B. Analisa Kasus ... 99
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ... 118 B. Saran ... 119
DAFTAR PUSTAKA ... 120
LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Anak merupakan seseorang yang dianggap belum dewasa, baik dari segi
umur atau sifat psikologis. Batasan seseorang dikatakan sebagai anak tidak
memiliki keseragaman. Di Indonesia, batasan seseorang dapat dikatakan sebagai
seorang anak dilihat dari segi umur, aspek psikologis anak tidak dilihat dalam
penentuan batasan umur. Undang-Undang dan peraturan serta
ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di Indonesia menentukan tingkatan usia seseorang
dikatakan sebagai anak, namun Undang-Undang dan peraturan serta
ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di Indonesia tersebut tidak memiliki keseragaman
dalam menentukan tingkatan usia seseorang dapat dikatakan sebagai anak,
berkaitan dengan masalah penentuan pertanggungjawaban pidana anak.1
1
Paulus Hadisuprapto, Junivenile Delinquency;Pemahaman dan penanggulangannya,
Penentuan tingkatan usia seseorang dapat dikatakan sebagai seorang anak
tidak terlepas kaitannya dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dikarenakan
penentuan tingkatan usia tersebut akan digunakan dalam proses penjatuhan pidana
bagi anak. Anak sebagai pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang No. 3
tahun 1997 Pasal 1 adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan
terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun
menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Di dalam kehidupan masyarakat, tidak asing dan tidak jarang ditemukan
seseorang yang dikatakan sebagai anak melakukan tindak pidana. Seperti anak
yang melakukan pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan sebagainya. Anak
yang melakukan tindak pidana tersebut tidak terlepas dari pertanggungjawaban
hukum positif terhadap perbuatan yang dilakukannya sehingga timbul tugas yang
mulia bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai dan tepat bagi anak
mengingat anak tersebut masih memiliki masa depan yang panjang.
Perkembangan masa kini, perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak semakin
berkembang. Tindak pidana extra ordinary crime (seperti tindak pidana narkotika
dan terorisme) juga tidak terlepas dari anak. Anak pada masa kini telah turut
sebagai pelaku Tindak pidana extra ordinary crime ini. Terkhusus tindak pidana
terorisme yang dilakukan oleh anak.
Anak yang dalam segi aspek psikis maupun fisik belum dapat mandiri
menjadi sasaran pengaruh jahat terorisme. Sifat anak yang masih mudah
menjadi pelaku terorisme. Berbagai faktor dapat menyebabkan anak menjadi
pelaku terorisme, seperti faktor ekonomi, sosial budaya, pendidikan yang salah,
dan sebagainya.
Munculnya anak pelaku terorisme tentu mengejutkan dan membuka mata
tentang anak sebagai pelaku kejahatan teror. Ketidakmandirian anak tentu menjadi
dasar pemikiran penjatuhan sanksi bagi anak pelaku tindak pidana terorisme.
Pertanyaan pun muncul tentang bagaimana pengaturan sanksi dan pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang melakukan kejahatan
terorisme dimana kejahatan terorisme merupakan suatu kejahatan extra ordinary
crime yang menimbulkan begitu banyak korban dan memiliki pengaruh atau
berdampak luas tidak hanya pada masa terjadinya teror tetapi juga pada masa
setelah terjadinya teror.
Kejahatan terorisme yang dipandang melanggar dan menindas HAM
mengalami pertentangan apabila pelakunya adalah seorang anak. Anak yang
merupakan tunas, potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa tentu tidak
dapat dihukum begitu saja sesuai dengan perbuatan teror yang dilakukannya
walaupun perbuatan tersebut merupakan extra ordinary crime mengingat fungsi
dan peranan anak itu sendiri.
Anak merupakan karunia Allah yang sangat berharga, dimana setiap orang
menginginkan hal terbaik untuk anak mereka. Anak merupakan harapan dan masa
depan dari sebuah Negara yang kemudian menjadikan tugas Negara melindungi
aset serta penerus cita-cita Negara di masa depan. Berbagai Undang-Undang pun
pelaku tindak pidana seperti anak pelaku tindak pidana terorisme. Indonesia
sendiri telah mengeluarkan berbagai Undang-Undang sebagai dasar hukum
perlindungan bagi anak yang tercantum dalam Kepres No. 36 tahun 1990 sebagai
ratifikasi dari Konvensi PBB tentang hak- hak anak; Undang-Undang No. 3 tahun
1997 tentang Sistem Peradilan anak; Undang-Undang No. 4 tahun 1979 Tentang
Kesejahteraan Anak; dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang
perlindungan anak dan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang sitem
peradilan anak sebaga pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang
Sistem Peradilan anak.
