vi
CONFLICT MANAGEMENT ON EARLY COUPLES MARRIAGE
Rosa Mutiara Putri ABSTRACT
This research aims to find out the causes of marriage conflict among couples who had early marriage and also how they managed their conflict. The research use qualitative approach to answer the question of this research. The data was collected by interview. This research involves two pair of subjects. The subjects are selected using criterion sampling based on appropriate criteria with purpose of research. Results of the research indicate that there are six causes of conflict on early marriage couples. There are re-discussing the cause of conflict after problem considered complete, less communication among couples, parenting, peers, lack of attention among couples, and jealously among couples. Both of them manages conflict using four styles of conflict management are accommodation or obliging, avoidance, compromise, and competition or integrating. Furthermore, there is another method to manage the conflict are involves parents in their conflict resolving.
vii
PENGELOLAAN KONFLIK PADA PASANGAN YANG MENIKAH MUDA
Rosa Mutiara Putri
ABSTRAK
PENGELOLAAN KONFLIK PADA PASANGAN
YANG MENIKAH MUDA
S k r i p s i
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Rosa Mutiara Putri
NIM : 089114096
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Kebanggaan kita yang terbesar adalah bukan tidak pernah gagal, tetapi bangkit kembali setiap kali kita jatuh –
Confusius
Setiap orang mempunyai mimpi. Yang terpenting bukan seberapa besar mimpi yang kamu punya tetapi seberapa
besar kamu mau mewujudkannya.
vi
PENGELOLAAN KONFLIK PADA PASANGAN YANG MENIKAH
MUDA
Rosa Mutiara Putri
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penyebab-penyebab terjadinya konflik pada rumah tangga pasangan yang menikah muda dan juga bagaimana mereka mengelola konflik rumah tangganya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian. Data dikumpulkan menggunakan teknik wawancara. Penelitian ini melibatkan 2 pasang subjek. Subjek dipilih menggunakan criterion sampling berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sesuai dengan tujuan penelitian. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat enam penyebab terjadinya konflik pada pasangan yang menikah muda yaitu mendiskusikan kembali penyebab pertengkaran setelah masalah dianggap selesai, komunikasi yang kurang antara pasangan, pengasuhan anak, teman sebaya, kurangnya perhatian dari pasangan, dan kecemburuan terhadap pasangan. Kedua pasang subjek penelitian mengelola konflik dengan menggunakan 4 gaya pengelolaan konflik yaitu gaya pengelolaan akomodasi atau kerelaan untuk membantu, menghindar, kompromi, dan kompetisi atau mendominasi. Selain itu, terdapat cara lain yang digunakan oleh kedua subjek untuk mengelola konflik yaitu melibatkan orangtua dalam menyelesaikan konflik rumah tangganya.
vii
CONFLICT MANAGEMENT ON EARLY COUPLES MARRIAGE
Rosa Mutiara Putri ABSTRACT
This research aims to find out the causes of marriage conflict among couples who had early marriage and also how they managed their conflict. The research use qualitative approach to answer the research question. The data was collected using interview method. This research involves two pair of subjects. The subjects are selected using criterion sampling based on appropriate criteria with purpose of research. Results of the research indicate that there are six causes of conflict on early marriage couples. There are re-discussing the cause of conflict after problem considered completed, less communication among couples, parenting, peers, lack of attention among couples, and jealously among couples. Both of these couples manages conflict using four styles of conflict management which are accommodation or obliging, avoiding, compromising, and competiting or integrating. Furthermore, there is another method to manage the conflict are involves parents in their conflict resolving.
ix
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT atas berkat dan rahmah-Nya, akhirnya
penelitian ini dapat terselesaikan dengan lancar. Skripsi yang berjudul
“Pengelolaan Konflik pada Pasangan yang Menikah Muda” ini disusun
sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, peneliti banyak mendapat dukungan,
doa dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, peneliti mengucapkan
terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan menginspirasi selama
proses penelitian ini berlangsung. Peneliti mengucapkan terimakasih kepada:
1. Allah SWT atas segala berkat yang diberikan sehingga saya akhirnya
dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Ratri Sunar M.Si., selaku Kaprodi dan dosen pembimbing skripsi.
Terimakasih atas masukan dan kesabarannya dalam menunggu
perkembangan skripsi saya sehingga akhirnya skripsi saya dapat
terselesaikan.
3. Ibu Monica Eviandaru Madyaningrum., App. Psych selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah memberikan masukan dan inspirasi yang
bermanfaat bagi penelitian ini.
4. Bapak V. Didik Suryo Hartoko, M.Si. selaku dosen penguji yang telah
x
5. Ibu Debri Pristinella, M.Si., selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran dan pengetahuan baru bagi saya.
6. Ibu Agnes Indar E S.Psi., M.Si., Psi selaku dosen pendamping akademik
yang telah mengingatkan saya untuk segera menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
8. Segenap karyawan Fakultas Psikologi: Mas Gandung, Bu Nanik, Mas
Muji, Mas Doni yang telah membantu saya selama belajar di kampus ini.
9. Semua subjek penelitian, terima kasih atas bantuan, kesediaan dan
informasi yang telah kalian berikan sehingga penelitian ini dapat
berlangsung dengan lancar.
10. Segenap keluarga yang telah memberikan dukungan dan doanya untuk
saya agar dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
11. Teman-teman Psikologi: Ela, Irin, Dessy, Novi, Intan, Oshin, Tiwi, Nindi,
dan semua teman yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, terima
kasih teman atas segala hiburan, masukan dan ceritanya.
12. Tak lupa untuk mas Susilo, akhirnya saya bisa menyusul untuk lulus juga.
Terimakasih karena selalu mengingatkan dan mendorongku untuk cepat
lulus.
13. Sahabat-sahabatku: Puput yang senantiasa menemani untuk mencari
subjek dan mengantarkanku untuk mengambil data, Rifta, Agin, Ika,
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v
ABSTRAK ... vi
ABSTRACT ... vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan ... 8
D. Manfaat Penelitian ... 9
1. Manfaat Teoritis ... 9
xiii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Pengelolaan Konflik ... 10
