• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Agrowisata Berbasis Masyarakat

Pendekatan untuk pengelolaan sumberdaya alam, sebagai sumber daya utama agrowisata, dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pendekatan berbasis masyarakat dan pendekatan berbasis pemerintah. Menurut Rashidpour et al.

(2010) pengelolaan dengan pendekatan berbasis masyarakat (community Based Management) adalah “suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumber daya secara berkelanjutan di suatu daerah berada di tangan organisasi- organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Pengelolaan seperti ini dilakukan untuk memberi kesempatan bagi masyarakat lokal dalam mengelola dan bertanggungjawab atas sumberdaya yang ada, mulai dari perencanaan hingga pemanfaatan atau hasil-hasilnya demi kesejahteraan masyarakat setempat.

Gambar 2. Struktur pariwisata dari sisi permintaan dan penawaran (Heriawan, 2004)

Laverack and Thangphet (2009) menyatakan, Community Based Management memiliki makna keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam yakni memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitornya. Pemberdayaan

PARIWISATA PERMINTAAN PENAWARAN Konsumsi Pariwisata Investasi dan Pengembangan Pariwisata

Unit Ekonomi Penyedia Barang dan jasa

Unit Ekonomi Penyedia Barang Modal Pengeluaran Wisman Pengeluaran Wisnus Pengeluaran Wisman (Pre+Post Trip) Pembentukan Modal Promosi Hotel & Restoran Angkutan Domestik dan Komunikasi Biro Perjalanan Rekreasi dan Hiburan Souvenir Kesehatan, Kecantikan & Jasa Lainnya Produksi Industri Konsumsi Daging Produk Pertanian Konsumsi Langsung Industri Mesin,alat transport, peralatan Bangunan & Konttruksi

masyarakat lokal ditujukan pada 2 (dua) sasaran, yaitu : (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, dan (2) memperkuat posisi lapisan masyarakat lokal dalam struktur kekuasaan.

Pengelolaan berbasis masyarakat dalam kenyataannya tidak dapat berhasil sepenuhnya tanpa keterlibatan pemerintah. Hal tersebut dimungkinkan karena masyarakat dalam beberapa hal masih memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, seperti tingkat pendidikan, permodalan, dan kesadaran atas pentingnya lingkungan (Kusumastanto 1998; Sofyan, 2006).

Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna (users) dari sumberdaya alam tersebut. Hal ini diperkuat oleh Rashidpour et al. (2010) yang merekomendasikan bahwa dalam pengembangan wilayah pedesaan yang berkelanjutan, termasuk agrowisata didalamnya, maka komunitas lokal adalah mitra dan stakeholder yang paling utama. Keterbatasan masyarakat setempat dalam mendukung pengelolaan agrowisata masih memperlukan campur tangan dari pemerintah. Dalam mengakomodir campur tangan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan dengan pendekatan cooperative management (co-management), sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan masyarakat (Gawell ,1984

dalamWhite 1994; Silver, 2002; Rashidpour, 2010).

Pendekatan co-management didefinisikan sebagai pembagian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam (Pomeroy dan Williams, 1994; Oredegbe and Fadeyibi, 2009). Keberhasilan Co-Management

didasarkan atas 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) batas wilayah yang jelas dan terdefinisi, (2) kejelasan keanggotaan, (3) keterikatan dalam kelompok, (4) manfaat harus lebih besar dari biaya, (5) pengelolaan yang sederhana, (6) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (7) desentralisasi dan pendelegasian wewenang dan (8) koordinasi antara pemerintah dan masyarakat.

Meskipun memiliki banyak kesamaan dalam pengembangan agrowisata berbasis masyarakt, co-management dan community based management berbeda dalam hal fokus strategi, terutama dalam hal tingkat keterlibatan pemerintah dan

kapan pemerintah mulai terlibat dalam proses didalamnya. Pada community based management, kegiatan difokuskan pada pembentukan dan penguatan institusi lokal melalui pendekatan berbasis masyarakat tanpa banyak campur tangan pemerintah. Pada co-management, disamping dua tahap tersebut juga menekankan pada pembentukan kemitraan antara pemerintah, komunitas dan pengguna sumber daya (Dey dan Kasnagaratnam, 2007).

