• Tidak ada hasil yang ditemukan

2) Pancing rawai dasar

2.5 Pengelolaan Perikanan

Pengelolaan perikanan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 merupakan semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumber daya hayati perairan dan tujuan yang telah disepakati. Tujuan dari pengelolaan perikanan seperti yang disebutkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) adalah pemanfaatan jangka panjang atas sumber daya perikanan secara berkesinambungan. Secara umum, tujuan perikanan dapat dibagi kedalam empat kelompok yaitu biologi, ekologi, ekonomi, dan sosial, dimana tujuan sosial mencangkup tujuan politik dan budaya.

Pengelolaan perikanan memerlukan suatu keberanian para pengelola untuk mengambil beberapa keputusan. Namun, sejumlah prinsip dasar dapat diidentifikasi yang selanjutnya dapat membantu memusatkan perhatian pada langkah awal bagi pengelolaan perikanan yang efektif. Berbagai hasil kajian yang berkembang selama ini menunjukkan bahwa upaya pengelolaan semakin dirasakan meningkat kebutuhannya. Hal tersebut didorong oleh kenyataan bahwa intensitas pemanfaatan sumberdaya ikan yang terus meningkat, dengan sedikit upaya pengelolaan telah menyebabkan terjadinya kehilangan yang cukup besar

keanekaragaman sumberdaya ikan dan habitatnya (Dulvy, 2003 yang dikutip oleh Widodo, 2008) Prinsip pengelolaan perikanan terdapat dalam Tabel 2.

Tabel 2 Beberapa prinsip dasar pengelolaan perikanan

No Prinsip Fungsi pengelolaan

1 Stok dan komunitas ikan terbatas dan produksi secara biologi mempengaruhi potensi lestari dari suatu perikanan.

Potensi lestari perlu diestimasi dan faktor biologi yang berpengaruh perlu

diidentifikasi. 2 a) Produksi biologi dari suatu stok

merupakan fungsi dari ukuran stok, b) juga fungsi dari lingkungan, yang juga

dipengaruhi oleh perubahan alamiah atau perubahan lingkungan yang bersifat antopogenik.

a) Target titik referensi perlu ditentukan melalui koleksi data dan pengkajian stok ; dan

b) Dampak lingkungan juga harus diidentifikasi dan dimonitor, dan memerlukan strategi pengelolaan yang dapat disesuaikan sebagai respon terhadap perubahan lingkungan. 3 Kebutuhan konsumsi ikan secara

fundamental menimbulkan konflik dengan berbagai upaya dalam menjaga kelestarian sumberdaya.

Tujuan dan sasaran pengelolaan yang realistik perlu ditetapkan. Pencapaian tujuan memerlukan kontrol atas upaya dan kapasitas.

4 Dalam perikanan multispesies dimana deskripsi mencangkup seluruh perikanan, tidaklah mungkin untuk memaksimumkan atau mengoptimalkan tangkapan dari semua perikanan secara simultan.

Tujuan dan sasaran yang realistis perlu ditetapkan menurut ekosistem sehingga dapat mengelola spesies dan interaksi antar perikanan.

5 Ketidakpastian menyertai pengelolaan perikanan menghambat pembuat keputusan untuk dapat memperoleh informasi yang memadai. Semakin besar ketidakpastian harus semakin konsevatif pendekatan yang dilakukan.

Pengkajian resiko dan pengelolaan harus dilakukan dalam rangka mengembangkan dan mengimplementasikan rencana pengelolaan, tindakan dan strateginya.

6 Ketergantungan jangka pendek masyarakat atas suaru perikanan akan menentukan prioritas tujuan sosial dan ekonomi dalam kaitannya dengan pemanfaatan berkelanjutan.

Perikanan tidak dapat dikelola secara terpisah dan harus diintregasikan kedalam kebijakan pembangunan daerah pesisir, perencanaan dan kebijakan nasional. 7 Perasaan memiliki dari mereka yang

mempunyai akses (individu, komunitas atau kelompok) sangat kondusif untuk menjaga perikanan yang bertanggung jawab.

Suatu sistem hak akses yang efektif dan memadai harus ditetapkan dan

ditegakkan.

8 Partisipasi dalam proses pengelolaan oleh pengguna yang menerima informasi merupakan konsistensi dengan prinsip demokrasi.

Komunikas, konsultasi dan pengelolaan bersama (co-management) harus mendasari semua langkah pengelolaan. Sumber: Widodo (2008)

Menurut pihak yang berwenang mengendalikan, pengelolaan sumber daya alam dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu pengelolaan berbasis masyarakat,

pengelolaan terpusat, dan pengelolaan co-management. Berikut adalah penjelasan singkat tentang keunggulan dan kelemahan dari masing-masing jenis pengelolaan tersebut.

2.5.1 Pengelolaan berbasis masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan suatu hal yang penting dalam pemerintahan yang demokratis, terutama dalam praktek pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat merupakan keterlibatan secara terus menerus dan aktif dalam pembuatan keputusan yang dapat mempengaruhi kepentingan umum (Suseno 2007). Partisipasi masyarakat terwujud jika nelayan dapat memainkan peranannya secara jelas, memperoleh keadilan, akses, dan kendali atas sumberdaya.