1. Pengertian Pengelolaan Konflik ... 10
2. Pengelolaan konflik dalam pernikahan ... 11
a. Faktor - faktor yang memicu terjadinya konflik dalam keluarga ... 12
b. Macam – macam gaya pengelolaan konflik ... 13
c. Budaya dalam pengelolaan konflik di keluarga ... 21
B. Pernikahan Usia Muda ... 23
1. Pengertian Pernikahan Muda ... 23
2. Pernikahan Usia Muda dalam Tinjauan Psikologis ... 25
3. Konsekuensi Pernikahan Muda ... 26
a. Konsekuensi Positif ... 26
b. Konsekuensi Negatif ... 26
C. Dinamika Pengelolaan Konflik pada Pernikahan Usia Muda ... 28
BAB III METODE PENELITIAN ... 31
A. Jenis Penelitian ... 31
B. Fokus Penelitian ... 31
C. Subjek Penelitian ... 32
D. Metode Pengumpulan Data ... 33
E. Prosedur Analisis Data ... 35
xiv
2. Pengkodean ... 35
3. Interpretasi ... 36
4. Rangkuman Hasil Penelitian ... 36
F. Kredibilitas dan Reliabilitas ... 36
1. Kredibilitas ... 36
2. Reliabilitas ... 37
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 39
A. Proses Penelitian ... 39
1. Persiapan Penelitian ... 39
2. Pelaksanaan Penelitian ... 40
3. Proses Analisis Data ... 41
4. Jadwal Pengambilan Data ... 42
B. Profil Subjek ... 45
1. Subjek 1, suami (BA) ... 45
2. Subjek 1, istri (AB) ... 46
3. Subjek 2, suami (GR) ... 47
4. Subjek 2, istri (WH) ... 47
C. Rangkuman Tema Penelitian ... 49
D. Deskripsi Tema ... 58
1. Penyebab Terjadinya Konflik ... 58
2. Cara Pengelolaan Konflik ... 60
xv
BAB V PENUTUP ... 73
A. Kesimpulan ... 73
B. Keterbatasan Penelitian ... 74
C. Saran ... 74.
1. Bagi Peneliti Selanjutnya ... 74
2. Bagu Pasangan yang Menikah Muda ... 74
DAFTAR PUSTAKA ... 76
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Panduan wawancara tentang pengelolaan konflik pada pasangan yang
menikah muda ... 34
Tabel 2. Jadwal wawancara dengan subjek 1, suami (BA) ... 42
Tabel 3. Jadwal wawancara dengan subjek 1, istri (AB) ... 43
Tabel 4. Jadwal wawancara dengan subjek 2, suami (GR) ... 44
Tabel 5. Jadwal wawancara dengan subjek 2, istri (WH) ... 44
Tabel 6. Sejarah pernikahan ... 49
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Skema hasil penelitian subjek 1 (BA) ... 80
Lampiran 2. Skema hasil penelitian subjek 1 (AB) ... 82
Lampiran 3. Skema hasil penelitian subjek 2 (GR) ... 84
Lampiran 4. Skema hasil penelitian subjek 2 (WH) ... 86
Lampiran 5. Protokol wawancara ... 88
Lampiran 6. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 1 (BA)... 93
Lampiran 7. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 1 (AB)... 105
Lampiran 8. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 2 (GR)... 119
Lampiran 9. Transkrip verbatim wawancara dan analisis data subjek 2 (WH) ... 130
Lampiran 10. Surat pernyataan persetujuan wawancara subjek 1 (BA) ... 138
Lampiran 11. Surat pernyataan persetujuan wawancara subjek 1 (AB) ... 140
Lampiran 12. Surat pernyataan persetujuan wawancara subjek 2 (GR) ... 142
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suami istri adalah dua individu yang berbeda hampir dalam berbagai hal
sehingga tidak jarang dapat menimbulkan konflik. Mc Gonagle dkk (dalam Sears
dkk, 1988) menyatakan bahwa pada pasangan yang sudah menikah, konflik
merupakan hal yang biasa terjadi. Hal tersebut sesuai dengan data yang dikutip
dalam buku Sears dari Gurin yang menyatakan bahwa konflik senantiasa terjadi
dalam kehidupan pernikahan Data menunjukkan bahwa 45% orang melaporkan
adanya masalah yang muncul dalam kehidupan berpasangan. Bahkan 32%
pasangan yang menilai pernikahan mereka sangat membahagiakan melaporkan
bahwa mereka juga pernah mengalami pertentangan. Selain itu, Burger dan
Wallin menemukan bahwa 80% dari 1000 orang yang telah bertunangan memiliki
beberapa ketidaksesuaian diantara mereka (dalam Sears dkk, 1988).
Scanzoni (dalam Sadarjoen, 2005) menyatakan bahwa penyebab konflik
pernikahan diantaranya adalah keuangan (perolehan dan penggunaannya),
pendidikan anak-anak, hubungan pertemanan, hubungan dengan keluarga besar,
rekreasi (jenis, kualitas dan kuantitasnya), aktivitas yang tidak disetujui oleh
pasangan, pembagian kerja dalam rumah tangga, berbagai macam masalah
(agama, politik, seks, komunikasi dalam perkawinan, dan aneka masalah-masalah
Konflik menurut Johnson & Johnson (1991) adalah situasi dimana
tindakan salah satu pihak berakibat menghalangi, menghambat atau mengganggu
pihak lain (dalam Supratiknya, 1995). Selain itu, konflik juga berarti adanya
oposisi atau pertentangan pendapat antara orang-orang. Setiap hubungan
mengandung unsur konflik, pertentangan pendapat atau perbedaan kepentingan
sehingga diperlukan suatu cara untuk mengelola konflik tersebut. Pengelolaan
konflik atau manajemen konflik adalah suatu cara yang dilakukan oleh individu
untuk mengatasi ataupun menghadapi pertentangan dan perbedaan pendapat
diantara dua atau lebih individu.
Penelitian yang dilakukan oleh Greeff (2000) menyebutkan bahwa
terdapat hubungan antara gaya mengelola konflik dengan kepuasaan pernikahan.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa gaya pengelolaan konflik
kolaboratif mempunyai korelasi tinggi dengan kepuasan pernikahan dan kepuasan
pasangan sedangkan pasangan yang menggunakan gaya kompetitif mempunyai
kepuasan pernikahan yang rendah. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Undiyaundeye (2006) menemukan bahwa pasangan memerlukan keterampilan
pengelolaan konflik untuk mencapai kebaikan dalam hubungan pernikahan.
Bloom & Bloom (2012) menyebutkan sebagian besar perceraian terjadi
karena tidak adanya atau kurang adanya keterampilan dalam membina hubungan
seperti mengelola konflik, menangani perbedaan, tanggung jawab pada diri
pengelolaan konflik sangat penting dilakukan dalam kehidupan pernikahan
(www.psychologicaltoday.com).
Pasangan yang menikah muda mempunyai potensi yang lebih tinggi untuk
mengalami konflik, karenanya isu tentang pengelolaan konflik menjadi lebih
menonjol dalam kehidupan pernikahan pasangan yang menikah muda. Penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa kemunculan konflik dan pengelolaan konflik
merupakan isu yang menonjol pada pasangan yang menikah muda. Diantara
penelitian-penelitian tersebut misalnya penelitian yang dilakukan oleh Utami
(2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak pasangan suami istri yang
menikah muda tidak dapat menerima kondisi pasangan apa adanya. Sedangkan
penelitian yang dilakukan oleh Kamban (2011) menunjukkan bahwa pernikahan
di usia muda dapat memberikan dampak negatif bagi pasangan suami istri yaitu
seringkali mereka menghadapi percekcokan dan pertengkaran yang tidak
terkendali karena adanya ketidaksiapan mental dan fisik serta egoisme yang
masih tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh Hermawan (2010) menyebutkan bahwa
tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama Klaten erat kaitannya dengan
tingginya angka perkawinan saat usia muda. Penelitian yang dilakukan di PA
Klaten ini menyebutkan bahwa terdapat perceraian yang disebabkan karena
pasangan menikah pada usia relatif muda berjumlah lebih dari 50% per tahun
Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN, Dr. Wendy Hertanto, lebih
banyak memicu terjadinya perceraian. Berdasarkan data dari 300 ribu kasus
perceraian, 10% diantaranya berasal dari kasus pernikahan usia muda. Hal ini
terjadi karena pernikahan tidak bisa jika hanya mengandalkan cinta karena
pernikahan memerlukan kedewasaan mental dan biaya. (liputan6.com). Dalam
tinjauan psikologi perkembangan, kematangan emosional dan sosial seseorang
merupakan faktor yang berperan dalam membentuk kemampuan seseorang
mengelola konflik interpersonal. Seperti yang dikemukakan Havighurst (dalam
Mappiare, 1983) mengatakan bahwa seseorang yang mempunyai emosi stabil
akan dapat memecahkan persoalan-persoalan yang ada pada dirinya.
Menimbang tinjauan teoretis diatas, maka diasumsikan bahwa konflik
lebih rentan muncul pada pasangan yang menikah muda karena adanya faktor
kekurangmatangan persiapan pernikahan yang dilakukan oleh pasangan muda.
Pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang didasari adanya kematangan
diantara suami dan istri baik itu kematangan biologis maupun psikologis. Dengan
bertambahnya usia seseorang, diharapkan keadaan psikologisnya juga akan
bertambah matang. Dalam pernikahan dibutuhkan kematangan psikologis yang
merupakan syarat penting bagi seseorang agar mampu menghadapi masalah
keluarga dan mencari pemecahannya. Kematangan psikologis ini dapat berupa
akan dicapai ketika seseorang berusia diatas 21 tahun atau selama awal masa
dewasa (Walgito, 2010).
