajiban yang dimilikinya, bidan sebagai tenaga medis memiliki hak
dan kewajibannya.
Hak-hak bidan21 :
a. Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
b. Bidan berhak untuk bekerja sesuai dengan standar profesi pada
setiap tingkat / jenjang pelayanan kesehatan.
c. Bidan berhak menolak keinginan pasien / klien dan keluarga
yang bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode
etik profesi.
d. Bidan berhak atas privasi / kedirian dan menuntut apabila nama
baiknya dicemarkan baik oleh pasien, keluarga maupun profesi
lain.
e. Bidan berhak atas kesempatan untuk meningkatkan jenang karir
dan jabatan yang sesuai.
f. Bidan berhak mendapat kompensasi dan kesejahteraan yang
sesuai.
Kewajiban- kewajiban bidan :
a. Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan
hubungan hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit
bersalin dan sarana pelayanan dimana ia bekerja.
b. Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan kebidanan sesuai
dengan standar profesi dengan menghormati hak-hak pasien.
c. Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter
yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan
kebutuhan pasien.
d. Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk
didampingi oleh suami atau keluarga.
e. Bidan wajibmemberikan kesempatan kepada pasien untuk
menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya.
f. Bisan wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
g. Bidan wajib memberikan informasi yang akurat tentang
tindakan yang akan dilakukan serta resiko yang mungkin dapat
timbul.
h. Bidan wajib meminta persetujuan tertulis (informad Consent) atas tindakan yang akan dilakukan.
i. Bidan wajib mendokumentasikan asuhan kebidanan yang
diberikan.
j. Bisan wajib mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta menambah ilmu pengetahuannya melalui
pendidikan formal dan non formal.
k. Bidan wajib bekerja sama dengan proesi lain dan pihak yang
terkait secara timbal balik dalam memberikan asuhan
kebidanan.
8. Kebutuhan akan perlindungan hukum bagi pihak ketiga.
Dalam hubungan-hubungan antar bidan dengan pasien mungkin
tersangkut pihak ketiga. Pihak ketiga itu mungkin tenaga paramedis,
tenaga perawatan, atau tenaga kesehatan lainnya. Pihak ketiga itu
berperan serta, baik dalam kegiatan diagnostik maupun terapeutik.
Apabila terjadi kesalahan yang berakibat negatif pada pasien, siapakah
yang bertanggung jawab? Jangan sampai terjadi pihak ketiga sama
sekali tidak mendapat perlindungan hukum yang wajar.
Tidak mustahil bahwa kepentingan para ahli kesehatan tidak serasi
dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Artinya, ada
kemungkinan bahwa apa yang diharapkan oleh masyarakat,
umpamanya, tidak sejalan dengan kode etik. Seorang penjahat yang
terkenal kejamnya tertembak dan luka parah sehingga memerlukan
perawatan di rumah sakit. Tenaga kesehatan terikat pada sumpah dan
kode etik, tetapi masyarakat mungkin mempunyai anggapan bahwa
sebaiknya penjahat yang kejam itu dibiarkan mati saja. Masalah
semacam ini juga menghendaki pengaturan yang benar, yang
menyerasikan pelbagai kepentingan, termasuk kepentingan umum.
B. Pengaturan tindak pidana malpraktek menurut KUHP
Pelayanan kesehatan yang diberikan seorang tenaga medis kepada pasien
merupakan tindakan profesi tenaga medis. Tindakan medis merupakan suatu
tindakan yang penuh dengan risiko. Risiko tersebut dapat terjadi disebabkan oleh
sesuatu yang tidak dapat diprediksikan sebelumnya atau risiko yang terjadi akibat
tindakan medis yang salah. Dikatakan tindakan salah apabila tenaga medis tidak
melakukan pekerjaannya sesuai dengan standar profesi medik & prosedur
tindakan medik. Apabila seorang tenaga medis melakukan tindakan salah, maka
tenaga medis tersebut dapat dikategorikan melakukan tindakan malpraktik,
Tenaga medis adalah suatu profesi yang memiliki persyaratan tertentu
karena dalam pelaksanaan profesi ini penuh dengan risiko. Persyaratan tertsebut
meliputi persyaratan teknis yang berkaitan dengan kemampuan (berkaitan dengan
‘basic science’ serta keterampilan teknik) serta persyaratan yuridis, berkaitan
dengan kompetensi.