Tujuan utama dari pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan harus dilakukan secara berkesinambungan dan berwawasan pada kelestaran lingkungan. Pengelolaan melalui pemberdayaan masyarakat merupakan bentuk peran serta masyarakat dalam pelaksanaan suatu kegiatan yang telah ditetapkan. Peran serta masyarakat dalam pembangunan dimaksudkan agar masyarakat mengetahui secara jelas tujuan dari pembangunan, sehingga nantinya tidak ada pihak yang dirugikan.

Menurut Suryaningsih (2006), peran serta masyarakat dalam bidang perikanan tangkap dapat dilihat dari beberapa hal berikut:

1. Perencanaan

Masyarakat ikut menyusun dan menentukan rencana kerja kegiatan yang akan dilakukan dalam pengembangan perikanan tangkap;

2. Pelaksanaan

Masyarakat ikut serta menyumbang pikiran, tenaga dan materi dalam pelaksanaan kegiatan;

3. Evaluasi

Kegiatan evaluasi dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mengetahui hasil kegiatan serta dampak yang ditimbulkan dengan mengacu pada data yang dikumpulkan dari masyarakat sebagai sasaran kegiatan.

Konsep pengelolaan berbasis masyarakat ini memiliki beberapa keunggulan, berikut keunggulan pengelolaan berbasis masyarakat:

1. Keputusan yang dibuat sesuai aspirasi dan budaya lokal

Pelaksanaan pengelolaan berbasis masyarakat akan menghasilkan dampak positif bagi masyarakat lokal. Masyarakat akan lebih peka terhadap masalah yang terjadi dan akan sesegera mungkin menyesuaikannya dengan keinginan dan aspirasinya.

2. Keputusan diterima masyarakat lokal

Komitmen masyarakat sejak awal untuk menerima pendekatan pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat merupakan modal utama untuk mengimplementasikan pengelolaan sumberdaya secara arif dan bijaksana sesuai dengan aspirasi masyarakat lokal.

3. Pengawasan dilakukan dengan mudah.

Pengawasan pengelolaan berbasis masyarakat dilakukan sendiri oleh masyarakat, sehingga pelaksanaannya akan lebih efektif.

Di samping keunggulan yang menjanjikan, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat memiliki kelemahan dan keunggulan. Menurut Nikijuluw (2002), kelemahan tersebut di antaranya seperti:

1. Pengelolaan ini belum tentu dapat mengatasi masalah inter-komunitas. Konflik antar nelayan yang berasal dari dua komunitas berbeda tidak dapat diatasi dengan pendekatan ini. Konflik dapat diatasi dengan membuat sistem yang berjenjang pada tingkat komunitas yang lebih tinggi dari dua komunitas yang saling konflik;

2. Pengelolaan ini bersifat lokal. Masalah yang lebih besar di luar kemampuan masyarakat tidak dapat diselesaikan dengan pengelolaan berbasis masyarakat ini;

3. Pengelolaan ini mudah dipengaruhi faktor eksternal. Faktor eksternal dengan mudah mempengaruhi pendekatan pengelolaan ini. Hal ini disebabkan oleh kurang diperhitungkannya dan kurang antisipasi pada saat pendekatan pengelolaan berbasis masyarakat ini dibentuk sehingga faktor eksternal dapat dengan mudah dalam mempengaruhi pendekatan ini;

4. Jika terbatas untuk masyarakat lokal, maka kemungkinan besar akan sulit mencapai skala ekonomi. Pengelolaan berbasis masyarakat yang bersifat lokal dan hanya dianut oleh suatu masyarakat saja, skala usaha secara keseluruhan sering tidak ekonomis. Kondisi seperti ini memberi justifikasi agar skala usaha serta spektrum pengelolaan berbasis masyarakat ini diperluas;

5. Tingginya biaya institusionalisasi. Pendirian pengelolaan berbasis masyarakat membutuhkan biaya yang relatif mahal. Biaya tersebut diperlukan untuk proses edukasi, penyadaran dan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pengelolaan berbasis masyarakat.