Adhim (2002) menyebutkan bahwa kematangan emosi merupakan salah
satu aspek yang sangat penting untuk menjaga kelangsungan perkawinan di usia
muda. Mereka yang memiliki kematangan emosi ketika memasuki perkawinan
cenderung lebih mampu mengelola perbedaan yang ada di antara mereka. Oleh
karena itu, pernikahan yang ideal adalah pernikahan yang dilakukan ketika kedua
individu yang akan menikah sudah mencapai usia masa dewasa awal (muda) atau
masa pertengahan.
Kremer (1989) menambahkan bahwa perbedaan dalam gaya berpikir
memiliki implikasi besar bagi kemampuan seseorang dalam menangani masalah
kehidupan termasuk menyelesaikan konflik. Pasangan yang mampu memahami
sesuatu dengan didasari cara pandang yang luas cenderung lebih mampu
menyelesaikan konflik yang dimilikinya. Kemampuan untuk memahami masalah
secara baik ditandai dengan adanya integrasi antara emosi dan logika. Hal
tersebut biasanya akan mulai dicapai seseorang ketika ia menginjak usia dewasa
muda hingga usia pertengahan. Dengan bertambahnya usia, seseorang cenderung
lebih mampu membuat keputusan dan menganalisis masalah dengan
menggabungkan antara alasan logis dan alasan emosi. Hal inilah yang mendasari
adanya asumsi bahwa adanya kematangan logika dan emosi pada kedua pasangan
Kematangan tersebut diasumsikan akan lebih sulit tercapai bila pasangan menikah
pada usia remaja atau pada usia sekitar 20an (Cavanaugh & Kail, 2010).
Paparan diatas menjelaskan bahwa menikah pada usia muda memiliki
potensi yang lebih besar untuk mengalami konflik dan lebih mengemukakan
persoalan-persoalan yang terkait dengan pengelolaan konflik. Namun demikian,
data di lapangan menunjukkan bahwa angka pernikahan yang dilakukan di usia
muda masih cukup tinggi. Masih adanya individu-individu yang melakukan
pernikahan di usia muda salah satunya dapat dilihat dari data permohonan
dispensasi menikah dibawah ini:
Diagram 1. Data permohonan dispensasi menikah di Kabupaten Bantul hingga
Oktober 2011 (www.kompas.com).
Pengelolaan konflik merupakan faktor yang mempengaruhi kebahagiaan
pernikahan. Setiap pasangan yang baru menikah memiliki harapan untuk
menjadikan pernikahannya bahagia. Pernikahan bahagia merupakan faktor
penting pembentuk kualitas hidup seseorang yang sudah menikah. Santrock
70
82
115
135
0 20 40 60 80 100 120 140 160
2008 2009 2010 2011
Ju
m
la
h
(2007) menyebutkan bahwa orang yang mempunyai pernikahan bahagia akan
hidup lebih lama dibandingkan dengan orang yang bercerai dan orang yang
mempunyai kehidupan pernikahan yang tidak bahagia. Individu yang mempunyai
pernikahan bahagia cenderung kurang merasa stress secara emosi dan fisik serta
kurang merasa mempunyai masalah psikologis seperti merasa cemas ataupun
depresi. Penelitian yang dilakukan pada 493 wanita yang berumur 42 sampai 50
tahun menunjukkan orang yang mempunyai pernikahan bahagia kurang berisiko
terhadap penyakit seperti tekanan darah, kolesterol, dan berat tubuh dibandingkan
orang yang mempunyai pernikahan tidak bahagia (Santrock, 2007).
Menurut Sadarjoen (2005), untuk membangun keluarga yang sukses dan
harmonis dapat ditempuh dengan berbagai cara diantaranya menciptakan
kebersamaan, menjadi orang tua, mengatasi krisis, mencari dan mendapatkan
tempat yang aman untuk konflik, menggali kehidupan seksual dan keintiman,
berbagi tawa, memberikan pelayanan emosional dan memelihara visi bersama.
Greer, Ph.D, seorang konsultan ahli relasi suami istri, menyatakan ada
beberapa nilai yang membuat pernikahan bahagia yaitu ungkapan kasih sayang,
melakukan hal bersama-sama, saat keadaan sulit ditanggulangi bersama, tetap
berhubungan, tidak mempermasalahkan hal sepele, mampu menangani konflik,
saling memberi hadiah, dan tidak pernah kehilangan rasa humor
Berdasarkan latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk meneliti
tentang pengelolaan konflik yang terjadi pada rumah tangga orang yang menikah
muda. Dalam penelitian tersebut, peneliti bermaksud untuk mengungkap apa saja
yang memicu munculnya konflik pernikahan pada pasangan muda serta
bagaimana pasangan muda tersebut mengatasi konflik atau mengelola konflik
yang terjadi dalam rumah tangga mereka.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan masalah yang
akan diteliti sebagai berikut:
1. Apa saja faktor pemicu terjadinya konflik pada pasangan yang menikah
muda?
2. Bagaimana pasangan yang menikah muda mengelola konflik dalam rumah
tangganya?
C. Tujuan
Berdasarkan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui atau mengungkap faktor-faktor penyebab terjadinya
konflik pada pasangan yang menikah muda.
2. Untuk mengetahui pengelolaan konflik yang dilakukan oleh pasangan yang
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan bagi ilmu
Psikologi, khususnya Psikologi Perkembangan, Psikologi Sosial dan Psikologi
Perkawinan, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan perkawinan pada
pasangan muda.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan pada masyarakat
umum, khususnya bagi seseorang yang ingin menikah muda tentang cara-cara
dalam pengelolaan konflik serta masalah-masalah yang akan timbul dalam
pernikahan. Selain itu, diharapkan pasangan yang akan menikah muda akan
lebih memiliki persiapan psikologis yaitu memiliki kematangan emosi dan
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengelolaan Konflik
1. Pengertian Pengelolaan Konflik
Konflik mempunyai berbagai pengertian, menurut Cross, Names dan
Beck (Borisoff & Victor, 1989) konflik dipandang sebagai suatu perbedaan
diantara individu, perbedaan itu dapat berasal karena ada perbedaan tujuan,
nilai, motivasi ataupun ide. Sedangkan Thomas (dalam Borisoff & Victor,
1989) menjelaskan bahwa konflik merupakan suatu proses yang berasal saat
salah satu individu memahami bahwa pihak lain menghalangi beberapa tujuan
atau fokusnya.
Hocker & Wilmot (Borisoff & Victor, 1989) menjelaskan konflik
sebagai suatu pertentangan diantara setidaknya dua pihak yang merasa
berlawanan tujuan dan gangguan dari dari pihak lain dalam mencapai tujuan
mereka.
Sedangkan pengertian manajemen konflik sendiri juga telah diungkap
oleh para ahli. Tjosvold & Tjosvold (dalam Astuti, 2003) mendefinisikan
manajemen konflik merupakan tugas mengolah permasalahan yang timbul
akibat salah paham atau perselisihan yang dilakukan oleh individu atau
dan dapat mencapai persetujuan. Johnson & Johnson (1994) mendefinisikan
manajemen konflik sebagai tugas mengelola suatu permasalahan yang timbul
akibat salah paham atau perselisihan yang dilakukan oleh individu atau
kelompok.
Menurut Wirawan (2010), manajemen konflik sebagai proses pihak
yang terlibat konflik atau pihak ketiga menyusun strategi konflik dan
menerapkannya untuk mengendalikan konflik agar menghasilkan resolusi
yang diinginkan.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
manajemen konflik atau pengelolaan konflik adalah suatu tugas mengelola
permasalahan yang timbul akibat perselisihan atau salah paham yang ada pada
individu atau kelompok untuk mengendalikan konflik sehingga dapat
menghasilkan tujuan yang diinginkan.
