• Tidak ada hasil yang ditemukan

engelolaan tanaman sagu berkelanjutan sebaiknya mengacu pada empat aspek yaitu aspkek ekologi, agronomi, pascapanen dan pengolahan, dan Sosekbud agar dapat berkontribusi secara maksimal terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Uraian singkat masing-masing aspek adalah sebagai berikut:

1. Aspek Ekologi Tanaman Sagu

Tanaman sagu banyak ditemukan tumbuh alami dan semi budidaya di Maluku dan Papua. Pertumbuhan tanaman sagu terbaik pada ketinggian 0 - 400 meter dpl, sedang pada ketinggian lebih 400 meter dpl pertumbuhan tanaman sagu terhambat dan produksi rendah (Bintoro, 1999).

Tanaman sagu memiliki kemampuan tumbuh dengan sedikit atau tanpa pemeliharaan dan memiliki kemampuan tumbuh di lahan rawa dengan pH 3.7 - 6.5 (Harsanto, 1986). Tanaman sagu tumbuh

baik pada suhu rata-rata di atas 25oC dengan kelembaban rata-rata di

atas 70% dan radiasi matahari 800J/cm2/hari (Flach, 1997). Hutan sagu di Waropen memiliki curah hujan 2000 mm/tahun dan hutan

sagu di Sorong memiliki curah hujan 4365 mm/tahun (Istalaksana et

al.,2005).

Tanaman sagu dapat tumbuh pada tanah rawa, gambut dan mineral. Habitat sagu di Jayapura yaitu lahan kering, lahan basah dan

lahan sangat basah (Mofu et al., 2005). Secara alami tanaman sagu

dijumpai tumbuh di daerah rawa. Kertopermono (1996)

memperkirakan dari 37 - 40 juta hektar lahan basa di Indonesia, kira-kira 700.000-1.500.000 ha ditutupi oleh tanaman sagu. Pertumbuhan dan produksi tanaman sagu pada tanah mineral dan tanah rawa atau gambut menunjukkan bahwa tanaman sagu pada tanah mineral tumbuh lebih cepat dan menghasilkan pati lebih banyak dibanding

tanaman sagu yang tumbuh pada tanah rawa atau gambut (Benito et

al. 2002). Produksi pati tanaman sagu di Maluku mencapai 345

kg/pohon pada tanah tropaquept dan hanya mencapai 153 kg/pohon

pada tanah sulfik flufaquent (Bintoro 1999). Istalaksana et al. (2005)

17 melaporkan hutan sagu di Waropen, Serui tumbuh pada tanah

Endoaquepets (tanah mineral) dan Haplofibrists (tanah gambut).

2. Aspek Agronomi Tanaman Sagu

Budidaya tanaman pada umumnya mencakup pemilihan bahan tanaman, persemaian, penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan, dan pemberantasan hama dan penyakit. Pemilihan bahan tanaman untuk budidaya sagu umumnya menggunakan

anakan (sucker) sebagai bahan tanaman (Schuiling, 1995) dengan

pertimbangan memiliki sifat sama dengan induknya. Semaian dari biji diperlukan waktu yang relatif lama. Perkecambahan biji

diperlukan waktu antara 35 sampai 80 hari (Ehara et al., 2001).

Selain kedua hal tersebut, penyediaan bibit melalui kultur jaringan merupakan solusi terbaik untuk menghasilkan bibit dalam jumlah yang banyak, seragam, dan bebas dari hama dan penyakit. Aspek agronomi tanaman sagu disajikan pada Tabel 2.