Pengaturan sanksi dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi
yang diberikan kepada anak menjadi pembahasan peneliti, melihat pada
kemampuan anak yang melakukan kejahatan terorisme tidak lah dapat dikatakan
sebagai kemampuan murni seorang anak. Anak yang dikatakan belum mampu
mandiri namun dalam kenyataan nya anak telah mampu melakukan suatu kejahatn
extra ordinary crime yang bukan merupakan kejahatan biasa, melainkan kejahatan
luar biasa dengan pelaksanaan terstruktur dan terencana serta membutuhkan dana
yang besar. Anak-anak yang telah melakukan terorisme apakah benar perbuatan
terorisme tersebut berasal dari dalam diri anak atau dari orang lain yang telah
dewasa yang sengaja memanfaatkan ketidaktahuan dan keluguan seorang anak.
Kemampuan anak yang masih terbatas dan tidak sesempurna orang dewasa
harus diperhatikan oleh Undang-Undang serta aparat penegak hukum dalam
menerapkan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme yang dilihat
dimana anak pelaku terorisme dijatuhi hukuman 2 tahun. Bagaimana pengaturan
sanksi anak yang melakukan tindak pidana terorisme serta hal-hal apa yang
menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak
sebagai pelaku tindak pidana terorisme kemudian menarik peneliti untuk
melakukan penelitian ini dengan mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Klaten
Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari uraian latar belakang di atas terdapat beberapa pokok permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Terorisme yang Dilakukan oleh
Anak dalam Peraturan Perundang-undangan
2. Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Sanksi Pidana
Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam Putusan
Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt
3. Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak
Pidana Terorisme dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten
Nomor:19/Pid.Sus /11/PN.Klt
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Peneliti melakukan penelitian ini bertujuan untuk :
2. Mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana
terorisme
3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan
terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme
2. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan peneliti dapat menjadi bahan bacaan dan
penambahan ilmu bagi para pembaca khususnya para kalangan akademis dan
pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian ini. Penelitian ini juga
diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk perkembangan
ilmu hukum terkhususnya dalam bidang perlindungan anak sebagai pelaku tindak
pidana terorisme dan apabila dimungkinkan dapat bermanfaat bagi perkembangan
Undang-Undang perlindungan anak di Indonesia.
D. KEASLIAN PENELITIAN
Berdasarkan hasil penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara, Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan
perpustakaan-perpustakaan lainnya, tidak ada judul skripsi atau judul tesis yang sama dengan
judul skripsi peneliti, yaitu “Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku
Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten
Nomor:19/Pid.Sus /11/PN.Klt)”. Maka skripsi ini merupakan hasil karya Peneliti
sendiri.
E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa
terhadap Pasal-Pasal dalam peraturan perUndang-Undangan yang mengatur
permasalahan skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang
bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu
peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya (studi putusan).
2. Sumber dan Tekhnik pengumpulan data
Sumber penelitian ini diambil peneliti melalui data sekunder. Data
sekunder merupakan data yang diperoleh diluar koresponden dalam arti bahwa
data yang diperoleh adalah data tidak langsung, yang dapat dibagi antara lain;
a. Bahan hukum primer
Bahan hukum ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan
perundang-undangan maupun Undang-Undang yang telah berlaku di Indonesia yang
mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, yaitu Undang-Undang No. 15
Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,
Undang-Undang No. 5 tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention
for The Supression of Terrorist Bombings 1997 menjadi Undang-undang,
Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International
Convention of the Suppression of the Financing of the Terrorism 1999
menjadi Undang-Undang, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 Tentang
perundang-undangan maupun Undang-Undang yang telah berlaku di
Indonesia yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, bahan hukum
primer skripsi ini juga diambil dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1997
tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak.
b. Bahan hukum sekunder
Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum
primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer.
Peneliti mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan, yaitu
buku-buku yang berkaitan dengan bahan hukum primer.
c. Bahan hukum tersier
Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukm primer dan bahan
hukum tersier. Peneliti mendapatkannya melalui berbagai jurnal maupun
arsip-arsip penelitian.
Tekhnik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah tekhnik
pengumpulan data lewat studi kepustakaan, dimana peneliti memperoleh data
dengan mengumpulkan dan membahas bahan-bahan penelitian yaitu bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier penelitian ini.
