BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Konflik
2. Pengelolaan konflik dalam pernikahan
Pengelolaan konflik dalam keluarga adalah suatu proses
pengorganisasian yang digunakan untuk mengatasi perbedaan diantara
anggota keluarga, misal antara suami dengan istri, mertua dengan menantu,
orangtua dengan anak, atau perbedaan diantara anggota keluarga yang
lainnya. Pengelolaan konflik dapat juga dipengaruhi oleh gaya pengelolaan
konflik dan juga oleh kebudayaan. Individu yang berkonflik dapat mengelola
avoiding, akomodasi atau obliging, integrating atau kolaborasi, dominating
atau kompetisi dan kompromi Pada budaya kolektivis, gaya pengelolaan
konflik yang biasa dipakai adalah gaya obliging atau akomodasi, avoiding,
integrating atau kolaborasi dan kompromi. Sedangkan pada budaya
individualis, biasa menggunakan gaya dominating atau kompetisi untuk
menyelesaikan konflik.
a. Faktor-faktor yang memicu terjadinya konflik dalam keluarga
Manurung & Manurung (1995) menyebutkan, terjadinya konflik
dalam rumah tangga disebabkan oleh tiga faktor yaitu dari suami istri itu
sendiri, pengaruh dari salah satu orangtua atau dari kedua belah pihak,
serta pengaruh dari salah seorang anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah:
1) Kurangnya saling pengertian diantara suami dan istri
2) Adanya kecurigaan dari pemakaian uang maupun dari hubungan intim
dengan orang lain.
3) Ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
keluarga atau sebaliknya.
4) Ketidakpuasan suami terhadap istrinya atau sebaliknya.
5) Adanya ketidaksepakatan pernikahan dari pihak orangtua atau dari
suami istri itu sendiri sehingga sering terjadi konflik pendapat antara
6) Sering adanya campur tangan orangtua dalam urusan rumah tangga
anaknya. Orangtua yang menganggap anaknya belum dewasa.
7) Adanya status sosial yang lebih tinggi dari orangtua dibandingkan
dengan besan atau menantunya sehingga menganggap rendah besan
dan menantunya.
8) Pengaruh negatif dari anggota keluarga lain yang dapat mempengaruhi
keluarga inti.
b. Macam-macam gaya pengelolaan konflik
Beberapa ahli berpendapat bahwa seseorang mengelola konflik
dengan bermacam-macam gaya. Thomas & Killman (dalam Beebe dkk,
1996) menyebutkan bahwa ada dua dimensi utama dalam pengelolaan
konflik yaitu berpusat pada orang lain dan berpusat pada diri sendiri. Dari
dua dimensi konflik tersebut, didapat lima gaya pengelolaan konflik. Lima
gaya manajemen konflik menurut Thomas & Killman adalah:
1) Menghindar (avoidance)
Gaya pengelolaan konflik menghindar adalah mengelola
konflik dengan cara mundur atau mencoba mengesampingkan konflik
yang sedang dihadapi. Strategi seperti ini menunjukkan bahwa
individu memiliki fokus yang rendah pada diri sendiri maupun orang
lain. Orang dengan gaya pengelolaan konflik seperti ini berharap
Menurut Thomas & Killman, bentuk teknik menghindar bisa berupa
menjauhkan diri dari masalah, menunda masalah hingga menunggu
waktu yang tepat serta menarik diri dari konflik yang merugikan. Gaya
pengelolaan konflik ini biasa disebut pendekatan kalah – kalah atau “lose – lose approach”. Penggunaan gaya menghindar akan
mendatangkan keuntungan jika permasalahannya sepele atau ada
permasalahan yang lebih penting untuk diselesaikan. Selain itu, dapat
mensuplai waktu untuk berpikir tentang masalah yang ada agar dapat
memberikan respon lain terhadap konflik yang sedang dihadapi.
Menghindar juga mempunyai kerugian karena penghindaran dapat
memberikan kesan pada orang lain bahwa kita tidak peduli pada
perasaan mereka dan hanya fokus pada diri sendiri. Penghindaran
hanya akan menyimpan konflik dan membangun suatu ledakan pada
nantinya.
Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik
menghindar (Winardi, 2002):
a) Bila ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan.
b) Bila potensi mengganggu lebih besar daripada potensi yang
menguntungkan.
c) Untuk membiarkan orang menjadi tenang terlebih dahulu dan
2) Akomodasi (accommodation)
Gaya pengelolaan akomodasi ini adalah teknik mengelola
konflik yang berfokus pada pihak lain dibandingkan dengan diri
sendiri. Individu yang menggunakan teknik ini membiarkan keinginan
pihak lain menonjol dan mendapatkan yang diinginkan oleh pihak
tersebut. Orang yang melakukan gaya akomodasi mengabaikan
kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan
lawan konfliknya. Akomodasi biasa dipakai karena individu merasa
takut ditolak jika mereka mengganggu pihak lain yang sama-sama
berkonflik. Gaya pengelolaan konflik ini biasa disebut dengan
pendekatan kalah - menang atau “win–lose approach”. Akomodasi mempunyai keuntungan yaitu menunjukkan kepada orang lain bahwa
individu benar-benar ingin membantu pihak lain. Selain itu jika
individu merasa salah, akomodasi tepat untuk digunakan. Kerugian
jika terus menerus menggunakan akomodasi adalah pihak lain akan
memanfaatkan individu lainnya karena mengurangi kemampuannya
untuk menyelesaikan konflik serta adanya ekspektasi dari pihak lain
bahwa individu tersebut akan memberikan keinginannya lagi.
Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik
akomodasi (Winardi, 2002):
b) Untuk meminimalkan kerugian bila kita berada pada posisi yang
kalah.
c) Bila harmoni dan kestabilan sangat penting ditekan dalam suatu
hubungan
3) Kompetisi (competition)
Strategi dengan menggunakan kompetisi adalah pengelolaan
konflik dengan cara mendominasi orang lain dan memaksakan segala
sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu serta menggunakan
kekuasaan yang ada. Individu yang menggunakan gaya kompetisi
ingin mengontrol orang lain, biasanya mereka tidak berorientasi pada
pihak lain tetapi berorientasi pada diri mereka sendiri. Gaya
pengelolaan kompetisi sering disebut pendekatan menang – kalah atau “win-lose approach”. Kompetisi dapat menguntungkan jika seseorang
harus memutuskan tindakan cepat atau dalam keadaan darurat.
Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi (Winardi, 2002):
a) Bila kecepatan dan tindakan pengambilan keputusan bersifta vital
(dalam keadaan darurat)
b) Untuk melawan orang-orang yang mengambil keuntungan dari
c) Bila kita mempunyai kekuasaan atau sumbenr lainnya untuk
memaksakan sesuatu pada pihak lain yang sedang berkonflik.
4) Kompromi (compromise)
Gaya pengelolaan konflik dengan cara kompromi adalah gaya
mengelola konflik yang bertujuan untuk menemukan titik tengah yang
memuaskan sebagian keinginan dari kedua belah pihak sehingga tidak
ada yang merasa menang atau kalah. Saat menggunakan kompromi,
fokus pada orang lain sama baiknya dengan fokus pada diri sendiri.
Penggunaan kompromi biasanya melaksanakan upaya tawar menawar
untuk mencapai pemecahan-pemecahan yang dapat diterima oleh
semua pihak tetapi bukan pemecahan yang optimal. Gaya pengelolaan
ini biasa disebut pendekatan kalah/menang – kalah/menang atau “lose/win-lose/win approach”. Keuntungan dari penggunaan
kompromi adalah jika membutuhkan resolusi konflik yang cepat serta
menyeimbangkan kekuatan yang ada pada kedua belah pihak. Selain
itu, kompromi dapat berguna jika membutuhkan solusi konflik untuk
sementara.
Beberapa alasan menggunakan manajemen konflik kompromi
(Winardi, 2002):
b) Untuk dapat mencapai suatu keputusan yang berguna dalam waktu
yang terbatas.
c) Bila pihak-pihak yang berkonflik mempunyai kekuatan yang sama
dan seimbang.
5) Kolaborasi atau kerja sama (collaboration)
Teknik kolaborasi mempunyai fokus yang tinggi pada diri
sendiri dan orang lain. Orang yang menggunakan gaya kolaborasi
memandang konflik sebagai suatu permasalahan bukan suatu
permainan yang ada menang dan kalahnya. Kolaborasi berusaha
mencapai kepuasaan sepenuhnya yang benar-benar memenuhi harapan
dari kedua belah pihak serta mencapai keuntungan sebagai hasilnya.
Gaya pengelolaan ini biasa disebut dengan pendekatan menang – menang atau “win-win approach”. Kolaborasi akan menguntungkan
saat kedua belah pihak membutuhkan sesuatu atau ide yang baru.
Kolaborasi juga meningkatkan hubungan karena adanya keterlibatan
kedua belah pihak yang sama-sama menguntungkan.
Beberapa alasan penggunaan manajemen konflik kolaborasi
(Winardi, 2002):
a) Menciptakan solusi yang intergratif dan tujuan kedua belah pihak
b) Untuk menggabungkan pengetahuan atau informasi dari orang-
orang yang berbeda pandangannya.
c) Kedua belah pihak tidak mempunyai kekuasaan yang cukup untuk
memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.
Jika digambarkan dengan bagan, maka akan tampak sebagai
berikut:
Diagram 2. Gaya Pengelolaan Konflik menurut Thomas dan
Killman (Beebe dkk, 1996).