Analisis genom dikembangkan untuk berbagai tujuan diantaranya pemuliaan, penentuan karakter penciri spesifik, dan penyidikan. Plasma nutfah merupakan sumber genetik yang perlu mendapat perhatian, tidak hanya mengumpulkan dan memelihara, tetapi genom masing-masing koleksi perlu dikarakterisasi melalui analisis genetik. Mengevaluasi sifat-sifat yang dikehendaki, memanfaatkannya untuk pemuliaan tanaman dan menentukan penciri genetik spesifik sebagai penanda kekayaan hayati. Karakter genetik menjadi sangat penting karena merupakan bukti otentik aset kepemilikan hayati. Keragaman genetik secara alami dapat terjadi karena persilangan seksual dan terjadinya mutasi. Potensi penggunaan penanda sebagai alat untuk melakukan karakterisasi genetik dalam program pemuliaan telah dikenal sejak puluhan tahun yang lalu. Penanda dapat dikategorikan sebagai penanda morfologi, sitologi, dan yang terbaru dan mutakhir adalah penanda molekuler (Moritz dan Hillis, 1996).

18 Tabel 2. Aspek agronomi tanaman sagu

sama diatas (sda), hama yang dijumpai menyerang tanaman sagu

yaitu Botronyopa spp, Coptotermes spp, Rhynchophoprus spp, babi

hutan dan monyet (*).

Kegiatan Jenis Ukuran Kondisi Pustaka

Persiapan

bibit Anakan (Sucker)

Biji

Berat 2 kg

Masak fisiologis sehat Tidak cacat Jong 1995

Pembibitan Lahan basah

Polybag Sesuai dengan banyaknya bibit 40 x 40 cm Sirkulasi air baik Sesuai dengan pembibitan kelapa sawit Flach 1997 Penyiapan

lahan Pembersihan Jarak tanam

(meter) Lubang tanam

Luas lahan (6 x 6) – (10 x 10)

40 x 40 x 30 Segi tiga atau segi empat Bintoro 1999 Pemeliharaan Penyiangan Kasterasi anakan Pemupukan Pemberantasan hama(*) Penyakit Lingkar rumpun Sisa 4 anakan pada posisi yang berlainan Sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Tergantung situasi dan kondisi Mikro organisme Fisiologis Jika perlu Sehat dan subur Lahan gambut pupuk K dan P perlu Serangan melebihi amban batas Belum ada laporan Bercak kuning, ukuran bongkol mengecil, dan jumlah daun sedikit Bintoro 1999 Flach 1997 sda sda sda

Panen Waktu sesuai

dengan tipenya saat fase pembentukan batang maksimum sampai memasuki fase pembungaan Daun (ental) menjadi tegak dan mengecil sampai bunga berkembang penuh (bercabang) Jong 1995

19 Saat ini kemajuan dalam bidang biologi molekuler yang berkembang dengan pesat dan merupakan cabang ilmu biologi yang mempelajari organisme pada tingkat DNA. Teknik ini sangat membantu pemuliaan tanaman dalam melakukan studi genetik dengan ketepatan yang akurat. Untuk mendapatkan informasi genetik berdasarkan penanda DNA yang dapat digunakan dalam menganalisis keragaman sekuen DNA dalam genom diantaranya penanda genom inti, genom kloroplas dan genom mitokondria.

Contoh penanda molekuler adalah simple sequences repeat (SSR) dan

Random Amplified Polymorphic DNA (RAPD) (Powel et al., 1996) dan penanda ekspresi gen spesifik.

3. Aspek Pascapanen dan Pengolahan

Penanganan pascapanen yang dilakukan oleh masyarakat belum tuntas menyebabkan pati yang telah diekstrak tidak dapat bertahan lama dan umumnya menimbulkan bau yang tidak sedap. Pati dengan kadar air yang tinggi menyulitkan dalam pengangkutan karena sebagian besar yang terangkut adalah air dan hanya sebagian kecil pati sagu. Misalnya kita mengangkut pati sagu dengan berat 2 ton yang berkadar air 45-50% (kadar air pati dalam tumang), maka sesungguhnya yang terangkut adalah hanya satu ton pati dan yang satu tonnya lainnya adalah air. Pati yang telah diekstrak sebaiknya

dikeringkan sampai mencapai kadar air 8 – 10% agar tidak mudah

terserang oleh mikro organisme dan pati dapat bertahan lama tanpa menyebabkan penurunan kualitas. Kelebihan pati sagu yang telah dikeringkan yaitu di samping dapat bertahan lama, juga memudahkan dalam pengangkutan dan pengolahan tepung sagu menjadi berbagai macam produk kuliner.

