BAB I PENDAHULUAN
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Pengawasan
1.5.1.1 Pengertian Pengawasan
Henry Fayol, sebagaimana dikutip oleh Harahap (2001:10) mengatakan bahwa, pengawasan mencakup upaya memeriksa apakah semua terjadi sesuai dengan rencana yang ditetapkan, perintah yang dikeluarkan, dan prinsip yang dianut juga dimaksudkan untuk kelemahan dan kesalahan agar dapat dihindari kejadiannya kemudian hari.
Handoko (2003:359) mengatakan bahwa, pengawasan adalah proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan organisasi dan manajemen tercapai. Pengawasan merupakan elemen tugas-tugas manajerial dan ia mencakup tindakan pengukuran dan
perbaikan (koreksi) performa pihak yang diawasi guna memastikan bahwa sasaran-sasaran, instruksi yang dikeluarkan dilaksanakan secara efisien dan berjalan lancar.
Kadarman (2001:159) pengawasan adalah suatu upaya yang sistematis untuk menetapkan kinerja standar pada rencana untuk merancang sistem umpan balik informasi untuk menetapkan apakah telah terjadi suatu penyimpangan tersebut, serta untuk mengambil tindakan perbaikan yang diperlukan untuk menjamin bahwa sumber daya yang telah digunakan seefektif dan seefisien mungkin guna mencapai tujuan organisasi. Jadi dalam setiap kegiatan yang akan diselenggarkan, pengawasan selalu dibutuhkan. Dengan adanya pengawasan yang baik diharapkan rencana atau tujuan yang telah ditetapkan akan dapat terjadi dengan cara yang efektif dan efisien. Karena melalui pengawasan diusahakan agar setiap tindakan atau perbuatan tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada.
Moekijat (1989:57) pengawasan berarti kemampuan untuk menjuruskan dan memberikan motivasi serta untuk mengetahui apa yang sesungguhnya telah dilakukan dibandingkan dengan apa yang harus dilakukan.
Surat Keputusan Menpan Nomor 19/1996 dikutip oleh Evy Setia Dewi dalam jurnal audikasi, pengawasan sebagai seluruh proses penilaian terhadap objek atau kegiatan tertentu yang bertujuan untuk memastikan apakah tugas dan fungsi objek atau kegiatan tersebut telah dilaksanakan sesuai dengan ketetapan yang berlaku.
Menurut Ndraha dikutip oleh Linda Gosango dalam jurnal administrasi publik, pengawasan sebagai proses, berlangsung di bawah empat prinsip pengawasan
juga adalah prinsip organisasi, yaitu pertama, koordinasi sebagai hubungan timbal balik semua faktor di dalam suatu situasi. Kedua, koordinasi dengan kontak langsung antar manusia yang berkepentingan.Ketiga, koordinasi pada tahap awal setiap kegiatan. Keempat, koordinasi sebagai sebuah proses yang berjalan terus menerus.
Menurut Dadang Suhardan dalam jurnal of leadership education, pengawasan merupakan suatu proses kegiatan yang terdiri dari kontrol, inspeksi, dan supervisi pembinaan.
Dari keseluruhan pendapat diatas penulis menyimpulkan bahwa pengawasan adalah keseluruhan rangkaian atau kegiatan yang dilakukan oleh pimpinan dengan cara pemantauan, pemeriksaan dan tindakan koreksi untuk mengawasi bawahan dari penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam suatu organisasi dengan tujuan terciptanya tata tertib kelancaran pekerjaan dan tercapainya hasil secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana dan ketentuan yang berlaku.
1.5.1.2 Tujuan Pengawasan
Menurut Odgers (2005) dikutip oleh Badri Munir Sukoco (2007:129) tujuan pengawasan adalah:
1. Meningkatkan kinerja organisasi secara kontinu, karena kondisi persaingan usaha yang semakin tinggi menuntut organisasi untuk setiap saat mengawasi kinerjanya. 2. Meningkatkan efisiensi dan keuntungan bagi organisasi dengan menghilangkan
3. Menilai derajat pencapaian rencana kerja dengan hasil aktual yang dicapai dan dapat dipakai sebagai dasar pemberian kompensasi bagi seorang pegawai.
4. Mengoordinasikan beberapa elemen tugas atau program yang dijalankan. 5. Meningkatkan keterkaitan terhadap tujuan organisasi agar tercapai.
1.5.1.3 Jenis-jenis Pengawasan
Menurut Maringan (2004:62), jenis-jenis pengawasan adalah sebagai berikut:
1. Pengawasan Dari Dalam (Internal Control)
Pengawasan dari dalam artinya bahwa pengawasan yang dilakukan oleh unit atau aparat pengawasan berasal dari dalam organisasi yang bertindak atas nama pimpinan organisasi, dimana hasil datri tindakannya berupa data atau informasi yang berguna bagi pimpinan dalam menilai kebijakan yang telah ada atau menentukan kebijakan berikutnya sebagai perbaikan terhadap pelaksanaan pekerjaan bawahannya.
2. Pengawasan Dari Luar (Eksternal Control)
Pengawasan ini dilakukan oleh aparat atau unit pengawasan dari luar organisasi yang bertindak atas nama pimpinan organisasi. Misalnya pengawasan yang dilakukan oleh badan pemeriksa keuangan terhadap suatu departemen atau instansi yang bertindak atas nama pemerintah atau presiden.
