• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG - Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt )"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

B. Analisa Kasus ... 99

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 118 B. Saran ... 119

DAFTAR PUSTAKA ... 120

LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Anak merupakan seseorang yang dianggap belum dewasa, baik dari segi

umur atau sifat psikologis. Batasan seseorang dikatakan sebagai anak tidak

memiliki keseragaman. Di Indonesia, batasan seseorang dapat dikatakan sebagai

seorang anak dilihat dari segi umur, aspek psikologis anak tidak dilihat dalam

penentuan batasan umur. Undang-Undang dan peraturan serta

ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di Indonesia menentukan tingkatan usia seseorang

dikatakan sebagai anak, namun Undang-Undang dan peraturan serta

ketentuan-ketentuan lain yang berlaku di Indonesia tersebut tidak memiliki keseragaman

dalam menentukan tingkatan usia seseorang dapat dikatakan sebagai anak,

berkaitan dengan masalah penentuan pertanggungjawaban pidana anak.1

1

Paulus Hadisuprapto, Junivenile Delinquency;Pemahaman dan penanggulangannya,

(2)

Penentuan tingkatan usia seseorang dapat dikatakan sebagai seorang anak

tidak terlepas kaitannya dengan anak sebagai pelaku tindak pidana dikarenakan

penentuan tingkatan usia tersebut akan digunakan dalam proses penjatuhan pidana

bagi anak. Anak sebagai pelaku tindak pidana menurut Undang-Undang No. 3

tahun 1997 Pasal 1 adalah anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan

terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun

menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang

bersangkutan.

Di dalam kehidupan masyarakat, tidak asing dan tidak jarang ditemukan

seseorang yang dikatakan sebagai anak melakukan tindak pidana. Seperti anak

yang melakukan pencurian, pembunuhan, pemerkosaan, dan sebagainya. Anak

yang melakukan tindak pidana tersebut tidak terlepas dari pertanggungjawaban

hukum positif terhadap perbuatan yang dilakukannya sehingga timbul tugas yang

mulia bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi yang sesuai dan tepat bagi anak

mengingat anak tersebut masih memiliki masa depan yang panjang.

Perkembangan masa kini, perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak semakin

berkembang. Tindak pidana extra ordinary crime (seperti tindak pidana narkotika

dan terorisme) juga tidak terlepas dari anak. Anak pada masa kini telah turut

sebagai pelaku Tindak pidana extra ordinary crime ini. Terkhusus tindak pidana

terorisme yang dilakukan oleh anak.

Anak yang dalam segi aspek psikis maupun fisik belum dapat mandiri

menjadi sasaran pengaruh jahat terorisme. Sifat anak yang masih mudah

(3)

menjadi pelaku terorisme. Berbagai faktor dapat menyebabkan anak menjadi

pelaku terorisme, seperti faktor ekonomi, sosial budaya, pendidikan yang salah,

dan sebagainya.

Munculnya anak pelaku terorisme tentu mengejutkan dan membuka mata

tentang anak sebagai pelaku kejahatan teror. Ketidakmandirian anak tentu menjadi

dasar pemikiran penjatuhan sanksi bagi anak pelaku tindak pidana terorisme.

Pertanyaan pun muncul tentang bagaimana pengaturan sanksi dan pertimbangan

hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap anak yang melakukan kejahatan

terorisme dimana kejahatan terorisme merupakan suatu kejahatan extra ordinary

crime yang menimbulkan begitu banyak korban dan memiliki pengaruh atau

berdampak luas tidak hanya pada masa terjadinya teror tetapi juga pada masa

setelah terjadinya teror.

Kejahatan terorisme yang dipandang melanggar dan menindas HAM

mengalami pertentangan apabila pelakunya adalah seorang anak. Anak yang

merupakan tunas, potensi dan penerus cita-cita perjuangan bangsa tentu tidak

dapat dihukum begitu saja sesuai dengan perbuatan teror yang dilakukannya

walaupun perbuatan tersebut merupakan extra ordinary crime mengingat fungsi

dan peranan anak itu sendiri.

