STRATEGI PENGEMBANGAN AGRO PUNCAK BUKIT CATU BERBASIS AGROWISATA BERKELANJUTAN
I Gusti Ketut Adi Winata1, I Made Dwita Atmaja2, Ni Made Wulan Sari Sanjaya3
1-2 Fakultas Ekonomi, Universitas Pendidikan Ganesha
3 Fakultas Ekonomi, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma
Email: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstract
The diversity of tourist attractions in Bali causes competition between tourist attractions to become increasingly fierce, especially in the Tabanan Regency area. Therefore, it is necessary to formulate a strategy for developing Puncak Bukit Catu Agro based on sustainable agrotourism. The objectives of this research include: (1) determining a development strategy for Puncak Bukit Catu Agro based on sustainable agrotourism; (3) determine the priority strategy for the development of Puncak Bukit Catu Agro based on Sustainable Agrotourism. The main method used in this research is the descriptive analysis method. The data collection techniques used in this research are the Interview and Questionnaire Method. The analysis used in this qualitative research is data analysis using an interactive model. Apart from that, SWOT and QSPM matrix analysis is also used in formulating the strategy to be implemented. Agro Puncak Bukit Catu is an agrotourism that has an impact on the development of rural tourism in the village of Bukit Catu.
Agrotourism is an economic activity that has potential social, economic and environmental impacts. The qspm matrix shows that the position of Puncak Bukit Catu Agrotourism is in quadrant I. This focuses on product development strategies. This means that Puncak Bukit Catu Agrotourism needs to develop products.
Keywords: Agrotourism; Strategy;, Sustainability 1. PENDAHULUAN
Agrowisata merupakan pengembangan wisata yang dapat memungkinkan petani lokal meningkatkan pendapatan untuk menghidupi keluarganya. Agrowisata mengedukasi masyarakat tentang pertanian dan mengurangi urbanisasi karena generasi muda tidak perlu pergi ke kota untuk bekerja dan menjadi media yang mempromosikan produk lokal ke kancah internasional. Agrowisata juga merupakan tuntutan akan pariwisata yang pro lingkungan, go green, dan bertanggung jawab.
Perkembangan pariwisata dapat menimbulkan beberapa dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari pengembangan pariwisata adalah terbangunnya akomodasi dan kegiatan wisata untuk meningkatkan perekonomian masyarakat [1]. Dampak negatif dari perkembangan pariwisata adalah komersialisasi, munculnya sikap materialistis, peniruan oleh masyarakat
yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa, meningkatnya tindak kriminal, dan beralihnya produksi pertanian ke perdagangan [2].
Berdasarkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh pariwisata yang ada dan harapan untuk kegiatan pariwisata yang lebih sehat dan praktis di masa depan, beberapa pihak mulai gencar menggalakkan pembangunan pariwisata berkelanjutan. Agrowisata juga merupakan alternatif pariwisata berkelanjutan yang memanfaatkan pertanian (agro) sebagai daya tarik wisata yang memperluas pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan relasi bisnis di bidang pertanian. Agrowisata dapat memberikan multiplayer effect dengan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan distribusi pendapatan, nilai tambah, dan pengembangan pertanian.
Agrowisata juga mampu mengakomodir tuntutan agar perekonomian nasional tetap tumbuh sekaligus memenuhi prinsip kemasyarakatan,
keberlanjutan, dan pemerataan, baik antar individu maupun antar wilayah [3].
Agrowisata yang mulai marak dan digemari masyarakat akhir-akhir ini menyebabkan semakin banyaknya dan berkembangnya tempat-tempat wisata yang menawarkan agrowisata. Keanekaragaman tempat wisata di Indonesia mendorong pengembangan di bidang agrowisata. Banyaknya agrowisata memberikan banyak pilihan bagi masyarakat untuk memilih tempat agrowisata yang akan mereka kunjungi [4]. Landasan pengembangan agrowisata terletak pada pemanfaatan sumber daya alam di dalam agrowisata itu sendiri. Sumber daya alam adalah sumber daya yang akan terus berkurang apabila tidak dipelihara dan dilestarikan dengan baik.
Salah satu tujuan dikembangkannya agrowisata di suatu daerah yaitu untuk pembangunan pertanian yang berkelanjutan. Salah satu upaya pengembangan dan penerapan pertanian berkelanjutan yaitu dengan adanya pengembangan pertanian dan pengelolaan kawasan pertanian dari sisi hulu hingga hilir.
Konsep integrated farming system yang mencakup berbagai subsektor pertanian memberikan peluang pengembangan agroeduwisata di Indonesia [5].
Terdapat berbagai objek agrowisata di Bali. Salah satunya adalah kawasan wisata Bedugul. Agro Puncak Bukit Catu merupakan salah satu tempat wisata yang berada di kawasan tersebut. Agro Puncak Bukit Catu merupakan tempat wisata yang berbasis agrowisata.