Pembangunan agrowisata berbasis masyarakat mempunyai peluang yang cukup prospektif dengan ciri-ciri unik yang dimilikinya, seperti yang diurakian oleh Kusumastanto (1998) dan ; Nasikun (2003), yaitu : (1) karena karakternya yang lebih berskala kecil sehingga mudah diorganisasi, bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang bersifat masif; (2) mempunyai peluang lebih mampu mengembangkan objek-objek, atraksi atau produk agrowisata berskala kecil, sehingga dapat dikelola oleh masyarakat dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima oleh masyarakat; (3) memberi peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat lokal untuk melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan dan didalam menikmati keuntungan perkembangan industri pariwisata, sehingga oleh karena itu lebih memberdayakan masyarakat; (4) tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya keberlanjutan kultural (cultural sustainability) akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan.

Pentingnya pengembangan agrowisata berbasis masyarakat juga didukung Nasikun (2003), yang menyatakan bahwa partisipasi masyarakat di dalam pengendalian operasinya merupakan jaminan keberlanjutan (ekonomi, sosial, kultural, bahkan politik) dari pembangunan agrowisata berbasis masyarakat. Lebih rinci, Daniela (2002) dalam Aref dan Gill (2009) membagi partisipasi

masarakat dalam tiga level kapasitas, yaitu komunitas, organisasi dan individu. Komunitas mengarah pada peran kelompok masyarakat yang terikat secara informal dalam lingkup geografis yang sama. Organisasi dan individu mengarah pada organisasi pariwisata dan peran perorangan dalam agrowisata.

Pembangunan berbasis masyarakat membutuhkan kepemimpinan, manjemen sumberdaya manusia, koordinasi kegiatan dan pengaturan lainnya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kemampuan anggota menjadi lebih berdaya. Proses pemberdayaan seyogyanya dapat memberikan peluang bagi anggotanya untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan, tanggung jawab kolektif dan kepemimpinan kolektif (Rana, 2008).

Proses dan hasil pemberdayaan terjadi pada semua tingkat analisis. Proses pemberdayaan individu dapat berupa konsultasi yang membantu seseorang dapat memahami peran dan tanggung jawabnya sekaligus memberikan keterampilan, keahlian dan pengalaman yang berguna. Pemberdayaan organisasi dapat berupa kelompok kerjasama yang membantu anggotanya dalam memahami dan memiliki keterampilan berorganisasi dan kepemimpinan (Perkins dan Zimmerman, 1995; Stenning and Miyoshi, 2008).

Pembangunan yang berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai pembangunan yang bertumpu dan berpihak pada masyarakat luas. Menurut William dan Gill (1998) dan Barlian (2003) keberpihakan ini mempunyai dua sisi yaitu:

a). Dari sisi pengelola ekonomi, yaitu masyarakat diberi kesempatan untuk berpartisipasi lebih banyak dalam pengelolaan ekonomi dalam sistem produksi dan distribusi.

b). Dari sisi kemauan masyarakat, yaitu kemauan tentang apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat di daerah itu melalui proses seleksi atas pertimbangan lingkungan, adat istiadat, selera, serta kebiasaan dari masyarakat.

Lagarense (2003) menyatakan, agrowisata merupakan salah satu alternatif pariwisata yang potensial untuk dikembangkan dengan pendekatan community based development. Pendekatan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, menyediakan lapangan kerja dan juga berperan dalam peningkatan kesadaran konservasi. Peningkatan pendapatan masyarakat dan penyediaan

lapangan kerja dilakukan melalui kegiatan produksi dan jasa yang terkait dengan pengembangan agrowisata. Upaya peningkatan pendapatan masyarakat harus tetap dalam kerangka pembangunan yang menjamin konservasi sumberdaya alam.

Pariwisata merupakan salah satu industri yang seharusnya berperan aktif dalam mendukung program pembangunan berkelanjutan. Hal ini karena industri pariwisata termasuk di dalamnya agrowisata sangat tergantung pada kelestarian alam. Dengan demikian sektor agrowisata bekerja sama dengan sektor lain, industri dan pemerintah menjamin terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam (Murphy,1994; Rana, 2008).

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sebenarnya sudah populer di dunia sejak akhir Tahun 1980-an. Konsep ini muncul sebagai masukan terhadap paradigma dari konsep pariwisata yang pada awalnya hanya mementingkan segi ekonominya saja, yaitu pemasukan dan banyaknya jumlah pengunjung. Adanya potensi ekonomi yang tidak terkendali dengan tanpa memperhatikan faktor kelestarian lingkungan tersebut pada dasarnya akan dapat merusak kawasan pengembangan itu sendiri. Hal ini telah ditunjukan oleh terjadinya konsep pembangunan pariwisata yang keliru, yakni dengan adanya bukti-bukti berupa terjadinya kerusakan aset-aset lingkungan, hilangnya biodiversity, polusi, kemiskinan dan tersisihnya penduduk lokal. Kondisi tersebut di atas, pada akhirnya mengakibatkan munculnya kesadaran bersama untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan tersebut. Oleh karenanya maka lembaga-lembaga dunia, seperti Commision on Sustainable (CSD) dan World Tourism Organization

(WTO), bersepakat untuk menyusun langkah nyata dan sistematis dalam melakukan penanggulangan kerusakan lingkungan tersebut (Cooper et al. 1998).