2.5.2 Pengelolaan terpusat

Pengelolaan terpusat merupakan suatu pengelolaan yang dikendalikan oleh pemerintah pusat (centralized goverment management/CGM) dimana dalam perikanan, pengelolaan tersebut dikuatkan oleh Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa pemerintah mempunyai wewenang penuh baik, secara makro maupun ekstensif, terhadap pengelolaan sumber daya alam. Pemikiran bahwa laut merupakan milik negara dengan model kebijakan CGM telah memunculkan eksternalitas di bidang perikanan tangkap. Munculnya eksternalitas di perikanan tangkap, dicirikan oleh doktrin milik bersama (common property) yang menyebabkan laut bersifat open access, dimana tidak ada batas seberapa banyak sumber daya ikan boleh ditangkap, jumlah dan jenis alat tangkap yang boleh digunakan, kapan dan dimana saja kegiatan penangkapan ikan boleh dilakukan, dan siapa saja yang mempunyai hak tersebut. Akibat dari doktrin ini adalah laut menjadi perebutan para pelaku yang serakah. Dalam persaingan tersebut, nelayan kecil biasanya selalu mejadi korban perilaku nelayan atau pengusaha bermodal besar. Kompetisi yang tidak-seimbangan ini biasanya juga disertai dengan terjadinya degradasi lingkungan, over fishing, dan masalah-masalah lain yang seringkali memicu terjadinya konflik. Jenis pengelolaan yang sentralistis ini juga cenderung menghasilkan kebijakan hingga pengawasan yang sifatnya cenderung kurang mengakomodasi keterlibatan masyarakat lokal dalam pengambilan keputusan (Solihin 2010).

Beberapa kelemahan dari pengelolaan terpusat, menurut Nikijuluw (2002), di antaranya:

1. Kegagalan mencegah kelebihan eksploitasi sumberdaya perikanan karena keterlambatan dalam pelaksanaan peraturan yang telah ditetapkan. Hal ini terjadi karena keputusan yang dibuat oleh pemerintah pusat membutuhkan waktu yang lama untuk disosialisasikan, diketahui dan dilaksanakan pemerintah dan masyarakat di daerah;

2. Kesulitan dalam penegakan hukum. Hal ini dapat terjadi karena kurangnya personil dan fasilitas untuk melakukan pengawasan di lapangan;

3. Kemampuan dan keberhasilan masyarakat untuk menghindar dari peraturan. Peraturan dari pemerintah seringkali berhadapan dengan peraturan setempat, adat maupun budaya. Sehingga peraturan pemerintah dianggap tidak ada karena kepatuhan masyarakat terhadap peraturan lokal;

4. Kebijakan yang tidak tepat dan jelas atau adanya kebijakan yang saling bertentangan. Seringkali masayrakat dihadapkan pada peraturan yang saling bertentangan dan tidak sinergi. Hal ini membuat masyarakat dilema dalam memutuskan peraturan mana yang harus diikuti;

5. Administrasi yang tidak efisien dalam bentuk biaya transaksi yang cukup tinggi. Bentuk-bentuk biaya itu adalah biaya administrasi di pusat dan daerah, biaya sosialisasi, biaya pemantauan, biaya pelaporan, dan biaya kegiatan yang tidak diantisipasi sebelumnya;

6. Wewenang yang tebagi-bagi kepada beberapa lembaga atau departemen. Pelaksanaan pengelolaan tidak dapat dilaksanakan hanya oleh salah satu lembaga pemerintah. Oleh karena itu, pelaksanaan pengelolaan harus melibatkan beberapa lembaga pemerintah di tingkat pusat maupun daerah. Konsekuensinya, biaya yang dikeluarkan akan lebih besar;

7. Data dan informasi tidak (kurang) benar dan akurat. Pengelolaan sumberdaya perikanan memerlukan informasi yang akurat. Jika pengumpulan dan analisis data berada pada tingkat pusat, hal itu akan sulit dilaksanakan karena butuh biaya, waktu dan tenaga yang relatif besar;

8. Kegagalan dalam merumuskan keputusan manajemen. Hal ini dapat terjadi ketika pemerintah harus sesegera mungkin mengatasi permasalahan yang

terjadi di lapangan. Jika permasalahan tersebut harus dibawa ke pemerintah pusat dulu untuk mencari perumusan pemecahannya, mungkin masalah lain akan muncul lagi bersamaan ketika solusi masalah pertama dilaksanakan.

2.5.3 Pengelolaan co-management

Pengelolaan co-management di dalam perikanan didefinisikan sebagai suatu pengaturan yang bertanggung jawab untuk mengelola sumber daya perikanan secara bersama-sama antara pemerintah pusat dan masyarakat. Pengelolaan seperti ini dapat dijadikan sebagai salah satu solusi bagi permasalahan yang selama ini timbul mengenai eksploitasi berlebihan terhadap sumber daya ikan. Pengaturan

co-management dapat didefinisikan pula sebagai suatu kemitraan yang dinamis

antara kapasitas dan kepentingan pengguna-kelompok dilengkapi dengan kemampuan administrasi perikanan untuk menyediakan perundang-undangan yang mendukung.

Keterlibatan dan partisipasi masyarakat dapat menciptakan suatu keseimbangan kerja sama antara keinginan masyarakat dengan pemerintah dalam rangka merumuskan dan menerapkan skema manajemen yang lebih efisien, berkeadilan dan berkelanjutan yang akan menguntungkan semua pihak.

Co-manajemen memberikan rasa memiliki terhadap sumberdaya ikan, yang akan

membuat masyarakat lebih bertanggung jawab untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya ikan dalam jangka panjang. Sistem pengelolaan seperti ini dapat menghemat dalam hal administrasi dan penegakan dibandingkan dengan sistem terpusat (Nikijuluw 2002).

Dokumen terkait