Agrowisata ini menyediakan tempat berkemah dan wisata keliling kebun buah dan sayuran. Di sisi lain, keragaman tempat wisata yang ada di Bali menyebabkan persaingan antar tempat wisata semakin ketat khususnya di wilayah Kabupaten Tabanan. Keterbatasan data dan informasi dalam kuantitas dan kualitas lingkungan agrowisata mempengaruhi keputusan pengelolaan dan pengendalian sumber daya alam.
Salah satu landasan yang dapat dijadikan pertimbangan kebijakan pengelolaan adalah hasil analisis strategi pengembangan agrowisata.
Persaingan yang bertujuan untuk menarik minat konsumen banyak dilakukan dengan memberikan pelayanan yang prima dan nyaman. Salah satunya adalah menciptakan pariwisata berbasis pertanian, yaitu wisata yang pro lingkungan, go green, dan bertanggung jawab. Oleh karena itu perlu dirumuskan strategi pengembangan Agro Puncak Bukit Catu berbasis Agrowisata Keberlanjutan.
Banyak penelitian telah menunjukkan bukti adanya hubungan erat antara agrowisata dan keberlanjutan [6]. Faktanya, berbagai penulis telah mencapai kesepakatan bahwa agrowisata membantu meningkatkan keberlanjutan daerah pedesaan melalui penciptaan lapangan kerja, menghasilkan pendapatan tambahan bagi masyarakat lokal, dan melestarikan warisan budaya dan alam dari destinasi tersebut [7], [8].
Mempertimbangkan agrowisata sebagai
"pengembangan berkelanjutan dan strategi diversifikasi untuk masyarakat pedesaan", penelitian lainnya menunjukkan bahwa agrowisata memiliki banyak dampak ekonomi dan non-ekonomi positif bagi masyarakat pedesaan, seperti peningkatan kehidupan petani dan pertanian berkelanjutan [9]. Agrowisata dapat mendukung daerah pedesaan secara ekonomi dan memberikan peluang untuk menciptakan keberlanjutan di daerah tersebut [10].
Di antara upaya yang dilakukan untuk menganalisis keberlanjutan agrowisata, sebuah tinjauan terbaru memberikan pandangan holistik dari perspektif yang berbeda dari mana dampak agrowisata diperiksa dalam literatur ilmiah dan bagaimana kaitannya dengan pembangunan berkelanjutan [11]. Dampak agrowisata dapat diklasifikasikan menjadi tiga perspektif – ekonomi, sosial dan lingkungan – dan menjadi dua tingkat dampak – makro (masyarakat, wilayah, industri) dan mikro (pertanian individu/aktor).
Satu studi bertujuan untuk memberikan tipologi untuk mendefinisikan agrowisata dengan mengidentifikasi karakteristik utama yang saat ini digunakan dalam literatur dan mengaturnya ke
dalam kerangka kerja yang dapat diterapkan secara luas dalam studi agrowisata.
Dua frase kunci yang secara konsisten digunakan dalam tipologi adalah 'pertanian bekerja' dan 'kontak dengan aktivitas pertanian.' Terdapat tiga kategori kontak yang dapat dimiliki agrowisata dengan pertanian [12]. Kategori ini adalah kontak langsung, tidak langsung, dan pasif. Kontak langsung dapat mencakup kegiatan pertanian seperti memerah susu sapi, panen U- pick, dan kegiatan serupa. Contoh kontak tidak langsung dapat berupa pembelian atau konsumsi makanan, mengunjungi pasar petani, kios pertanian, dan kontak pasif melalui partisipasi dalam kegiatan rekreasi luar ruangan yang disediakan oleh pertanian, seperti kebun binatang atau acara pertanian [12].
Lebih dari satu jenis agrowisata dapat terjadi pada satu pendirian [12]. Adanya perbedaan dalam literatur tentang agrowisata disebabkan oleh tiga factor [13]. Ini termasuk keaslian pengalaman pertanian, jenis pengaturan, dan jenis aktivitas yang ditawarkan oleh fasilitas tersebut. Menurut definisinya, agrowisata harus memenuhi standar tersebut, termasuk memiliki sesuatu untuk dilihat pengunjung, sesuatu untuk mereka lakukan, dan sesuatu untuk mereka beli [13]. Dalam penelitian ini, agrowisata didefinisikan sebagai kunjungan ke pertanian yang sedang bekerja/tidak bekerja atau operasi pertanian atau agribisnis apa pun untuk menikmati, belajar, dan terlibat dalam kegiatan yang terjadi di tempat tujuan [14].
2. METODE PENELITIAN
Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif.
Metode ini digunakan untuk mengkaji status kelompok manusia, objek, seperangkat kondisi, sistem pemikiran, atau kelas peristiwa di masa kini. Penentuan responden didasarkan pada kriteria sebagai berikut: 1) Pengelola Agro Bukit Catu; 2) Perangkat desa yang memiliki inventarisasi data dan pengetahuan tentang pembangunan lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi; 3) Petani yang bekerjasama dengan
usaha Ago Puncak Bukit Catu. Hasil penelitian akan dipublikasikan pada jurnal nasional terakreditasi di bidang ilmu agribisnis.
