• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekayasa sistem pengembangan agrowisata berbasis masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rekayasa sistem pengembangan agrowisata berbasis masyarakat"

Copied!
437
0
0

Teks penuh

(1)

REKAYASA SISTEM PENGEMBANGAN

AGROWISATA BERBASIS MASYARAKAT

SYAHFIRIN ABDULLAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)
(4)
(5)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: Rekayasa Sistem Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Januari 2012

(6)
(7)

ABSTRAK

Syahfirin Abdullah. 2012. Engineering Development System of Community-based Agrotourism Development. Supervised by Syamsul Ma'arif as chairman and Martani Huseini, Tajuddin Bantacut, Taufik Djatna, Ricky Avenzora as the member of supervisors.

World widely, the tourism sector is contributing significantly to non-commodity exchange, unfortunately Indonesia still ranks 60th

and is still lagging behind some other countries in Asia; as vvarious constraints faced by the tourism Indonesia, including in Tutur District. This study aims to determine the development of agro-tourism area, analyze the factors, goals and agro-tourism development strategy, and formulate a model of community-based ecotourism development, thereby promoting economic growth, employment absorption, and poverty alleviation. A set of questionaire has been distributed to grab expertise perception and opinion on the planning of agrotourism development in the District of Tutur. The AHP, Fuzzy, MPE and ISM approaches have been used to analyze and decide the most prefereable variables chosen by the responden. Further, a dynamic model of development planning and implementation scheme have been applied to synthesys the final result. The results showed that the prospective areas to be developed as an agrotourism areas are District of Tutur, District of Pandaan, and the District of Tosari; in which the highest value indicated by the District of Tutur which has various comodities of apples, durians, chrysanthemum flower, and paprika. This district also has agro-industry products to support the agro tourism program, such as apple cider. In order to increase the number of tourist, the study found that it is important to pay attention to agro-industry development, infrastructure improvement, improving the quality and number of attractions, increasing relations with stakeholders, increasing promotion and cooperation dan improving the quality of human resources capacities. Since a low quality of human resources in businessman-group, it was also found that needed to do some institutional empowerment, agrotourism entrepreneurship and increasing appreciation on pricing of agro-products.

Key words: Agrotourism, AHP, MPE, Fuzzy, ISM, District of Tutur, Pasuruan Regency, Community Based Mangement.

(8)
(9)

RINGKASAN

Syahfirin Abdullah. 2011. Rekayasa Sistem Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat. Dibawah bimbingan Syamsul Ma’arif sebagai ketua dan Martani Husaeni, Tajuddin Bantacut, Taufik Djatna, Ricky Avenzora sebagai anggota.

Pengembangan pariwisata menjadi salah satu sektor yang mendapat prioritas tinggi dalam pembangunan di berbagai negara. Salah satu sektor pariwisata di Indonesia yang potensial untuk dikembangkan adalah agrowisata. Agrowisata merupakan diversifikasi produk wisata yang menggabungkan aktivitas pertanian (agro) dan rekreasi di sebuah lingkungan pertanian. Agrowisata juga memberi peluang wisatawan untuk terlibat dalam aktivitas rekreasi pedesaan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang agro. Salah satu kecamatan yang berpotensi dikembangkan pariwisatanya adalah Kecamatan Tutur. Pengembangan agrowisata tidak bisa dilepaskan dari masyarakat di sekitar kawasan agrowisata, mengingat masyarakat lokal berperan besar dalam keberhasilan sebuah agrowisata. Oleh karena itu, maka agrowisata idealnya dikembangkan melalui konsep pemberdayaan masyarakat.

Penelitian bertujuan untuk menentukan kawasan pengembangan agrowisata, menganalisis faktor, tujuan dan strategi pengembangan agrowisata, merumuskan model pengembangan agrowisata berbasis masyarakat, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Model yang disusun kemudian diverifikasi dengan data primer yang diperoleh dari lokasi yang ditentukan. Pada penelitian ini juga ditentukan komoditas unggulan dan produk olahan agroindustri prospektif yang mendukung pengembangan agrowisata dengan berorientasi pada potensi daerah.

Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Metode yang digunakan pada penelitian ini dengan pendekatan sistem. Data yang diambil adalah data primer dan data sekunder. Dalam penelitian ini terlebih dahulu dilakukan identifikasi sistem, selanjutnya menentukan kawasan, komoditas, produk unggulan dan zonasi kawasan dengan menggunakan metoda perbandingan eksponensial (MPE). Selain itu juga ditentukan alternative kebijakan sistem pengembangan agowisata berbasis masyarakat dengan menggunakan analytical hierarchy process (AHP) dan Fuzzy. Selanjutnya ditentukan kendala-kendala pengembangan, analisis kelembagaan dan aktivitas yang diperlukan dengan menggunakan analisis interpretative structure modelling

(ISM)

(10)

prospektif pendukung pengembangan agrowisata adalah sari apel. Berdasarkan komoditi buah-buahan dan kesesuaian dengan agro-climate nya, komoditas yang berpeluang untuk terus dikembangkan diantaranya adalah apel dan durian. Dalam pengembangan agrowisatanya, Kecamatan Tutur sebagai prioritas tertinggi didukung potensi sumberdaya manusia yang besar, yakni tenaga kerjanya di sektor pertanian didominasi oleh petani apel maupun buruh taninya. Pengembangan agrowisata di Kecamatan Tutur ditetapkan pada lima desa sebagai kawasan prioritas yaitu Desa Ngembal, Desa Tutur, Desa Wonosari, Desa Tlogosari dan Desa Andonosari dan tujuh desa lainnya sebagai desa pendukung dalam paket wisata.

Pemetaan kawasan agrowisata berdasar komoditas di Kecamatan Tutur Kabupaten Pasuruan dibagi menjadi Kawasan Agrowisata Zona I meliputi wilayah 7 desa yaitu Desa Ngembal (potensi komoditas durian); Desa Tutur (potensi komoditas pisang); Desa Tlogosari (potensi komoditas Paprika); Desa Gendro (potensi komoditas paprika dan bunga krisan); Desa Blarang (potensi komoditas bunga krisan dan apel); Desa Kayukebek (potensi komoditas apel) dan Desa Ngadirejo (potensi komoditas sayur-sayuran). Kawasan Agrowisatan Zona II ini meliputi wilayah 7 desa yaitu Desa Ngembal (potensi komoditas Durian); Desa Kalipucang (potensi komoditas Pisang dan Durian); Desa Tutur (potensi komoditas pisang); Desa Gendro (potensi komoditas paprika dan bunga krisan); Desa Wonosari (pusat keramaian kota dan penghasil apel); Desa Andonosari (potensi komoditas apel sebagai wisata petik); Desa Ngadirejo (potensi komoditas sayur-sayuran)

Pengembangan agrowisata perlu memperhatikan faktor –faktor : pasar (51,1%), potensi pengembangan agroindustri (13,1%), potensi sumberdaya alam dan lingkungan (12,3%), kualitas SDM (11,8%) dan kelembagaan pendukung (11,8%). Memperhatikan faktor-faktor penting, maka tujuan utama yang ingin dicapai dalam pengembangan agrowisata adalah mengembangkan potensi wisata (44,56%), meningkatkan jumlah wisatawan (24,03%), meningkatkan taraf hidup (18,59%), dan meningkatkan pendapatan daerah (13,00%). Strategi pengembangan agrowisata adalah peningkatan infrastruktur (16,8%), peningkatan kualitas dan jumlah obyek wisata (16,8%), Peningkatan hubungan dengan stakeholder (18,2%), peningkatan promosi dan kerjasama (19,3%), peningkatan kualitas SDM pengelola (19,2%), dan peningkatan dukungan kelembagaan Pemerintah daerah (9,7%).

(11)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa

mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(12)
(13)

REKAYASA SISTEM PENGEMBANGAN AGROWISATA

BERBASIS MASYARAKAT

Oleh:

Syahfirin Abdullah

P 25600005

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(14)
(15)

Judul Disertasi : Rekayasa Sistem Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat

Nama : Syahfirin Abdullah

NIM : P 25600005

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian (TIP)

Disetujui, Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir.M. Syamsul Ma’arif, M.Eng.

Anggota

Prof. Dr. Martani Huseini, M.Sc

Anggota

Dr. Eng. Taufik Djatna, STP.,M.S

Anggota

Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc,

Anggota

Dr. Ir. Ricky Avenzora, MSc.F

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Peretanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Machfud, M.S. Dr Ir. Dahrul Syah, MSc Agr.

(16)
(17)

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke Hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, karunia dan petunjuk Nya, sehingga disertasi ini dapat diselesaikan. Selesainya disertasi ini tidak terlepas dari peran aktif komisi pembimbing penulis. Olehkarena itu, ucapan terimakasih yang sangat tulus dan tak terhingga kepada yang terhormat Bapak Prof.Dr.Ir. M. Syamsul Ma’arif MEng., sebagai ketua komisi pembimbing dan kepada Bapak Prof. Dr. Martani Huseini, MSc, Dr.Ir. Tajuddin Bantacut, MSc., Dr.Eng.Taufik Djatna, STP.M.S, dan Dr. Ir. Ricky Avenzora, MSc.F., masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang tulus dan ikhlas membimbing penulis hingga disertasi ini terwujud.

Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada :

1. Rektor Universitas Lampung , Dekan Fakultas Ekonomi UNILA yang telah mempercayai penulis untuk diperbantukan di Universitas Sahid Jakarta dalam rangka kerjasama pendidikan dan penelitian antara Universitas Lampung dengan Universitas Sahid Jakarta, sehingga penulis diberi kesempatan oleh Rektor Universitas Sahid Jakarta untuk melanjutkan pendidikan Doktoral pada program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

2. Rektor Institut Pertanian Bogor yang bersedia menerima penulis sebagai mahasiswa Doktoral program studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

3. Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Ketua program studi Teknologi Industri Pertanian dan seluruh Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana khususnya Staf pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian yang telah tulus dan ikhlas memberi ilmu pengetahuan, teknologi, dan ketrampilan serta bimbingan kepada penulis dengan penuh tanggung jawab dan rasa pengabdian.

(18)

5. Rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB, khususnya mahasiswa program studi Teknologi Industri Pertanian atas segala jalinan persaudaraan, kerjasama dan kebersamaan selama menempuh pendidikan. Terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis persembahkan kepada istri tercinta Evie Novia atas segala bantuan, ketabahan, kesabaran , kesetiaan, pengorbanan, dan dorongan yang tak henti-hentinya serta iringan do’a yang tulus dan ikhlas agar penulis dapat segera menyelesaikan pendidikan doctoral ini.

Kepada anak-anakku tersayang Arthur Andesya Yudha, Harsya Andesya Keemas, dan Nosyafira Andesya “papa” ucapkan terimakasih atas kesabarannya menanti keberhasilan “papa” nya, dan mohon maaf jika dalam masa pendidikan ini banyak menyita waktu kita untuk bersukaria.

Kepada Kakanda Puan dr.Syarif Putra, Kiyai Drs. Abdi Kirom (alm) dan Minak Ir.Alimin Abdullah terimakasih atas dorongan dan harapan yang besar agar penulis dapat menyelesaikan disertasi ini.

Kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik dalam berpartisipasi dalam diskusi maupun memberikan masukan-masukan yang berharga dalam penyempurnaan disertasi ini, penulis ucapkan banyak terimakasih.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini tidak lepas dari kelemahan dan kekurangan, sehingga saran dan kritik untuk perbaikan disertasi sangat diharapkan, dan semoga nama-nama, pihak-pihak yang disebutkan di atas mendapatkan pahala dan tercatat sebagai amal jariyah di sisi Allah SWT.

Bogor, Januari 2012

(19)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kotabumi, Lampung Utara tanggal 27 Maret 1956 sebagai anak ke enam dari enam bersaudara, pasangan H. Abdullah Karim dan Hj. Maryamah. Pendidikan Sarjana strata satu ditempuh di Fakultas Ekonomi, Universitas Lampung dan lulus pada tahun 1983. Pendidikan Pascasarjana diselesaikan pada tahun 1997 pada Program Studi Ekonomi Kependudukan Universitas Indonesia. Pada tahun 2000 penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis mulai bekerja pada tahun 1983 pada Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Atas dasar kerjasama antara UNILA dan Universitas Sahid Jakarta, penulis diperbantukan pada USAHID Jakarta dan pernah dipercayakan sebagai Ketua Jurusan Manajemen, Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Pembantu Dekan I, Dekan Fakultas Ekonomi, Pembantu Rektor III, Pembantu Rektor II dan Ketua Program Studi MM, Program Pasca Sarjana USAHID Jakarta. Pada tahun 1985 penulis menikah dengan Evie Novia dan telah dikaruniai dua orang putra yakni Arthur Andesya Yudha dan Harsya Andesya Keemas dan satu orang putri yang bernama Nosyafira Andesya.

Bogor, Januari 2012

(20)

i

Halaman

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitiian ... 5

1.3 Manfaat Penelitian ... 5

1.4 Ruang Lingkup ... 6

1.5 Kebaruan ... .6

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pariwisata dan Agrowisata ... 7

2.2 Jenis-jenis Agrowisata ... 10

2.3 Pengembangan Kawasan Agrowisata... ... 13

2.4 Pariwisata Sebagai Industri ... 15

2.5 Permintaan Dan Penawaran Pariwisata ... .18

2.6 Pengelolaan Agrowisata Berbasis Masyarakat ... 19

2.7 Social Representation Theory ... 26

2.8 Theory Fuzzy ... 28

2.9 Metode Perbandingan Eksponensial ... 30

2.10 Proses Hirarki Analitik ... 31

2.11 Interpretative Structural Modeling ... 37

3. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian... ... 39

3.2 Bahan dan Alat Penelitian... ... 39

3.3 Kerangka Konseptual Penelitian ... 41

3.4 Metode Penelitian... 43

3.5 Rancangan Penelitian ... 43

(21)

ii

4.2 Kondisi Demografi ... 59

4.3 Sarana dan Prasarana Wilayah ... 60

4.4 Profil Ekonomi dan Pertumbuhannya di Kabupten Pasuruan ... 63

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pemilihan Kawasan Agrowisata Unggulan Kabupaten Pasuruan……… 67

5.2 Strategi Pengembangan Kawsasan AgrowisataKecamatan Tutur………73

5.2.1 Identifikasi Permasalahan Penting Pendukung Terbentuknya Kawasan Agrowisata………..………..74

5.2.2 Penentuan Komoditas Berdasarkan Zona Agrowisata… ... 79

5.2.3 Pengembangan Kawasan Agrowisata Zona I. ... 83

5.2.4 Pengembangan Kawasan Agrowisata Zona II…. ... 88

5.2.5 Strategi Pengembangan Prasarana dan Sarana. ... 93

5.3 Penentuan Prioritas Komoditas Unggulan ... 102

5.4 Penentuan Komoditas Unggulan Agroindustri Pendukung Kawasan Agrowisata... ... 108

5.5 Teknologi Agroindustri Buah Apel ... 116

5.6 Strategi Pengembangan Agrowisata... ... 123

5.7 Sistem Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat ... 129

6. MODEL PENGEMBANGAN DAN RANCANGAN IMPLEMENTASI 6.1 Model Pengembangan Agrowisata ... 145

6.2Pengelolaan Kelembagaan Pengembangan Agrowisata ... 148

6.3 Rekayasa Sistem Pengembangan Agrowisata Berbasis Masyarakat.. ... 149

7. BANGUNAN DAN KONTRIBUSI PENELITIAN 7.1. Faktor Penentu Kawasan Agrowisata ... 153

7.2 Zonasi Kawasan Agrowisata ... 161

7.3. Bangunan Teori dan Kontribusi Penelitian terhadap Perencanaan Wilayah ... 167

7. SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan ... 173

8.2 Saran.. ... 173

DAFTAR PUSTAKA ... 175

(22)

iii

1. Pengembangan metode pengambilan keputusan ... 32 2. Skala Perbandingan Dasar dalam Intensitas Penilaian... 34 3. NilaiIndeksAcak (RI) Matriks... 36 4. Rangkuman Tujuan, Pendekatan dan Analisis Data ... 44 5. Analisis Kebutuhan Pelaku Sistem Pengembangan Agrowisata ... 48 6. Komponen Pelaku dan Permasalahan dalam Pengembangan

Agrowisata ... 49 7. Matriks Nilai Untuk Setiap Kriteria Alternatif Keputusan ... 52 8. Produktivitas Komoditi Buah dan Sayuran KecamatanTutur ... 57 9. Luas Daerah Berdasarkan Kelerangan Tanah Tahun 2007 ... 58 10.Jumlah Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Pekerjaan Kecamatan Tutur

Tahun 2007... 60 11.Bentuk Jalan yang Terdapat di Kecamatan Tutur ... 62 12.Panjang Jalan menurut Nama dan Fungsi Jalan di Kabupaten

Pasuruan ... 62 13.Laju Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Pasuruan Tahun 2002-2007 ... 66 14.Parameter Pemilihan Kawasan Agrowisata Unggulan ... 68 15.Pemilihan Prioritas Pengembangan Berdasarkan Metode Bayes... 69 16.Potensi Sumber Daya Alam Kabupaten Pasuruan ... 71 17.Rekapitulasi Hasil Pembobotan Terhadap Permasalahan dalam

Pengembangan Agrowisata ... 76 18.Arahan Unit-Unit Komoditas Kawasan Agrowisata Zona I

Kecamatan Tutur ... 85 19.Arahan Unit-Unit Komoditas Kawasan Agrowisata Zona II

(23)
(24)

v

Halaman 1. Piramida terminology pariwisata ... 10 2. Struktur Pariwisata dari Sisi Permintaan dan Penawaran ... 20 3. Alur Penyelesaian Masalah dengan Metode Fuzzy ... 29 4. Kerangka Konseptual ... 42 5. Tahapan Penelitian Sistem Pengembangan Agrowisata ... 45 6. Diagram Input Output PengembanganIndustri Agrowisata

Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan ... 50 7. Tingkat Pengaruh dan Ketergantungan Antar Faktor ... 54 8. Peta Wilayah Agropolitan KecamatanTutur ... 56 9. Volume Ekonomi Kabupaten Pasuruan Tahun 2007 ... 64 10. Struktur Perekonomian Kabupaten Pasuruan Tahun 2005-2007 ... 65 11. Peta Pengembangan Kawasan Agrowisata Kecamatan Tutur

Berdasarkan Komoditas Pertanian Unggulan ... 81 12. Peta Pengembangan Kawasan Agrowisata Zona I ... 83 13. Peta Pengembangan Kawasan Agrowisata Zona II ... 89 14. Nilai tingkat kepentingan kriteria penentu produk unggulan ... 114 15. Bobot Prioritas Penentuan Produk Agroindustri Apel ... 115 16. Proses Pengolahan Sari Apel ... 117 17. Diagram Alir Proses Pembuatan Selai Buah Apel ... 120 18. Proses Pembuatan Dodol Buah Apel ... 121 19. Proses Pengolahan KripikApel ... 122 20. Hasil Analisis Hirarki Proses untuk Pengembangan Agrowisata di