Profesi tenaga medis mengandung risiko tinggi karena bentuk, sifat &
tujuan tindakan yang dilakukan oleh seorang tenaga medis dapat berpotensi
menimbulkan bahaya bagi seseorang. Undang-undang memberikan kewenangan
secara mandiri kepada tenaga medis untuk melakukan & bertanggung jawab
dalam melaksanakan ilmu medis menurut sebagian atau seluruh ruang lingkupnya
serta memanfaatkan kewenangan tersebut secara nyata. Seorang tenaga medis
dinyatakan melakukan kesalahan profesional apabila melakukan tindakan yang
menyimpang atau lebih dikenal sebagai malpraktik.
Dalam pengertian sempit, disebut juga sebagai malpraktik kriminal. Suatu
tindakan dikatakan sebagai malpraktik kriminal apabila memenuhi kriteria sebagai
berikut :
1. Perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela (actus reus). 2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea).
Apabila tindakan tersebut tidak didasari dengan motif untuk menimbulkan akibat
buruk, maka tindakan tersebut adalah tindakan kelalaian. Akibat yang ditimbulkan
dari suatu kelalaian sebenarnya terjadi di luar kehendak yang melakukannya.
Dalam hal tindak pidana malpraktik tidak diatur dengan jelas dalam
KUHP. Pengaturan di dalam KUHP lebih kepada akibat dari perbuatan
malpraktek tersebut.
Pada pasal 360 ayat 1 dan ayat 2 serta pasal 361.
22
Pasal 360
Ayat 1 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka berat
dihukum dengan penjara selama-lamanya lima tahun atau hukuman kurungan
selama-lamanya satu tahun”.
Ayat 2 : “Barangsiapa karena kesalahannya menyebabkan orang luka
sedemikian rupa sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat
menjalankan jabatannya atau pekerjaannya sementara, dihukum dengan hukuman
penjara selama-lamanya sembilan bulan atau hukuman kurungan selama-lamanya
enam bulan atau hukuman denda setinggi-tingginya Rp.4.500,-
Pada pasal 360 memiliki perbedaan dengan pasal 359, yakni pada pasal
359 dijelaskan akibat dari perbuatan yang menyebabkan “kematian” orang
sedangkan dalam pasal 360 adalah :
22
a. Luka berat
Di dalam pasal 90 KUHP dijelaskan mengenai luka berat atau luka parah
yakni :
1. 23Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut. Jadi luka atau sakit bagaimana besarnya, jika dapat sembuh kembali dengan
sempurna dan tidak mendatangkan bahaya maut itu bukan luka berat.
2. Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan. Kalau hanya buat sementara saja bolehnya tidak cakap melakukan pekerjaannya itu tidak masuk luka berat. Penyanyi misalnya jika rusak
kerongkongannya, sehingga tidak dapat menyanyi selama-lamanya itu
masuk luka berat.
3. Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu pancaindera. 4. Verminking atau cacat sehingga jelek rupanya.
5. Verlamming (lumpuh) artinya tidak bisa menggerakkan anggota badannya.
6. Pikirannya terganggu melebihi empat minggu.
7. Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu.
b. Luka yang menyebabkan jatuh sakit (ziek) atau terhalang pekerjaan sehari-hari.
Sedangkan karena salahnya (kurang hati-hatinya) menyebabkan orang luka ringan
tidak dikenakan pasal ini.
Pasal 361
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam
melakukan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka hukuman dapat ditambah dengan
sepertiganya dan sitersalah dapat dipecat dari pekerjaannya, dalam waktu mana
kejahatan itu dilakukan dan hakim dapat memerintahkan supaya keputusannya itu
diumumkan”.
