• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengawetan Jenazah

Dalam dokumen REFERAT EMBALMING FORENSIK (Halaman 32-37)

B. KRISTEN PROTESTAN

2.11 Pengawetan Jenazah

Dengan semakin tingginya mobilitas dan penyebaran penduduk ke seluruh penjuru dunia, maka pada kematian salah seorang anggota keluarga ada kemungkinan perlunya dilakukan penundaan penguburan/kremasi untuk menunggu kerabat yang tinggal jauh di luar kota atau luar negeri. Pada kematian yang terjadi jauh dari tempat asalnya, terkadang perlu dilakukan pengangkutan jenazah dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada kedua keadaan ini diperlukan pengawetan jenazah untuk mencegah pembusukan dan penyebaran kuman dari jenazah ke lingkungan.

Pada prinsipnya pengawetan jenazah adalah suatu tindakan medis melakukan pemberian bahan kimia tertentu pada jenazah untuk menghambat pembusukan serta menjaga penampilan luar jenazah supaya tetap mirip dengan kondisi sewaktu hidup. Pengawetan jenazah dapat dilakukan langsung pada kematian wajar, akan tetapi pada kematian tidak wajar pengawetan jenazah baru boleh dilakukan setelah pemeriksaan jenazah atau autopsi selesai dilakukan.

Pengawetan jenazah perlu dilakukan pada keadaan:

1. Adanya penundaan penguburan atau kremasi lebih dari 24 jam: Hal ini penting karena di Indonesia yang beriklim tropis, dalam 24 jam mayat sudah mulai membusuk, mengeluarkan bau, dan cairan pembusukan yang dapat mencemari lingkungan sekitarnya.

2. Jenazah perlu dibawa ke tempat lain: Untuk dapat mengangkut jenazah dari suatu tempat ke tempat lain, harus dijamin bahwa jenazah tersebut aman, artinya tidak berbau, tidak menularkan bibit penyakit ke sekitarnya selama proses pengangkutan. Dalam hal ini perusahaan pengangkutan, demi reputasinya dan untuk mencegah adanya gugatan di belakang hari, harus mensyaratkan bahwa jenazah akan diangkut telah diawetkan secara baik, yang dibuktikan oleh suatu sertifikat pengawetan.

3. Jenazah meninggal akibat penyakit menular: Jenazah yang meninggal akibat penyakit menular akan lebih cepat membusuk dan potensial menulari petugas kamar jenazah, keluarga serta orang-orang disekitarnya. Pada kasus semacam ini, walaupun penguburan atau kremasinya akan segera dilakukan, tetap dianjurkan dilakukan pengawetan jenazah untuk mencegah penularan kuman/ bibit penyakit ke sekitarnya.

4. Untuk mempertahankan bentuk dan penampilan: Anggota keluarga yang berduka biasanya menginginkan almarhum diawetkan sedemikian rupa sehingga penampilannya dipertahankan semirip mungkin dengan keadaannya sewaktu hidup. Sayangnya pengawetan jenazah yang ada di Indonesia saat ini pada umumnya masih kurang memperhatikan aspek kosmetik ini sehingga hasil pengawetannya masih jauh dari sempurna. Keluhan yang biasa muncul pada pengawetan jenazah cara konvensional dengan formalin adalah muka yang hitam, kulit yang kaku, obat yang perih dan meleleh dari mulut dan hidung. Dengan pengembangan metode dan bahan kimia baru, pada saat ini telah berhasil dibuat pengawetan jenazah yang tidak mengubah warna kulit, tekstur tidak keras, tidak meleleh dan tidak perih, malahan dilengkapi dengan bau wangi yang dapat dipilih jenisnya.

Teknik pengawetan jenazah

Adapun tata cara untuk pengawetan jenazah, antara lain :

1. Dalam mengawetkan jenazah, harus ditanamkan untuk menghormati setiap tubuh jenazah yang akan diawetkan.

2. Cuci jenazah atau mandikan jenazah dengan larutan desinfektan. 3. Baringkan jenazah dalam posisi supine.

4. Buka pakaian dan semua perhiasan yang dipakai jenazah.

5. Hilangkan kaku mayat. Apabila ada kaku mayat, hal tersebut harus dilawan untuk mengurangi ketegangan otot. Otot yang tegang maka akan meningkatkan tekanan ekstravaskular sehingga akan terjadi pengalihan cairan pengawet dari dalam pembuluh darah ke tempat yang tidak semestinya.

6. Aturlah posisi penampilan mayat, tutup mata dan mulut jenazah. 7. Buatlah campuran cairan pengawet. Biasanya dibutuhkan 3 liter

cairan untuk mengawetkan mayat. Faktor yang berpengaruh terhadap kebutuhan ini antara lain: ukuran tubuh, adanya edema dan tahap pembusukan mayat sudah sampai dimana. Biasanya 16 ons cairan dengan 1,5 galon air merupakan cairan pengawet terbaik, ini akan menghasilkan larutan formalin sebesar 2-3%.