Kecamatanutur, Kabupaten Pasuruan ... 124 21. Tingkat Prioritas Faktor yang Perlu Diperhatikan dalam

Pengembangan Agrowisata ... 124 22. Bobot PrioritasTujuan yang Ingin Dicapai ... 126 23. Tingkat Prioritas alternative strategi pengembangan Agrowisata ... 128 24. Model Struktural dari Kendala Utama dalam Pengembangan

Agrowisata Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan Struktural ... 131 25. Matriks Dependence–Power Driver Kendala utama dalam

Pengembangan Agrowisata Kecamatan Tutur, Kabupaten

Pasuruan ... 133 26. Model struktural dari Lembaga Terkait dalam agrowisata

Kecamatan Tutur, Kabupaten Pasuruan ... 134 27. Matriks Dependence–Power Driver LembagaTerkait

dalamPengembangan Agrowisata Kecamatan Tutur, Kabupaten

Pasuruan ... 135 28. Model Struktural dari Aktivitas yang Dibutuhkan dalam

Pengembangan Agrowisata Kecamatan Tutur, Kabupaten

(25)

vi

31. Model Hubungan Kelembagaan untuk Menunjang Agrowisata ... 148 32. Model Rekayasa Penggembangan Kawasan Agrowisata Berbasis

Masyarakat... 150 33. Model Fungsional Pembangunan Agrowisata Berbasis Masyarakat ... 168

(26)

vii

1. Data Demografi dan Komoditas pertanian Kecamatan Tutur 2009 ... 187 2. Hasil penilaian penentuan lokasi/kawasan pengembangan agrowisata ... 190 3. Hasil penilian panelis ahli terhadap penentuan komoditas unggulan ... 192 4.Hasil penilaian penentuan produk olahan dalam pengembangan Agrowisata.194 5. Hasil penilaian dan pengolahan analisis AHP pengembangan agrowisata .... 197 6. Hasil penilaian dan pengolahan ISM untuk kendala, lembaga, aktifitas ... 200 7. Peta rencana pengembangan fasilitas kawasan agrowisata kecamatan Tutur

(27)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengembangan pariwisata menjadi salah satu sektor yang mendapat prioritas tinggi dalam pembangunan di berbagai negara (World Tourism Organization, 2000; Postma, 2002; International Ecotourism Society, 2006). Hal ini menunjukkan bahwa saat ini pariwisata dipertimbangkan sebagai salah satu sektor yang mampu menjadi kontributor utama dalam sumber pendapatan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Kecenderungan ini juga tampak di Indonesia sebagai salah satu tujuan wisata dunia. Neraca Satelit Pariwisata Nasional (NESPARNAS) (2007) menunjukkan, total transaksi ekonomi yang dihasilkan kegiatan pariwisata mencapai Rp 129,5 trilyun. Heriawan (2004) menyatakan bahwa kontribusi pariwisata pada produk domestik bruto (PDB) adalah 5,39 persen, pada lapangan kerja 7,94 persen dan menghasilkan travel balance sebesar USD 1,12 milyar per tahun.

Salah satu sektor pariwisata di Indonesia yang potensial untuk dikembangkan adalah agrowisata. Agrowisata merupakan diversifikasi produk wisata yang menggabungkan aktivitas pertanian (agro) dan rekreasi di sebuah lingkungan pertanian (Sznajder et al., 2009). Beeton (2006) dalam Aref dan Gill (2009) menyatakan bahwa agrowisata (agrotourism) merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan wisata di pedesaan (rural tourism), selain

farm tourism, soft tourism dan ecotourism. Hal ini mengacu pada definisi yang diberikan dalam Knowd (2001) tentang rural tourism yang memposisikan pertanian dan lahannya sebagai fondasi atau dasar semua daya tarik yang dibangun di atasnya. Snajzder et al. (2009) menekankan bahwa agrowisata memberi peluang wisatawan untuk terlibat dalam aktivitas rekreasi pedesaan untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha di bidang agro.

(28)

penanganan yang berbeda pula. Agrowisata perikanan merujuk pada penyediaan sarana wisata dan rekreasi bagi wisatawan mulai dari penangkapan komoditas perikanan hingga penyajiannya untuk siap disantap (Ryan, 2010). Sementara Oredegbe dan Fadeyibi (2009) menyatakan bahwa agrowisata peternakan lebih banyak tercakup dalam wilayah farm-tourism yang antara lain meliputi aktivitas berburu binatang, berkuda dan suguhan pemandangan kehidupan liar alami. Sedangkan agrowisata kehutanan umumnya terkait dengan hutan produksi ataupun aktivitas rekreasi yang hanya dapat dilaksanakan di hutan sehingga menjadi sebuah daya tarik tersendiri (Font and Tribe, 1999).

Berdasarkan karakteristiknya yang mendasarkan seluruh operasi pada pertanian dan lahannya, maka pengembangan agrowisata selalu menuntut pengembangan seluruh sistem pertanian secara terintegrasi. Seluruh sub-sistem agrowisata terikat dalam kesatuan kawasan, sehingga untuk mengembangkan agrowisata, pengembangan kawasan mutlak diperlukan. Pengembangan kawasan agrowisata dapat dilaksanakan berdasarkan interaksi sub-sistem yang ada (Aref and Gill, 2009; Che et al., 2005), produk unggulan sebagai ciri khas penguat agrowisata (Rene 2006; Kuswidiati, 2008) dan lingkungan di sekelilingnya (Desbiolles, 2010; Xuling et al., 2009; Hakim and Nakagoshi, 2009).

(29)

yang efektif dan yang sesuai untuk konservasi lingkungan. Oleh karena itu maka keterlibatan masyarakat dalam pengembangan agrowisata dapat diwujudkan dalam intensitas yang paling rendah hingga yang sangat menentukan maju mundurnya sebuah agrowisata, sekaligus membantu masyarakat lokal di sekitar kawasan agrowisata, sehingga menjadi lebih berdaya. Cushnahan (1999) dalam penelitiannya mencontohkan peranan masyarakat lokal dalam mendukung pengembangan agrowisata yang diwujudkan dalam penyediaan akomodasi, kantin, transportasi, kerajinan tangan sebagai oleh-oleh dan jenis bisnis layanan lainnya. Sedangkan menurut Hu and Cai (2003) keterlibatan perusahan travel dan pengelola tujuan wisata serta pengembangan produk yang atraktif sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan jumlah wisatawan.

Agrowisata merupakan kegiatan yang sangat potensial untuk dikembangkan melalui konsep pemberdayaan berbasis masyarakat. Namun penelitian tersebut masih sangat minim, penelitian yang ada antara lain adalah Interaksi Masyarakat Desa sekitar Taman Nasional Gunung Rinjani Provinsi Nusa Tenggara Barat (Baharuddin, 2006); Model Pengembangan Kawasan Ekowisata Kars Berkelanjutan (Ismanto, 2009); Pengembangan Ekowisata di Kawasan Ekosistem Leuser (Burhanuddin, 2004); Factors Influencing People’s Participation in Forest Management in India (Lise, 2000), Perencanaan Pengembangan Ekowisata Berbasis Komunitas di Kawasan Wisata (Lubis, 2006); Sistem Pengelolaan Ekowisata Berbasis Masyarakat di Taman Nasional (Nugraheni, 2002.); Pengelolaan Taman Nasional Gunung Leuser Bagian Bukit Lawang Berbasis Ekowisata (Siburian, 2006.); Peranan Komunikasi dalam Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Terhadap Lingkungan Hidup Melalui Ekowisata (Soetopo, 2006); Pengembangan Kawasan Wisata Pesisir Berbasis Komunitas Lokal (Supriyatin, 2006); Kajian Potensi Sumberdaya Alam dan Lingkungan untuk Pengembangan Ekowisata Pesisir (Rahantoknam, 2009); Interaksi Komunitas Lokal di Taman Nasional Gunung Leuser (Ginting, 2010), dsb.

(30)

Suwarno et al. (2009). Menurut Sukandi (1999), Barlian (2000) dan Lagarense (2003) adanya keterlibatan masyarakat secara aktif tersebut akan lebih menjamin kelestarian dan konservasi sumberdaya alam seiring dengan pembangunan wilayah dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Pembangunan agrowisata berbasis masyarakat mempunyai peluang yang cukup prospektif (Nasikun 2003), hal ini karena antara lain karena karakternya yang lebih mudah diorganisasi di dalam skala yang kecil, bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang bersifat massive. Di sisi lain, pendekatan pembangunan berbasis masyarakat yang diterapkan dalam pengembangan agrowisata dapat memberikan peluang bagi anggotanya untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan, tanggung jawab kolektif dan kepemimpinan kolektif. Perkins dan Zimmerman (1995) menyatakan proses dan hasil pemberdayaan terjadi pada semua tingkat analisis. Dengan demikian pengembangan agrowisata berbasis masyarakat bisa ditujukan untuk dapat memberikan manfaat yang besar dalam memberdayakan potensi masyarakat secara optimal.