Pati sagu dapat diolah menjadi berbagai macam produk seperti: (1) Bahan pangan yaitu sebagai makanan pokok dan sampingan; (2) Bahan baku industri pangan untuk dibuat kue, soun, mie, nuget, empek-empek, baso, roti, pizza, makanan bayi, sagu dan mutiara; (3) Industri Biofuel yaitu dapat dibuat etanol, glutamat, laktat, dan dextrosa; dan (4) Industri minuman yaitu dapat dibuat sirop fruktosa tinggi dan gula cair.

20 Ampas sagu dan bagian buangan lainnya dari pohon sagu dapat diolah menjadi berbagai macam produk, di antaranya adalah: 1) media tumbuh jamur sagu, jamur merang, dan jamur tiram. Sisa ampas hasil perombakan jamur merupakan media tanam yang baik untuk berbagai macam tanaman hias dan merupakan pupuk organik

yang dapat menyuburkan tanaman; 2) plastik biodegradable dengan

berbagai macam tujuan (misal kantong plastik, kemasan makanan, dan kemasan minuman); 3) Industri serat untuk pembuatan kertas dan tripleks; 4) industri pakan yaitu dapat dibuat pakan ikan, ayam, sapi, dan ternak lainnya; dan 5) kulit luar batang dapat dibuat lantai rumah.

Begitu banyak sumber penghasilan yang dapat dibangkitkan dari tanaman sagu dan dapat menggerakkan roda perekonomian masyarakat. Kenyataan menunjukkan bahwa sumbangan komoditas terhadap peningkatan perekonomian masayarakat saat ini masih relatif kecil. Penyebabnya adalah masih banyak tegakan sagu yang tumbuh alami dibiarkan mati tanpa dimanfaatkan, penguasaan teknologi di tingkat masayarakat masih relatif rendah, peruntukannya masih sebatas pemenuhan kebutuhan karbohidrat masyarakat, dan belum menjadikan tanaman sagu sebagai komoditas yang dapat mendatangkan keuntungan besar.

4. Aspek Sosial, Budaya, dan Ekonomi

Aspek sosial dan budaya tanaman sagu pada dasarnya tercermin dalam filosofi pohon sagu. Numberi (2011)

mengungkap-kan filosofi pohon sagu dalam bukunya yang berjudul “Sagu Potensi

yang Masih Terabaikan” yaitu di luar berduri dan di dalam berseri artinya masyarakat Papua dan Maluku karakternya keras seperti kulit sagu, tetapi hatinya baik dan putih seperti pati sagu. Kepedulian saling membantu, tolong menolong, dan gotong royong telah menjadi jati diri dan karakter masyarakat Papua dan Maluku. Mereka peduli terhadap masyarakat yang membutuhkan pertolongan, seperti sagu: sikap dasar masyarakat Papua yang juga melindungi, mengamankan, dan memberikan penghidupan kepada siapa pun dan dimana pun tanpa memandang latar belakang dan perbedaan. Begitu kentalnya hubungan komoditas sagu dengan sosial dan

21 budaya di Papua, sehingga pada upacara-upacara adat suku tertentu mengharuskan ada sagu.

Aspek ekonomi pohon sagu telah diuraikan pada Sub Bab potensi Agrobisnis sagu. Pengembangan berbagai macam inovasi membuat nilai ekonomi komoditas sagu meningkat. Pengembangan inovasi kuliner dapat mengangkat nilai satu pohon sagu mencapai 50 juta rupiah. Sungguh merupakan nilai yang pantastis dan tidak salah Prof. Bintoro menyebutnya sebagai emas hijau. Agar nilai ekonomi sagu yang tinggi itu dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, maka diperlukan sinergisme dan keseriusan kita semua khususnya Akademisi, pelaku bisnis, pemerintah (Government) dan lembaga sosial masayarakat untuk mengimplementasikan dalam suatu program dan kebijakan agar potensi sagu yang dimiliki berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan masayarakat.

22

Dokumen terkait