Anak merupakan karunia Allah yang sangat berharga, dimana setiap orang

menginginkan hal terbaik untuk anak mereka. Anak merupakan harapan dan masa

depan dari sebuah Negara yang kemudian menjadikan tugas Negara melindungi

aset serta penerus cita-cita Negara di masa depan. Berbagai Undang-Undang pun

(4)

pelaku tindak pidana seperti anak pelaku tindak pidana terorisme. Indonesia

sendiri telah mengeluarkan berbagai Undang-Undang sebagai dasar hukum

perlindungan bagi anak yang tercantum dalam Kepres No. 36 tahun 1990 sebagai

ratifikasi dari Konvensi PBB tentang hak- hak anak; Undang-Undang No. 3 tahun

1997 tentang Sistem Peradilan anak; Undang-Undang No. 4 tahun 1979 Tentang

Kesejahteraan Anak; dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang

perlindungan anak dan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang sitem

peradilan anak sebaga pengganti Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang

Sistem Peradilan anak.

Pengaturan sanksi dan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi

yang diberikan kepada anak menjadi pembahasan peneliti, melihat pada

kemampuan anak yang melakukan kejahatan terorisme tidak lah dapat dikatakan

sebagai kemampuan murni seorang anak. Anak yang dikatakan belum mampu

mandiri namun dalam kenyataan nya anak telah mampu melakukan suatu kejahatn

extra ordinary crime yang bukan merupakan kejahatan biasa, melainkan kejahatan

luar biasa dengan pelaksanaan terstruktur dan terencana serta membutuhkan dana

yang besar. Anak-anak yang telah melakukan terorisme apakah benar perbuatan

terorisme tersebut berasal dari dalam diri anak atau dari orang lain yang telah

dewasa yang sengaja memanfaatkan ketidaktahuan dan keluguan seorang anak.

Kemampuan anak yang masih terbatas dan tidak sesempurna orang dewasa

harus diperhatikan oleh Undang-Undang serta aparat penegak hukum dalam

menerapkan sanksi terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme yang dilihat

(5)

dimana anak pelaku terorisme dijatuhi hukuman 2 tahun. Bagaimana pengaturan

sanksi anak yang melakukan tindak pidana terorisme serta hal-hal apa yang

menjadi bahan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi terhadap anak

sebagai pelaku tindak pidana terorisme kemudian menarik peneliti untuk

melakukan penelitian ini dengan mengacu pada putusan Pengadilan Negeri Klaten

Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari uraian latar belakang di atas terdapat beberapa pokok permasalahan

yang akan dibahas dalam penelitian ini antara lain :

1. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Terorisme yang Dilakukan oleh

Anak dalam Peraturan Perundang-undangan

2. Bagaimana Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Sanksi Pidana

Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam Putusan

Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt

3. Bagaimana Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak

Pidana Terorisme dalam Putusan Pengadilan Negeri Klaten

Nomor:19/Pid.Sus /11/PN.Klt

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Peneliti melakukan penelitian ini bertujuan untuk :

(6)

2. Mengetahui penerapan sanksi pidana terhadap anak pelaku tindak pidana

terorisme

3. Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan

terhadap anak pelaku tindak pidana terorisme

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini diharapkan peneliti dapat menjadi bahan bacaan dan

penambahan ilmu bagi para pembaca khususnya para kalangan akademis dan

pihak-pihak yang terkait dengan topik penelitian ini. Penelitian ini juga

diharapkan berguna dan bermanfaat sebagai bahan acuan untuk perkembangan

ilmu hukum terkhususnya dalam bidang perlindungan anak sebagai pelaku tindak

pidana terorisme dan apabila dimungkinkan dapat bermanfaat bagi perkembangan

Undang-Undang perlindungan anak di Indonesia.

D. KEASLIAN PENELITIAN

Berdasarkan hasil penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera

Utara, Perpustakaan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara dan

perpustakaan-perpustakaan lainnya, tidak ada judul skripsi atau judul tesis yang sama dengan

judul skripsi peneliti, yaitu “Penjatuhan Sanksi Pidana Terhadap Anak Pelaku

Tindak Pidana Terorisme (Studi Putusan Pengadilan Negeri Klaten

Nomor:19/Pid.Sus /11/PN.Klt)”. Maka skripsi ini merupakan hasil karya Peneliti

sendiri.