Meskipun memiliki banyak sisi positif, pengembangan agrowisata berbasis pemberdayaan masyarakat juga menghadapi beberapa tantangan. Sebele (2010) mengidentifikasi beberapa tantangan dalam pengembangan agrowisata berbasis pemberdayaan masyarakat lokal antara lain (1) keluhan masyarakat terhadap hilangnya sumber daya alam yang berharga, (2) ketrampilan pengelolaan, pemasaran dan kewirausahaan yang rendah, (3) kurangnya rasa memilki oleh masyarakat lokal terhadap obyek agrowisata dan (4) ketergantungan terhadap lembaga donor.

(31)

pengembangan pariwisata hanya merupakan penghancuran terhadap sumber-sumber daya pembangun pariwisata itu sendiri. Berdasarkan pemikiran-pemikiran tersebut maka diperlukan model strategi pengembangan agrowisata yang tepat. Perumusan strategi yang baik harus didasarkan pada identifikasi permasalahan yang menghambat beserta faktor-faktor yang dapat di akselerasi untuk mendukung terbentuknya kawasan agrowisata yang mapan. Oleh karena itu dengan menganalisis berbagai hal dengan menggunakan berbagai alat analisis yang tajam dan dengan dilakukan verifikasi lapang, diharapkan akan dihasilkan strategi pengembangan agrowisata yang mampu mengakomodasi potensi alam dan kondisi sosial daerah yang bervariasi di Indonesia.

1.2. Tujuan Penelitian

1) Menentukan kawasan pengembangan (zonasi) agrowisata

2) Menentukan komoditas unggulan dan produk olahan agroindustri prospektif yang mendukung pengembangan agrowisata dengan berorientasi pada potensi daerah.

3) Menganalisis faktor, tujuan dan strategi pengembangan agrowisata.

4) Merekaya sistem pengembangan agrowisata berbasis masyarakat, sehingga mendorong pertumbuhan ekonomi, penyerapan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan. Model yang disusun kemudian diverifikasi di lokasi yang ditentukan

1.3. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:

1) Kontribusi pemikiran dan memperbanyak khasanah ilmiah khususnya pada studi pengembangan sistem agrowisata.

2) Menghasilkan suatu strategi yang dapat digunakan pemerintah atau pelaku usaha dalam pengembangan agrowisata.

(32)

1.4. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut :

1) Pengkajian sistem pengembangan agrowisata menggunakan pendekatan sistem dengan mempertimbangkan faktor internal dan eksternal serta pelaku yang terkait.

2) Perumusan model pengembangan agrowisata; yang dalam penelitian ini menggunakan Kabupaten Pasuruan Jawa Timur sebagai suatu studi kasus.

3) Pengembangan sistem agrowisata berbasis masyarakat difokuskan pada pemberdayaan kepentingan masyarakat lokal yang terkait dengan agrowisata.

1.5. Kebaruan

Penelitian yang sudah dilakukan berbagai pihak selama ini adalah menyangkut interaksi masyarakat desa sekitar kawasan ekowisata dalam porses pengembangan kawasan ekowisata, partisipasi masyarakat di kawasan ekowisata, perencanaan pengembangan ekowisata berbasis komunitas pengelolaan ekowisata berbasis masyarakat; pengelolaan taman nasional berbasis ekowisata, peranan komunikasi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap lingkungan hidup melalui ekowisata; pengembangan kawasan wisata pesisir berbasis komunitas lokal; potensi sumberdaya alam dan lingkungan untuk pengembangan ekowisata pesisir.

(33)

2.1. Pengertian Pariwisata dan Agrowisata

Pariwisata terutama pariwisata agro telah berkembang pesat dan menjadi suatu industri penting dalam masa sekarang dan mendatang. Pariwisata agro cenderung lebih cepat berkembang dibandingkan jenis wisata lainnya (Sukandi, 2000). Pariwisata didefinisikan sebagai perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain yang bersifat sementara untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu pengetahuan. Perjalanan wisata harus memenuhi tiga persyaratan, berikut: (1) bersifat sementara, (2) bersifat sukarela, dan (3) tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah atau bayaran (Spillane, 1994; Ecker et al., 2010).

Prideaux and Cooper (2002) mendefinisikan pariwisata sebagai perjalanan sementara seseorang dengan tujuan ke luar dari tempat tinggalnya dan tempat bekerjanya, melakukan kegiatan selama berada di tempat tujuan dan menyediakan fasilitas untuk memenuhi kebutuhannya. Menurut ABS (2004) dalam AEGIS (2007) pariwisata adalah perjalanan menuju atau tinggal di suatu tempat selama tidak lebih dari satu tahun untuk keperluan hiburan, bisnis atau keperluan lain. Definisi lain disampaikan Dove (2004) dalam Oredegbe dan Fadeyibi (2009) yang membatasi pariwisata sebagai perjalanan meninggalkan rumah dan lingkungan sekitar untuk tujuan liburan dan hiburan.

Undang-undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan mendefinisikan wisata sebagai kegiatan perjalanan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.

(34)

wisata, dan waktu (time) yaitu waktu yang digunakan selama perjalanan dan tinggal di daerah tujuan wisata (Wahab, 1994; Sznajder, Prezezborska and Scrimgeour, 2009).

Berkembangnya pariwisata akan berakibat ganda terhadap sektor lainnya seperti pertanian, peternakan, industri, perdagangan, hotel dan restoran. Industri pariwisata merupakan mata rantai kegiatan yang sangat panjang mulai dari kegiatan biro perjalanan, kerajinan rakyat, kesenian daerah, pengangkutan, perhotelan, restoran, kegiatan pemanduan, pemeliharaan dan pengembangan objek wisata (Spillane, 1994; Sugiarti, Ernawati dan Birtles, 2003; Sznajder, Prezezborska and Scrimgeour, 2009). Mangiri (2003) mengelompokkan empat kebutuhan dasar yang ditimbulkan oleh kegiatan pariwisata di tempat tujuan wisata yaitu: (1) angkutan, (2) akomodasi dan pangan, (3) daya tarik, dan (4) kemudahan.

Jenis-jenis pariwisata yang didasarkan pada motif wisata antara lain : (1) Pariwisata untuk bersenang-senang atau tamasya (pleasure tourism) yang umumnya berpindah-pindah tempat, (2) pariwisata untuk rekreasi (recreation tourism), (3) pariwisata untuk kebudayaan (cultural tourism), (4) pariwisata untuk olahraga (sport tourism), (5) pariwisata untuk urusan dagang (business tourism), (6) pariwisata untuk berkonvensi (convention tourism), (7) pariwisata untuk kesehatan (health tourism), (8) pariwisata sosial (social tourism), dan (9) pariwisata untuk kepentingan spiritual atau keagamaan (spiritual tourism) (Soekadijo, 1996; Hunt and Stronza, 2009).

(35)

Lobo (2001) dalam Che et al. (2005) menyatakan agrowisata sebagai sebuah tindakan mengunjungi ladang pertanian, hortikultura atau bentuk agribisnis lainnya untuk mendapatkan hiburan, pendidikan, atau keterlibatan dengan aktivitas-aktivitas didalamnya. Menurut Snajzder et al. (2009) agrowisata merupakan sebuah sub-sektor wisata pedesaan dimana para wisatawan terlibat dalam aktivitas rekreasi dalam setting pertanian.

Selain itu, Beeton (2006) dalam Aref dan Gill (2009) menyatakan bahwa agrowisata (agrotourism) merupakan salah satu istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan wisata di pedesaan (rural tourism), selain farm tourism, soft tourism dan ecotourism. Hal ini mengacu pada definisi yang diberikan dalam Knowd (2001) tentang rural tourism yang memposisikan pertanian dan lahannya sebagai fondasi atau dasar semua daya tarik yang dibangun di atasnya. Pemerintah melalui Surat Keputusan Bersama Menparpostel dan Menteri Pertanian No. KM.47/PW.004/MPPT/89 dan No. 204/KPTS/HK050/4/1989, mendefinisikan “Agrowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata untuk memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi dan hubungan usaha dibidang agro”.

Ecker et al. (2010) menyatakan karakteristik utama agrowisata adalah adanya keterlibatan signifikan dari aktivitas masyarakat sekitar, sharing informasi antar pelaku dan inovasi serta eksperimen. Posisi agrowisata (agritourism) sebagai sebuah obyek wisata baru berbasis pedesaan (rural area) dijelaskan oleh Sznajder, dkk (2009) dalam piramida terminologi pariwisata dalam Gambar 1. Meskipun demikian, Avenzora (2008) menyatakan bahwa meskipun tipe sumberdaya wisata adalah tergolong sama tapi karakteristik suatu kegiatan wisata adalah pasti akan berbeda dari suatu tempat ke tempat yang lain. Atas hal itu, maka membangun tipologi kepariwisataan sebaiknya disandarkan pada tipe ruang dan “major characteristic of the space”, sehingga pemikiran tentang kepariwisataan dalam suatu ruang tertentu tersebut dapat lebih fokus dan terarah. Dengan demikian, tipologi eco-forest tourism, eco-agro tourism, eco-marine

tourism, eco rural tourism dan bahkan eco-city tourism akan menjadikan

(36)

peranannya. Lebih lanjut, Avenzora (2012; pers com) menyatakan bahwa agro-tourism tidak boleh dijadikan sebagai sub-ordinat dari rural tourism; yaitu sejalan dengan perbedaan tujuan yang sangat signifikan diantara keduanya.