Faktor yang berpengaruh dalam pengembangan pariwisata berbasis masyarakat meliputi sejumlah aspek yakni ekonomi, kebijakan pemerintah, pengalaman pengelola wisata, ketersediaan sarana prasarana, pengalaman wisatawan dan sistem ekologi wilayah. Faktor–faktor tersebut saling terkait dan

saling mempengaruhi sehingga diperlukan suatu koordinasi dan kepemimpinan yang dapat mengarahkan pada tercapainya tujuan bersama yakni peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah wisata (William dan Gill, 1998; Dey and Kanagaratnam, 2007).

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat ditujukan untuk : (1) meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup dari masyarakat lokal, (2) mengembangkan karakter dan perilaku masyarakat lokal yang mendukung bagi pengelolaan potensi sosial budaya dan sumberdaya alam dan lingkungan, (3) mengembangkan pelayanan terhadap wisatawan tanpa merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya lokal (Pigram, 1990; Dey and Kanagaratnam, 2007; Rashidpour et al., 2010).

Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menitik beratkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pemberdayaan juga diartikan sebagai pemberian kekuasaan karena kata daya tidak saja berarti mampu, namun maknanya lebih dalam yakni selain mampu juga mempunyai kuasa. Menurut Nasution et al. (2007) konsep pemberdayaan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka pada pemberdayaan yang ditekankan adalah pentingnya masyarakat yang mandiri dalam mengorganisasi dirinya sendiri.

Pemberdayaan juga bertujuan untuk meningkatkan keberhasilan dari masyarakat. Menurut Ife dan Tesoriero (2008) pada pemberdayaan dilakukan beberapa proses, yakni penyadaran, pengkapasitasan dan ppendayaan. Menurut Cohen dan Uphoff (1977) dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam, setidaknya mengapa masyarakat perlu dilibatkan, mengingat ada tiga alasan utama untuk mencapai hal tersebut, yaitu: (1) Sebagai langkah awal dalam rangka mempersiapkan masyarakat untuk menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat setempat terhadap program pengelolaan Iingkungan yang dilaksanakan, (2) Sebagai alat untuk memperoleh informasi mengenai kebutuhan, kondisi dan sikap masyarakat setempat, dan (3) Masyarakat mempunyai hak untuk urun rembug dalam menentukan program-program pengelolaan lingkungan yang akan dilaksanakan di wilayah mereka.

Pada pemberdayaan masyarakat ini hendaknya juga terdapat kelembagaannya, mengingat kelembagaan akan dapat mengatur dan memadukan kewenangan antar sektor terintegrasi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan suatu sumberdaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandaragoda (2000) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan pada lembaga pengelolaan yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Namun demikian agar program tetap berlanjut, Hidayat (2004) mengemukakan bahwa agar suatu program keberlanjutan dapat terjadi maka terdapat beberapa faktor penting untuk diperhatikan dalam kelembagaannya, yaitu : a) pembentukan badan pengelola; b) pemanfaatan badan/kelompok masyarakat eksisting sebagai pengelola; c) penguatan kapasitas; d) regenerasi; e) kerjasama/kemitraan.

Perlunya kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat sesuai dengan pendapat Bandaragoda (2000) bahwa dalam melakukan pengelolaan sumberdaya apapun, hendaknya dibuat organisasi yakni jaringan dari peran yang diatur dalam hirarki dengan tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi kegiatan sesuai dengan sistem aturan dan prosedur. Serta pendapat Scott (2001) bahwa organisasi atau lembaga dapat berfungsi memberikan batasan dan sekaligus keleluasaan bagi suatu kelompok untuk melakukan suatu kegiatan.

Pendekatan sistem dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat perlu memperhatikan sejumlah aspek penting yaitu : (1) pengembangan tujuan pariwisata yang terintegrasi dengan perencanaan wilayah, (2) menggunakan sejumlah indikator kinerja yang merefleksikan tujuan pengembangan pariwisata, (3) mengimplementasikan manajemen strategis yang mengarah pada peningkatan tujuan pembangunan wilayah, (4) memonitor dan mengevaluasi efektifitas manajemen strategis dalampengembangan pariwisata.

Dokumen terkait