Yang dikenakan pasal ini misalnya dokter, bidan, ahli-obat, sopir, kusir dokar,
masinis yang sebagai orang ahli dalam pekerjaan mereka masing-masing dianggap
harus lebih berhati-hati dalam melakukan pekerjaannya. Apabila mereka itu
mengabaikan peraturan-peraturan atau keharusan-keharusan dalam pekerjaannya,
sehingga menyebabkan mati (pasal 359) atau luka berat (pasal 360), maka akan
dihukum lebih berat.
Sehubungan dengan aturan tindak pidana malpraktik maka diperlukan
pembuktian terhadap tindak pidana malpraktik tersebut. Pembuktian dalam hal
malpraktik merupakan upaya untuk mencari kepastian yang layak melalui
mengapa mengapa peristiwa itu terjadi. Jadi tujuan pembuktian ini adalah untuk
mencari dan menemukan kebenaran materil, bukan mencari kesalahan terdakwa.
Berdasarkan Pasal 184 KUHAP yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah
adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa.
Berdasarkan Pasal 183 KUHAP hakim dapat menjatuhkan pidana dengan syarat
ada dua alat bukti yang sah dan keyakinan hakim yang diperoleh dari dua alat
bukti tersebut atau sistem pembuktian menurut teori ‘negative wetelijk’, karena
menggabungkan antara unsur keyakinan hakim & unsur alat-alat bukti yang sah
menurut UU.
A. Keterangan saksi
Berdasarkan Pasal 1 butir 26 KUHAP, saksi adalah orang yang
dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri & ia alami sendiri. Keterangan saksi ini menurut
Pasal 1 butir 27 KUHAP merupakan salah satu dari alat bukti dalam
perkara. Untuk menggunakan keterangan saksi sebagai alat bukti
diperlukan paling sedikit 2 orang saksi, karena satu saksi bukan saksi
(unus testis nullus testis). Dalam kasus ini beberapa saksi dapat diajukan di
dalam persidangan pidana antara lain saksi korban, dokter anestesi &
perawat yang turut dalam tindakan operasi. Keluarga penderita tidak dapat
dijadikan saksi karena mereka termasuk memiliki hubungan
menjadi saksi berdasarkan Pasal 168 KUHAP dgn kekecualian Pasal
169.24
B. Keterangan ahli
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang
yang berkeahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Seorang
dokter yang sederajat keahliannya dapat dijadikan pemberi keterangan ahli
& dalam penunjukannya akan lebih baik apabila berkonsultasi dengan IDI.
Mereka termasuk dalam kelompok yang memiliki keahlian khusus dalam
bidang tertentu seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 1 butir 28, Pasal
120, & Pasal 179 ayat (1) KUHAP. Keterangan ahli pada kasus ini
diperlukan untuk membuat suatu perkara pidana malpraktik tersebut
menjadi lebih terang & jelas.
C. Alat bukti surat
Rekam medik penderita selama menjalani perawatan di sarana
kesehatan dapat dijadikan alat bukti surat, karena rekam medik dibuat
berdasarkan undang-undang (UU no.29/2004). Dari rekam medik ini akan
dapat dilihat apa yang dilakukan dokter selama operasi berlangsung dari
laporan operasi yang dibuat oleh dokter.
24
D. Alat bukti petunjuk
Alat bukti petunjuk merupakan alat bukti berupa perbuatan,
kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya baik antara yang satu
dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
telah terjadi suatu tindak pidana & siapa pelakunya.
E. Keterangan terdakwa
Keterangan terdakwa merupakan pernyataan terdakwa tentang
perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau yang ia alami
sendiri. Keterangan dokter yang melakukan tindakan medik dapat
dijadikan alat bukti yang kebenarannya dapat dicocokkan dengan rekam
BAB III
FAKTOR PENYEBAB TINDAK PIDANA MALPRAKTEK
Dalam media massa kita sering membaca tentang “malpraktek” dan
“kelalaian” di bidang medik. Namun belum ada terbaca istilah “kecelakaan
medik”. Apa yang dimaksud dengan’kecelakaan”? The Oxford Illustrated
Dictionary (1975) mengatakan :
“suatu peristiwa yang tak terduga, tindakan yang tidak disengaja
(acccident, mishp, misfortune, bad fortune, mischance, ill luck). Dan peristiwa yang terjadi tak terduga itu adalah sesuatu yang tidak enak, tidak menguntungkan,
bahkan men”celakakan”, membawa malapetaka. Hal ini bukan saja bisa terjadi di
jalan raya, tetapu juga di bidang medik.