2.2. Jenis-jenis Agrowisata

Agrowisata Perkebunan. Kegiatan wisata dalam kelompok ini dapat

dilakukan dalam bentuk kegiatan pra produksi (pembibitan), pemeliharaan dan pasca produksi (pengelolaan dan pemasaran). Beberapa daya tarik perkebunan sebagai obyek wisata adalah sebagai berikut (Sandra, 1994; Che, 2005):a). Daya tarik historis bagi wisata alam; b). Pemandangan alam yang indah dan berhawa sejuk; c). Cara tradisional dalam penanaman, pemeliharaan dan pengolahan; dan d).Jenis tanaman yang tidak dimiliki oleh negara asal wisatawan mancanegara.

(37)

Potensi perkebunan yang ada merupakan modal dasar yang kesemuanya dapat dikemas untuk disajikan menjadi atraksi agrowisata yang menarik. Dalam rangka menciptakan agrowisata perkebunan unsur-unsur yang harus diperhatikan adalah budidaya tanaman perkebunan, penataan kebun dan ketersediaan fasilitas penunjangnya. Sedangkan salah satu contoh kawasan agrowisata di Indonesia yang sudah terbentuk adalah di Kusuma Agrowisata Batu, Jawa Timur.

Agrowisata Hortikultura. Kegiatan wisata ini adalah suatu kegiatan

wisata di daerah pertanian tanaman hortikultura dan tanaman hias yang dapat juga dapat berupa paket kunjangan ke kebun buah-buahan dan kebun bunga. Para wisatawan dapat menikmati buah-buahan dengan cara memetik sendiri, dan juga dapat melihat secara langsung berbagai teknologi pengolahan yang ada. Hal serupa juga dapat dilakukan pada taman bunga dengan pemandangan yang indah.

Agrowisata Tanaman Pangan. Pertanian tanaman pangan terdiri dari

pertanian pangan di lahan basah dan di lahan kering. Komoditas yang dihasilkan di lahan basah adalah padi, sedangkan di lahan kering dataran rendah komoditasnya adalah jagung, kedelai dan kacang tanah, serta di dataran tinggi biasanya komoditas yang dihasilkan adalah sayuran seperti kol, lobak, daun bawang dan wortel. Berbagai hal tersebut dapat menjadi daya tarik wisata yang dapat dikembangkan dalam lingkup tanaman pangan serta dapat dipilih secara spesifik untuk dapat dikombinasikan dengan daya tarik wisata lainnya (Che, 2005).

Agrowisata Perikanan. Agrowisata perikanan merujuk pada penyediaan

(38)

Sebuah studi di Bonne Bay, Kanada menunjukkan adanya keinginan dari wisatawan yang berkunjung ke sana untuk melihat bagaimana ikan ditangkap dan diproses. Pengunjung ingin diantar dalam perahu penangkapan, ditemani menangkap ikan dan hasilnya disajikan sebagai hidangan mereka. Karena itu Ryan (2010) menyatakan potensi agrowisata perikanan dimulai dari penangkapan komoditas perikanan yang dilanjutkan pengolahan hingga penyajiannya sebagai sebuah hidangan untuk para wisatawan tersebut.

Agrowisata Peternakan. Wisata jenis ini merupakan kegiatan usaha yang bertujuan untuk mempelajari cara-cara beternak tradisional maupun secara modern. Usaha peternakan yang dilakukan dapat berupa ternak besar seperti sapi (potong dan perah), kerbau dan kuda serta ternak kecil seperti kambing, domba, babi, ayam (ras, petelor, ras pedaging, buras) dan itik. Agrowisata jenis ini lebih banyak tercakup dalam farm-tourism yang antara lain meliputi aktivitas berburu binatang, berkuda dan suguhan pemandangan kehidupan liar alami (Oredegbe dan Fadeyibi, 2009). Sebagai contoh wisata ternak yang terdapat di kaki Gunung Tangkuban Perahu bernama ”little farmer” yang menyuguhkan wisata hewan-hewan ruminansia seperti sapi, kelinci, hamster, dan sebagainya.

Agrowisata Perhutanan. Hutan merupakan bagian lingkungan

pedalaman yang sering digunakan sebagai sasaran wisata dan rekreasi. Agrowisata jenis ini umumnya terkait dengan hutan produksi ataupun hasil tanaman hutan seperti Mahoni, Jati, Pinus, Rasamala, Rimba dan Damar. Disamping itu, aktivitas-aktivitas rekreasi yang hanya bisa dilakukan dihutan juga merupakan daya tarik agrowisata ini, antara lain melihat dan berburu binatang, petik jamur dan berry, orientasi alam maupun studi alam (Font and Tribe, 1999).

(39)

2.3. Pengembangan Kawasan Agrowisata.

Menurut Kasparek (2007), diperlukan beberapa syarat untuk mengembangkan agrowisata, antara lain: a). Landscape otentik yang alami dengan ukuran cukup luas; b). Terdapatnya budaya, sejarah atau daya tarik alami pada area tersebut; c). Jalur transportasi yang memudahkan akses ke area wisata; d). Infrastruktur transportasi, akomodasi dan logistik yang memadai; e). Kondisi politik yang stabil; dan f). Penerimaan dari penduduk lokal. Sedangkan faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam pengembangan suatu kawasan agrowisata adalah menyangkut daya tarik objek wisata, sarana berwisata dan prasarana berwisata.

Daya Tarik Obyek Wisata. Faktor ini memegang peranan penting karena

adanya daya tarik obyek wisata inilah yang menjadikan wisatawan datang berkunjung. Daya tarik obyek wisata dapat dilihat menurut jenis/tipe agrowisata seperti dijelaskan berikut (Tirtawinata dan Fachruddin, 1996; Laverack and Thangphet, 2009):

1. Agrowisata Ilmiah, yang menyangkut daya tarik pada komoditi yang ditanam; daya tarik pada sistem budidaya yang ditanam; dan daya tarik pada sistem sosial, ekonomi dan budaya yang ada.

2. Agrowisata Bisnis, yang menyangkut daya tarik pada komoditi agro yang dibisniskan; dan daya tarik pada prospek investasi pada usaha agro/agro industri.

3. Agrowisata Rekreasi, yang berkaitan dengan daya tarik pada panorama alam yang ada; dan daya tarik pada pertunjukkan yang disediakan. 4. Agrowisata Budaya, yang berkaitan dengan daya tarik pada budaya

penduduk pada kegiatan pertanian yang ada sekarang; dan peninggalan budaya penduduk.

(40)

Sarana Berwisata. Dalam rangka mendukung kenyamanan dalam menikmati obyek agrowisata diperlukan fasilitas seperti yang terdapat di bawah ini (Tirtawinata dan Fachruddin, 1996; Laverack and Thangphet, 2009; Oredegbe and Fadeyibi, 2009):

1. Sarana Umum, yang menyangkut sarana pokok (seperti transportasi, akomodasi, rumah makan dan tempat makan lainnya, serta toko cindera mata), sarana pelengkap (seperti fasilitas olahraga dan fasilitas permainan) dan sarana pendukung, seperti fasilitas hiburan.

2. Sarana Khusus, yang untuk agrowisata ilmiah akan meliputi seperti laboratorium, tempat penelitian. Literatur pendukung dan tenaga peneliti pada obyek yang dimaksud; untuk agrowisata bisnis akan berkaitan dengan ruang pamer atau promosi, informasi khusus tentang bisnis dan fasilitas untuk lobby bisnis; dan untuk agrowisata rekreasi, seperti telah tercakup pada sarana umum untuk wisata; serta untuk agrowisata budaya, seperti museum budaya, tempat pagelaran budaya masyarakat, dan tempat penjualan hasil budaya masyarakat.

(41)

2.4. Pariwisata Sebagai Industri

World Tourism Organization (1995) menyatakan pariwisata merupakan

fenomena sosial ekonomi yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan dan pergaulan global. Pariwisata menjadi esensial bagi kehidupan karena terkait langsung dengan perkembangan ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.

Pariwisata merupakan suatu kegiatan industri yang memiliki tiga elemen yakni: (1) wisatawan, sebagai konsumen yang mengkonsumsi barang dan jasa selama melakukan perjalanan maupun di tempat tujuan wisata, (2) transaksi untuk memperoleh barang dan jasa, dan (3) sektor atau unit ekonomi yang menyediakan barang dan jasa untuk memenuhi kegiatan wisata (Australian Expert Group in Industry Studies, 2007).

Pariwisata bukanlah industri yang berdiri sendiri, tetapi terdiri dari serangkaian perusahaan yang menghasilkan jasa atau produk yang berbeda. Perbedaan itu tidak hanya dalam jasa yang dihasilkan, tetapi juga dalam besarnya perusahaan, lokasi tempat kedudukan, letak geografis, fungsi, bentuk organisasi yang mengelola dan metode atau cara pemasarannya (Yoeti, 1997; Aref dan Gill, 2009) menyatakan.

Menurut Prideaux and Cooper (2002), perusahaan pariwisata dapat diklasifikasikan dalam dua jenis, yaitu :(1) perusahaan pariwisata utama langsung dan (2) perusahaaan pariwisata sekunder tidak langsung. Perusahaan pariwisata utama langsung adalah perusahaan yang tujuan pelayanannya khusus diperuntukkan bagi perkembangan kepariwisataan dan yang kehidupan usahanya memang benar-benar tergantung padanya, sedangkan perusahaan pariwisata sekunder tidak langsung, adalah tidak sepenuhnya tergantung kepada wisatawan belaka, melainkan juga sebagian besar diperuntukkan bagi masyarakat setempat.

Perusahaan yang dapat digolongkan sebagai perusahaan pariwisata sekunder tidak langsung, adalah : a). perusahaan yang membuat kapal, mobil khusus untuk wisatawan; b). toko-toko pakaian, barang-barang keperluan sehari-hari dan sebagainya; dan c). toko binatu, salon kecantikan dan sebagainya.