2. Pengelolaan Konflik dalam Pernikahan
Pengelolaan konflik dalam keluarga adalah suatu proses
pengorganisasian yang digunakan untuk mengatasi perbedaan diantara
anggota keluarga, misal antara suami dengan istri, mertua dengan menantu,
orangtua dengan anak, atau perbedaan diantara anggota keluarga yang
lainnya. Pengelolaan konflik dapat juga dipengaruhi oleh gaya pengelolaan
konflik dan juga oleh kebudayaan. Individu yang berkonflik dapat mengelola
avoiding, akomodasi atau obliging, integrating atau kolaborasi, dominating
atau kompetisi dan kompromi Pada budaya kolektivis, gaya pengelolaan
konflik yang biasa dipakai adalah gaya obliging atau akomodasi, avoiding,
integrating atau kolaborasi dan kompromi. Sedangkan pada budaya
individualis, biasa menggunakan gaya dominating atau kompetisi untuk
menyelesaikan konflik.
a. Faktor-faktor yang memicu terjadinya konflik dalam keluarga
Manurung & Manurung (1995) menyebutkan, terjadinya konflik
dalam rumah tangga disebabkan oleh tiga faktor yaitu dari suami istri itu
sendiri, pengaruh dari salah satu orangtua atau dari kedua belah pihak,
serta pengaruh dari salah seorang anggota keluarga. Faktor-faktor tersebut
diantaranya adalah:
1) Kurangnya saling pengertian diantara suami dan istri
2) Adanya kecurigaan dari pemakaian uang maupun dari hubungan intim
dengan orang lain.
3) Ketidakmampuan suami memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani
keluarga atau sebaliknya.
4) Ketidakpuasan suami terhadap istrinya atau sebaliknya.
5) Adanya ketidaksepakatan pernikahan dari pihak orangtua atau dari
suami istri itu sendiri sehingga sering terjadi konflik pendapat antara
6) Sering adanya campur tangan orangtua dalam urusan rumah tangga
anaknya. Orangtua yang menganggap anaknya belum dewasa.
7) Adanya status sosial yang lebih tinggi dari orangtua dibandingkan
dengan besan atau menantunya sehingga menganggap rendah besan
dan menantunya.
8) Pengaruh negatif dari anggota keluarga lain yang dapat mempengaruhi
keluarga inti.
b. Macam-macam gaya pengelolaan konflik
Beberapa ahli berpendapat bahwa seseorang mengelola konflik
dengan bermacam-macam gaya. Thomas & Killman (dalam Beebe dkk,
1996) menyebutkan bahwa ada dua dimensi utama dalam pengelolaan
konflik yaitu berpusat pada orang lain dan berpusat pada diri sendiri. Dari
dua dimensi konflik tersebut, didapat lima gaya pengelolaan konflik. Lima
gaya manajemen konflik menurut Thomas & Killman adalah:
1) Menghindar (avoidance)
Gaya pengelolaan konflik menghindar adalah mengelola
konflik dengan cara mundur atau mencoba mengesampingkan konflik
yang sedang dihadapi. Strategi seperti ini menunjukkan bahwa
individu memiliki fokus yang rendah pada diri sendiri maupun orang
lain. Orang dengan gaya pengelolaan konflik seperti ini berharap
Menurut Thomas & Killman, bentuk teknik menghindar bisa berupa
menjauhkan diri dari masalah, menunda masalah hingga menunggu
waktu yang tepat serta menarik diri dari konflik yang merugikan. Gaya
pengelolaan konflik ini biasa disebut pendekatan kalah – kalah atau “lose – lose approach”. Penggunaan gaya menghindar akan
mendatangkan keuntungan jika permasalahannya sepele atau ada
permasalahan yang lebih penting untuk diselesaikan. Selain itu, dapat
mensuplai waktu untuk berpikir tentang masalah yang ada agar dapat
memberikan respon lain terhadap konflik yang sedang dihadapi.
Menghindar juga mempunyai kerugian karena penghindaran dapat
memberikan kesan pada orang lain bahwa kita tidak peduli pada
perasaan mereka dan hanya fokus pada diri sendiri. Penghindaran
hanya akan menyimpan konflik dan membangun suatu ledakan pada
nantinya.
Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik
menghindar (Winardi, 2002):
a) Bila ada masalah lain yang lebih penting untuk diselesaikan.
b) Bila potensi mengganggu lebih besar daripada potensi yang
menguntungkan.
c) Untuk membiarkan orang menjadi tenang terlebih dahulu dan
2) Akomodasi (accommodation)
Gaya pengelolaan akomodasi ini adalah teknik mengelola
konflik yang berfokus pada pihak lain dibandingkan dengan diri
sendiri. Individu yang menggunakan teknik ini membiarkan keinginan
pihak lain menonjol dan mendapatkan yang diinginkan oleh pihak
tersebut. Orang yang melakukan gaya akomodasi mengabaikan
kepentingan dirinya sendiri dan berupaya memuaskan kepentingan
lawan konfliknya. Akomodasi biasa dipakai karena individu merasa
takut ditolak jika mereka mengganggu pihak lain yang sama-sama
berkonflik. Gaya pengelolaan konflik ini biasa disebut dengan
pendekatan kalah - menang atau “win–lose approach”. Akomodasi mempunyai keuntungan yaitu menunjukkan kepada orang lain bahwa
individu benar-benar ingin membantu pihak lain. Selain itu jika
individu merasa salah, akomodasi tepat untuk digunakan. Kerugian
jika terus menerus menggunakan akomodasi adalah pihak lain akan
memanfaatkan individu lainnya karena mengurangi kemampuannya
untuk menyelesaikan konflik serta adanya ekspektasi dari pihak lain
bahwa individu tersebut akan memberikan keinginannya lagi.
Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik
akomodasi (Winardi, 2002):
b) Untuk meminimalkan kerugian bila kita berada pada posisi yang
kalah.
c) Bila harmoni dan kestabilan sangat penting ditekan dalam suatu
hubungan
3) Kompetisi (competition)
Strategi dengan menggunakan kompetisi adalah pengelolaan
konflik dengan cara mendominasi orang lain dan memaksakan segala
sesuatu agar sesuai dengan kesimpulan tertentu serta menggunakan
kekuasaan yang ada. Individu yang menggunakan gaya kompetisi
ingin mengontrol orang lain, biasanya mereka tidak berorientasi pada
pihak lain tetapi berorientasi pada diri mereka sendiri. Gaya
pengelolaan kompetisi sering disebut pendekatan menang – kalah atau “win-lose approach”. Kompetisi dapat menguntungkan jika seseorang
harus memutuskan tindakan cepat atau dalam keadaan darurat.
Beberapa alasan menggunakan gaya manajemen konflik
kompetisi (Winardi, 2002):
a) Bila kecepatan dan tindakan pengambilan keputusan bersifta vital
(dalam keadaan darurat)
b) Untuk melawan orang-orang yang mengambil keuntungan dari
c) Bila kita mempunyai kekuasaan atau sumbenr lainnya untuk
memaksakan sesuatu pada pihak lain yang sedang berkonflik.
4) Kompromi (compromise)
Gaya pengelolaan konflik dengan cara kompromi adalah gaya
mengelola konflik yang bertujuan untuk menemukan titik tengah yang
memuaskan sebagian keinginan dari kedua belah pihak sehingga tidak
ada yang merasa menang atau kalah. Saat menggunakan kompromi,
fokus pada orang lain sama baiknya dengan fokus pada diri sendiri.
Penggunaan kompromi biasanya melaksanakan upaya tawar menawar
untuk mencapai pemecahan-pemecahan yang dapat diterima oleh
semua pihak tetapi bukan pemecahan yang optimal. Gaya pengelolaan
ini biasa disebut pendekatan kalah/menang – kalah/menang atau “lose/win-lose/win approach”. Keuntungan dari penggunaan
kompromi adalah jika membutuhkan resolusi konflik yang cepat serta
menyeimbangkan kekuatan yang ada pada kedua belah pihak. Selain
itu, kompromi dapat berguna jika membutuhkan solusi konflik untuk
sementara.
Beberapa alasan menggunakan manajemen konflik kompromi
(Winardi, 2002):
b) Untuk dapat mencapai suatu keputusan yang berguna dalam waktu
yang terbatas.
c) Bila pihak-pihak yang berkonflik mempunyai kekuatan yang sama
dan seimbang.
