• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawasan IAEA Terhadap Krisis Nuklir Korea Utara Dalam Perspektif Hukum Internasional

KEWENANGAN IAEA

D. Pengawasan IAEA Terhadap Krisis Nuklir Korea Utara Dalam Perspektif Hukum Internasional

Pembentukan IAEA ini diharapkan dapat mengawasi dan mengembangkan penggunaan energi nuklir dengan menekankan pada kerjasama internasional yang secara bersama-sama mengembangkan penggunaan nuklir secara damai. Untuk itu diharapkan negara-negara pengguna tenaga nuklir bersedia menyerahkan uranium mereka ke IAEA yang kemudian akan digunakan untuk keperluan pertanian, kedokteran dan energi listrik dan penggunaan damai lainnya.122

Berdasarkan perjanjian NPT Korea Utara harus melaporkan keadaan program nuklirnya secara wajib dengan IAEA dimulai pada Januari 1992. Sesuai

Adanya perjanjian IAEA dengan Korea Utara dimulai pada tahuni 1985, dimana Korea Utara menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak melakukan penyebaran pengembangan nuklir. Perjanjian tersebut adalah NPT (Nuclear Non- proliferation Treaty). Lalu setelah itu, muncul tuduhan yang dilontarkan Amerika Serikat terhadap Pyongyag bahwa mereka telah mengembangkan dan membangun reaktor nuklir tanpa diketahui oleh pihak IAEA. Kemudian pada tahun 1992 dugaan yang dilontarkan Amerika Serikat mulai teridentifikasi kebenarannya dan Korea Utara sepakat untuk menepati perjanijan NPT tersebut.

121

Dikutip dari Hafsah Haries Aliansyah “Analisis Peran IAEA Dalam Menanggapi Krisis Nuklir Di Korea Utara” http://academia.edu/9997822

122

dengan perjanjian itu, IAEA melakukan 6 kali inspeksi di Korea Utara dan menemukan bukti jejak bahwa beberapa kilogram plutonium yang bisa membuat senjata nuklir pernah diekstraksi, berbeda jauh laporan Korea Utara yang mengatakan kepada IAEA bahwa mereka hanya mengekstrasi 90 gram bahan nuklir dari fasilitas nuklirnya. Dengan hasil inspeksi itu, pihak IAEA meminta pemeriksaan khusus, dan Korea Utara menolaknya dan kemudian menarik diri dari NPT sebagai aksi protes.

Penarikan diri Korea Utara dari perjanjian NPT dilakukan pada tahun 1994 dan mulai saat itu Korea Utara mulai menolak adanya penyelidikan yang dilakukan IAEA di Korea Utara. Pasca penarikan diri Korea Utara, hampir sepanjang tahun dilakukan negosiasi namun selalu gagal menemukan titik temu. Hal ini yang menjadi kekhawatiran dunia karena krisis tersebut hampir mendekati meletusnya kembali perang pada tahun 1994. Ketegangan ini pun akhirnya dapat menemukan titik terang setelah adanya kunjungan mantan Presiden AS, Carter, yang mengadakan pertemuan dengan pemimpin Korea Utara pada masa itu, yakni Kim Il-Sung.123

Negosiasi antara Korea Utara dan Amerika Serikat akhirnya menghasilkan kesepakatan Jenewa pada Oktober 1994. Kesepakatan tersebut dinegosiasikan oleh duta besar AS urusan nuklir, Robert Gallucci dan wakil menlu Korea Utara, Kang Suk-ju. Kedua belah pihak sepakat dalam negosiasi itu bahwa Korea Utara menghentikan program nuklirnya dan sebagai imbalannya akan menerima reaktor air ringan dan minyak berat, hingga bisa mencapai konklusi tetang krisis nuklir Korea Utara putaran pertama.

123

KBS. 2002 “Isu Nuklir Korea Utara”

Pada perjanjian Jenewa tersebut, telah disepakati salah satunya adalah denuklirisasi dan perdamaian di semenanjung Korea. Amerika Serikat tidak akan menggunakan kekuatan nuklir atau mengancam Korea Utara, dan Korea Utara harus melakukan tindakan yang sama untuk mewujudkan denuklirisasi semenanjung Korea sesuai dengan deklarasi bersama antara Korea Utara dan Korea Selatan. Selain itu, disepakati pula kerjasama untuk memperkuat NPT, selanjutnya Korea Utara akan meneruskan keanggotaanya dalam NPT. Konsekuensinya Korea Utara harus bersiap menghadapi inspeksi nuklir oleh IAEA dan segera menandatangani perjanijan untuk menerima reaktor air ringan.