Adapun teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini yaitu Metode Wawancara. wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewe) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Penelitian ini juga menggunakan sarana kuesioner untuk pengumpulan data. Kuesioner dibagikan untuk mendapatkan data penilaian mengenai factor- faktor internal dan eksternal usaha agrowisata Agro Bukit Catu.
Analisis yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah analisis data dengan menggunakan model interaktif. Aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Selain itu juga digunakan analisis matriks SWOT dan QSPM dalam merumuskan strategi yang akan diterapkan.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Pertanian hortikultura di kawasan pariwisata seperti pulau Bali dimanfaatkan untuk konsumsi pribadi dan juga untuk kebutuhan pariwisata. Pada umumnya produk hortikultura yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan wisata merupakan produk yang bernilai ekonomi tinggi dan kualitasnya jauh lebih baik dibandingkan jika dijual ke pasar tradisional.
Wisatawan yang mengkonsumsi produk hortikultura tidak akan kecewa dan akan kembali membelinya. Salah satu desa wisata di Bali yang daerahnya merupakan penghasil produk –produk hortikultura untuk konsumsi pribadi maupun konsumsi wisatawan adalah Desa Wisata Candikuning yang terletak di Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Hampir seluruh warga Desa Candikuning berprofesi sebagai petani yang membudidayakan tanaman hortikultura. Baik itu yang termasuk dalam anggota kelompok tani
maupun yang tidak termasuk dalam anggota kelompok tani.
Produk hortikultura yang dihasilkan Desa Wisata Candikuning antara lain kentang, wortel, kubis, paprika, tomat, stroberi, dan lain- lain. Usaha para petani di Desa Wisata Candikuning memproduksi produk hortikultura dan menjualnya, menurut salah satu warga sekitar, Bapak. Kadek Sucita telah berlangsung cukup lama kurang lebih 20 tahun dan masih berlanjut hingga saat ini. Produk hortikultura akan tercukupi apabila hasil produksinya sesuai dengan permintaan pasar. Tercapainya produksi hortikultura tentunya didasari oleh motivasi dari para petani untuk membudidayakannya.
Misalnya setiap tahunnya peluang pasar yang menjanjikan, mampu meningkatkan motivasi para petani di Desa Wisata Candikuning untuk terus mengembangkan usahanya di bidang hortikultura. Hal ini tentu saja didasari oleh motivasi atau dorongan petani untuk melakukan tindakan, baik yang berasal dari dalam diri sendiri (motivasi intrinsik) maupun dari luar petani (motivasi ekstrinsik).
Agrowisata Puncak Bukit Catu merupakan salah satu agrowisata yang terdapat di Bali, tepatnya di Banjar Bukit Catu, Desa Candikuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Berdasarkan pada hasil wawancara dengan salah satu pengelolanya, yakni Pak Hendra. Agrowisata Puncak Bukit Catu merupakan salah satu agrowisata yang menjadi pelopor di daerah tabanan. Pada awalnya Agrowisata Puncak Bukit Catu merupakan agro buah, dengan komoditi yang dihasilkan seperti stroberi dan jambu biji. Seikar tahun 2014 agro buah dan sayur berubah menjadi Agrowisata Puncak Bukit Catu. Hal ini dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yakni adanya ketersediaan lahan yang memadai dan banyaknya peminat pada masa itu. Luas Agrowisata Puncak Bukit Catu secara mulai dari area parkir hingga lapangan camp, sekitar 7 hektare. Wilayahnya dibagi menjadi beberapa spot atau area berdasarkan peruntukannya.
Penelitian ini dibagi kedalam empat tahap. Tahap pertama melakukan wawancara untuk menggali potensi Agrowisata Agro Puncak Bukit Catu, yang dihubungkan dengan aspek- aspek keberlanjutan yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Hasil wawancara tersebut selanjutnya dianalisis sebagai data untuk menggali factor-faktor internal dan ekternal usaha tersebut, yang kemudian dilakukan tahap analisis SWOT. Tahapan selanjutnya yaitu menyusun matriks IFE, EFE, matriks SWOT dan terakhir matiks QSPM. Kegiatan wawancara dilakukan kepada dua orang pengelola Agro Puncak Bukit Catu, lima orang petani dan satu orang perangkat desa. Penggalian potensi-potensi yang dimiliki Agrowisata Bukit Catu dijabarkan kedalam tiga aspek yaitu aspek ekonomi, sosial dan lingkungan.
Agro Puncak Bukit Catu memiliki beberapa potensi dari sisi lingkungan. Tempat ini terletak di Banjar Bukit Catu, Candikuning, Kecamatan. Baturiti, Kabupaten Tabanan, Bali, yang merupakan kawasan dengan suhu dingin.