(42)

komponen, yang saling melengkapi untuk membentuk suatu kesatuan produk, yang terdiri dari perjalanan/trip (sebagai bagian yang dinamis) dan tinggal di daerah tujuan wisata (sebagai bagian yang statis) (Mangiri, 2003; Oredegbe and Fadeyibi, 2009).

Ada tiga golongan pokok produk industri pariwisata, seperti dijelaskan di bawah ini (Sugiarti, Ernawati dan Birtles, 2003; Tebay, 2004; Ismail, 2004;Che, 2005 ):

a). Tourist objects atau obyek pariwisata yang terdapat pada daerah-daerah tujuan wisata, yang menjadi daya tarik orang-orang untuk datang berkunjung ke daerah tersebut.

b). Fasilitas yang diperlukan di tempat tujuan tersebut, seperti akomodasi perhotelan (accommodation), bar dan restoran (catering), entertainment dan rekreasi.

c). Transportasi yang menghubungkan negara asal wisatawan (tourist originating countries) dengan daerah tujuan wisatawan (tourist

destination area) serta transportasi di tempat tujuan (local

transportation) ke obyek-obyek pariwisata.

Produk industri pariwisata mempunyai suatu ciri khas yang membedakannya dari produk barang. Beberapa ciri hasil produk industri pariwisata yang terpenting, diantaranya sebagai berikut (Tebay, 2004; Che, 2005):

a). Hasil atau produk industri pariwisata tidak dapat dipindahkan, karena dalam penjualannya tidak mungkin produk dibawa kepada konsumen. Sebaliknya wisatawan yang mengunjungi lokasi produksi. Dalam industri barang, hasil atau produknya dapat dipindahkan ke tempat barang tersebut dibutuhkan atau diinginkan oleh konsumen.

b). Pada umumnya peranan dan posisi perantara (middle-man) tidak diperlukan karena proses produksi terjadi pasa saat bersamaan dengan konsumsi. Satu-satunya perantara yang merupakan saluran (channel)

dalam penjualan jasa industri pariwisata hanyalah travel agent atau

tour operator saja.

(43)

d). Hasil atau produk industri pariwisata itu tidak mempunyai standar atau ukuran yang obyektif, seperti halnya dengan industri barang lainnya yang mempunyai dimensi kuantitatif, sedangkan industri pariwisata menggunakan kualitas dan kepuasan dalam pelayanan.

e). Permintaan (demand) terhadap hasil atau produk industri pariwisata tidak tepat dan sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor non ekonomis. Terjadinya kekacauan atau peperangan atau bencana alam, akan mengakibatkan permintaan akan berkurang. Sebaliknya musim berlibur dengan kondisi normal permintaan meningkat, sehingga terjadi kekurangan dalam supply.

f). Calon konsumen tidak mencoba atau mencicipi produk yang akan dibelinya. Informasi diperoleh dari brosur (leaflet, booklet, poster) melalui slide, TV atau film yang khusus dibuat untuk keperluan tertentu.

g). Hasil atau produk industri pariwisata banyak tergantung pada tenaga manusia dan sedikit sekali dapat digantikan dengan mesin.

h). Dari segi pemilikan usaha, penyediaan produk industri pariwisata dengan membangun sarana kepariwisataan yang memakan biaya besar, mempunyai tingkat resiko tinggi, karena perubahan elastis permintaan sangat peka sekali.

Di sisi lain, Thomas (2000) menyatakan bahwa terdapat beberapa potensi kerugian yang harus diantisipasi dalam pengembangan agrowisata sebagai sebuah industri, yaitu:

a). Penurunan produksi pertanian, hal ini sangat mungkin terjadi apabila agrowisata telah menjadi sebuah industri besar yang menguntungkan, dimana pelaku industri menganggapnya lebih menguntungkan dibanding memproduksi produk pertaniannya sendiri.

b). Kerusakan lingkungan sebagai akibat sisi pariwisata dalam agrowisata yang tidak disertai dengan aturan dan penetapan standar keamanan lingkungan yang ketat,

c). Pencurian/pembajakan biodiversitas asli di lingkungan agrowisata yang dapat dengan mudah dilakukan oleh para wisatawan,

(44)

2.5. Permintaan Dan Penawaran Pariwisata

Agrowisata telah berhasil dikembangkan di negara-negara maju, antara lain Swiss, Selandia Baru, Prancis dan Australia. Di Indonesia, delapan provinsi telah mencoba mengembangkan potensi agrowisata dengan produk unggulan masing-masing yaitu Sumatera Utara dengan karet dan perkebunan kelapa, Riau dengan perkebunan coklat, Jawa Barat dengan kebun raya, Jawa Tengah dan DIY dengan salak pondoh di Sleman, Jawa Timur dengan perkebunan berbasis gula, NTB dengan Wisata Rinjani serta Kalimantan Tengah dan Barat dengan perkebunan kelapa (Utama, 2008).

Pertumbuhan agrowisata di dunia mencapai angka 6% per tahun melebihi pertumbuhan pariwisata secara umum yang hanya 4% per tahun. Hal ini seiring dengan peningkatan permintaan akan wisata yang terkait dengan alam dan aktivitas budaya. Peningkatan permintaan ini menjadikan agrowisata sebagai sebuah sektor yang sangat penting sabagai alternatif sumber pendapatan bagi petani dan komunitas pedesaan yang lain (WTO dalam Utama, 2008).

Pada produk turunan pariwisata, agrowisata juga dapat dianalisis menurut instrumen dan aspek analisis dalam pariwisata. Menurut Mangiri (2003), pariwisata dapat dikaji dari dua sisi, pertama dari sisi permintaan dan kedua dari sisi penawaran. Sisi permintaan meliputi kegiatan untuk menikmati pendapatan yang dilakukan di luar lingkungan sehari-hari dan rutinitas, sedangkan sisi penawaran menunjukkan pada kegiatan yang dilakukan institusi yang terkait dalam rangka melayani kebutuhan wisatawan. Sedangkan menurut Avenzora (2008), berbicara mengenai permintaan sederhanaya adalah berbicara tentang siapa yang meminta, apa yang diminta, kuantitas dan kualitas dari yang diminta serta waktu meminta. Adapun berbicara tentang penawaran dijelaskannya sebagai berbicara tentang apa yang bisa ditawarkan, bagaimana jumlah dan kualitas yang bisa ditawarkan, untuk siapa bisa ditawarkan dan seasonalitas dari waktu penawaran.

(45)

dari sisi penawaran, yaitu penyediaan barang dan jasa oleh unit-unit ekonomi terkait untuk memenuhi permintaan konsumsi wisatawan, serta investasi dan promosi oleh pemerintah ataupun swasta. Gambar 2 memperlihatkan struktur pariwisata dari sisi permintaan dan penawaran.

Mangiri (2003) juga mengemukakan bahwa ada dua kelompok faktor yang dapat mendorong seseorang untuk berwisata. Kelompok faktor pertama disebut faktor internal yang meliputi pendapatan, waktu, dan kemauan, sedangkan kelompok faktor kedua disebut faktor eksternal yang meliputi tujuan/objek wisata, prasarana dan sarana, dan keamanan. Kedua kelompok faktor tersebut saling berkaitan dalam penentuan seseorang untuk melakukan wisata. Sedangkan keputusan seseorang untuk berwisata akan tergantung oleh empat faktor berikut, yaitu: (1) faktor pendorong, (2) faktor individu dan sosial, (3) varibel eksternal, dan (4) karakteristik pelayanan di tempat tujuan (Ismail, 2004; Che, 2005; Kuswiati, 2008).

2.6. Pengelolaan Agrowisata berbasis Masyarakat

Pendekatan untuk pengelolaan sumberdaya alam, sebagai sumber daya utama agrowisata, dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu pendekatan berbasis masyarakat dan pendekatan berbasis pemerintah. Menurut Rashidpour et al.

(46)

Gambar 2. Struktur pariwisata dari sisi permintaan dan penawaran (Heriawan, 2004)

Laverack and Thangphet (2009) menyatakan, Community Based Management memiliki makna keterlibatan langsung masyarakat dalam mengelola sumberdaya alam yakni memikirkan, memformulasikan, merencanakan, mengimplementasikan, mengevaluasi maupun memonitornya. Pemberdayaan

(47)

masyarakat lokal ditujukan pada 2 (dua) sasaran, yaitu : (1) melepaskan belenggu kemiskinan dan keterbelakangan, dan (2) memperkuat posisi lapisan masyarakat lokal dalam struktur kekuasaan.

Pengelolaan berbasis masyarakat dalam kenyataannya tidak dapat berhasil sepenuhnya tanpa keterlibatan pemerintah. Hal tersebut dimungkinkan karena masyarakat dalam beberapa hal masih memiliki keterbatasan-keterbatasan yang dimilikinya, seperti tingkat pendidikan, permodalan, dan kesadaran atas pentingnya lingkungan (Kusumastanto 1998; Sofyan, 2006).

Tidak ada pengelolaan sumberdaya alam yang berhasil tanpa melibatkan masyarakat lokal sebagai pengguna (users) dari sumberdaya alam tersebut. Hal ini diperkuat oleh Rashidpour et al. (2010) yang merekomendasikan bahwa dalam pengembangan wilayah pedesaan yang berkelanjutan, termasuk agrowisata didalamnya, maka komunitas lokal adalah mitra dan stakeholder yang paling utama. Keterbatasan masyarakat setempat dalam mendukung pengelolaan agrowisata masih memperlukan campur tangan dari pemerintah. Dalam mengakomodir campur tangan pemerintah dalam pengelolaan sumberdaya alam dapat dilakukan dengan pendekatan cooperative management (co-management), sebagai jembatan penghubung antara pemerintah dan masyarakat (Gawell ,1984

dalamWhite 1994; Silver, 2002; Rashidpour, 2010).