Tidak jauh berbeda dengan Thomas & Killman, Hendrick (2006)
membedakan lima gaya dalam manajemen konflik sebagai berikut:
1) Penyelesaian konflik dengan mempersatukan (intergrating)
Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan ini adalah
individu-individu yang terlibat konflik saling melakukan tukar- Kompromi Kompetisi Kolaborasi Menghindar Akomodasi Tinggi Tinggi Rendah Fokus pada Diri Sendiri
menukar informasi yang ada. Individu yang terlibat mempunyai
keinginan untuk mengamati perbedaan serta mencari suatu solusi yang
dapat diterima oleh semua individu yang mengalami konflik. Dengan
gaya pengelolaan konflik ini, dapat memunculkan suatu pikiran yang
kreatif karena pihak yang berkonflik berusaha mempersatukan
informasi-informasi dari perspektif yang berbeda-beda.
2) Penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging)
Penyelesaian konflik secara obliging membuat nilai tinggi pada
orang lain sedangkan untuk dirinya sendiri dinilai rendah. Dalam gaya
obliging, digunakan untuk membuat seseorang merasa lebih baik dan
senang, kadang-kadang mengorbankan sesuatu yang penting dalam
dirinya. Jika gaya rela membantu digunakan secara efektif maka akan
dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan.
3) Penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating)
Dominating ini adalah lawan dari obliging. Jika dalam gaya
obliging penekananya pada orang lain, dalam dominating yang
ditekankan adalah diri sendiri. Strategi dominasi dapat efektif jika
persoalan yang ada itu kurang penting atau membutuhkan keputusan
yang cepat. Dominasi paling baik digunakan dalam keadaan yang
4) Penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding)
Penyelesaian konflik yang keempat adalah penyelesaian
konflik dengan cara mengindari masalah yang ada. Dalam teknik ini,
para individu yang menghindari permasalahan tidak menempatkan
suatu nilai pada diri sendiri maupun orang lain. Dalam gaya ini, aspek
negatifnya adalah menghindar dari tanggung jawab dan mengelak atau
mengkesampingkan suatu persoalan.
5) Penyelesaian konflik dengan kompromis (compromising)
Teknik penyelesaian kompromi menempatkan diri sendiri dan
orang lain dalam tingkat yang sedang. Kompromi akan menjadi efektif
bila ada keseimbangan kekuatan dari individu yang berkonflik. Teknik
kompromi biasa dipakai oleh orang yang berselisih untuk
mendapatkan jalan keluar atau pemecahannya.
c. Budaya dalam pengelolaan konflik di keluarga
Selain ada bermacam-macam gaya pengelolaan konflik seperti
yang telah dijelaskan diatas, variasi dalam cara pengelolaan konflik juga
dapat dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang budaya dari individu-
individu yang bersangkutan. Misalnya budaya Amerika memandang
bahwa anggota keluarga harus benar-benar terbuka satu sama lain dan
memiliki keterampilan sosial yang tinggi untuk menghadapi konflik. Pada
candaan. Sedangkan pada keluarga Yahudi sering dianggap argumentatif
karena nilai mereka yang tinggi pada analisis masalah dan mendiskusikan
panjang lebar. Pada beberapa etnis dan “blue collar family”, cenderung
agak tenang dan menghindari konflik yang berkaitan dengan faktor
eksternal seperti kondisi ekonomi dan sosial (Noller & Fitzpatrick, 1993).
Keterbatasan referensi yang menjelaskan secara spesifik gaya
pengelolaan konflik yang khas sesuai budaya Indonesia menyulitkan
penulis untuk membuat paparan lebih rinci tentang pengelolaan konflik
pada budaya Indonesia. Namun, di dalam buku psikologi lintas budaya
terdapat penjelasan lebih umum yang membedakan budaya dalam
kelompok besar yaitu budaya kolektivis dan individualis.
Indonesia adalah negara yang termasuk dalam budaya kolektivis.
Dalam budaya kolektivis, mengetahui perasaan-perasaan yang dialaminya
dirasa kurang penting sehingga yang lebih penting adalah mengetahui
status atau afiliasi-afiliasinya terhadap lingkungan sekitar. Menurut
Toomey (1988), pada kelompok kolektivistik, pemeliharaan keselarasan
merupakan tujuan utama dari kelompok tersebut. Selain itu, dalam budaya
kolektivis, perilaku dianggap paling kooperatif dalam situasi dilema
kelompok tunggal tetapi kurang kooperatif dalam situasi dilema antar
kelompok. Berbeda dengan individualis yang gaya pengelolaan konfliknya
yang muncul adalah obliging, avoiding, integrating, dan kompromi.
Dalam budaya kolektivis juga lebih fokus pada penghindaran konflik
dengan memelihara harmoni, menahan ekspresi emosi dan menghindari
kehilangan muka (Dayakisni & Yuniadi, 2008).