Tahun 2002, IAEA akhirnya mengetahui bahwa Korea Utara ternyata memiliki pengembangan nuklir lebih dari 1 reaktor nuklir. Hal ini didukung dengan adanya pengakuan Korea Utara sendiri, bahwa Pyongpyang memiliki program pengayaan senjata nuklir dengan pemurnian unranium. Sekali lagi Korea Utara membuat dunia internasional tercengang dengan mengeluarkan diri lagi dari perjanjian NPT. 124

Secara langsung persetujuan Jenewa tidak berlaku lagi karena pelanggaran yang dilakukan Korea utara tersebut. Hal ini membuat Amerika Serikat geram dan langsung menghentikan supply bantuan minyak dan menghentikan proyek air ringannya di Korea Utara. Dari pihak Korea Utara sendiri mengatakan alibi mereka bahwa Amerika Serikat gagal dalam membangun reaktor air ringan hingga tahun 2003 seperti apa yang telah dijanjikan, hal itu mengakibatkan kerugian tenaga listrik 2 juta kilo Watt setiap tahun kepada pihak Korea Utara,

124

maka pelanggar kesepakatan itu adalah pihak Amerika Serikat. Perkembangan seperti itu mengakibatkan krisis nuklir Korea Utara putaran kedua.

Pembatalan perjanjian Jenewa akibat pelanggaran yang dilakukan Korea Utara yang diperkuat pengakuan Korea Utara sendiri serta keluarnya Korea Utara dari perjanjian NPT membuat pembahasan isu nuklir kembali ke poin awal dan hal ini telah menjadi sorotan masyarakat internasional. Pada masa ini lah krisis nuklir Korea Utara putaran kedua dimulai. Krisis ini dimulai sejak keluarnya Korea Utara dalam perjanjian NPT pada 10 Januari 2003.

Untuk menghentikan krisis nuklir Korea Utara yang lagi-lagi mengancam stabilitas keamanan semenanjung Korea, maka diadakanlah pertemuan segi-6 (Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, China, Rusia, dan Jepang). Pertemuan ini adalah kerangka negosiasi multilateral sebagai pionir dalam menyelesaikan krisis nuklir Korea Utara putaran kedua ini. Korea Utara bersikukuh agar dilakukan pertemuan bilateral, tetapi AS tidak bersedia untuk negosiasi langsung dengan Korea Utara, karena tidak percaya kepada Korea Utara yang terus melanjutkan program nuklir rahasia bahkan setelah mengumumkan persetujuan Jenewa. Oleh karena itu, pembangunan kerangka pembahasan multilateral dirancang sebagai sebuah alternatif.

Walaupun ada faktor positif bagi Amerika Serikat, Korea Utara dan 4 negara lain untuk bekerja sama untuk mengatasi masalah kepercayaan Korea Utara, namun, pertemuan segi 6 dikritik sangat lemah karena sulit memproduksi hasil konkrit melalui negosiasi secara intensif. Pejabat tingkat asisten menteri setiap negara dilantik sebagai ketua juru runding, sedangkan wakil juru runding (tingkat direktur) bekerja untuk membahas rincian melalui pertemuan tingkat

kerja. Hingga saat ini pertemuan ini masih sering dilakukan meski terlihat tidak begitu efektif dalam penyelesaian krisis nuklir Korea Utara ini karena sulit untuk menemukan solusi yang tepat berdasarkan keputusan bersama.125

Gagalnya kesepakatan Jenewa juga menujukkan bahwa power yang dimiliki oleh IAEA hanya terpaku pada power legitimasi atau power dari kesepakatan bersama, tidak ada sanksi khusus yang dapat diberikan oleh IAEA terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Korea Utara. Hal ini juga ditunjukkan dengan hadirnya perundingan segi-6 untuk membahas krisis ini setelah gagalnya kesepakatan IAEA kedua di Jenewa.

Peran IAEA dalam menanggapi krisis nuklir Korea Utara terlihat tidak begitu dominan dan kuat. Hal ini bisa dilihat dengan begitu mudahnya Korea Utara membatalkan dan mengundurkan diri dari perjanjian NPT. Selain itu, keefektifan NPT sendiri yang dinilai sebagai power rezim oleh IAEA tidak mampu mempengaruhi perilaku Korea Utara yang tetap meneruskan upaya pengembangan senjatan nuklirnya. Terlebih lagi, bukti power IAEA yang kurang dapat dilihat dengan adanya upaya Amerika Serikat yang berusaha menyelesaikan permasalahan krisis ini dengan melakuakn pertemuan bilateral dengan Korea Utara memperlihatkan tak adanya daya IAEA untuk bernegosiasi dengan Korea Utara.