E. METODE PENELITIAN

(7)

Metode penelitian yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif yaitu suatu penelitian yang secara deduktif dimulai dengan analisa

terhadap Pasal-Pasal dalam peraturan perUndang-Undangan yang mengatur

permasalahan skripsi. Bersifat normatif maksudnya adalah penelitian hukum yang

bertujuan untuk memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu

peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya (studi putusan).

2. Sumber dan Tekhnik pengumpulan data

Sumber penelitian ini diambil peneliti melalui data sekunder. Data

sekunder merupakan data yang diperoleh diluar koresponden dalam arti bahwa

data yang diperoleh adalah data tidak langsung, yang dapat dibagi antara lain;

a. Bahan hukum primer

Bahan hukum ini adalah berbagai ketentuan dan peraturan

perundang-undangan maupun Undang-Undang yang telah berlaku di Indonesia yang

mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, yaitu Undang-Undang No. 15

Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme,

Undang-Undang No. 5 tahun 2006 tentang Pengesahan International Convention

for The Supression of Terrorist Bombings 1997 menjadi Undang-undang,

Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang Pengesahan International

Convention of the Suppression of the Financing of the Terrorism 1999

menjadi Undang-Undang, Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2002 Tentang

(8)

perundang-undangan maupun Undang-Undang yang telah berlaku di

Indonesia yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme, bahan hukum

primer skripsi ini juga diambil dari Undang-Undang No. 3 Tahun 1997

tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak.

b. Bahan hukum sekunder

Bahan hukum ini adalah bahan yang berkaitan dengan bahan hukum

primer dan merupakan bahan pendukung dari bahan hukum primer.

Peneliti mengambil bahan hukum sekunder dari studi kepustakaan, yaitu

buku-buku yang berkaitan dengan bahan hukum primer.

c. Bahan hukum tersier

Merupakan bahan hukum pelengkap dari bahan hukm primer dan bahan

hukum tersier. Peneliti mendapatkannya melalui berbagai jurnal maupun

arsip-arsip penelitian.

Tekhnik pengumpulan data yang dilakukan peneliti adalah tekhnik

pengumpulan data lewat studi kepustakaan, dimana peneliti memperoleh data

dengan mengumpulkan dan membahas bahan-bahan penelitian yaitu bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier penelitian ini.

F. TINJAUAN PUSTAKA

1. Terorisme

Kata terorisme sudah tidak asing lagi dalam pendengaran kita, berbagai

aksi dan kasus pun kini telah banyak bermunculan dan menimbulkan banyak

(9)

bahasa Arab disebut dengan istilah “irhab”. Kamus Al-Munawwir mendefenisikan

Rahiba-Ruhbatan, wa ruhbanan, Wa rohabban, Ruhbanan sebagai khaafa “Takut”.

Sedangkan kata Al-Irhab diterjemahkan dengan intimidasi. Sementara Oxford

Advanced Learner’s Dictionary of Current English mengartikan kata terror

sebagai great fear; terrorism diartikan sebagai use of violence and intimidation;

dan terrorist diartikan dengan suporterof terrorism atau participant in terrorism,2 Pengertian terorisme sendiri tidak memiliki defenisi pasti, dimana berbagai

pendapat tentang pengertian terorisme ini tidak memiliki keseragaman. Seperti

pengertian terorisme yang diberikan US FBI (federal Bureau of Investigation)

yaitu penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta

untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan

elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik. 3 Sedangkan A. C. Manullang memberi pengertian terorisme sebagai suatu cara untuk merebut

kekuasaan dari kelompok lain. 4

Kent Leyne Oots juga mendefenisikan Terorisme antara lain;5

1. Sebuah aksi militer atau psikologis yang dirancang untuk menciptakan ketakutan, atau membuat kehancuran ekonomi atau material.\

2. Sebuah metode pemaksaan tingkah laku pihak lain 3. Sebuah tindakan criminal bertendensi publisitas 4. Tindakan kriminalitas bertujuan politis

5. Kekerasan bermotifkan politis

6. Sebuah aksi kriminal guna meraih tujuan politis atau ekonomis

2

Adin Husaini, Jihad Osama Versus Amerika, Gema Insani Pers, Jakarta,2001, hal. 83 3

