• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FUNGSI DAN KEDUDUKAN SURAT KUASA MEMBEBANKAN

C. Pengecualian Jangka Waktu Surat Kuasa Membebankan Hak

5. Pengecualian Berlakunya Jangka Waktu SKMHT

Suatu kuasa bisa dibatasi jangka waktunya, bukan merupakan hal yang aneh, mengingat berdasarkan kebebasan berkontrak, orang boleh memperjanjikan apa saja asal tidak bertentangan dengan hukum yang bersifat memaksa, ketertiban umum, kesusilaan, dan kepatutan. Namun di sini, pembatasannya justru ditentukan oleh undang-undang dan bisa kita duga, bahwa pembatasan waktu itu dimaksudkan agar SKMHT tidak dibiarkan tetap dalam bentuk kuasa, dan Hak Tanggungan benar-benar dilaksanakan pemasangannya. Dengan perkataan lain, Hak Tanggungan pada asasnya wajib untuk dipasang (dilaksanakan pembebanan Hak Tanggungan). Ini menjadi aneh, karena yang namanya hak itu pada asasnya diserahkan kepada pemilik hak untuk menggunakannya atau tidak hak itu, di sini malah menjadi kewajiban; jadi namanya Hak Tanggungan, tetapi isinya “kewajiban” Tanggungan.104

104

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 310.

Hal ini tampak dari ketentuan dalam Pasal ayat (3) dan ayat (4) UUHT, yang mewajibkan diikuti dengan pembuatan APHT sesuai dengan batas jangka waktunya. Ditentukan dalam Pasal ayat (3) UUHT, bahwa SKMHT mengenai hak atas yang sudah terdaftar, pada prinsipnya ”wajib” untuk diikuti dengan pembuatan APHT, selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan kuasa untuk membebankan Hak Tanggungan yang bersangkutan. Sebagai konsekuensinya, SKMHT tersebut dalam jangka waktu 1 (satu) bulan, harus dipergunakan penerima kuasa untuk melaksanakan pembebanan Hak Tanggungan dengan melakukan penandatanganan dan pendaftaran APHT.

Sementara itu, terhadap hak atas tanah yang belum terdaftar, termasuk tanah yang sudah bersertipikat, tetapi belum didaftar atas nama pemberi Hak Tanggungan sebagai pemegang hak atas yang baru (yaitu tanah yang belum didaftar peralihan haknya, pemecahannya, atau penggabungannya), kewajiban untuk pembuatan APHT- nya dilakukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan, harus sudah dipergunakan untuk melaksanakan pembebanan Hak Tanggungan dengan melakukan penandatanganan dan pendaftaran APHT serta sekaligus dipergunakan untuk menyelesaikan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.

Jadi Hak Tanggungan, yang pada asasnya merupakan ”hak”, dengan dibuatnya SKMHT, sesudah sampai batas waktu tertentu, berubah menjadi suatu kewajiban. Dikatakan, bahwa kewajiban itu baru ada sesudah dibuat SKMHT, karena berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, tidak ada

kewajiban pada bank untuk mensyaratkan adanya agunan untuk kredit-kredit yang diberikan.

Berpijak pada ketentuan-ketentuan mengenai batas jangka waktu penggunaan SKMHT sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) UUHT tidak berlaku bagi kredit tertentu yang ditetapkan pemerintah dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku dan penentuan batas waktunya SKMHT bagi jenis kredit tertentu akan ditetapkan tersendiri oleh Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional setelah berkoordinasi dan berkonsultasi dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia dan pejabat lain yang terkait.

Pada tanggal 8 Mei 1996 sebagai tindak lanjut dari ketentuan dalam Pasal 15 ayat (5) UUHT, dengan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan untuk Menjamin Pelunasan Kredit-Kredit Tertentu ditetapkan pengecualian batas waktu penggunaan SKMHT untuk menjamin jenis-jenis kredit tertentu dari ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) dan ayat (4) UUHT Ketentuan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 menetapkan, bahwa SKMHT yang diberikan untuk menjamin jenis-jenis kredit usaha kecil tertentu ditentukan oleh batas jangka waktu berlakunya perjanjian kredit yang dijamin dalam bentuk SKMHT.

Kreditur dengan jenis kredit sebagaimana tersebut dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996, paling

tidak untuk sementara bisa berpegang pada SKMHT dan memegang sertipikat hak atas tanahnya. Hak Tanggungan akan dipasang berdasarkan SKMHT kalau kreditur melihat tanda-tanda debitur goyah.