3. Pengawasan Preventif
Pengawasan yang dilakukan sebelum rencana itu dilaksanakan dengan maksud agar tidak ada kesalahan atau penyimpangan data dalam melakukan kegiatan
organisasi, dalam hal ini misalnya menentukan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan prosedur, hubungan dengan tata kerja atau menentukan pedoman kerja sesuai dengan peraturan atau ketentuan yang diterapkan.
4. Pengawasan Represif
Pengawasan ini dilakukan setelah adanya pelaksanaan pekerjaan dengan cara menilai dan membandingkan pelaksanaan pekerjaan dengan rencana yang telah ditetapkan kemudian diambil tindakan pekerjaan selanjutnya berjalan sesuai dengan yang telah ditetapkan sebelumnya.
1.5.1.4 Unsur Pengawasan
Menurut Quible (2001) dikutip oleh Badri Munir Sukoco, unsur pengawasan adalah sebagai berikut:
1. Faktor-faktor yang diawasi 2. Identifikasi hasil yang diharapkan 3. Pengukuran kinerja
4. Aplikasi tindakan pembenahan
1.5.1.5 Sifat Pengawasan yang Efektif
Duncan (1975) dikutip oleh Harahap (2001:45) mengemukakan beberapa sifat pengawasan yang efektif sebagai berikut:
1. Pengawasan harus dipahami sifat dan kegunaannya. Oleh karena itu harus dikomunikasikan.
2. Pengawasan harus mengikuti pola yang dianut oleh organisasi. 3. Pengawasan harus dapat mengidentifikasi masalah organisasi. 4. Pengawasan harus fleksibel.
5. Pengawasan harus ekonomis.
1.5.1.6 Tahap-tahap dalam Proses Pengawasan
Menurut Indra Iman dan Siswandi (2007:175), tahap-tahap dalam proses pengawasan adalah sebagai berikut:
1. Penetapan standar pelaksanaan (perencanaan)
Tahap pertama dalam pengawasan adalah penetapan standar pelaksanaan.Standar mengandung arti sebagai suatu satuan pengukuran yang dapat digunakan sebagai “patokan” untuk penilaian hasil-hasil.Tujuan, sasaran, kuota, dan target pelaksanaan dapat digunakan sebagai standar.bentuk standar yang lebih khusus antara lain target penjualan, anggaran, bagian pasar, marjin keuntungan, keselamatan kerja, dan sasaran produksi.
2. Penentuan pengukuran pelaksanaan kegiatan
Penetapan standar adalah sia-sia bila tidak disertai berbagai cara untuk mengukur pelaksanaan kegiatan nyata. Oleh karena itu, tahap kedua dalam pengawasan adalah menentukan pengukuran pelaksanan kegiatan secara tepat.Beberapa pertanyaan yang penting berikut ini dapat digunakan. Berapa kali pelaksanaan
seharusnya diukur setiap jam, harian mingguan, bulanan? dalam bentuk apa pengukuran akan dilakukan laporan tertulis,inspeksi visual, melalui telepon? siapa yang akan terlibat, manajer, staf departemen? pengukuran ini sebaiknya mudah dilaksanakan dan tidak mahal, serta dapat diterangkan kepada para pegawai. 3. Pengukuran pelaksanaan kegiatan nyata
Setelah frekuensi pengukuran dan sistem monitoring ditentukan, pengukuran pelaksanaan dilakukan sebagai proses yang berulang-ulang dan terus-menerus. ada berbagai cara untuk melakukan pengukuran pelaksanaan, yaitu:
a. Pengamatan (observasi)
b. Laporan-laporan, baik lisan dan tertulis c. Metode-metode otomatis
d. Inspeksi, pengujian, atau dengan pengambilan sampel. Banyak perusahaan sekarang mempengaruhi pemeriksa intern (internal auditor) sebagai pelaksana pengukuran.
4. Pembandingan pelaksanaan kegiatan dengan standar analisis penyimpangan Tahap kritis dari proses pengawasan adalah pembandingan pelaksanaan nyata dengan pelaksanaan yang direncanakan atau standar yang telah ditetapkan. Walaupun tahap ini paling mudah dilakukan, tetapi kompleksitas dapat terjadi pada saat menginterpretasikan adanya penyimpangan. Penyimpangan-penyimpangan harus dianalisis untuk menentukan mengapa standar tidak bisa dicapai.
5. Pengambilan tindakan koreksi bila diperlukan
Bila hasil analisis menunjukkan pentingnya tindakan koreksi, tindakan ini harus diambil. Tindakan koreksi dapat diambil dalam berbagaii bentuk. Standar mungkin diubah, pelaksanaan diperbaiki, atau keduanya dilakukan bersamaan. Tindakan koreksi mungkin berupa:
a. Mengubah standar mula-mula (barang kali terlalu tinggi atau terlalu rendah). b. Mengubah pengukuran pelaksanaan (inspeksi terlalu sering frekuensinya atau
kurang bahkan mengganti sistem pengukuran itu sendiri).
c. Mengubah cara dalam menganalisis dan menginterpretasikan penyimpangan-penyimpangan.