5) Kolaborasi atau kerja sama (collaboration)
Teknik kolaborasi mempunyai fokus yang tinggi pada diri
sendiri dan orang lain. Orang yang menggunakan gaya kolaborasi
memandang konflik sebagai suatu permasalahan bukan suatu
permainan yang ada menang dan kalahnya. Kolaborasi berusaha
mencapai kepuasaan sepenuhnya yang benar-benar memenuhi harapan
dari kedua belah pihak serta mencapai keuntungan sebagai hasilnya.
Gaya pengelolaan ini biasa disebut dengan pendekatan menang – menang atau “win-win approach”. Kolaborasi akan menguntungkan
saat kedua belah pihak membutuhkan sesuatu atau ide yang baru.
Kolaborasi juga meningkatkan hubungan karena adanya keterlibatan
kedua belah pihak yang sama-sama menguntungkan.
Beberapa alasan penggunaan manajemen konflik kolaborasi
(Winardi, 2002):
a) Menciptakan solusi yang intergratif dan tujuan kedua belah pihak
b) Untuk menggabungkan pengetahuan atau informasi dari
orang-orang yang berbeda pandangannya.
c) Kedua belah pihak tidak mempunyai kekuasaan yang cukup untuk
memaksakan kehendak demi mencapai tujuannya.
Jika digambarkan dengan bagan, maka akan tampak sebagai
berikut:
Diagram 2. Gaya Pengelolaan Konflik menurut Thomas dan
Killman (Beebe dkk, 1996).
Tidak jauh berbeda dengan Thomas & Killman, Hendrick (2006)
membedakan lima gaya dalam manajemen konflik sebagai berikut:
1) Penyelesaian konflik dengan mempersatukan (intergrating)
Penyelesaian konflik dengan cara mempersatukan ini adalah
individu-individu yang terlibat konflik saling melakukan Kompromi
Kompetisi Kolaborasi
Menghindar Akomodasi
Tinggi Tinggi
Rendah Fokus pada
Diri Sendiri
menukar informasi yang ada. Individu yang terlibat mempunyai
keinginan untuk mengamati perbedaan serta mencari suatu solusi yang
dapat diterima oleh semua individu yang mengalami konflik. Dengan
gaya pengelolaan konflik ini, dapat memunculkan suatu pikiran yang
kreatif karena pihak yang berkonflik berusaha mempersatukan
informasi-informasi dari perspektif yang berbeda-beda.
2) Penyelesaian konflik dengan kerelaan untuk membantu (obliging)
Penyelesaian konflik secara obliging membuat nilai tinggi pada
orang lain sedangkan untuk dirinya sendiri dinilai rendah. Dalam gaya
obliging, digunakan untuk membuat seseorang merasa lebih baik dan
senang, kadang-kadang mengorbankan sesuatu yang penting dalam
dirinya. Jika gaya rela membantu digunakan secara efektif maka akan
dapat mengawetkan dan melanggengkan hubungan.
3) Penyelesaian konflik dengan mendominasi (dominating)
Dominating ini adalah lawan dari obliging. Jika dalam gaya
obliging penekananya pada orang lain, dalam dominating yang
ditekankan adalah diri sendiri. Strategi dominasi dapat efektif jika
persoalan yang ada itu kurang penting atau membutuhkan keputusan
yang cepat. Dominasi paling baik digunakan dalam keadaan yang
4) Penyelesaian konflik dengan menghindar (avoiding)
Penyelesaian konflik yang keempat adalah penyelesaian
konflik dengan cara mengindari masalah yang ada. Dalam teknik ini,
para individu yang menghindari permasalahan tidak menempatkan
suatu nilai pada diri sendiri maupun orang lain. Dalam gaya ini, aspek
negatifnya adalah menghindar dari tanggung jawab dan mengelak atau
mengkesampingkan suatu persoalan.
5) Penyelesaian konflik dengan kompromis (compromising)
Teknik penyelesaian kompromi menempatkan diri sendiri dan
orang lain dalam tingkat yang sedang. Kompromi akan menjadi efektif
bila ada keseimbangan kekuatan dari individu yang berkonflik. Teknik
kompromi biasa dipakai oleh orang yang berselisih untuk
mendapatkan jalan keluar atau pemecahannya.
c. Budaya dalam pengelolaan konflik di keluarga
Selain ada bermacam-macam gaya pengelolaan konflik seperti
yang telah dijelaskan diatas, variasi dalam cara pengelolaan konflik juga
dapat dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang budaya dari
individu-individu yang bersangkutan. Misalnya budaya Amerika memandang
bahwa anggota keluarga harus benar-benar terbuka satu sama lain dan
memiliki keterampilan sosial yang tinggi untuk menghadapi konflik. Pada
candaan. Sedangkan pada keluarga Yahudi sering dianggap argumentatif
karena nilai mereka yang tinggi pada analisis masalah dan mendiskusikan
panjang lebar. Pada beberapa etnis dan “blue collar family”, cenderung
agak tenang dan menghindari konflik yang berkaitan dengan faktor
eksternal seperti kondisi ekonomi dan sosial (Noller & Fitzpatrick, 1993).
Keterbatasan referensi yang menjelaskan secara spesifik gaya
pengelolaan konflik yang khas sesuai budaya Indonesia menyulitkan
penulis untuk membuat paparan lebih rinci tentang pengelolaan konflik
pada budaya Indonesia. Namun, di dalam buku psikologi lintas budaya
terdapat penjelasan lebih umum yang membedakan budaya dalam
kelompok besar yaitu budaya kolektivis dan individualis.
Indonesia adalah negara yang termasuk dalam budaya kolektivis.
Dalam budaya kolektivis, mengetahui perasaan-perasaan yang dialaminya
dirasa kurang penting sehingga yang lebih penting adalah mengetahui
status atau afiliasi-afiliasinya terhadap lingkungan sekitar. Menurut
Toomey (1988), pada kelompok kolektivistik, pemeliharaan keselarasan
merupakan tujuan utama dari kelompok tersebut. Selain itu, dalam budaya
kolektivis, perilaku dianggap paling kooperatif dalam situasi dilema
kelompok tunggal tetapi kurang kooperatif dalam situasi dilema antar
kelompok. Berbeda dengan individualis yang gaya pengelolaan konfliknya
yang muncul adalah obliging, avoiding, integrating, dan kompromi.
Dalam budaya kolektivis juga lebih fokus pada penghindaran konflik
dengan memelihara harmoni, menahan ekspresi emosi dan menghindari
kehilangan muka (Dayakisni & Yuniadi, 2008).
B. Pernikahan Usia Muda
1. Pengertian Pernikahan Muda
Pernikahan usia muda terdiri dari dua kata yaitu pernikahan dan usia
muda. Dalam arti yang luas, ada beberapa pengertian pernikahan yang dapat
kita ketahui. Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pernikahan adalah
ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita sebagai sepasang suami
dan istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan Kartono (1992)
lebih menjelaskan bahwa pernikahan adalah suatu proses dimana sepasang
calon suami dan istri dipertemukan secara formal dihadapan kepala agama
tertentu, para saksi dan sejumlah hadirin yang kemudian disahkan secara
resmi sebagai suami istri dengan suatu upacara tertentu.
Horby (dalam Walgito, 2010) mengatakan bahwa “marriage: the
union of two persons as husband and wife”, yang berarti bahwa pernikahan
adalah bersatunya dua orang manusia sebagai sepasang suami dan istri.