Agro Puncak Bukit Catu berada sekitar 3 km dari objek wisata Danau Beratan Bedugul. Lokasi geografis Agro Puncak Bedugul yaitu alam sekitarnya terdapat atau berdampingan dengan hutan maupun lahan pertanian serta dikelilingi daerah perbukitan. Agro Puncak Bedugul merupakan salah satu objek wisata mempunyai keunikan tersendiri dibandingkan tempat wisata lainnya yang memberikan pilihan berbeda, yaitu menjadikan lahan pertanian penduduk setempat sebagai salah satu objek wisata. Agro wisata Puncak Bukit Catu sebagai tempat tanaman raspberry, yang merupakan buah maskot yang tumbuh alami di kawasan hutan Bedugul. Selain raspberry terdapat tanaman buah lainnya seperti strawberry, jambu biji, markisa, jeruk, tamarilo, wortel, tomat, jagung, kopi luwak, dan lainnya.
Potensi yang dimiliki dari aspek sosial, tempat ini menjadi salah satu pusat aktivitas kelompok masyarakat yaitu petani. Penduduk Desa Candikuning sebagian besar berprofesi sebagai petani. Terdapat kelompok tani yang tersebar di setiap wilayah Baturiti. Mereka
menggantungkan hidupnya pada perkebunan dengan komoditi strawbery dan sayur-sayuran.
Perkembangan agrowisata di wilayah ini mendorong para petani untuk terus membudidayakan komoditas tersebut secara berkelompok.
Faktor ekonomi mempunyai pengaruh yang cukup besar dan dirasakan langsung oleh masyarakat desa. Keberadaan agrowisata Agro Puncak Bukit Catu terlihat pada sisi peningkatan pendapatan petani dan penduduk setempat dan membuka lapangan kerja baru. Pengembangan tempat wisata ini dapat meningkatkan pendapatan petani melalui pemasaran produk secara langsung tanpa mengeluarkan biaya untuk distribusi pasar. Berdasarkan pengamatan di lapangan, sebagian besar petani menjual hasil panennya ke pasar rakyat dengan biaya tambahan
untuk mendistribusikannya. Itu sebabnya adanya tempat wisata ini meningkatkan efisiensi distribusi hasil panen.
Berdasarkan hasil analisis wawancara, dilakukan indentifikasi faktor-faktor lingkungan internal dan lingkungan eksternal dalam pengembangan strategi agrowisata Agro Puncak Bukit Catu. Setelah didapatkan hasil identifikasi faktor-faktor tersebut, langkah selanjutnya yaitu menentukan nilai rating, bobot dan skor dari masing-masing aspek dari setiap faktor lingkungan internal maupun faktor lingkungan eksternal. Faktor lingkungan internal mencakup aspek kekuatan dan kelemahan yang terangkum pada tabel 1 matrik internal factor evaluation (IFE) Faktor lingkungan eksternal mencakup aspek peluang dan tantangan yang terangkum pada tabel 2 eksternal factor evaluation (EFE).
Tabel 1. Matrik Internal Factor Evaluation (IFE)
Kekuatan (Strength) Jumlah Rating Bobot % Skor
1. Panorama pemandangan alam 24 4 0.22 0.89
2. Ketersediaan lahan untuk
pengembangan masih tersedia 24 4 0.22 0.89
3. Fasilitas wisata yang memadai 22 4 0.20 0.75
Kelemahan (Weakness)
1. Sumber daya manusia yang
kurang kompetitif 9 2 0.08 0.13
2. Tidak ada diversifikasi produk
wisata 15 3 0.14 0.35
3. Promosi yang tidak intensif dan
agresif 14 2 0.13 0.30
Total 108 1.00 3.30
Berdasarkan matriks Internal Factor Evaluation, skor tertinggi aspek kekuatan yaitu Panorama pemandangan alam dan Ketersediaan lahan untuk pengembangan masih tersedia dengan nilai sebesar 0,89. Hasil tersebut diperoleh dari hasil penilalian kuisioner yang dibagikan kepada responden. Faktor kelemahan terbesar dan paling berpengaruh pada Agrowisata ini adalah Tidak ada diversifikasi produk wisata
dengan skor 0,35. Hal ini menandakan harus dilakukan evaluasi terhadap aspek tersebut. Total skor matriks IFE yaitu sebesar 3,30.
Tabel 2. Matrik Eksternal Factor Evaluation (EFE)
Peluang (Opportunity) Jumlah Rating Bobot % Skor 1. Dukungan pemerintah daerah
untuk pengembagan wisata di Candikuning
24 4 0.16 0.63
2. Dukungan kelompok petani
disekitar 24 4 0.16 0.63
3. Perkembangan Teknologi
informasi sebagai sarana promosi 22 4 0.14 0.53
4. Kebutuhan akan destinasi
pariwisata alternatif 23 4 0.15 0.58
Ancaman (Threat)
1. Persaingan dengan usaha wisata
lainnya di wilayah candikuning 22 4 0.14 0.53
2. Akses jalan yang belum memadai 14 2 0.09 0.21
3. Bencana alam akibat cuaca ekstrim 15 3 0.10 0.25
4. Adanya monyet liar yang merusak fasilitas dan menggangu
wisatawan
9 2 0.06 0.09
Total 153 0.94 3.43
Berdasarkan hasil matriks EFAS terlihat bahwa faktor peluang utama yang dapat digunakan untuk pengembangan Agrowisata ini yaitu dukungan pemerintah untuk pengembangan wisata di candikuning dan dukungan kelompok petani disekitar dengan skor yang sama sebesar 0,63. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi ancaman utama terhadap Agrowisata ini adalah munculnya Persaingan dengan usaha wisata lainnya di wilayah candikuning dengan skor 0,53.