F. TINJAUAN PUSTAKA
1. Terorisme
Kata terorisme sudah tidak asing lagi dalam pendengaran kita, berbagai
aksi dan kasus pun kini telah banyak bermunculan dan menimbulkan banyak
bahasa Arab disebut dengan istilah “irhab”. Kamus Al-Munawwir mendefenisikan
Rahiba-Ruhbatan, wa ruhbanan, Wa rohabban, Ruhbanan sebagai khaafa “Takut”.
Sedangkan kata Al-Irhab diterjemahkan dengan intimidasi. Sementara Oxford
Advanced Learner’s Dictionary of Current English mengartikan kata terror
sebagai great fear; terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation;
dan terrorist diartikan dengan suporterof terrorism atau participant in terrorism,2 Pengertian terorisme sendiri tidak memiliki defenisi pasti, dimana berbagai
pendapat tentang pengertian terorisme ini tidak memiliki keseragaman. Seperti
pengertian terorisme yang diberikan US FBI (federal Bureau of Investigation)
yaitu penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta
untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan
elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik. 3 Sedangkan A. C. Manullang memberi pengertian terorisme sebagai suatu cara untuk merebut
kekuasaan dari kelompok lain. 4
Kent Leyne Oots juga mendefenisikan Terorisme antara lain;5
1. Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material.\
2. Sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain 3. Sebuah tindakan criminal bertendensi publisitas 4. Tindakan kriminalitas bertujuan politis
5. Kekerasan bermotifkan politis
6. Sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis
2
Adin Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Gema Insani Pers, Jakarta,2001, hal. 83 3
Muladi, Demokratisasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 172
4
Ali Masyar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Mandar Maju, Bandung, 2009, hal.42
5
Masih banyak lagi pengertian tentang terorisme selain pendapat-pendapat
yang telah dimuat oleh peneliti diatas, namun pendapat-pendapat tersebut
mengandung ciri dasar terorisme, antara lain;
1. Penggunaan atau ancaman kekerasan
2. Adanya unsur pendadakan / kejutan;
3. Direncanakan dan dipersiapkan secara cermat dan matang
4. Menimbulkan ketakutan yang meluas atau membuat kehancuran material
atau perekonomian
5. Mempunyai tujuan politik yang jauh lebih luas dari sasaran/ korban
langsungnya
Terorisme merupakan penggunaan atau ancaman kekerasan yang bersifat
mendadak, namun direncanakan dan dipersiapkan secara cermat dan matang
sehingga menimbulkan ketakutan meluas atau membuat kehancuran material atau
perekonomian, dengan tujuan/ unsur politis yang jauh lebih luas dari sasaran
(korban) langsungnya.6
Pembahasan tentang terorisme ini sendiri membutuhkan kesadaran yang
mendalam yang mampu menguraikan setiap unsur, bentuk, modus dan Dengan pemahaman yang komprehensif tentang hal-hal
yang berkaitan dengan terorisme diharapkan pemerintah khususnya aparat
penegak hukum dapat menangani kasus kejahatan terorisme secara tepat dan
benar. Namun dalam kenyataan perkembangan hukum di Indonesia, pengertian
yuridis tentang terorisme yang dimuat dalam Undang-Undang belum terdefenisi
secara jelas yang dapat menyebabkan pelanggaran HAM bagi pelaku terorisme.
6
aspek dalam terorisme serta mengklasifikasikannya secara objektif dan ilmiah,
khususnya yang berkaitan dengan pertimbangan dari aspek akibat yang menimpa
umat manusia.
Tindak pidana yang digolongkan dalam tindak pidana terorisme ini dapat
dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi
Undang-Undang Pasal 6 - 24
2. Pelaku terorisme
Tindak pidana hanya dapat diakukan oleh orang pribadi oleh karena itu
hukum pidana selama ini hanya mengenai orang, seorang/ sekelompok orang
sebagai subjek hukum yang terlihat dalam KUHP dimana subjek tindak pidana
adalah seorang manusia sebagai oknum. Selain itu perumusan dari tindak pidana
dalam KUHP juga menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak
pidana. Makhluk yang paling sempurna dan memiliki daya berpikir tentu saja
adalah manusia. Manusia sebagai subjek tindak pidana dapat bertindak
perseorangan atau perkelompok. Namun pada perkembangan masa kini, subjek
tindak pidana tidak lagi hanya manusia tetapi juga badan hukum (korporasi).