Disamping itu Purwadarminta (dalam Walgito, 2010) mengatakan bahwa
istri. Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan
adalah suatu hubungan lahir dan batin diantara pria dan wanita yang disahkan
menjadi sepasang suami dan istri berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Istilah usia muda pada penelitian ini dimaksudkan sebagai usia saat
seseorang masih dalam rentang usia remaja. Masa remaja dipandang sebagai
transisi perkembangan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, yang
melibatkan perubahan-perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional
(Santrock, 2007). Hurlock membagi remaja menjadi dua golongan, yaitu
remaja awal dengan rentang usia antara 13 – 17 tahun dan remaja akhir dengan usia rentang usia 17 – 21 tahun. Kemudian Gunarsa menyebutkan bahwa remaja di Indonesia berumur antara 12 – 22 tahun. Senada dengan Gunarsa, setelah meninjau berbagai literatur dari luar negeri, Surachmad
membatasi rentang usia remaja menjadi 12 – 22 tahun (Mappiare, 1982). Berdasarkan pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa rentang usia
seseorang jika masih disebut remaja menunjukkan pada usia 12 – 22 tahun. Setelah melihat uraian mengenai pengertian pernikahan serta rentang
usia remaja, dapat ditarik kesimpulan bahwa pernikahan usia muda adalah
ikatan lahir dan batin antara pria dan wanita berusia kurang dari 22 tahun
yang disahkan menjadi sepasang suami dan istri berdasarkan Ketuhanan Yang
2. Pernikahan Usia Muda dalam Tinjauan Psikologis
Dalam beberapa penelitian sebelumnya mengenai pernikahan pada
usia muda atau pernikahan remaja, lebih mengarah kepada konsekuensi
negatif dibandingkan dengan konsekuensi positif. Peneliti (Ababa, 2006;
Dahl, 2010; Bayisenge) yang menganggap bahwa pernikahan usia muda lebih
mengarahkan ke keadaan negatif memandang bahwa pernikahan usia muda
akan lebih mungkin mengalami masalah kesehatan mental seperti kecemasan
ataupun depresi. Pernikahan usia muda juga lebih akan mengalami perceraian,
pembatasan pendidikan, mengalami kekerasan rumah tangga bahkan
kemiskinan.
Tetapi ada juga peneliti (Boykin, 2004) yang memandang pernikahan
usia muda dapat berjalan sukses jika pasangan dapat belajar bersama dalam
kehidupan pernikahannya dan juga dapat mengkomunikasikan
pengalaman-pengalaman kepada pasangannya untuk membantu rumah tangganya agar
berjalan lebih baik. Sedangkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi
kesuksesan pernikahan adalah pasangan yang telah berpacaran kurang lebih
satu tahun, telah lulus sekolah menengah atas dan tidak terjadi kehamilan
sebelum menikah.
Pernikahan usia muda akan berdampak negatif jika mempunyai
untuk menikah, ketidakmatangan pasangan, serta kurangnya komunikasi antar
pasangan.
3. Konsekuensi Pernikahan Muda
Pernikahan pada usia muda menyebabkan beberapa konsekuensi, baik
konsekuensi positif maupun konsekuensi negatif.
a. Konsekuensi Positif
Menurut Soekata & Soenarja (1959), keuntungan menikah muda
yaitu dapat mencegah pergaulan bebas dan anak-anak yang dilahirkan
oleh ibu dan bapak yang masih muda dapat mengenal orangtuanya lebih
baik. Sedangkan Rice (1993) mengatakan bahwa suami istri yang menikah
muda lebih dapat meningkatkan kepribadiannya selama menikah
dibandingkan dengan yang belum menikah. Jika pernikahan yang
dilakukan dapat bertahan maka akan mengembangkan kematangan sosial.
b. Konsekuensi Negatif
Selain adanya dampak positif dalam menikah muda, terdapat pula
dampak negatif yang dihasilkan dari menikah muda. Beberapa dampak
negatif yang dihasilkan dari menikah muda (Rice, 1993):
1) Kekhawatiran keuangan dalam rumah tangga.
Pasangan yang menikah muda biasanya memperoleh
pendapatan yang belum sesuai dengan harapan yang ada. Dengan
biasanya mendapatkan bantuan dari orangtuanya untuk keperluan
rumah tangga. Tidak hanya penghasilan yang kecil tetapi kurangnya
pengalaman dalam mengelola keuangan dapat membuat masalah
dalam keuangan rumah tangga karena biasanya remaja langsung dapat
membeli sesuatu yang diinginkan dari orangtuanya.
2) Seseorang yang menikah muda memiliki pencapaian yang rendah
dalam pendidikan.
Tidak hanya pencapaian yang rendah dalam pendidikan tetapi
juga rendahnya keinginan untuk melanjutkan pendidikannya. Orang
yang menikah muda terutama perempuan mempunyai sedikit
kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya.
3) Adanya resiko kesehatan jika hamil di usia muda.
Anak-anak yang lahir dari remaja perempuan lebih cenderung
lahir prematur denga berat badan yang rendah dan fisik yang cacat.
Selain itu, kematian pada bayi banyak ditemukan pada ibu-ibu muda.
Tetapi hal tersebut tidak hanya bersangkutan dengan masalah umur,
ada faktor dari ekonomi yang rendah serta perawatan kehamilan.
4) Pengambilan keputusan sering tidak matang dan mungkin bisa
disesali.
Pada usia yang relatif muda, kematangan untuk berpikir
emosi yang cenderung naik turun sehingga saat masalah muncul maka
akan sulit mempertimbangkan berbagai kondisi (www.kompas.com).
C. Dinamika Pengelolaan Konflik pada Pernikahan Usia Muda
Penelitian mengenai pengelolaan konflik pada usia muda bertujuan untuk
mengetahui bagaimana pengelolaan konflik yang dilakukan pasangan-pasangan
yang menikah pada usia yang tergolong muda saat terjadinya suatu konflik pada
rumah tangganya. Selain itu, penelitian ini juga dimaksudkan untuk mengetahui
faktor-faktor yang menimbulkan konflik pada rumah tangga pasangan muda.
Rumusan tujuan diatas dipilih dengan menimbang masih adanya
pernikahan yang dilakukan pada usia muda. Sementara wacana yang lebih banyak
dijumpai baik pada tataran akademis maupun populer, pernikahan usia muda
tidak lagi dianggap ideal. Justru fenomena yang semakin lebih mudah dijumpai
adalah penundaan usia pernikahan. Maka banyak studi yang justru menyoroti
tentang konsekuensi-konsekuensi negatif pada pernikahan usia muda.
Pada penelitian sebelumnya, pernikahan usia muda lebih cenderung
mempunyai dampak negatif dibandingkan dampak positif yang diperoleh. Para
peneliti kebanyakan meneliti pernikahan usia muda berhubungan dengan
kehamilan yang tidak diinginkan, tekanan dari budaya setempat ataupun orangtua
dalam pengambilan keputusan untuk menikah muda. Pernikahan usia muda juga
Pasangan yang menikah muda memiliki potensi lebih besar untuk
mengalami konflik. Untuk mengatasi ataupun mengelola konflik maka
dibutuhkan suatu kematangan psikologis untuk mengintegrasikan antara emosi
dan logika agar dapat memahami masalah dengan baik. Kematangan-kematangan
seperti itu biasanya sulit dicapai pada saat individu remaja. Selain itu, adanya
penelitian yang menyebutkan bahwa pasangan yang menikah muda lebih
cenderung mengalami keributan ataupun pertengkaran, menegaskan bahwa
pengelolaan konflik sangat penting dilakukan pada pasangan yang menikah muda.
Oleh sebab itu, fokus penelitian yang akan dilaksanakan adalah pengelolaan
konflik pada pasangan yang menikah muda.
Secara teoritis, pengelolaan konflik dipengaruhi oleh banyak hal, bisa oleh
gaya pengelolaan konflik, latar belakang budaya, dan juga kematangan
psikologis. Dalam pernikahan, kematangan psikologis berperan dalam diri
individu agar mampu mengatasi dan menghadapi masalah keluarga dan mencari
pemecahan masalahanya. Havigurst (dalam Mappiare, 1983) mengemukakan
bahwa individu yang mempunyai emosi stabil akan dapat memecahkan berbagai
persoalan yang ada pada dirinya. Seseorang yang mempunyai kematangan emosi
lebih mampu mengelola perbedaan pada masing-masing pasangan sehingga dapat
menjaga kelangsungan pernikahannya. Selain itu, pasangan yang mampu
memahami sesuatu dengan didasari cara pandang yang luas cenderung lebih
masalah secara baik ditandai dengan adanya integrasi antara emosi dan logika
(Kremer, 1989). Gaya dalam pengelolaan konflik juga mempengaruhi individu
untuk menentukan bagaimana individu tersebut bertindak dalam mengatasi
konflik yang ada. Dalam gaya pengelolaan konflik, ada dua dimensi utama yang
digunakan individu untuk mengelola konflik, yaitu berpusat pada diri sendiri dan
berpusat pada orang lain. Latar belakang budaya juga mempengaruhi seseorang
dalam mengelola konflik. Pada beberapa budaya, konflik dihadapi dengan
komunikasi yang terbuka atau mendiskusikan panjang lebar antar anggota
keluarga, tetapi budaya lain lebih tenang dan menghindari konflik agar tercipta
keadaan yang harmonis.
Menimbang paparan diatas, maka diasumsikan bahwa pengelolaan konflik
pada pasangan yang menikah muda merupakan proses psikologis yang kompleks
yang dipengaruhi oleh banyak hal seperti kematangan psikologis individu, gaya
pengelolaan konflik serta latar belakang budaya yang dimiliki oleh
masing-masing individu. Oleh karena itu, pengelolaan konflik pada pasangan muda perlu
31
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang digunakan untuk memahami
fenomena yang dialami manusia secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam
bentuk kata-kata dan bahasa pada konteks khusus yang alamiah serta dengan
memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2009). Penelitian kualitatif
mendasarkan diri pada kekuatan narasi agar dapat mengungkap kompleksitas
realitas sosial yang ditelitinya (Poerwandari, 2005).
Penelitian yang berjudul “Pengelolaan Konflik pada Pasangan Muda” ini
bersifat deskriptif karena tujuannya mendeskripsikan pengelolaan konflik yang
dilakukan oleh pasangan yang menikah muda dalam rumah tangganya.
B. Fokus Penelitian
Ada dua fokus dalam penelitian ini, yaitu:
1. Faktor penyebab timbulnya konflik dalam rumah tangga pada pasangan yang
menikah muda (Apa sajakah faktor pemicu terjadinya konflik pada pasangan
Penyebab konflik dalam rumah tangga menurut Manurung &
Manurung (1995) diantaranya adalah:
a. Kurangnya saling pengertian diantara suami dan istri
b. Adanya kecurigaan terhadap pasangan
c. Ketidakpuasan suami terhadap istri dan sebaliknya.
d. Ada camput tangan orang lain dalam rumah tangga pasangan.
2. Strategi atau cara pengelolaan konflik yang dilakukan oleh pasangan yang
menikah muda (Bagaimana pasangan yang menikah muda mengelola konflik
dalam rumah tangganya?)
C. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, jumlah subjek yang akan diteliti adalah 2 pasang
suami istri yang melakukan pernikahan muda. Peneliti menggunakan prosedur
pengambilan sampel dengan kriteria tertentu (criterion sample) sesuai dengan
topik yang akan diteliti sehingga diperoleh kriteria sebagai berikut:
1. Subjek adalah orang yang melaksanakan pernikahan pada usia muda yaitu
pada usia dibawah 23 tahun atau sama dengan 22 tahun.
2. Subjek mempunyai usia pernikahan dibawah 5 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Jacobson, Kephart, dan Monahan
(dalam Ihromi, 1999), menunjukkan bahwa perceraian paling banyak terjadi
terbaru tentang masa pernikahan yang dilakukan oleh firma hukum Inggris
terhadap 2000 orang yang menikah menunjukkan bahwa 5 tahun pertama
pernikahan adalah waktu yang tersulit membangun kebahagiaan.
(vivalife.com)
D. Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara. Hal ini
berguna untuk melakukan eksplorasi terhadap isu yang akan diteliti. Selain itu
wawancara dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan
tentang makna-makna subjektif yang dipahami oleh individu berkenaan dengan
topik yang diteliti (Banister dkk, dalam Poerwandari 2005).
Wawancara dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dengan
pedoman umum. Pedoman wawancara ini digunakan untuk mengingatkan peneliti
mengenai aspek-aspek yang harus dibahas sekaligus menjadi daftar pengecek,
apakah aspek-aspek tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2005).
Peneliti juga dapat bersifat fleksibel dalam mengembangkan pertanyaan sesuai
dengan respon yang diberikan subjek. Daftar pertanyaan yang telah disusun oleh
peneliti digunakan agar peneliti tetap fokus dengan tujuan penelitian. Panduan
pertanyaan tersebut disusun sesuai dengan fokus penelitian dan bersifat terbuka
Berikut ini adalah panduan wawancara yang digunakan dalam proses
wawancara:
Tabel 1
Panduan Wawancara Tentang Pengelolaan Konflik pada Pasangan yang Menikah Muda
No Fokus Contoh Pertanyaan
1 Penyebab konflik rumah tangga Faktor-faktor seperti apakah yang dapat
menyebabkan terjadinya konflik pada
rumah tangga anda selama ini?
2 Strategi pengelolaan konflik Saat terjadi konflik, bagaimana anda
mengatasinya atau bagaimana cara
yang anda lakukan untuk mengatasi
konflik pada rumah tangga anda?
Pada proses wawancara dalam penelitian ini, terdapat beberapa tahap yang
harus dilalui:
1. Mencari subjek yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian serta
sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan.
2. Peneliti membangun hubungan baik (rapport) pada subjek penelitian. Dalam
hal ini, peneliti dapat menjelaskan tujuan penelitian dan memastikan bahwa
subjek bersedia menjadi subjek penelitian.
3. Menyusun panduan atau pertanyaan wawancara yang bersifat semi terstruktur.
5. Melakukan proses wawancara.
Data wawancara akan direkam menggunakan handphone kemudian hasil
wawancara akan disalin dalam bentuk verbatim berupa transkrip.
E. Prosedur Analisis Data
Penelitian kualitatif tidak memiliki rumus atau aturan yang absolut untuk
mengolah dan menganalisis data. Dalam analisis data pada penelitian kualitatif,
peneliti wajib memonitor dan melaporkan proses dan prosedur analisisnya secara
jujur dan lengkap (Paton dalam Poerwandari, 2005).
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian kualitatif sebagai berikut:
1. Organisasi Data
Analisis data dimulai dengan mengorganisasikan data. Data mentah
yang diperoleh dari hasil rekaman diubah menjadi bentuk transkrip verbatim.
Mentranskripkan wawancara sebaiknya dilakukan setelah wawancara selesai
untuk menjaga keaslian data sesuai dengan kondisi yang ada pada diri subjek
saat proses wawancara.
2. Pengkodean
Setelah melakukan transkrip verbatim, peneliti secara urut melakukan
penomoran pada baris-baris transkrip tersebut. Kemudian peneliti
memberikan nama untuk masing-masing berkas dengan kode tertentu. Peneliti
dimaksudkan untuk mengorganisasi data secara lengkap dan mendetail
sehingga data dapat memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.
3. Interpretasi
Setelah pengkodean selesai dilakukan, peneliti melakukan analisis
dengan mencari pola atau tema dari data yang tersedia. Jika tema telah
ditemukan, peneliti akan mengklasifikasikan tema tersebut dengan memberi
label, definisi ataupun deskripsi. Dalam proses ini, akan menghasilkan daftar
tema. Sedangkan kegunaan tema adalah dapat mendeskripsikan fenomena
yang muncul dari hasil penelitian.
4. Rangkuman Hasil Penelitian
Jika peneliti telah selesai melakukan analisis tema (menemukan
tema-tema) maka peneliti dapat mendeskripsikan tema-tema tersebut. Kemudian
peneliti dapat membuat rangkuman secara keseluruhan berupa hasil tabel.