Total skor matrik EFAS sebesar 3,43.
Tahapan selanjutnya yaitu untuk mengetahui posisi perusahaan berdasarkan faktor internal dan ekternal menggunakan matriks IE.
Matriks IE berguna untuk menampilkan posisi organisasi dalam diagram skematis atau disebut juga matriks portofolio. Matriks portofolio terdiri dari dua dimensi yaitu nilai total tertimbang IFE yang berada di sumbu X dan total nilai tertimbang EFE pada sumbu Y. Untuk mengetahui posisi organisasi dalam industri maka strategi dapat dipilih alternative strategi yang layak. Pada analisis matriks IFE dan EFE diperoleh skor bobot EFE sebesar 3,43 dan IFE sebesar 3,30.
Berikut digambarkan posisi perusahaan pada gambar 4 matrik IE.
Hasil analisis menunjukkan strategi berada pada sel 1 yaitu tumbuh dan dibangun, diperlukan penetrasi pasar, perluasan pasar keanekaragaman produk yang ditawarkan, hal ini memerlukan promosi kepada masyarakat.
Tantangan utama terdiri dari mengidentifikasi cara paling efisien untuk mempromosikan produk wisata, membangun citra positif, meningkatkan visibilitas destinasi wisata, hingga menarik wisatawan dalam jumlah besar. Hubungan masyarakat adalah suatu bentuk komunikasi strategis, yang berfokus pada perolehan pemahaman dan penerimaan khalayak, serta pada proses membangun hubungan baik antara organisasi dan masyarakat, hubungan masyarakat adalah cara unik untuk mempromosikan suatu organisasi, produk atau layanannya, dengan membangun visibilitas [15]. Interkoneksi horizontal dan vertikal berdasarkan sistem cyber- fisik dan Internet of Things berdasarkan konsep industri 4.0 merupakan konsep penciptaan nilai industri masa depan, yang bertujuan untuk menghasilkan manfaat ekonomi, ekologi dan
sosial, berkaitan dengan Triple Bottom Line keberlanjutan [16]).
Kuat 3,0 – 4,0
Sedang 2,0 – 2,99
Rendah 1,0 – 1,99 Tinggi
3,0 – 4,0 I II III
Sedang
2,0 - 2,99 IV V VI
Rendah
1,0 – 1,99 VII VII IX
Gambar 4. Matriks IE Keterangan :
1. Sel I, II, IV = Tumbuh dan Membangun 2. Sel III, V, VII = Mempertahankan dan Memelihara 3. Sel VI, VIII, IX = Sulit Bertahan
Untuk menentukan bagaimana strategi pengembangan agrowisata berkelanjutan di Agro Puncak Bukit Catu, maka dilakukan dengan menghubungkan antara baris faktor internal (S dan W) dan kolom faktor eksternal (O dan T) dari matriks IFE – EFE sebagaimana tabel 3.
Berdasarkan tabel 3 terdapat empat strategi yang dapat dilakukan dalam mengembangkan agrowisata di dewi Kano yang terdiri dari strategi S-O, strategi W- O, strategi S-T dan strategi W- T.
Matriks QSPM (Quantitative Strategy Planning Matrix) digunakan untuk menyusun strategi pilihan alternatif secara obyektif dengan menggunakan matriks faktor internal IFAS, matriks faktor eksternal EFAS dan matriks analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunities, dan Threaths). Berdasarkan kondisi agrowisata, matriks QSPM akan menentukan daya tarik relatif dari alternatif tindakan strategis yang dapat diterapkan oleh Agrowisata X yang disajikan pada tabel 4 di bawah ini.
Berdasarkan hasil tabel QSPM pada tabel 4, masing-masing alternatif strategi mempunyai Total Attractive Score (TAS) yang berbeda. Total Attractive Score (TAS) pada strategi SO yaitu 7,21. Strategi WO memiliki Total Attractive Score (TAS) 7,00. Sedangkan Total Attractive Score (TAS) pada strategi ST dan WT yaitu 6,98 dan 7,07 . Nilai daya tarik atau TAS tertinggi diperoleh pada strategi SO yaitu Pengembangan agrowisata dengan mengembangkan paket wisata kombinasi kegiatan edukasi. kegiatan pertanian, dan pengolahan produk pertanian dan perkebunan.