Timbul pertanyaan : apa bedanya “kelalaian medik: dan : kecelakaan
medik”? Dengan pertanyaan ini kita sudah menginjak bidang disiplin hukum
medik yang sedang berkembang dan akan dikembangkan. Pembedanya adalah
“kecelakaan medik” merupakan sesuatu yang dapat dimengerti dan dimaafkan,
tidak dipersalahkan dan tidak dihukum. Lain halnya dengan kelalaian medik
(medical neglience) yang bisa juga termasuk delik pidana.
Jangkauan hukum medik menyangkut berbagai cabang hukum. Hukum
Perdata, Hukum Pidana, Tata Usaha Negara, di samping disiplin, dan juga etik.
Untuk mengetahui apa yang dimaksudkan dengan kecelakaan medik harus kita
melihat kepada literatur hukum pidana. Kecelakaan adalah lawan dari kesalahan,
kelalaian (schuld, error). Tegasnya dalam arti kelalaian tidak termasuk kecelakaan (accident) yang juga terjadi walaupun sudah dilakukan dengan baik dan hati-hati.
Jika suatu peristiwa naas terjadi karena ada unsur kelalaian, maka hal itu termasuk
kesalahan (schuld, dalam arti negligence). Maka perlu kita mengetahui ciri-ciri apa saja yang termasuk kesalahan, sehingga kita dapat memilah-milahkan antara
kecelakaan dan kelalaian.
Menurut Jonkers suatu kesalahan (schuld) mengandung 4(empat) unsur,
yaitu :
1. Bahwa tindakan itu bertentangan dengan hukum,
(wederrrechtelijkheid),
2. Bahwa akibatnya sebenarnya dapat dibayangkan sebelumnya,
(voorzienbaarheid),
3. Akibat itu sebenarnya dapat dicegah atau dihindarkan,
(vermijdbaarheid),
4. Sehingga timbulnya akibat itu dapat dipersalahkan kepada si
pelaku (verwijtbaarheid).25
Dari uraian Jonkers di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu peristiwa
yang tidak mengandung keempat unsur tadi, bukanlah kesalahan (negligence, schuld), dengan perkataan lain termasuk kecelakaan. Dalam hubungan tenaga medis dan pasien, seorang tenaga medis hanya wajib berusaha sedapat mungkin
untuk menyembuhkan pasiennya ( Inspanningsverbintenis ) dengan mempergunakan segala ilmu, pengetahuan, kepandaian, pengalaman yang dimiliki
serta perhatian. Namun ia sama sekali tidak dapat memberikan jaminan akan
penyembuhannya.
Setiap tindakan medik, antara mana di bidang operasi dan anestesi selalu
mengadung resiko. Ada resiko yang dapat dicegah dan diperhitungkan
sebelumnya. Ada pula resiko yang tidak dapat diperhitungkan sebelumnya ,
seperti anafilaktik shock, maka resiko itu harus diminimalisir mungkin.
Kemungkinan timbulnya akibat-akibat pada pasien demikianharuslah
diperhitungkan sebelumnya. Inilah yang dimaksudkan bekerja dengan hati-hati
dan teliti, sehingga jika sampai akibat itu benar-benar timbul, maka hal-hal yang
berkenaan dengan tindakan antisipasi sudah dipersiapkan sebelumnya dan dapat
segera dilakukan. Jika sudah dilakukan dintakan pencegahan tetapi masih juga
terjadi han hasilnya negatif, maka hal ini tidka dapat dipersalahkan kepada tenaga
medisnya dan termasuk resiko yang harus ditanggung oleh pasien (inherent risk). Maka pada titik inilah sering terjadi perbedaan paham dan salah penafsiran. Ada
sementara masyarakat yang beranggapan bahwa suatu tindakan medik harus selalu
berhasil. Jika tidak berhasil maka terdapat kelalaian pada tenaga medisnya.