Muladi, Demokratisasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hal. 172

4

Ali Masyar, Gaya Indonesia Menghadang Terorisme, Mandar Maju, Bandung, 2009, hal.42

5

(10)

Masih banyak lagi pengertian tentang terorisme selain pendapat-pendapat

yang telah dimuat oleh peneliti diatas, namun pendapat-pendapat tersebut

mengandung ciri dasar terorisme, antara lain;

1. Penggunaan atau ancaman kekerasan

2. Adanya unsur pendadakan / kejutan;

3. Direncanakan dan dipersiapkan secara cermat dan matang

4. Menimbulkan ketakutan yang meluas atau membuat kehancuran material

atau perekonomian

5. Mempunyai tujuan politik yang jauh lebih luas dari sasaran/ korban

langsungnya

Terorisme merupakan penggunaan atau ancaman kekerasan yang bersifat

mendadak, namun direncanakan dan dipersiapkan secara cermat dan matang

sehingga menimbulkan ketakutan meluas atau membuat kehancuran material atau

perekonomian, dengan tujuan/ unsur politis yang jauh lebih luas dari sasaran

(korban) langsungnya.6

Pembahasan tentang terorisme ini sendiri membutuhkan kesadaran yang

mendalam yang mampu menguraikan setiap unsur, bentuk, modus dan Dengan pemahaman yang komprehensif tentang hal-hal

yang berkaitan dengan terorisme diharapkan pemerintah khususnya aparat

penegak hukum dapat menangani kasus kejahatan terorisme secara tepat dan

benar. Namun dalam kenyataan perkembangan hukum di Indonesia, pengertian

yuridis tentang terorisme yang dimuat dalam Undang-Undang belum terdefenisi

secara jelas yang dapat menyebabkan pelanggaran HAM bagi pelaku terorisme.

6

(11)

aspek dalam terorisme serta mengklasifikasikannya secara objektif dan ilmiah,

khususnya yang berkaitan dengan pertimbangan dari aspek akibat yang menimpa

umat manusia.

Tindak pidana yang digolongkan dalam tindak pidana terorisme ini dapat

dilihat dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2003

Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1

Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi

Undang-Undang Pasal 6 - 24

2. Pelaku terorisme

Tindak pidana hanya dapat diakukan oleh orang pribadi oleh karena itu

hukum pidana selama ini hanya mengenai orang, seorang/ sekelompok orang

sebagai subjek hukum yang terlihat dalam KUHP dimana subjek tindak pidana

adalah seorang manusia sebagai oknum. Selain itu perumusan dari tindak pidana

dalam KUHP juga menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak

pidana. Makhluk yang paling sempurna dan memiliki daya berpikir tentu saja

adalah manusia. Manusia sebagai subjek tindak pidana dapat bertindak

perseorangan atau perkelompok. Namun pada perkembangan masa kini, subjek

tindak pidana tidak lagi hanya manusia tetapi juga badan hukum (korporasi).

C.S.T Kansil lebih lanjut mengatakan subyek hukum atau subject van een

recht, yaitu orang yang mempunyai hak, manusia pribadi atau badan hukum yang

(12)

dalam dunia hukum berarti pembawa hak, yaitu sesuatu yang mempunyai hak dan

kewajiban dan disebut subyek hukum.7

Badan hukum (korporasi) merupakan perkumpulan atau organisasi yang

didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek hukum, misalnya dapat memiliki

kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya.8

Pelaku terorisme merupakan subyek hukum, yaitu manusia ataupun badan

hukum. Subyek hukum yang perbuatannya telah memenuhi delik perbuatan tindak

pidana terorisme dikatakan pelaku terorisme. Pelaku terorisme sendiri dapat juga

dilakukan oleh badan hukum sebagai subyek hukum. Rumusan Pasal 7 sampai

dengan Pasal 12 Undang-Undang no 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan

Tindak pidana Terorisme menyebutkan pelaku terorisme adalah :

Badan hukum (korporasi)

memiliki hak yang hampir sama dengan hak subyek hukum manusia, seperti dapat

melakukan persetujuan, perjanjian, memiliki harta kekayaan, dan sebagainya. Hal

yang membedakan anatar badan hukum sebagai subyek hukum dengan manusia

sebagai subyek hukum adalah bahwa badan hukum sebagai subyek hukum tidak

dapat di penjara. Sehingga pertanggungjawaban pidana kembali diberikan pada

manusia sebagai subyek hukum yang terlibat dan bertanggungjawab terhadap

perbuatan badan hukum tersebut.