C.S.T Kansil lebih lanjut mengatakan subyek hukum atau subject van een
recht, yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang
dalam dunia hukum berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan
kewajiban dan disebut subyek hukum.7
Badan hukum (korporasi) merupakan perkumpulan atau organisasi yang
didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki
kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya.8
Pelaku terorisme merupakan subyek hukum, yaitu manusia ataupun badan
hukum. Subyek hukum yang perbuatannya telah memenuhi delik perbuatan tindak
pidana terorisme dikatakan pelaku terorisme. Pelaku terorisme sendiri dapat juga
dilakukan oleh badan hukum sebagai subyek hukum. Rumusan Pasal 7 sampai
dengan Pasal 12 Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak pidana Terorisme menyebutkan pelaku terorisme adalah :
Badan hukum (korporasi)
memiliki hak yang hampir sama dengan hak subyek hukum manusia, seperti dapat
melakukan persetujuan, perjanjian, memiliki harta kekayaan, dan sebagainya. Hal
yang membedakan anatar badan hukum sebagai subyek hukum dengan manusia
sebagai subyek hukum adalah bahwa badan hukum sebagai subyek hukum tidak
dapat di penjara. Sehingga pertanggungjawaban pidana kembali diberikan pada
manusia sebagai subyek hukum yang terlibat dan bertanggungjawab terhadap
perbuatan badan hukum tersebut.
9
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau
7
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hal. 34
8
Hasim purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hal. 115
9
harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas public, atau fasilitas internasional.”
Perumusan Pasal diatas, subyek hukum dapat dikatakan sebagai pelaku
terorisme apabila subyek hukum tersebut bermaksud atau berniat dari dalam diri
sendiri untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan suasana teror
ditengah masyarakat. Menurut Pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, subyek pelaku tindak pidana terorisme
adalah setiap orang yang didefenisikan sebagai seorang, beberapa orang atau
korporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari orang sipil ataupun militer
maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual atau korporasi (badan
hukum, perseroan, perserikatan, organisasi, yayasan, dan lain-lain organisasi).
3. Pengertian anak
Anak merupakan generasi penerus bangsa, harapan dan masa depan
bangsa. Bagaimana keadaan kehidupan bangsa dimasa depan tergantung pada
anak tidak terkecuali di indonesia. Namun siapakah yang disebut dengan anak ini.
Dunia internasional memberikan defenisi anak yang tedapat dalam Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention
on The Right of The Child Tahun 1989. Aturan Standar Minimum Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations
Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing
Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal
Pengertian anak di Indonesia dijelaskan melalui pemberian batasan umur
antar orang dewasa dan anak yang kita jumpai dalam berbagai peraturan dan
ketentuan serta Undang-Undang yang ada di indonesia . peraturan maupun
Undang-Undang tersebut memberikan batasan anak sebagai berikut :
a. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)
Dalam kitab ini, diberikan batasan antara orang dewasa dan anak yaitu 21
tahun, artinya anak adalah orang yang belum berusia 21 tahun dan belum
kawin.
b. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam kitab ini, tidak dijelaskan secara rinci tentang batasan atau siapa
yang dapat disebut sebagai anak. Namun dalam Pasal 45 dan Pasal 72
seseorang dikatakan sebagai anak apabila berusia 16 tahun kebawah.
Pasal 45:
Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman; atau memerintahkan suoaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 536 dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggran itu atau suatu kejahatn, atau menghukum anak bersalah itu.
Pasal 72 :
keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil
2) Jika tidak ada wakil, atau dia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali mengawasi atau curator (penilik) atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas atau yang menjalankan kewajiba curator itu, atas pengaduan istri, seorang kaum keluarga dalam turunan yang lurus, atau kalau tidak ada atas pengaduan kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ketiga.
Selain Pasal diatas, Pasal 283 KUHP juga memberikan batsan umur
seseorang dikatakan belum dewasa, yaitu 17 tahun yang tercantum dalam Pasal
283 KUHP ayat (1).
Pasal 283 ayat (1):
Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,- dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan ditangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa orang itu belum berumur 17 tahun sesuatu tulisan, gambar, atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau sesuatu cara yang dipergunakan untuk mencegah kehamilan, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang, dan cara itu diketahuinya.
c. Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum
pernah kawin. 10
d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Pasal 1 butir 1 menyatakan anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun
dan seseorang yang berusia belum mencapai 18 tahun.
e. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan
Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah
10
Dikatakan bahwa seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan
belum pernah kawin dikatakan sebagai seorang anak.
f. Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur
8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
dan belum pernah kawin.