F. Kredibilitas dan Reliabilitas
1. Kredibilitas
Pada penelitian kualitatif, istilah kredibilitas dipilih untuk mengganti
konsep validitas yang ada pada penelitian kuantitatif. Kredibilitas pada
penelitian kualitatif dilihat dari keberhasilannya dalam mencapai maksud dari
interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005). Kredibilitas dalam penelitian
ini dicapai dengan cara:
a. Mengonfirmasikan kembali hasil wawancara dengan analisisnya kepada
subjek penelitian (validitas komunikatif). Subjek diminta membaca
kembali hasil wawancara serta mengkoreksi jika terdapat hal-hal yang
tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh subjek.
b. Membuktikan hasil dan kesimpulan penelitian dengan data mentah yang
telah ada (validitas argumentatif). Validitas ini dapat juga dilihat dari
ketelitian peneliti selama berlangsungnya proses koding.
c. Melakukan pengambilan data pada kondisi apa adanya dari subjek
penelitian (validitas ekologis)
Selain itu, sebelum melakukan wawancara, peneliti mendiskusikan
panduan wawancara dengan dosen pembimbing terkait dengan pertanyaaan
yang akan ditanyakan pada subjek penelitian. Peneliti juga mendiskusikan
data yang diperoleh dengan dosen pembimbing sehingga dosen pembimbing
dapat memberikan perbaikan ataupun tambahan pertanyaan untuk lebih
menggali informasi dari subjek.
2. Reliabilitas
Reliabilitas pada penelitian kualitatif dapat diperoleh dengan cara
penelitian serta analisisnya dengan orang yang ahli. Orang yang ahli dalam
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Sebelum melakukan penelitian, peneliti melakukan beberapa langkah
persiapan. Proses persiapan yang dilakukan peneliti adalah:
a. Peneliti mencari subjek yang menikah pada saat usia muda sesuai dengan
topik penelitian. Peneliti mendapatkan informasi tentang orang yang
menikah muda dengan bantuan teman. Peneliti melakukan rapport pada
subjek dengan cara berkomunikasi secara langsung ataupun
berkomunikasi melalui handphone.
b. Peneliti memastikan kepada subjek bahwa subjek menikah saat usia masih
muda. Setelah itu, peneliti meminta kesediaan subjek untuk berpartisipasi
dalam penelitian ini.
c. Setelah subjek bersedia untuk ikut berpartisipasi dalam penelitian, peneliti
meminta subjek untuk membaca surat persetujuan untuk terlibat dan
meminta tanda tangan. Selain itu, peneliti juga mengatakan kepada subjek
bahwa peneliti menjamin kerahasiaan semua data yang diberikan oleh
d. Peneliti mempersiapkan handphone sebagai alat untuk merekam setiap
sesi hasil wawancara yang akan dilakukan. Peneliti juga mempersiapkan
cadangan alat perekam lainnya untuk mengatasi tidak berfungsinya alat
perekam utama.
e. Setelah itu, peneliti membuat janji kepada subjek untuk melakukan
wawancara.
2. Pelaksanaan Penelitian
Pelaksanaan penelitian melewati beberapa tahap mulai dari meminta
persetujuan wawancara, pelaksanaan, dan menunjukkan hasil verbatim kepada
subjek untuk mendapatkan keterangan keabsahan hasil wawancara. Berikut
ini akan dijabarkan secara urut tentang tahapan pelaksanaan penelitian:
a. Peneliti melakukan wawancara dengan kedua pasang subjek dengan
jadwal yang sudah disetujui sebelumnya. Untuk membantu proses
wawancara, peneliti menggunakan panduan wawancara yang sudah
disusun sebelumnya.
b. Sesi wawancara setiap subjek berbeda sesuai dengan ketersediaan waktu
dari setiap subjek. Pemilihan tempat wawancara disesuaikan dengan
kesepakatan bersama subjek.
c. Peneliti bertemu dengan subjek untuk menunjukkan hasil verbatim
wawancara dan memastikan apakah hasil wawancara sudah sesuai dengan
3. Proses Analisis Data
Proses analisis data meliputi pengorganisasian data, pengkodean,
interpretasi dan pengambilan kesimpulan. Berikut ini akan dijelaskan secara
rinci tentang proses analisis data yang sudah dilakukan dalam penelitian ini:
a. Setelah proses wawancara untuk masing-masing subjek telah selesai,
peneliti melakukan organisasi data yaitu memindahkan hasil rekaman dari
handphone ke dalam bentuk tulisan dan menghasilkan transkrip verbatim.
b. Transkrip verbatim dibuat dalam bentuk tabel yang terdiri dari 4 kolom.
Kolom pertama berisi penomoran untuk setiap baris kalimat pertanyaan
dan jawaban, kolom kedua berisi verbatim hasil wawancara, kolom ketiga
berisi koding awal, kolom keempat berisi analisis tema-tema yang muncul
dari hasil wawancara.
c. Peneliti membaca hasil transkrip verbatim dari masing-masing subjek.
Kemudian peneliti melakukan proses pengkodean pada kalimat atau
kata-kata subjek yang sesuai dengan fokus penelitian. Kalimat atau kata-kata-kata-kata
subjek yang mengarah pada fokus penelitian kemudian dituliskan kembali
secara ringkas tanpa mengubah inti kalimat yang disampaikan subjek
kedalam kolom koding awal.
d. Setelah itu, peneliti mencoba membuat analisis dari hasil koding untuk
4. Jadwal Pengambilan Data
Berikut adalah jadwal wawancara dengan kedua pasang subjek
penelitian:
Tabel 2
Jadwal wawancara dengan Subjek I, suami (BA)
Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan
Selasa, 29 Januari
2013
12.00 WIB Rumah
subjek
Memastikan subjek untuk
ikut dalam penelitian,
meminta tanda tangan
persetujuan wawancara,
melakukan rapport.
Kamis, 31 Januari
2013
10.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan fokus
penelitian
Minggu, 10 Maret
2013
10.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan fokus
penelitian untuk
melengkapi data
Tabel 3
Jadwal wawancara dengan Subjek I, istri (AB)
Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan
Selasa, 29 Januari
2013
12.00 WIB Rumah
subjek
Memastikan subjek untuk
ikut dalam penelitian,
meminta tanda tangan
persetujuan wawancara,
melakukan rapport.
Kamis, 31 Januari
2013
11.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan fokus
penelitian
Kamis, 7 Februari
2013
11.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan fokus
penelitian untuk
melengkapi data
wawancara sebelumnya.
Minggu, 10 Maret
2013
11.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan fokus
penelitian untuk
melengkapi data
Tabel 4
Jadwal wawancara dengan subjek II, suami (GR)
Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan
Jumat, 19 April
2013
15.00 WIB Rumah
subjek
Memastikan keikut sertaan
subjek dalam penelitian,
membina rapport dengan
subjek, meminta
persetujuan subjek untuk
menandatangani surat
persetujuan wawancara
Rabu, 24 April
2013
14.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan kepada subjek
tentang hal-hal yang
berkaitan dengan fokus
penelitian
Tabel 5
Jadwal wawancara dengan subjek II, istri (WH)
Hari, tanggal Waktu Tempat Kegiatan
Jumat, 19 April
2013
15.00 WIB Rumah
subjek
Memastikan kembali
subjek untuk mengikuti
rapport, meminta tanda
tangan untuk persetujuan
wawancara
Rabu, 24 April
2013
13.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan fokus
penelitian
Minggu, 26 Mei
2013
13.00 WIB Rumah
subjek
Menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan penelitian
dan juga melengkapi
wawancara sebelumnya.
B. Profil Subjek
1. Subjek 1, suami (BA)
Subjek 1 dalam penelitian ini adalah seorang suami yang berinisial
BA. Laki-laki berbadan kurus tinggi ini adalah lulusan sebuah SMK di
Yogyakarta dan sekarang bekerja pada salah satu tempat di daerah Sleman.
Subjek menikah di usia 20 tahun. Sampai pada tahun 2013, usia
pernikahannya memasuki tahun ketiga. Saat ini, BA mempunyai anak
perempuan yang berusia satu tahun. Alasan BA menikah karena subjek
merasa yakin bahwa istrinya dapat memahami wataknya dan menerima dia