9

“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau

7

C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, PN. Balai Pustaka, Jakarta, 1982, hal. 34

8

Hasim purba, Suatu Pedoman Memahami Ilmu Hukum, Cahaya Ilmu, Medan, 2006, hal. 115

9

(13)

harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas public, atau fasilitas internasional.”

Perumusan Pasal diatas, subyek hukum dapat dikatakan sebagai pelaku

terorisme apabila subyek hukum tersebut bermaksud atau berniat dari dalam diri

sendiri untuk melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan suasana teror

ditengah masyarakat. Menurut Pasal 1 butir 2 dan Pasal 3 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, subyek pelaku tindak pidana terorisme

adalah setiap orang yang didefenisikan sebagai seorang, beberapa orang atau

korporasi dan kelompok tersebut yang terdiri dari orang sipil ataupun militer

maupun polisi yang bertanggungjawab secara individual atau korporasi (badan

hukum, perseroan, perserikatan, organisasi, yayasan, dan lain-lain organisasi).

3. Pengertian anak

Anak merupakan generasi penerus bangsa, harapan dan masa depan

bangsa. Bagaimana keadaan kehidupan bangsa dimasa depan tergantung pada

anak tidak terkecuali di indonesia. Namun siapakah yang disebut dengan anak ini.

Dunia internasional memberikan defenisi anak yang tedapat dalam Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak atau United Nation Convention

on The Right of The Child Tahun 1989. Aturan Standar Minimum Perserikatan

Bangsa-Bangsa mengenai Pelaksanaan Peradilan Anak atau United Nations

Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice ("The Beijing

Rules”) Tahun 1985 dan Deklarasi Hak Asasi Manusia atau Universal

(14)

Pengertian anak di Indonesia dijelaskan melalui pemberian batasan umur

antar orang dewasa dan anak yang kita jumpai dalam berbagai peraturan dan

ketentuan serta Undang-Undang yang ada di indonesia . peraturan maupun

Undang-Undang tersebut memberikan batasan anak sebagai berikut :

a. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW)

Dalam kitab ini, diberikan batasan antara orang dewasa dan anak yaitu 21

tahun, artinya anak adalah orang yang belum berusia 21 tahun dan belum

kawin.

b. Dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Dalam kitab ini, tidak dijelaskan secara rinci tentang batasan atau siapa

yang dapat disebut sebagai anak. Namun dalam Pasal 45 dan Pasal 72

seseorang dikatakan sebagai anak apabila berusia 16 tahun kebawah.

Pasal 45:

Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, walinya, atau pemeliharanya, dengan tidak dikenakan suatu hukuman; atau memerintahkan suoaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman; yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggran yang diterangkan dalam Pasal 489, 490, 492, 497, 503-505, 514, 517-519, 526, 536 dan 540 dan perbuatan itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan terdahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggran itu atau suatu kejahatn, atau menghukum anak bersalah itu.

Pasal 72 :

(15)

keadaan-keadaan itu, yang berhak mengadu ialah wakilnya yang sah dalam perkara sipil

2) Jika tidak ada wakil, atau dia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali mengawasi atau curator (penilik) atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas atau yang menjalankan kewajiba curator itu, atas pengaduan istri, seorang kaum keluarga dalam turunan yang lurus, atau kalau tidak ada atas pengaduan kaum keluarga dalam turunan yang menyimpang sampai derajat ketiga.