8. Pilih tempat suntikan. Tempat terbaik untuk menyuntikkan cairan pengawet adalah pada vena femoralis, hal ini karena pada lokasi tersebut menyebabkan tekanan yang diterima pada kepala sama pada kedua sisinya. Pada orang tua sering mengalami sklerosing, maka tempat suntikan dilakukan pada pembuluh karotis karena lebih dekat dengan pusat sirkulasi.

9. Tempat pengaliran cairan pengawet paling baik yaitu pada vena jugularis interna, karena lebih dekat dengan atrium kanan jantung yang merupakan pusat pertemuan vena seluruh tubuh.

10. Masukkan kanul kedalam pembuluh darah kemudian dijepit dengan ligature, tidak ada ligature bisa diikat pada kedua sisi pembuluh darah pada kanul.

11. Hidupkan mesin pompa dengan tekanan 2-3 pon per inci persegi. Selama pengaliran ini pastikan aliran cairan tedistribusi seluruhnya. Lakukan pemijatan pada daerah yang kaku untuk melancarkan drainase.

12. Setelah drainase tersebut akan mucul tanda-tanda pada mayat seperti perut semakin keras, keluarnya cairan dari saluran pencernaan dan mata menjadi merah serta tekanan ocular yang tinggi, juga terjadi perubahan warna pada tubuh mayat. Jika terdapat tanda-tanda tersebut, maka proses drainase dapat dihentikan dan kanul dicabut secara hati – hati dan di ikat untuk mencegah keluarnya cairan pengawet tersebut.

13. Bekas luka pada tempat penyuntikan dibersihkan dan dijahit kembali.

Aspek Medikolegal Pengawetan Jenazah

Di Inggris pengawetan jenazah dilakukan oleh orang yang mempunyai sertifikat sebagai embalmer setelah yang bersangkutan mengikuti pendidikan selama 3 tahun. Kasus yang diawetkan adalah kasus kematian wajar dan kasus kematian tidak wajar setelah dilakukan autopsi oleh dokter forensik. Di Indonesia, sampai saat ini tidak ada institusi pendidikan yang khusus mendidik seorang untuk menjadi embalmer. Dalam pendidikan S1 kedokteran tidak ada pelajaran mengenai pengawetan jenazah, sehingga dokter pada umumnya tidak menguasai tehnik melakukan pengawetan jenazah. Dalam pendidikan S2, spesialisasi kedokteran forensik adalah satu-satunya program pendidikan yang mencantumkan pelajaran mengenai pengawetan jenazah dalam kurikulumnya. Atas dasar itulah, maka dalam konteks hukum di Indonesia, maka pengawetan jenazah sebaiknya dilakukan oleh orang yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, yaitu dokter spesialis forensik. Adapun alasannya adalah sbb:

1. Karena Indonesia tidak menganut sistim koroner atau medical examiner yang bertugas memilah kasus kematian wajar dan tidak wajar, maka tugas memilah kasus seringkali justru ada pada embalmer yang menjadi orang pertama yang memeriksa jenazah.

2. Embalmer di Indonesia, yang secara sengaja maupun tidak melakukan pengawetan pada kasus kematian tidak wajar sebelum dilakukan autopsi, dapat menyebabkan terjadinya kesulitan penyidikan karena adanya bukti-bukti tindak pidana yang hilang atau berubah dan karenanya dapat dikenakan sanksi pidana penghilangan benda bukti berdasarkan pasal 233 KUHP. Jika pada kasus ini dilakukan juga gugatan perdata, maka pihak Rumah Duka pun dapat saja ikut dilibatkan sebagai turut tergugat.

3. Kewenangan dan keahlian untuk melakukan pengawetan jenazah ada pada dokter spesialis forensik, berdasarkan pendidikannya. Sertifikat pengawetan jenazah yang dibuat oleh dokter spesialis forensik diterima di seluruh dunia. Pada prinsipnya sertifikat adalah tanda pengakuan bahwa seseorang adalah ahli dan berwenang dan telah melakukan pengawetan jenazah sesuai standar international dan berani menjamin bahwa pengawetannya bagus dan ia siap untuk mempertanggungjawabkan hasil pekerjaannya. Atas dasar itu tentu dapat dimengerti mengapa beberapa embalmer yang sebenarnya tidak punya keahlian dan kewenangan untuk melakukan pengawetan berani melakukan pengawetan tetapi tidak berani memberikan sertifikat. Dalam hal telah dilakukan pengawetan tanpa sertifikat dan hasilnya jelek dan merugikan keluarga, maka pihak Rumah Duka sebagai pihak yang memfasilitasi pengawetan tersebut dapat turut digugat secara perdata berdasarkan pasal 1365 KUH Per.

Gambar 3. Contoh Surat persetujuan pengawetan jenazah

Dalam dokumen REFERAT EMBALMING FORENSIK (Halaman 32-37)

Dokumen terkait