Pendekatan co-management didefinisikan sebagai pembagian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dengan pengguna sumberdaya alam lokal (masyarakat) dalam pengelolaan sumberdaya alam (Pomeroy dan Williams, 1994; Oredegbe and Fadeyibi, 2009). Keberhasilan Co-Management

didasarkan atas 8 (delapan) hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) batas wilayah yang jelas dan terdefinisi, (2) kejelasan keanggotaan, (3) keterikatan dalam kelompok, (4) manfaat harus lebih besar dari biaya, (5) pengelolaan yang sederhana, (6) kerjasama dan kepemimpinan dalam masyarakat, (7) desentralisasi dan pendelegasian wewenang dan (8) koordinasi antara pemerintah dan masyarakat.

(48)

kapan pemerintah mulai terlibat dalam proses didalamnya. Pada community based

management, kegiatan difokuskan pada pembentukan dan penguatan institusi

lokal melalui pendekatan berbasis masyarakat tanpa banyak campur tangan pemerintah. Pada co-management, disamping dua tahap tersebut juga menekankan pada pembentukan kemitraan antara pemerintah, komunitas dan pengguna sumber daya (Dey dan Kasnagaratnam, 2007).

Pembangunan agrowisata berbasis masyarakat mempunyai peluang yang cukup prospektif dengan ciri-ciri unik yang dimilikinya, seperti yang diurakian oleh Kusumastanto (1998) dan ; Nasikun (2003), yaitu : (1) karena karakternya yang lebih berskala kecil sehingga mudah diorganisasi, bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional yang bersifat masif; (2) mempunyai peluang lebih mampu mengembangkan objek-objek, atraksi atau produk agrowisata berskala kecil, sehingga dapat dikelola oleh masyarakat dan pengusaha-pengusaha lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima oleh masyarakat; (3) memberi peluang yang lebih besar bagi partisipasi masyarakat lokal untuk melibatkan diri dalam proses pengambilan keputusan dan didalam menikmati keuntungan perkembangan industri pariwisata, sehingga oleh karena itu lebih memberdayakan masyarakat; (4) tidak hanya memberikan tekanan pada pentingnya keberlanjutan kultural (cultural sustainability) akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain melalui pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan.

(49)

masarakat dalam tiga level kapasitas, yaitu komunitas, organisasi dan individu. Komunitas mengarah pada peran kelompok masyarakat yang terikat secara informal dalam lingkup geografis yang sama. Organisasi dan individu mengarah pada organisasi pariwisata dan peran perorangan dalam agrowisata.

Pembangunan berbasis masyarakat membutuhkan kepemimpinan, manjemen sumberdaya manusia, koordinasi kegiatan dan pengaturan lainnya sedemikian rupa sehingga dapat meningkatkan kemampuan anggota menjadi lebih berdaya. Proses pemberdayaan seyogyanya dapat memberikan peluang bagi anggotanya untuk ambil bagian dalam pengambilan keputusan, tanggung jawab kolektif dan kepemimpinan kolektif (Rana, 2008).

Proses dan hasil pemberdayaan terjadi pada semua tingkat analisis. Proses pemberdayaan individu dapat berupa konsultasi yang membantu seseorang dapat memahami peran dan tanggung jawabnya sekaligus memberikan keterampilan, keahlian dan pengalaman yang berguna. Pemberdayaan organisasi dapat berupa kelompok kerjasama yang membantu anggotanya dalam memahami dan memiliki keterampilan berorganisasi dan kepemimpinan (Perkins dan Zimmerman, 1995; Stenning and Miyoshi, 2008).

Pembangunan yang berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai pembangunan yang bertumpu dan berpihak pada masyarakat luas. Menurut William dan Gill (1998) dan Barlian (2003) keberpihakan ini mempunyai dua sisi yaitu:

a). Dari sisi pengelola ekonomi, yaitu masyarakat diberi kesempatan untuk berpartisipasi lebih banyak dalam pengelolaan ekonomi dalam sistem produksi dan distribusi.

b). Dari sisi kemauan masyarakat, yaitu kemauan tentang apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat di daerah itu melalui proses seleksi atas pertimbangan lingkungan, adat istiadat, selera, serta kebiasaan dari masyarakat.

Lagarense (2003) menyatakan, agrowisata merupakan salah satu alternatif pariwisata yang potensial untuk dikembangkan dengan pendekatan community

based development. Pendekatan ini ditujukan untuk meningkatkan pendapatan

(50)

lapangan kerja dilakukan melalui kegiatan produksi dan jasa yang terkait dengan pengembangan agrowisata. Upaya peningkatan pendapatan masyarakat harus tetap dalam kerangka pembangunan yang menjamin konservasi sumberdaya alam.

Pariwisata merupakan salah satu industri yang seharusnya berperan aktif dalam mendukung program pembangunan berkelanjutan. Hal ini karena industri pariwisata termasuk di dalamnya agrowisata sangat tergantung pada kelestarian alam. Dengan demikian sektor agrowisata bekerja sama dengan sektor lain, industri dan pemerintah menjamin terpeliharanya kelestarian lingkungan dan sumberdaya alam (Murphy,1994; Rana, 2008).

Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan sebenarnya sudah populer di dunia sejak akhir Tahun 1980-an. Konsep ini muncul sebagai masukan terhadap paradigma dari konsep pariwisata yang pada awalnya hanya mementingkan segi ekonominya saja, yaitu pemasukan dan banyaknya jumlah pengunjung. Adanya potensi ekonomi yang tidak terkendali dengan tanpa memperhatikan faktor kelestarian lingkungan tersebut pada dasarnya akan dapat merusak kawasan pengembangan itu sendiri. Hal ini telah ditunjukan oleh terjadinya konsep pembangunan pariwisata yang keliru, yakni dengan adanya bukti-bukti berupa terjadinya kerusakan aset-aset lingkungan, hilangnya biodiversity, polusi, kemiskinan dan tersisihnya penduduk lokal. Kondisi tersebut di atas, pada akhirnya mengakibatkan munculnya kesadaran bersama untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan tersebut. Oleh karenanya maka lembaga-lembaga dunia, seperti Commision on Sustainable (CSD) dan World Tourism Organization

(WTO), bersepakat untuk menyusun langkah nyata dan sistematis dalam melakukan penanggulangan kerusakan lingkungan tersebut (Cooper et al. 1998).

(51)

saling mempengaruhi sehingga diperlukan suatu koordinasi dan kepemimpinan yang dapat mengarahkan pada tercapainya tujuan bersama yakni peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat di daerah wisata (William dan Gill, 1998; Dey and Kanagaratnam, 2007).

Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat ditujukan untuk : (1) meningkatkan pendapatan dan kualitas hidup dari masyarakat lokal, (2) mengembangkan karakter dan perilaku masyarakat lokal yang mendukung bagi pengelolaan potensi sosial budaya dan sumberdaya alam dan lingkungan, (3) mengembangkan pelayanan terhadap wisatawan tanpa merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya lokal (Pigram, 1990; Dey and Kanagaratnam, 2007; Rashidpour et al., 2010).

Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan yang menitik beratkan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat yang mengarah pada kemandirian masyarakat, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Pemberdayaan juga diartikan sebagai pemberian kekuasaan karena kata daya tidak saja berarti mampu, namun maknanya lebih dalam yakni selain mampu juga mempunyai kuasa. Menurut Nasution et al. (2007) konsep pemberdayaan merupakan upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, maka pada pemberdayaan yang ditekankan adalah pentingnya masyarakat yang mandiri dalam mengorganisasi dirinya sendiri.

(52)

Pada pemberdayaan masyarakat ini hendaknya juga terdapat kelembagaannya, mengingat kelembagaan akan dapat mengatur dan memadukan kewenangan antar sektor terintegrasi dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan suatu sumberdaya. Hal ini sesuai dengan pendapat Bandaragoda (2000) yang menjelaskan bahwa terdapat tiga komponen yang perlu diperhatikan pada lembaga pengelolaan yaitu hukum, kebijakan dan administrasi. Namun demikian agar program tetap berlanjut, Hidayat (2004) mengemukakan bahwa agar suatu program keberlanjutan dapat terjadi maka terdapat beberapa faktor penting untuk diperhatikan dalam kelembagaannya, yaitu : a) pembentukan badan pengelola; b) pemanfaatan badan/kelompok masyarakat eksisting sebagai pengelola; c) penguatan kapasitas; d) regenerasi; e) kerjasama/kemitraan.

Perlunya kelembagaan dalam pemberdayaan masyarakat sesuai dengan pendapat Bandaragoda (2000) bahwa dalam melakukan pengelolaan sumberdaya apapun, hendaknya dibuat organisasi yakni jaringan dari peran yang diatur dalam hirarki dengan tujuan membatasi kewenangan individual dan mengkoordinasi kegiatan sesuai dengan sistem aturan dan prosedur. Serta pendapat Scott (2001) bahwa organisasi atau lembaga dapat berfungsi memberikan batasan dan sekaligus keleluasaan bagi suatu kelompok untuk melakukan suatu kegiatan.