Pembahasan
Agrowisata adalah bagian dari wisata pedesaan yang menggunakan beragam kegiatan pertanian sebagai tujuan wisata [12].. Agro Puncak Bukit Catu merupakan agrowisata yang memiliki dampak terhadap pembangunan wisata pedesaan di desa Bukit Catu. Agrowisata ini merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki potensi dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan atau triple bottom line (TBL) yang sangat
T ot al S kor B obot E F E
Total Skor Bobot IFE
bergantung pada karakteristik lokal suatu wilayah [17]. Agrowisata berpotensi menstimulasi perekonomian pedesaan melalui dampak positifnya terhadap pendapatan pertanian [18].
Salah satu penelitian menyajikan atribut ekonomi dan sosiokultural dari agrowisata [19]. Penelitian lain mengenai agrowisata telah melaporkan manfaat non-ekonomi (yaitu lingkungan dan sosial budaya), seperti peningkatan operasi pertanian berkelanjutan, peningkatan manfaat ekonomi petani, dan stimulasi perekonomian
pedesaan melalui efek riak ([9]). Terdapat pemahaman bersama dalam literatur bahwa perspektif sosial, lingkungan dan ekonomi penting untuk pembangunan berkelanjutan.
Namun, atribut agrowisata strategis perlu diidentifikasi untuk memahami konsensus mengenai agrowisata berkelanjutan [20]. Oleh karena itu, atribut agrowisata berkelanjutan harus dipertimbangkan.
Tabel 3. Matriks SWOT Kekuatan (Strength) 1. Panorama pemandangan
alam
2. Ketersediaan lahan untuk pengembangan masih tersedia 3. Fasilitas wisata yang
memadai
Kelemahan (Weakness) 1. Sumber daya manusia
yang kurang kompetitif 2. Tidak ada diversifikasi
produk wisata 3. Promosi yang tidak
intensif dan agresif Peluang (Opportunity)
1. Dukungan pemerintah daerah untuk pengembagan wisata di Candikuning
2. Dukungan kelompok petani disekitar
3. Perkembangan Teknologi informasi sebagai sarana promosi
4. Kebutuhan akan destinasi pariwisata alternatif
Strategi SO Pengembangan agrowisata dengan mengembangkan paket wisata kombinasi kegiatan edukasi. kegiatan pertanian, dan pengolahan produk pertanian dan perkebunan.
Strategi WO Pengembagan produk wisata melalui kerjasama dengan petani dan promosi menggunakan teknologi informasi
Ancaman (Threat)
1. Persaingan dengan usaha wisata lainnya di wilayah candikuning 2. Akses jalan yang belum
memadai
3. Bencana alam akibat cuaca ekstrim
4. Adanya monyet liar yang merusak fasilitas dan menggangu wisatawan
Strategi ST Pengembangan konsep agrowisata yang unik dan berdaya saing dengan pengelolaan yang sesuai prinsip etika lingkungan
Strategi WT Pengembangan paket wisata yang menerapkan teknologi budidaya pertanian dan pengolahan produk pertanian yang meminimalisir
ketergantungan cuaca dan ilkim
Tabel 4. Matrik QSPM
Faktor Kunci Bobot SO WO ST WT
AS TAS AS TAS AS TAS AS TAS
Peluang (Opportunity)
1. Dukungan pemerintah daerah untuk pengembagan wisata di Candikuning
0.16 3.5 0.55 4 0.63 3 0.47 3.5 0.55 2. Dukungan kelompok petani
disekitar 0.16 4 0.63 3.25 0.51 3.25 0.51 3 0.47
3. Perkembangan Teknologi informasi sebagai sarana promosi
0.14 4 0.58 4 0.58 3 0.43 3.25 0.47 4. Kebutuhan akan destinasi
pariwisata alternatif 0.15 3.5 0.53 4 0.60 4 0.60 4 0.60
Ancaman (Threat)
1. Persaingan dengan usaha wisata lainnya di wilayah candikuning
0.14 3.5 0.50 3.5 0.50 3.5 0.50 3.75 0.54 2. Akses jalan yang belum
memadai 0.09 2.25 0.21 3.5 0.32 4 0.37 3.25 0.30
3. Bencana alam akibat cuaca
ekstrim 0.10 3 0.29 3 0.29 3 0.29 3 0.29
4. Adanya monyet liar yang merusak fasilitas dan menggangu wisatawan
0.06 3.5 0.21 3.25 0.19 3.5 0.21 2.75 0.16
Kekuatan (Strength)
1. Panorama pemandangan
alam 0.22 4 0.89 3.5 0.78 3.75 0.83 3.75 0.83
2. Ketersediaan lahan untuk
pengembangan masih tersedia 0.22 4 0.89 3.75 0.83 3.75 0.83 4 0.89 3. Fasilitas wisata yang
memadai 0.20 4 0.81 3.5 0.71 3.75 0.76 4 0.81
Kelemahan (Weakness)
1. Sumber daya manusia yang
kurang kompetitif 0.08 2.75 0.23 2.25 0.19 2.75 0.23 3 0.25 2. Tidak ada diversifikasi
produk wisata 0.14 3.25 0.45 3 0.42 3 0.42 3.25 0.45
3. Promosi yang tidak intensif
dan agresif 0.13 3.5 0.45 3.5 0.45 4 0.52 3.5 0.45
Total nilai daya tarik 7.21 7.00 6.98 7.07 Matriks qspm menunjukkan bahwa
posisi Agrowisata Agro Puncak Bukit Catu berada pada kuadran I. Strategi yang sesuai dengan kondisi tersebut adalah 0-S atau strategi agresif yaitu pengembangan usaha dengan memanfaatkan peluang dan meningkatkan kekuatan yang dimiliki oleh usaha Agrowisata Agro Puncak Bukit Catu. Hal ini berfokus pada strategi pengembangan produk. Artinya
Agrowisata Agro Puncak Bukit Catu perlu melakukan pengembangan produk. Produk baru meliputi produk asli, produk penyempurnaan, dan merek baru yang dikembangkan melalui upaya penelitian dan pengembangan [21].
Pengembangan produk agrowisata dengan mengembangkan paket wisata kombinasi kegiatan edukasi, kegiatan pertanian, dan pengolahan produk pertanian dan perkebunan.
Strategi pengembangan produk perlu dilakukan untuk meningkatkan daya saing di tengah maraknya tempat-tempat rekreasi yang semakin banyak. Kelengkapan fasilitas, peningkatan kualitas pelayanan, paket wisata yang dikemas lebih menarik serta penambahan produk yang mempunyai ciri khas dapat dilakukan untuk menarik konsumen bahkan pesaing. Agrowisata Agro Puncak Bukit Catu dapat menambah fasilitas yang diberikan kepada pengunjung khususnya untuk sarana edukasi dengan memanfaatkan kawasan kebun. Produk wisata edukasi kegiatan pertanian dapat menimbulkan kesan interaktif dengan alam, misalnya belajar menanam. Fasilitas lainnya seperti perpustakaan mini atau galeri yang menyediakan berbagai bacaan tentang pertanian. Selain itu dapat disediakan fasilitas permainan anak-anak, karena sebagian besar pengunjung agro adalah keluarga yang membawa anak-anaknya, maka fasilitas yang menjadi favorit keluarga khususnya anak- anak harus juga menjadi fokus perhatian.
Pengembangan produk juga dapat dilakukan dengan meningkatkan pengelolaan agrowisata, seperti kebersihan dan keindahan taman, kebersihan toilet. Strategi pengembangan pasar dapat dilakukan dengan menjalin kerjasama dengan travel agent lokal, hotel yang berlokasi di Pasuruan dan sekitarnya. Sedangkan integrasi horizontal dapat dilakukan melalui kerjasama dengan tempat wisata lain seperti Kebun Raya Bedugul. Untuk mempertahankan prestasi tersebut dilakukan dengan pemilihan dan promosi media promosi serta program promosi yang tepat sasaran. Walaupun tanpa promosi minat konsumen terhadap agrowisata masih tinggi karena daya tariknya namun wisata agro tetap memerlukan promosi yang terus menerus untuk penanaman citra di benak konsumen yang berdampak jangka panjang [22]. Pemilihan dan perluasan media dan program yang tepat sesuai dengan target yang ingin dicapai dapat meningkatkan permintaan terhadap agrowisata.
Media tersebut dapat berupa media cetak seperti majalah dan media elektronik dapat melalui radio
yang biasa didengar masyarakat dan juga dapat dimanfaatkan televisi lokal.
4. KESIMPULAN
Agrowisata merangsang perekonomian pedesaan dengan meningkatkan pendapatan petani melalui diversifikasi kegiatan dan memenuhi kebutuhan pengunjung. Daerah pedesaan dengan volume pengunjung yang besar harus mempertimbangkan perspektif keberlanjutan. Agrowisata mempunyai sifat mencakup berbagai kegiatan operasional.
Strategi yang sesuai untuk diterapkan yaitu strategi agresif, dimana pengembangan usaha dengan memanfaatkan peluang dan meningkatkan kekuatan yang dimiliki oleh usaha Agrowisata Agro Puncak Bukit Catu. Fokus strategi ini yaitu pengembangan produk wisata, yang salah satunya paket wisata edukasi kegiatan pertanian. Kegiatan pemasaran juga merupakan salah satu strategi yang dapat ditempuh..
5. REFERENSI
[1] F. Limbong and S. Soetomo, “Dampak Perkembangan Pariwisata Terhadap Lingkungan Taman Nasional Karimunjawa,” Ruang J. Perenc. Wil. dan Kota, vol. 2, no. 1, pp. 51–60, 2013.
[2] A. Surwiyanta, “Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial Budaya dan Ekonomi,” Media Wisata, vol. 2, no. 1, May 2021, doi:
10.36276/mws.v2i1.30.
[3] S. A. Anak Agung Putra, I. G. N. A.
Aviantara, and I. W. Widia, “STRATEGI
PENGEMBANGAN AGROWISATA
BERBASIS ANALISIS SWOT DI UNIT USAHA AGRO MANDIRI,” J. BETA (Biosistem dan Tek. Pertanian); Vol 3 No 2 Agustus, Aug. 2015.
[4] E. M. Ernaldi and Yusalina, “Analisis Strategi Pengembangan Agrowisata Perkebunan Teh Gunung Mas PTPN VIII Bogor, Jawa Barat,” Institut Pertanian Bogor, 2010.
[5] T. A. Kusumastuti, S. Sarim, and M.
Masyhuri, “Integrated farming model of
small ruminants in deli serdang, north sumatra - Indonesia,” J. Indones. Trop.
Anim. Agric., vol. 40, no. 2, pp. 115–120, 2015, doi: 10.14710/jitaa.40.2.115-120.
[6] C. Barbieri and P. M. Mshenga, “The Role of the Firm and Owner Characteristics on the Performance of Agritourism Farms,”
Sociol. Ruralis, vol. 48, no. 2, pp. 166–
183, Apr. 2008, doi: 10.1111/j.1467- 9523.2008.00450.x.
[7] I. Potočnik-Slavič and S. Schmitz, “Farm tourism across europe,” Eur. Countrys., vol. 5, no. 4, pp. 265–274, 2013, doi:
10.2478/euco-2013-0017.
[8] T. Streifeneder, “Agriculture first:
Assessing European policies and scientific typologies to define authentic agritourism and differentiate it from countryside tourism,” Tour. Manag.
Perspect., vol. 20, pp. 251–264, Oct.
2016, doi: 10.1016/j.tmp.2016.10.003.
[9] S. Kim, S. K. Lee, D. Lee, J. Jeong, and J.
Moon, “The effect of agritourism experience on consumers’ future food purchase patterns,” Tour. Manag., vol. 70, pp. 144–152, Feb. 2019, doi:
10.1016/j.tourman.2018.08.003.
[10] T. Adamov et al., “Sustainability of Agritourism Activity. Initiatives and Challenges in Romanian Mountain Rural Regions,” Sustainability, vol. 12, no. 6, p.
2502, Mar. 2020, doi:
10.3390/su12062502.
[11] S. Ammirato, A. M. Felicetti, C. Raso, B.
A. Pansera, and A. Violi, “Agritourism and Sustainability: What We Can Learn from a Systematic Literature Review,”
Sustainability, vol. 12, no. 22, p. 9575, Nov. 2020, doi: 10.3390/su12229575.
[12] S. Phillip, C. Hunter, and K. Blackstock,
“A typology for defining agritourism,”
Tour. Manag., vol. 31, no. 6, pp. 754–758,
Dec. 2010, doi:
10.1016/j.tourman.2009.08.001.
[13] C. Gil Arroyo, C. Barbieri, and S. Rozier Rich, “Defining agritourism: A comparative study of stakeholders’
perceptions in Missouri and North Carolina,” Tour. Manag., vol. 37, pp. 39–
47, Aug. 2013, doi:
10.1016/j.tourman.2012.12.007.
[14] L. Brown and C. Hershey, “2012 Wisconsin Agritourism Survey Report,”
2012.
[15] A. Petrovici, “Public Relations in Tourism. A Research on the Perception of the Romanian Public Upon Responsible Tourism,” Procedia - Soc. Behav. Sci., vol. 163, no. December 2014, pp. 67–72, 2014, doi: 10.1016/j.sbspro.2014.12.287.
[16] J. M. Müller, “Antecedents to digital platform usage in Industry 4.0 by established manufacturers,” Sustain., vol.
11, no. 4, 2019, doi: 10.3390/su11041121.
[17] D.-H. Shih, C.-M. Lu, C.-H. Lee, Y.-J.
Parng, K.-J. Wu, and M.-L. Tseng, “A Strategic Knowledge Management Approach to Circular Agribusiness,”
Sustainability, vol. 10, no. 7, p. 2389, Jul.
2018, doi: 10.3390/su10072389.
[18] H. Choo and J. F. Petrick, “Social interactions and intentions to revisit for agritourism service encounters,” Tour.
Manag., vol. 40, pp. 372–381, Feb. 2014, doi: 10.1016/j.tourman.2013.07.011.
[19] L. Yang, “Impacts and Challenges in Agritourism Development in Yunnan, China,” Tour. Plan. Dev., vol. 9, no. 4, pp.
369–381, Nov. 2012, doi:
10.1080/21568316.2012.726257.
[20] K.-J. Wu, Y. Zhu, Q. Chen, and M.-L.
Tseng, “Building sustainable tourism hierarchical framework: Coordinated triple bottom line approach in linguistic preferences,” J. Clean. Prod., vol. 229, pp. 157–168, Aug. 2019, doi:
10.1016/j.jclepro.2019.04.212.
[21] F. Tjiptono, Pemasaran Jasa: Prinsip, Penerapan dan Penelitian. 2014.
[22] H. M. Mosammam, M. Sarrafi, J. T. Nia, and S. Heidari, “Typology of the ecotourism development approach and an evaluation from the sustainability view:
The case of Mazandaran Province, Iran,”
Tour. Manag. Perspect., vol. 18, pp. 168–
178, Apr. 2016, doi:
10.1016/j.tmp.2016.03.004.