Walaupun tujuan pembuat undang-undang dengan memberikan ketentuan pengecualian seperti di atas baik tetapi maksud baik itu sulit untuk dilaksanakan bahkan bisa menjadi jebakan yang merugikan kreditur. Kredit-kredit tertentu pada akhir masa berlakunya, biasanya diperpanjang dengan menandatangani perjanjian perpanjangannya. Perlu diperhatikan, bahwa SKMHT untuk kredit-kredit tertentu yang disebutkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tersebut, berlaku sampai berakhirnya perjanjian kredit, jadi kalau perjanjian kreditnya berakhir maka SKMHT nya juga berakhir. Kalau debitur nakal, maka pada hari jatuh tempo kredit yang juga merupakan hari penandatangan perpanjangan perjanjian kredit, yang biasanya (perpanjangannya) telah disepakati sebelumnya debitur bisa tidak datang dan selanjutnya ia tidak mau menandatangani perjanjian perpanjangan kreditnya. Karena perjanjian kreditnya telah berakhir bukankah ia tidak jadi diperpanjang maka SKMHT nya juga berakhir masa berlakunya perjanjian kredit yang bersangkutan, yang dengan tidak ditandatangani perjanjian perpanjangan kreditnya sekarang sudah habis, akibatnya memang kredit menjadi matang untuk ditagih, tetapi karena SKMHT nya tidak bisa lagi dipakai untuk membebankan Hak Tanggungan, ia tidak dijamin lagi dengan persil yang semula dijanjikan oleh pemilik. Sebaiknya dalam ketentuan Pasal 1 Peraturan

Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1996 tersebut, ditetapkan bahwa SKMHT untuk jenis-jenis kredit tertentu berlaku sampai kredit untuk mana diberikan SKMHT dibayar lunas (dilunasi), bukan “sampai masa berlakunya perjanjian kredit yang bersangkutan”.105

Oleh karena itu penggunaan SKMHT terkait dalam jaminan kredit rumah sederhana tidak terlepas dari kepentingan masing-masing pihak, baik debitur atau pihak yang mempunyai hak atas tanah yang dijaminkan selaku pemberi SKMHT, maupun bank selaku penerima SKMHT. Disatu pihak tidak terlalu memberatkan debitur dari segala pembiayaan pembebanan hak atas jaminan kreditnya, dilain pihak tidak dengan dikuasainya dokumen-dokumen bangunan atau tanah yang dijaminkan oleh bank, berarti dapat mengurangi kemungkinan resiko bagi bank karena dengan demikian debitur tidak dapat lagi menjaminkan objek yang sama yang sudah dijadikan jaminan sebagai jaminan kredit lain dibank yang lain.

Dalam praktiknya, Bank Tabungan Negara membuat kebijaksanaan sebagai salah satu bentuk pelayanan bank kepada nasabahnya mengenai perlu tidaknya suatu kredit dibebankan hak tanggungan atau cukup dibuatkan SKMHT saja. Untuk plafond kredit Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta rupiah) kebawah, cukup dibuatkan SKMHT saja, begitu juga halnya dengan kredit pemilikan rumah sederhana atau bersubsidi biasanya plafond kreditnya dibawah Rp. 50.000.000,- (limapuluh juta

105

J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan Buku 2,Op. Cit., hlm. 200-201.

rupiah), sehingga tidak perlu dipasang Hak Tanggungan dan jangka waktu SKMHT nya sama dengan jangka waktu kreditnya.

Implikasi dari SKMHT bagi para pihak dapat berdampak positif dan dapat juga berdampak negatif, tergantung dari sudut mana melihatnya. Bagi pihak bank implikasi negatif dari SKMHT yang jelas adalah tidak memberikan jaminan yang kuat, sebab dipegangnya SKMHT oleh pihak bank selain karena alasan dan waktu, juga didasarkan pada upaya pengamanan kredit dan kepercayaan bank terhadap kredibilitas debitur. Dipihak lain, dampak positif SKMHT bagi debitur adalah tidak terbebaninya debitur dengan masalah birokrasi yang berbelit-belit yang membutuhkan waktu yang relatif lama, demikian juga biaya pembebanan hak tanggungan yang harus ditanggung debitur tidak terlalu mahal.