Selain Pasal diatas, Pasal 283 KUHP juga memberikan batsan umur

seseorang dikatakan belum dewasa, yaitu 17 tahun yang tercantum dalam Pasal

283 KUHP ayat (1).

Pasal 283 ayat (1):

Dengan hukuman penjara selama-lamanya Sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 9.000,- dihukum barang siapa menawarkan, menyerahkan buat selama-lamanya atau buat sementara waktu, menyampaikan ditangan atau mempertunjukkan kepada orang yang belum dewasa yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa orang itu belum berumur 17 tahun sesuatu tulisan, gambar, atau sesuatu barang yang menyinggung perasaan kesopanan, atau sesuatu cara yang dipergunakan untuk mencegah kehamilan, jika isi surat itu diketahuinya atau jika gambar, barang, dan cara itu diketahuinya.

c. Undang- undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 18 tahun dan belum

pernah kawin. 10

d. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Pasal 1 butir 1 menyatakan anak adalah seseorang yang berusia 18 tahun

dan seseorang yang berusia belum mencapai 18 tahun.

e. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1988 tentang Usaha Kesejahteraan

Anak bagi Anak yang Mempunyai Masalah

10

(16)

Dikatakan bahwa seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan

belum pernah kawin dikatakan sebagai seorang anak.

f. Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur

8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun

dan belum pernah kawin.

4. Anak sebagai pelaku tindak pidana

Anak yang masih berkembang secara fisik, psikis dan rohani tidak terlepas

dari perbuatan tindak pidana. Perkembangan tersebut membuat anak rentan untuk

terpengaruh dan melakukan perbuatan tindak pidana. Tindak pidana yang

dilakukan anak kemudian dikenal dengan istilah juvenile delinquency. Istilah ini

pertama kali ditampilkan pada Badan Peradilan Anak di Amerika Serikat dalam

rangka membentuk suatu Undang-Undang Peradilan bagi anak di Negara

tersebut.11

Istilah juvenile delinquency, berasal dari juvenile artinya young,

anak-anak, anak muda, cirri karateristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode

remaja; sedangkan delinquency artinya wrong doing, terabaikan/ mengabaikan,

yang kemudian diperluas artinya menjadi penjahat, a-sosial, criminal, pelanggar

aturan, pembuat rebut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana,

dursila, dan lain-lain.12

11

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana Bagi Anak di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 25

12 Ibid

(17)

Paul Moedikno:

1. Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan delinquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti : menvuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya

2. Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jengki tidak sopan

3. Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.13

Kartini Kartono mengatakan Juvenile delinquency adalah perilaku jahat/

dursila, atau kejahatan/ kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit

(patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu

bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk

peng€abaian tingkah laku yang menyimpang.14

Romli Atmasasmita juga memberika defenisi dari Juvenile delinquency

yaitu setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak dibawah umur 18 tahun

dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum

yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi sia anak yang

bersangkutan.15

Anak sebagai pelaku tindak pidana dapat dikatakan sebagai perbuatan

pidana yang tidak murni merupakan suatu perbuatan tindak pidana dikarenakan

seorang anak yang belum mampu untuk berpikir rasional dan berpikir matang

belum mengetahui secara penuh perbuatan-perbuatan yang dilakukannya apakah

bertentangan dengan hukum atau tidak. Ketidaksengajaan berhadapan dengan

hukum merupakan istilah yang tepat bagi anak pelaku tindak pidana. Berbeda

(18)

dengan orang dewasa yang secara maksud dan tujuan dan telah mengetahui

perbuatan nya tersebut bertentangan denga hukum tapi tetap melakukannya,

sehingga perbuatan pidana orang dewasa dibedakan dengan perbuatan pidana

anak

Anak yang sifatnya masih dalam proses perkembangan menuju dewasa

menjadi faktor utama atau faktor pendorong anak melakukan tindak pidana, sifat-

sifat tersebut secara umum dapat dikatakan antara lain: 16

a. Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar

b. Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk

keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri

c. Senang mencari perhatian

d. Sikap hidup yang bercorak a-sosial

e. Pencarian suatu identitas kedewasaan.

Sifat-sifat inilah yang jika mengarah pada perkembangan negatif akan

menimbulkan keinginan anak untuk melakukan tindak pidana. Anak sebagai

pelaku tindak pidana tentu dipandang berbeda dengan orang yang sudah dewasa

yang melakukan tindak pidana walaupun perbuatan pidananya sama dengan

perbuatan pidana yang dilakukan oleh anak. Anak sebagai pelaku tindak pidana

harus dikhususkan dan dibedakan dengan orang dewasa pelaku tindak pidana.