126

Menurut informasi saat ini militer Korea Utara bersumpah akan memberikan respon ‘tanpa ampun’ terhadap setiap provokasi yang dilontarkan Amerika Serikat. Kemudian berkaitan dengan Korea Utara melakukan pelanggaran Resolusi Dewan Keamanan PBB karena telah melakukan

125 Op.cit 126 Op.cit

serangkaian uji coba rudal dan nuklir, Amerika Serikat mengancam dengan menyerang Korea Utara secara sepihak dan Amerika Serikat telah mengerahkan satu kapal induk bertenaga nuklir, USS Carl Vinson ke dekat Semenanjung Korea. Menanggapi hal tersebut Korea Utara mengancam pangkalan militer Amerika Serikat bersama dengan markas-markas iblis seperti Blue House akan hancur lebur dalam beberapa menit jika muncul provokasi Amerika Serikat dan mengatakan jika semakin dekat target besar seperti kapal induk bertenaga nuklir mendatangi Korea Utara, maka semakin besar pula dampak serangan tanpa ampun.127

127

https://m.detik.com/news/international/d-3475486/pesan-ancaman-korut-untuk-as- dengan-rudal-antarbenua-baru

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka sebagai hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Sejarah pengadaan tenaga nuklir dimulai oleh Amerika Serikat pada tahun 1942, bahaya yang ditimbulkan sangat berbahaya seperti yang terjadi pada Cherenobyl. Secara yuridis pengadaan tenaga nuklir diatur dalam berbagai perjanjian internasional antara lain: Non Proliferation Treaty, Vienna Convention on Civil Liability for Nuclear Damage, Optional Protocol Concerning the Compulsory Settlement of Disputes, Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Amendment to the Physical Protection of Nuclear Material, Convention on Early Notification of a Nuclear Accident Convention on Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency dan lain-lain.

2. Pengadaan dan pengembangan nuklir Korea Utara relevansinya dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB terkait uji coba nuklir adalah dikenakannya sanksi bagi Korea Utara karena dianggap melanggar kesepakatan yang dibuat dimana Korea Utara mengembangkan nuklir yang mengarah pada penggunaan senjata pemusnah massal dan rudal balistik.

3. Upaya penyelesaian masalah pengadaan dan pengembangan nuklir di Korea Utara relevansi dengan kewenangan IAEA adalah Korea Utara

harus melaporkan keadaan program nuklirnya secara wajib dengan IAEA. Kemudian diadakan pula perjanjian antara Korea Utara dengan Amerika Serikat menyangkut denuklirisasi dan perdamaian di Semenanjung Korea, namun Korea Utara akhirnya mengakhiri semua kesepakatan tersebut. IAEA sendiri menyebutkan tidak bisa memastikan apakah Korea Utara masih mengembangkan nuklir untuk senjata pemusnah massal karena mereka tidak memiliki pemantau.

B. Saran

Saran- saran yang dapat disampaikan terkait dengan penelitian ini adalah 1. Energi nuklir dapat menjadi solusi alternatif untuk menjadi sumber

listrik dunia, tetapi dalam penerapannya nuklir harus diawasi dengan serius seperti dilakukannya pengawasan yang ketat berhubungan dengan konvensi-konvensi yang dibuat agar menjaga keamanan dan stabilitas dunia mengingat banyak resiko yang ditimbulkannya.

2. sanksi yang tegas diberi oleh Dewan Keamanan PBB atas pelanggaran kesepakatan yang dibuat dimana Korea Utara mengembangkan nuklir yang mengarah pada penggunaan senjata pemusnah massal dan rudal balistik sangat baik dilakukan meningat Korea Utara telah banyak menuai kritikan maupun kecaman dari berbagai negara atas setiap peraturan yang diabaikannya.

3. Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) harus memikirkan tahap selanjutnya untuk memantau perkembangan nuklir yang dilakukan oleh Korea Utara, mengingat

negara seperti Korea Utara bisa saja membuat senjata pemusnah masal serta lebih agresif dalam melakukan berbagai macam cara maupun tindakan persuasif serta untuk menundukkan Korea Utara terhadap peraturan yang telah ditentukan oleh IAEA terlebih IAEA memiliki instrumen hukum yang mengatur beberapa hal terkait dengan ketenaganukliran.

Dokumen terkait