Pendekatan sistem dalam pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat perlu memperhatikan sejumlah aspek penting yaitu : (1) pengembangan tujuan pariwisata yang terintegrasi dengan perencanaan wilayah, (2) menggunakan sejumlah indikator kinerja yang merefleksikan tujuan pengembangan pariwisata, (3) mengimplementasikan manajemen strategis yang mengarah pada peningkatan tujuan pembangunan wilayah, (4) memonitor dan mengevaluasi efektifitas manajemen strategis dalampengembangan pariwisata.

2.7.Social Representation Theory

Social representation theory (SRT) adalah serangkaian konsep yang

(53)

dengan adanya ide-ide dan komunikasi dalam ruang publik (Yutyunyong, 2009). Kajian-kajian tentang pariwisata dan perilaku komunitas di sekitarnya sebagai reaksi atas munculnya pariwisata memiliki karakteristik-karakteristik tersebut, sehingga sangat tepat untuk dianalisis dengan SRT (Pearce et al., 1996).

Penerapan kerangka kerja dalam SRT mampu mengevaluasi bagaimana persepsi individu dalam komunitas berpengaruh terhadap pengembangan pariwisata di dalamnya. Hal ini karena SRT mampu mengidentifikasi hubungan antara aspek sosio-ekonomi dan aspek-aspek lain dalam komunitas, antara lain nilai yang dianut, kepercayaan, norma-norma dan pandangan tentang pengembangan pariwisata. Pearce (1991) mengisyaratkan bahwa SRT dapat digunakan untuk memahami bagaimana kelompok-kelompok dalam komunitas memandang pariwisata dalam wilyah mereka. Hasil pemahaman ini akan sangat bermanfaat sebagai masukan dalam proses perencanaan dan pengembangan pariwisata.

Landasan kerja SRT adalah bahwa terdapat banyak kelompok individu dalam komunitas yang memiliki kesamaan nilai dan sikap. Dalam SRT, sikap individu diidentifikasi kemudian dikelompokkan berdasarkan kesamaan-kesamaan yang ada. SRT dikendalikan oleh subyek yang diamati dan dianalisis. Sehingga SRT adalah bentuk kajian terbuka yang memberi kesempatan pada setiap individu menentukan arah penelitian, dan bukan peneliti yang menunjukkan dan menetapkannya (Beeton, 2006).

(54)

2.8.Teori Fuzzy

Teori fuzzy merupakan suatu cara pengambilan keputusan melalui pendekatan logika fuzzy dan sangat berguna untuk memecahkan masalah-masalah yang berhubungan dengan hal-hal yang mengandung ketidaktepatan

(imprecision). Logika fuzzy memungkinkan membangun sistem yang lebih

merefleksikan data. Logika fuzzy menggunakan derajat keanggotaan pada interval (0 dan 1) untuk beragam kemungkinan pilihan yang didasarkan pada suatu nilai variable.

Di samping fungsi keanggotaan, ada komponen kedua dari logika fuzzy yaitu aturan-aturan fuzzy (fuzzy rules) yaitu suatu aturan yang memungkinkan menterjemahkan aturan-aturan fuzzy dari kecerdasan manusia menjadi program yang dapat diimplementasikan pada komputer. Terdapat beberapa cara untuk menurunkan aturan fuzzy (Kuswadi, 2000) antara lain berdasarkan hal-hal berikut :

a). Pengetahuan pakar atau diturunkan dari ilmu rekayasa yang bersesuaian.

b). Sifat/kemampuan operatif yang direkam dan kemudian dilakukan analisis untuk menemukan aturan-aturan tersebut,

c). Penurunan berdasarkan model fuzzy dari sistem atau proses.

Teori gugus fuzzy pertama kali hanya dipandang sebagai teknik yang secara matematis mengekspresikan ambiguity dalam bahasa. Teori gugus fuzzy dikembangkan sebagai pengukuran beragam fenomena ambiguity secara matematis yang mencakup konsep peluang.

Menurut Marimin (2002), sistem fuzzy merupakan penduga numerik yang terstruktur dan dinamik. Sistem tersebut mempunyai kemampuan untuk mengembangkan sistem intelijen dalam lingkungan yang tidak pasti dan tidak tepat. Sistem ini menduga suatu fungsi dengan logika fuzzy. Logika fuzzy sering menggunakan informasi linguistik dan verbal. Dalam logika fuzzy terdapat beberapa proses, yaitu penentuan gugus fuzzy, penerapan aturan if-then serta proses inferensi fuzzy. Alur penyelesaian masalah dengan menggunakan metode

(55)

Permasalahan Nyata

Representasi Alami

Fuzzifikasi

Komputasi secara Fuzzy

Defuzzifikasi

Solusi

Gambar 3 Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy (Marimin, 2002)

Pendekatan fuzzy dapat dilakukan dengan metode numerik, semi numerik dan non numerik. Dalam perkembangannya, pendekatan fuzzy non numerik memiliki beberapa keuntungan diantaranya, dapat merepresentasikan informasi bersifat label dan mengkomputasikan juga menggunakan label.

Aplikasi pendekatan fuzzy non-numerik dalam beberapa kasus terbukti cukup efektif dalam membantu proses pengambilan keputusan (Marimin, 1997; Santoso dan Marimin, 2001). Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis keputusan dengan pendekatan fuzzy non numerik adalah sebagai berikut :

a). Mengumpulkan informasi dan faktor-faktor yang berpengaruh. Pada tahap ini dilakukan pemilihan faktor yang berpengaruh terhadap agrowisata. Hasil-hasil penelitian dan data sekunder yang relevan sangat dibutuhkan dalam menunjang akurasi pemilihan faktor.

(56)

c). Setiap ahli melakukan penilaian bobot dan nilai terhadap setiap faktor yang telah ditentukan.

d). Menghitung nilai dari setiap faktor untuk setiap pengambilan keputusan ke-j (Vij) pada semua variabel (ak). Rumus yang digunakan dalam perhitungan (Yager, 1993) adalah

Pik = Min [Neg I(qi)∨ Pik (qj

e). Menentukan bobot faktor nilai pengambil keputusan dengan formula QA(k) = S

(k) = bobot rata-rata penilai pada skala k r = jumlah penilai/pakar

f). Menentukan nilai gabungan dari seluruh nilai pakar dengan menggunakan metode OWA (Ordered Weighted Average) (Yager, 1993) dengan rumus

= bobot kelompok penilai j

g). Proses perhitungan dari tahap ke-4 sampai ke-6 dilakukan secara berulang sampai diperoleh nilai agregasi total sebagai nilai prioritas.

= Pengurutan nilai dari besar ke kecil.

2.9.Metode Perbandingan Eksponensial

(57)

metode pengambilan keputusan yang mengkuantitaskan pendapat seseorang atau lebih dalam skala tertentu. MPE pada prinsipnya merupakan suatu metode skoring terhadap pilihan-pilihan yang ada. Melalui penghitungan secara eksponensial, perbedaan nilai kriteria yang satu dengan kriteria yang lainnya dapat dibedakan dengan jelas tergantung tingkat penilaiannya.

Penentuan kriteria dan tingkat akurasi penilaiannya menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan (Cabrera and Gilardo, 2009). Tahapan yang dilakukan dalam melaksanakan teknik MPE adalah : (1) menulis semua alternatif, (2) menentukan kriteria-kriteria penting dalam pengambilan keputusan, (3) mengadakan penilaian terhadap setiap kriteria, (4) mengadakan penilaian terhadap semua alternatif pada masing-masing kriteria, (5) menghitung nilai dari setiap alternatif, (6) memberikan tingkat prioritas kepada setiap alternatif sesuai nilainya. Penghitungan nilai untuk masing-masing alternatif adalah sebagai berikut :

Nilai alternatif (m) = (nilai kriteria 1) ^ ( taraf kepentingan) + (nilai kriteria 2) ^ ( taraf kepentingan) + … + (nilai kriteria n) ^ (taraf kepentingan).

2.10. Proses Hirarki Analitik

Gambar

Gambar 1. Piramida terminologi pariwisata (Sznajder dkk, 2009)
Gambar 2. Struktur pariwisata dari sisi permintaan dan penawaran (Heriawan, 2004)
Gambar 3   Alur penyelesaian masalah dengan metode fuzzy  (Marimin, 2002)
Tabel 1. Pengembangan metode pengambilan keputusan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan pariwisata haruslah dilandasi dengan strategi manajemen yang baik, mengingat pariwisata itu selalu berubah berdasarkan minat dan keinginan wisatawan. Keadaan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: a) Bentuk pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, b) Partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata berbasis

PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI BERBASIS WEB 2.0 DALAM MENUNJANG PROMOSI OBJEK DAYA TARIK PARIWISATA. Software

Secara konseptual pengembangan desa ekowisata dapat didefinisikan sebagai suatu konsep pengembangan pariwisata berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya

Strategi Pengembangan Wisata Guna Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Pada New Normal (Studi Kasus DiAgrowisata Bale Tani Jombang).. Strategi Pengembangan Wisata

Untuk mengambangkan Pasar Buah Berastagi perlu dilakukan identifikasi peran masyarakat lokal dalam pengembangan pariwisata di Pasar Buah serta potensi pengembangan

Maka dari itu, artikel ini mengkaji terkait sejauh mana konsep ekowisata berbasis masyarakat dalam menunjang pengembangan pariwisata dan hal apa saja yang masih

Berdasarkan laporan OPD yang melaksanakan kegiatan Pengembangan Kawasan Agrowisata Payo, Masyarakat Payo tidak terlalu antusias terlibat dalam pengembangan Kawasan Agrowisata Payo