16

(19)

5. Perlindungan hukum bagi anak di Indonesia

Pemerintah menyadari betapa pentingnya anak dalam suatu bangsa. Secara

tidak langsung, kehidupan bangsa dan Negara di masa depan bergantung pada

anak. Upaya perlindungan anak pun dilakasanakan demi menjamin masa depan

anak.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.23 Tahun 2002 mengatakan bahwa

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara

optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Perlindungan hukum bagi anak di Indonesia telah ada sejak dulu, terlihat

dari ratifikasi konvensi hak anak melalui Keppres No.36 Tahun 1990 tentang

pengesahan Convention on The Right of Child (Konvensi tentang hak-hak anak)

yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam menjamin perlindungan anak juga

tercantum dalam peraturan perUndang-Undangan di antaranya Undang-Undang

No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang No.39 tentang Hak

Asasi Manusia dan Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak, dan Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem peradilan Anak

yang menggantikan UNDANG-UNDANG No. 3 Tahun 1997. Selain itu, dasar

hukum perlindungan anak juga terdapat dalam KUH Pidana dan KUH perdata.

Pasal 2 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4

(20)

pemeliharaan dan perlindungan baik semasa kandungan maupun sesudah

dilahirkan. Anak berhak atas perlindungan-perlindungan lingkungan hidup yang

dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangan dengan

wajar.

Dasar-dasar perlindungan anak dapat dibagi 3, antara lain: 17

1. Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, serta dasar filosofis pelaksanaan perlindungan anak

2. Dasar Etis, pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanaan kewenangan, kekuasaan, dan kekuatan dalam pelaksanaan perlindungan anak.

3. Dasar Yuridis, pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada UNDANG-UNDANGD 1945 dan berbagai peraturan perUndang-Undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integrative, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perUndang-Undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.

G. SISTEMATIKA PENELITIAN

Skripsi ini terdiri dari 4 BAB, yaitu;

BAB I

Bab ini terdiri dari latar belakang permasalahan, perumusan masalah,

tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan

kepustakaan, metode penelitian, serta sistematika penelitian.

BAB II

Bab ini berisi tentang pengaturan tindak pidana terorisme di Indonesia dan

pengaturan tindak pidana terorisme yang dilakukan oleh anak.

17

(21)

BAB III

Bab ini berisi tentang Pertimbangan Hakim dalam Penjatuhan Sanksi

Pidana Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme dalam Putusan

Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19 /Pid.Sus /11/PN.Klt yang terdiri dari

pertimbangan yuridis dan non yuridis.

BAB IV

Bab ini berisi Kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19

/Pid.Sus /11/PN.Klt yang terdiri dari Kronologis, Tuntutan Jaksa Penuntut

Umum, Dakwaan Jaksa Penuntut Umum dan putusan hakim. Bab ini juga

berisi analisa terhadap putusan Pengadilan Negeri Klaten Nomor : 19

/Pid.Sus /11/PN.Klt

BAB V

Merupakan bab Penutup yang berisi kesimpulan dari hasil pembahasan

skripsi ini dan saran yang diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa langkah-langkah atau upaya yang dilakukan petani sayur dalam mensejahterakan keluarga di Desa Tonasa Kecamatan Tombolo Pao

PERENCANAAN ULANG TIMBUNAN OPRIT DAN ABUTMENT JEMBATAN PLASMA BATU TUGU- PLASMA TANJUNG KURUNG, PALEMBANG (YANG MENGALAMI KERUNTUHAN SEBELUMNYA PADA SAAT PELAKSANAAN).. RIF’

berat empulur, berat ampas dan berat pati sagu pada setiap batang pohon yakni pangkat tengah dan ujung mempunyai nilai yang berbeda-beda dan terlihat jelas bahwa bagian

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Termasuk pula ketepatan waktu pelaksanaan yang berkaitan dengan masalah kapan jenis pekerjaan akan dimulai, pengadaan bahan/material, pengadaan pekerja ( Mandor,

Dalam ajaran Islam, ibadah manusia dan jin lebih disukai oleh Allah dibandingkan ibadah para malaikat, karena manusia dan jin bisa menentukan pilihannya

Berdasarkan nilai koefisien determinasi atau R square sebesar 0,462 hal ini menunjukkan bahwa 46,2% yang menunjukan bahwa Penerapan Good Corporate Governance