Pendapat ini tidaklah benar. Memang harus diakui bahwa ada sementara oknum
tenaga medis yang bertindak lalai atau kurang teliti dan hati-hati. Dan ada juga
yang berani dan secara sadar melanggar peraturan. Tetapi tidak lantas dapat kita
menggeneralisir terhadap seluruh profesi medis. Ada hal-hal yang terletak di luar
jangkauan dan kemampuan tenaga medisnya, seperti terjadinya kecelakaan,
walaupun telah bekerja dengan hati-hati dan teliti.
Kecelakaan medik tersebut tidaklah terjadi begitu saja, ada beberapa hal
dengan tindak pidana malpraktek. Perbuatan kecelakaan medik ataupun tindak
pidana malpraktek tersebut dapat disebabkan oleh 2 faktor :
1. Faktor kelalaian (culpa).
Secara sederhana kelalaian dapat dikatakan merupakan salah satu
bentuk kesalahan yang timbul karena pelakunya tidak memenuhi
standar perilaku yang telah ditentukan. Kelalaian itu timbul karena
faktor orangnya atau perilakunya. Dalam pelayanan kesehatan faktor
penyebab timbulnya kelalaian adalah karena kurangnya pengetahuan,
kurangnya kesungguhan serta kurangnya ketelitian tenaga medis pada
waktu melaksanakan perawatan.
Kelalaian menurut hukum pidana terbagi dua macam. Pertama,
“kealpaan perbuatan”. Maksudnya ialah apabila hanya dengan
melakukan perbuatannya itu sudah merupakan suatu peristiwa pidana,
maka tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut
sebagaimana ketentuan Pasal 205 KUHP. Kedua , “ kealpaan akibat”. Kealpaan akibat ini baru merupakan suatu peristiwa pidana kalau
akibat dari kealpaan itu sendiri sudah menimbulkan akibat yang
dilarang oleh hukum pidana, misalnya cacat atau matinya orang lain
seperti yang diatur dalam Pasal 359,360,361 KUHP.
Kealpaan yang disadari terjadi apabila seseorang tidka berbuat
sesuatu, padahal dia sadar bahwa akibat perbuatan (termasuk tidak
berbuat) yang dilarang oleh hukum pidana itu pasti timbul. Sedangkan
kemungkinan akan adanya suatu akibat atau keadaan tertentu,
sedangkan ia sepatutnya telah memikirkan hal itu maka ia tidak akan
melakukannya.
Dalam pelayanan kesehatan, kelalaian yang timbul dari tindakan
seorang tenaga medis adalah “ kelalaian akibat”. Oleh karena itu yang
dipidana adlaah penyebab dari timbulnya akibat, misalnya, tindakan
seorang tenaga medis yang menyebabkan cacat atau matinya orang
yang berada dalam perawatannya, sehingga perbuatan tersebut dapat
dicelakan kepadanya. Untuk menentukan apakah seorang dokter telah
melakukan peristiwa pidana sebagai akibat, harus terlebih dahulu
dicari keadaan-keadaan yang merupakan sebab terjadinya peristiwa
pidana itu. Umpamanya karena kelalaian tenaga medis yang
memberikan perawatan yang salah kepada pasiennya menyebabkan
cacat atau matinya pasien tersebut. Disamping itu harus pula dilihat
apakah perawatan yang diberikan kepada pasien merupakan suatu
kesengajaan untuk tidak memberikan pelayanan yang baik, padahal dia
sadar sepenuhnya bahwa pasien tersebut sangat membutuhkannya. Jika
hal ini terjadi, maka kesalahan tersebut disebabkan karena tindakan
tenaga medis berupa kesengajaan, karena ia telah bersikap kurang
hati-hati dan ceroboh. Kesengajaan seperti ini oleh P.A.F. Lamintang
(1984:323) dalam bukunya ditulisnya dengan bewuste schuld. Hal ini dapat terjadi apabila si pelaku telah membayangkan tentang