4. Anak sebagai pelaku tindak pidana
Anak yang masih berkembang secara fisik, psikis dan rohani tidak terlepas
dari perbuatan tindak pidana. Perkembangan tersebut membuat anak rentan untuk
terpengaruh dan melakukan perbuatan tindak pidana. Tindak pidana yang
dilakukan anak kemudian dikenal dengan istilah juvenile delinquency. Istilah ini
pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam
rangka membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di Negara
tersebut.11
Istilah juvenile delinquency, berasal dari juvenile artinya young,
anak-anak, anak muda, cirri karateristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode
remaja; sedangkan delinquency artinya wrong doing, terabaikan/ mengabaikan,
yang kemudian diperluas artinya menjadi penjahat, a-sosial, criminal, pelanggar
aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,
dursila, dan lain-lain.12
11
Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 25
12 Ibid
Paul Moedikno:
1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti : menvuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya
2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jengki tidak sopan
3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.13
Kartini Kartono mengatakan Juvenile delinquency adalah perilaku jahat/
dursila, atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit
(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu
bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk
peng€abaian tingkah laku yang menyimpang.14
Romli Atmasasmita juga memberika defenisi dari Juvenile delinquency
yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun
dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum
yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi sia anak yang
bersangkutan.15
Anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan
pidana yang tidak murni merupakan suatu perbuatan tindak pidana dikarenakan
seorang anak yang belum mampu untuk berpikir rasional dan berpikir matang
belum mengetahui secara penuh perbuatan-perbuatan yang dilakukannya apakah
bertentangan dengan hukum atau tidak. Ketidaksengajaan berhadapan dengan
hukum merupakan istilah yang tepat bagi anak pelaku tindak pidana. Berbeda
dengan orang dewasa yang secara maksud dan tujuan dan telah mengetahui
perbuatan nya tersebut bertentangan denga hukum tapi tetap melakukannya,
sehingga perbuatan pidana orang dewasa dibedakan dengan perbuatan pidana
anak
Anak yang sifatnya masih dalam proses perkembangan menuju dewasa
menjadi faktor utama atau faktor pendorong anak melakukan tindak pidana, sifat-
sifat tersebut secara umum dapat dikatakan antara lain: 16
a. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar
b. Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk
keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri
c. Senang mencari perhatian
d. Sikap hidup yang bercorak a-sosial
e. Pencarian suatu identitas kedewasaan.
Sifat-sifat inilah yang jika mengarah pada perkembangan negatif akan
menimbulkan keinginan anak untuk melakukan tindak pidana. Anak sebagai
pelaku tindak pidana tentu dipandang berbeda dengan orang yang sudah dewasa
yang melakukan tindak pidana walaupun perbuatan pidananya sama dengan
perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Anak sebagai pelaku tindak pidana
harus dikhususkan dan dibedakan dengan orang dewasa pelaku tindak pidana.
16
5. Perlindungan hukum bagi anak di Indonesia
Pemerintah menyadari betapa pentingnya anak dalam suatu bangsa. Secara
tidak langsung, kehidupan bangsa dan Negara di masa depan bergantung pada
anak. Upaya perlindungan anak pun dilakasanakan demi menjamin masa depan
anak.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 mengatakan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan hukum bagi anak di Indonesia telah ada sejak dulu, terlihat
dari ratifikasi konvensi hak anak melalui Keppres No.36 Tahun 1990 tentang
pengesahan Convention on The Right of Child (Konvensi tentang hak-hak anak)
yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menjamin perlindungan anak juga
tercantum dalam peraturan perUndang-Undangan di antaranya Undang-Undang
No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No.39 tentang Hak
Asasi Manusia dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Anak
yang menggantikan UNDANG-UNDANG No. 3 Tahun 1997. Selain itu, dasar
hukum perlindungan anak juga terdapat dalam KUH Pidana dan KUH perdata.
Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah
dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang
dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan
wajar.
Dasar-dasar perlindungan anak dapat dibagi 3, antara lain: 17
1. Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak
2. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.
3. Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UNDANG-UNDANGD 1945 dan berbagai peraturan perUndang-Undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perUndang-Undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.
G. SISTEMATIKA PENELITIAN
Skripsi ini terdiri dari 4 BAB, yaitu;
BAB I
Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, perumusan masalah,
tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan
kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB II
Bab ini berisi tentang pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dan
pengaturan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak.
17
BAB III
Bab ini berisi tentang Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Sanksi
Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam Putusan
Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt yang terdiri dari
pertimbangan yuridis dan non yuridis.
BAB IV
Bab ini berisi Kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19
/Pid.Sus /11/PN.Klt yang terdiri dari Kronologis, Tuntutan Jaksa Penuntut
Umum, Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan putusan hakim. Bab ini juga
berisi analisa terhadap putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19
/Pid.Sus /11/PN.Klt
BAB V
Merupakan bab Penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan
skripsi ini dan saran yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam