• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Apotek

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 21-33)

BAB 2 TINJAUAN UMUM APOTEK

2.10 Pengelolaan Apotek

Seluruh upaya dan kegiatan Apoteker untuk melaksanakan tugas dan fungsi pelayanan apotek disebut pengelolaan apotek. Pengelolaan apotek dapat dibagi menjadi 2, yaitu pengelolaan teknis kefarmasian dan pengelolaan non teknis kefarmasian.

2.10.1 Pengelolaan Teknis Kefarmasian

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 922/MenKes/Per/X/1993, pengelolaan teknis kefarmasian meliputi:

a. Peracikan, pengolahan, pengubahan bentuk, penyimpanan, dan penyerahan obat atau bahan obat.

b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran, penyerahan perbekalan farmasi lainnya.

c. Pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi yang meliputi pelayanan informasi mengenai perbekalan farmasi lainnya yang diberikan baik kepada dokter, tenaga kesehatan lainnya, maupun kepada masyarakat; pengamatan dan pelaporan mengenai khasiat, keamanan, bahaya dan atau mutu obat serta perbekalan farmasi lainnya; serta pelayanan informasi tersebut di atas wajib didasarkan pada kepentingan masyarakat.

2.10.1.1 Pelayanan Apotek

Peraturan yang mengatur tentang pelayanan apotek adalah Peraturan Menteri Kesehatan No. 922/MENKES/PER/X/1993, yaitu sebagai berikut.

a. Apoteker berkewajiban menyediakan, menyimpan dan menyerahkan perbekalan farmasi yang bermutu baik dan yang keabsahannya terjamin. b. Apoteker wajib melayani resep dokter, dokter gigi dan dokter hewan.

Pengelola Apotek, sesuai dengan tanggung jawab dan keahlian profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat.

c. Apoteker tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis dalam resep dengan obat paten. Namun resep dengan obat bermerek dagang atau obat paten boleh diganti dengan obat generik.

d. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang tertulis dalam resep, apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih tepat.

e. Apoteker wajib memberikan informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien secara tepat, aman, dan rasional atas permintaan masyarakat.

f. Apabila apoteker menganggap bahwa dalam resep terdapat kekeliruan atau penulisan resep yang tidak tepat, apoteker harus memberitahukan kepada dokter penulis resep. Apabila atas pertimbangan tertentu dokter penulis resep tetap pada pendiriannya, dokter wajib menyatakan secara tertulis atau membubuhkan tanda tangan yang lazim di atas resep.

g. Salinan resep harus ditandatangani oleh apoteker.

h. Resep harus dirahasiakan dan disimpan di apotek dengan baik dalam jangka waktu tiga tahun.

i. Resep dan salinan resep hanya boleh diperlihatkan kepada dokter penulis resep atau yang merawat penderita, penderita yang bersangkutan, petugas kesehatan, atau petugas lain yang berwenang menurut perundang-undangan yang berlaku.

Agar pelayanan kefarmasian yang diberikan apotek dapat berjalan konsisten, apotek harus memenuhi standar pelayanan kefarmasian yang telah ditetapkan pemerintah melalui Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, yaitu:

1. Pelayanan Resep a. Skrining resep

Apoteker melakukan skrining resep yang meliputi persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis. Skrining terhadap persyaratan administratif meliputi nama, SIP dan alamat dokter; tanggal penulisan resep; tanda

15

Universitas Indonesia tangan/paraf dokter penulis resep; nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien; nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang minta; cara pemakaian yang jelas; informasi lainnya. Skrining kesesuaian farmasetik meliputi bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Skrining pertimbangan klinis meliputi adanya alergi, efek samping, interaksi, kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

b. Penyiapan obat

Pengambilan dan peracikan obat merupakan langkah awal dalam penyiapan obat. Peracikan merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur, mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Selain itu, terkadang dilakukan penulisan kopi resep untuk resep yang belum ditebus seluruhnya dan resep yang diulang, dimana kopi resep tersebut ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek. Dalam melaksanakan peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan dosis, jenis, dan jumlah obat serta penulisan etiket yang benar. Etiket harus jelas dan dapat dibaca. Obat hendaknya dikemas dengan rapi dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya. Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien dan tenaga kesehatan.

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat pada pasien sekurang-kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan minuman yang harus dihindari selama terapi. Selain itu, Apoteker harus memberikan konseling mengenai pengobatan yang diberikan sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien dan yang bersangkutan terhindar dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan salah dari sediaan farmasi atau perbekalan kesehatan lainnya. Untuk penderita penyakit tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan

penyakit kronis lainnya, Apoteker harus memberikan konseling secara berkelanjutan. Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker melaksanakan monitoring penggunaan obat, terutama untuk pasien dengan penyakit kronis.

2. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu memberikan informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/ brosur, poster, penyuluhan dan lain-lainnya. Apoteker harus memberikan edukasi kepada pasien yang ingin melakukan upaya pengobatan diri sendiri (swamedikasi) untuk penyakit yang ringan dengan memilihkan obat yang sesuai. Promosi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan inspirasi kepada masyarakat sehingga termotivasi untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara mandiri. Edukasi adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat dengan memberikan pengetahuan tentang obat dan pengobatan serta mengambil keputusan bersama pasien setelah mendapatkan informasi, untuk tercapainya hasil pengobatan yang optimal.

3. Pelayanan Residensial (Home Care)

Pelayanan kefarmasian yang diberikan kepada pasien yang dilakukan di rumah khususnya untuk kelompok lanjut usia dan pasien dengan penyakit kronis. Untuk kegiatan ini, apoteker harus membuat catatan pengobatan pasien (medication record). Pelayanan residensial dapat dilakukan dengan dua cara yaitu kunjungan langsung ke rumah dan melalui telepon.

2.10.1.2 Swamedikasi

Suatu kegiatan pengobatan diri sendiri yang dilakukan oleh seorang individu untuk mengatasi sakit atau keluhan yang dirasakan tanpa bantuan ahli medis disebut swamedikasi atau pengobatan sendiri (self-medication). Swamedikasi bertujuan untuk mencegah berkembangnya suatu penyakit menjadi makin parah sekaligus melakukan penghematan karena tidak perlu mengeluarkan dana untuk

17

Universitas Indonesia biaya jasa dokter. Apoteker mempunyai peran penting dalam memberikan pelayanan swamedikasi, yaitu:

a. Menyediakan dan menentukan obat yang sudah terbukti keamanan, khasiat, dan kualitasnya sesuai dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.

b. Memberikan informasi yang dibutuhkan atau melakukan konseling kepada pasien (dan keluarganya) agar obat digunakan secara aman, tepat dan rasional.

Dalam memberikan pelayanan swamedkasi, Apoteker harus memberikan informasi kepada pasien, bahwa penggunaan obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat wajib apotek dapat menimbulkan bahaya dan efek samping yang tidak dikehendaki jika dipergunakan secara tidak semestinya. Selain itu, Apoteker juga diharapkan dapat memberikan petunjuk kepada pasien bagaimana memonitor penyakitnya, serta kapan harus menghentikan pengobatannya atau kapan harus berkonsultasi kepada dokter.

2.10.1.3 Sediaan Farmasi di Apotek

Peraturan Menteri Kesehatan No 51 tahun 2009 menjelaskan bahwa sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetik. Menurut Undang-Undang No. 36 Tahun 2009, obat adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi untuk manusia. Obat-obat yang beredar di Indonesia digolongkan oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan dalam 4 (empat) kategori, yaitu obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras (termasuk obat golongan psikotropika), dan obat golongan narkotika. Penggolongan ini dimaksudkan untuk memudahkan pengawasan terhadap peredaran dan pemakaian obat-obat tersebut. Setiap golongan obat diberi tanda pada kemasan yang terlihat.

A. Obat Bebas

Obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter adalah obat bebas. Pada kemasan ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan warna hijau.

Gambar 2.1. Penandaan obat bebas

B. Obat Bebas Terbatas

Obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter dan disertai dengan tanda peringatan adalah obat bebas terbatas. Obat bebas terbatas ditandai dengan lingkaran hitam, mengelilingi bulatan warna biru yang ditulis pada etiket dan bungkus luar.

Gambar 2.2. Penandaan obat bebas terbatas

Wadah atau kemasan obat bebas terbatas perlu dicantumkan tanda peringatan (P No.1- P No.6) dan penyerahannya harus dalam bungkus aslinya. Tanda peringatan tersebut berwarna hitam dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm (atau disesuaikan dengan kemasannya) dan diberi tulisan peringatan penggunaannya dengan huruf berwarna putih.

P. No. 1 Awas! Obat Keras Baca aturan pakai

P. No. 2 Awas! Obat Keras Hanya untuk kumur

P. No. 3 Awas! Obat Keras Hanya untuk bagian

luar

P. No. 4 Awas! Obat Keras Hanya untuk dibakar

P. No. 5 Awas! Obat Keras Tidak boleh ditelan

P. No. 6 Awas! Obat Keras

Obat Wasir Jangan ditelan Gambar 2.3. Tanda peringatan pada obat bebas terbatas (P1-P6)

19

Universitas Indonesia C. Obat Keras

Obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter adalah obat keras. Tanda khusus lingkaran merah dengan garis tepi hitam dan huruf K didalamnya obat-obat yang masuk ke dalam golongan ini antara lain obat jantung, antihipertensi, antihipotensi, obat diabetes, hormon, antibiotika, beberapa obat ulkus lambung, semua obat injeksi dan obat golongan psikotropika.

Gambar 2.4. Penandaan obat keras

Berdasarkan Undang Undang 5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan Narkotika yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada sasaran saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. Pengelolaan psikotropika di Apotek meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan, dan pemusnahan.

1. Pemesanan Psikotropika

Apotek dapat melakukan pemesanan psikotropika dengan menggunakan Surat Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap tiga dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika. Satu surat pesanan psikotropika dapat terdiri dari berbagai macam nama obat psikotropika. Pemesanan psikotropika dapat dilakukan melalui pedagang besar farmasi (PBF).

2. Penyimpanan Psikotropika

Penyimpanan obat ini belum diatur oleh perundang-undangan, namun untuk menghindari penyalahgunaan psikotropika maka psikotropika disimpan terpisah dengan obat-obat lain dalam suatu rak atau lemari khusus. Pemasukan dan pengeluaran psikotropika dicatat dalam kartu stok psikotropika.

3. Penyerahan Psikotropika

Apotek dapat menyerahkan psikotropik kepada apotek lain, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan pasien berdasarkan resep dokter. Penyerahan psikotropika oleh apotek hanya dapat dilakukan kepada apotek lainnya, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan, dokter dan kepada pengguna/ pasien.

Penyerahan psikotropika oleh rumah sakit, balai pengobatan, puskesmas hanya dapat dilakukan kepada pengguna/ pasien. Penyerahan psikotropika oleh apotek, rumah sakit, puskesmas, dan balai pengobatan dilaksanakan berdasarkan resep dokter. Penyerahan psikotropika oleh dokter hanya boleh dilakukan dalam keadaan menjalankan praktek terapi dan diberikan melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat dan menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek. Psikotropika yang diserahkan dokter hanya dapat diperoleh dari apotek.

4. Pelaporan Psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997, apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan wajib melaporkan kepada Menteri setiap bulan. Pelaporan psikotropika ditandatangani oleh APA ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setempat dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat, Balai/Balai Besar POM setempat serta sebagai arsip apotek.

5. Pemusnahan Psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997, setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuatkan berita acara. Pemusnahan psikotropika dilaksanakan dalam hal :

a. Berhubungan dengan tindak pidana b. Kadaluwarsa;

c. Tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan.

Pemusnahan psikotropika sebagaimana dimaksud :

1) Pada butir a dilakukan oleh suatu tim yang terdiri dari pejabat yang mewakili departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan sesuai dengan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan ditambah pejabat dari instansi terkait dengan tempat terungkapnya tindak pidana tersebut, dalam waktu tujuh hari setelah mendapat kekuatan hukum tetap. Untuk psikotopika khusus golongan I, wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan penyitaan; dan

21

Universitas Indonesia 2) Pada butir b dan c dilakukan oleh apoteker yang bertanggung jawab atas peredaran psikotropika dengan disaksikan oleh pejabat departemen yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, dalam waktu 7 (tujuh) hari.

D. Narkotika

Zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan disebut narkotika (Undang-undang RI No. 35, 2009)..

Gambar 2.5. Penandaan obat narkotika

Menurut Undang-undang RI No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, disebutkan bahwa narkotika dibedakan ke dalam tiga golongan.

a. Narkotika golongan I

Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kokain, opium, heroin, desomorfina.

b. Narkotika golongan II

Narkotika yang berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: alfasetilmetadol, betametadol, diampromida.

c. Narkotika golongan III

Narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein, asetildihidrokodeina, polkadina, propiram.

Berdasarkan Undang-undang No.22 tahun 1997, perlu adanya pengaturan narkotika yang bertujuan menjamin ketersediaan narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan; mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika; dan memberantas peredaran gelap narkotika. Pengelolaan narkotika meliputi pemesanan, penyimpanan, pelayanan, dan pemusnahan.

1. Pemesanan Narkotika

Apoteker hanya dapat memesan narkotika melalui Pedagang Besar Farmasi (PBF) tertentu yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan, yaitu PT. Kimia Farma, dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan peredaran narkotika. Pemesanan narkotika dilakukan dengan menggunakan surat pesanan (SP) khusus yang ditandatangani oleh APA serta dilengkapi dengan nama jelas, stempel apotek, nomor SIPA, dan SIA.

2. Penyimpanan Narkotika

Apotek harus mempunyai tempat khusus yang dikunci dengan baik untuk menyimpan narkotika. Tempat penyimpanan narkotika di apotek harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Departemen Kesehatan RI, 1978):

a. Lemari penyimpanan terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat ditempatkan di tempat yang aman dan tidak diketahui oleh umum

b. Mempunyai kunci ganda yang berlainan

c. Lemari penyimpanan terbagi menjadi 2, masing-masing dengan kunci yang berlainan; bagian pertama dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidin, dan garam-garamnya serta persediaan narkotika. Sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari. d. Apabila tempat khusus tersebut berupa lemari berukuran kurang dari

40x80x100 cm, maka lemari tersebut harus dibaut pada tembok atau lantai. e. Lemari khusus tidak boleh digunakan untuk menyimpan barang lain selain

narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan.

f. Anak kunci lemari khusus harus dipegang oleh penanggung jawab atau pegawai lain yang dikuasakan.

23

Universitas Indonesia 3. Pelayanan Resep Narkotika

Dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang narkotika disebutkan bahwa narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pengobatan dan atau ilmu pengetahuan. Narkotika dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan hanya berdasarkan resep dokter.

Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika. Apotek boleh membuat salinan resep apabila dalam resep terdapat narkotika yang belum atau sebagian dilayani. Salinan resep hanya boleh dilayani di Apotek yang menyimpan resep asli. Apotek tidak boleh melayani salinan resep narkotika dengan tulisan iter. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambahkan tulisan “iter” pada resep yang mengandung narkotika.

4. Pelaporan Narkotika

Undang-undang No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat 2, menyatakan bahwa industri farmasi, Pedagang Besar Farmasi (PBF), sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan atau pengeluaran narkotika yang ada dalam penguasaannya.

Apotek berkewajiban menyusun dan mengirimkan laporan bulanan yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK, SIA, nama jelas dan stempel apotek. Laporan tersebut terdiri dari laporan penggunaan bahan baku narkotika, laporan penggunaan sediaan jadi narkotika, dan laporan khusus pengunaan morfin, petidin dan derivatnya. Laporan penggunaan narkotika ini harus dilaporkan setiap bulan paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya yang ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten setempat dengan tembusan Balai Besar POM/ Balai POM setempat, Dinas Kesehatan Provinsi setempat dan berkas untuk disimpan sebagai arsip.

5. Pemusnahan Narkotika

APA dapat melakukan pemusnahan narkotika yang rusak, kadaluarsa, atau tidak memenuhi syarat lagi untuk digunakan dalam pelayanan kesehatan. APA yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan narkotika yang memuat hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; nama APA; nama

seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari perusahaan atau badan tersebut; nama dan jumlah Narkotika yang dimusnahkan; cara pemusnahan; serta tandatangan penanggung jawab apotek

Berita acara pemusnahan narkotika tersebut dikirimkan kepada Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten setempat dengan tembusan Balai Besar POM/ Balai POM setempat, Dinas Kesehatan Provinsi setempat dan berkas untuk disimpan sebagai arsip.

2.10.2 Pengelolaan Non Teknis Kefarmasian

Semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, pelayanan komoditi selain perbekalan farmasi dan bidang lainnya yang berhubungan dengan fungsi apotek merupakan pengelolaan non teknis kefarmasian. APA dituntut untuk memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai yang tidak hanya dalam bidang farmasi tetapi juga dalam bidang lain, seperti manajemen, agar dapat mengelola apotek dengan baik dan benar. Prinsip dasar manajemen yang perlu diketahui oleh seorang APA dalam mengelola apoteknya adalah sebagai berikut.

a. Perencanaan, yaitu pemilihan dan penghubungan fakta serta penggunaan asumsi untuk masa yang akan datang dengan jalan menggambarkan dan merumuskan kegiatan yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. b. Pengorganisasian, yaitu menyusun atau mengatur bagian-bagian yang

berhubungan satu dengan lainnya, dimana tiap bagian mempunyai suatu tugas khusus dan berhubungan secara keseluruhan.

c. Kepemimpinan, yaitu kegiatan untuk mempengaruhi dan memotivasi pegawainya agar berusaha untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. d. Pengawasan, yaitu tindakan untuk mengetahui hasil pelaksanaan untuk

kemudian dilakukan perbaikan dalam pelaksanaan kerja agar segala kegiatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan sehingga tujuan yang diinginkan dapat tercapai.

25 Universitas Indonesia

Dalam dokumen UNIVERSITAS INDONESIA (Halaman 21-33)

Dokumen terkait