• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan Prekursor, Narkotika, Psikotropika dan Obat Wajib Apotek

2.7.1 Prekursor

Menurut UU No.44 tahun 2010, perkusor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika. Dan menurut Peraturan Kepala BPOM No.40 tahun 2013, Prekursor Farmasi adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan sebagai bahan baku/penolong untuk keperluan proses produksi Industri Farmasi atau produk antara, produk ruahan dan produk jadi yang mengandung efedrin, pseudoefedrin, norefedrin/fenilpropanolamin, ergotamin, ergometrin, atau potassium permanganat.(10,11)

Pengaturan Prekursor dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi segala kegiatan yang berhubungan dengan pengadaan dan penggunaan Prekursor untuk keperluan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkusor digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu:

i) Perkusor Tabel I, yaitu Acetic Anhydride; N-Acetylanthranilic Acid; Ephedrine; Ergometrine; Ergotamine; Isosafrole; Lysergic Acid; 3,4-Methylenedioxyphenyl-2-propanone; Norephedrine; 1-Phenyl-2-Propanone; Piperonal; Potassium Permanganat; Pseudoephedrine; Safrole.

ii) Perkusor Tabel II, yaitu Acetone; Anthranilic Acid; Ethyl Ether; Hydrochloric Acid; Methyl Ethyl Ketone; Phenylacetic Acid; Piperidine; Sulphuric Acid; Toluene.(10)

Pengelolaan Prekursor meliputi kegiatan: i) Pengadaan Prekursor

Pengadaan Prekursor dilakukan melalui produksi dalam negeri dan impor. Prekursor hanya dapat digunakan untuk tujuan industri farmasi, industri non farmasi, dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.(10)

a. Pengadaan obat mengandung Prekursor Farmasi harus berdasarkan Surat Pesanan (SP). SP harus:

1. Asli dan dibuat tindasan sebagai arsip;

2. Ditandatangani oleh Apoteker Penanggung Jawab Apotek/Apoteker Pendamping dengan mencantumkan nama lengkap dan nomor SIPA, nomor dan tanggal SP, dan kejelasan identitas pemesan (antara lain nama dan alamat jelas, nomor telepon/faksimili, nomor ijin, dan stempel);

3. Mencantumkan nama dan alamat Industri Farmasi/Pedagang Besar Farmasi (PBF) tujuan pemesanan; Pemesanan antar apotek diperbolehkan dalam keadaan mendesak misalnya pemesanan sejumlah obat yang dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan jumlah obat yang diresepkan;

4. Mencantumkan nama obat mengandung Prekursor Farmasi, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan; 5. Diberi nomor urut tercetak dan tanggal dengan penulisan yang

jelas atau cara lain yang dapat tertelusur, dan khusus untuk pesanan obat mengandung Prekursor Farmasi dibuat terpisah dari surat pesanan obat lainnya dan jumlah pesanan ditulis dalam bentuk angka dan huruf.

6. Apabila pemesanan dilakukan melalui telepon (harus menyebutkan nama penelpon yang berwenang), faksimili, email maka surat pesanan asli harus diberikan pada saat serah terima barang, kecuali untuk daerah-daerah tertentu dengan kondisi geografis yang sulit transportasi dimana pengiriman

menggunakan jasa ekspedisi, maka surat pesanan asli dikirimkan tersendiri.

b. Apotek yang tergabung di dalam satu grup, masing-masing Apotek harus membuat SP sesuai kebutuhan kepada Industri Farmasi/PBF. c. Apabila SP tidak dapat digunakan, maka SP yang tidak digunakan

tersebut harus tetap diarsipkan dengan diberi tanda pembatalan yang jelas.

d. Apabila SP Apotek tidak bisa dilayani, Apotek harus meminta surat penolakan pesanan dari Industri Farmasi/PBF.

e. Pada saat penerimaan obat mengandung Prekursor Farmasi, harus dilakukan pemeriksaan kesesuaian antara fisik obat dengan faktur penjualan dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) yang meliputi: 1. Kebenaran nama produsen, nama Prekursor Farmasi/obat

mengandung Prekursor Farmasi, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan;

2. Nomor bets dan tanggal daluwarsa;

3. Apabila butir pertama dan kedua dan/atau kondisi kemasan termasuk segel dan penandaan rusak, terlepas, terbuka dan tidak sesuai dengan SP, maka obat tersebut harus dikembalikan kepada pengirim disertai dengan bukti retur/surat pengembalian (Anak Lampiran 2) dan salinan faktur penjualan serta dilengkapi nota kredit dari Industri Farmasi/PBF pengirim.

f. Setelah dilakukan pemeriksan, Apoteker Penanggung Jawab atau tenaga teknis kefarmasian wajib menandatangani faktur penjualan dan/atau Surat Pengiriman Barang (SPB) dengan mencantumkan nama lengkap, nomor SIPA/SIKTTK dan stempel Apotek.(11)

ii) Penyimpanan Prekursor

Prekursor yang berada di apotek wajib disimpan secara khusus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam UU No. 44 tahun 2010 pasal 9 ayat (1). Adapun tata cara penyimpanan prekursor diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat Dan

Makanan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi Bab IV yaitu apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan prekursor. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Obat mengandung Prekursor Farmasi disimpan di tempat yang aman berdasarkan analisis risiko masing-masing Apotek.

b. Apabila memiliki obat mengandung Prekursor Farmasi yang disimpan tidak dalam wadah asli, maka wadah harus dilengkapi dengan identitas obat meliputi nama, jumlah, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan, nomor bets, tanggal daluwarsa, dan nama produsen.

c. Memisahkan dan menyimpan dengan aman obat mengandung Prekursor Farmasi yang :

1. Rusak; 2. Kadaluwarsa;

3. Izin edar dibatalkan sebelum dimusnahkan atau dikembalikan kepada Industri Farmasi /PBF.

d. Melakukan stock opname secara berkala sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan sekali.

e. Melakukan investigasi adanya selisih stok dengan fisik saat stock opname dan mendokumentasikan hasil investigasi.(11)

iii) Pemusnahan Prekursor

Pemusnahan prekursor diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat Dan Makanan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2013 tentang Pedoman Pengelolaan Prekursor Farmasi dan Obat Mengandung Prekursor Farmasi Bab IV yaitu Pemusnahan prekursor dilaksanakan terhadap obat mengandung Prekursor Farmasi yang rusak dan kadaluwarsa; Harus tersedia daftar inventaris Obat Mengandung Prekursor Farmasi yang akan dimusnahkan mencakup nama produsen, bentuk dan kekuatan sediaan, isi dan jenis kemasan, jumlah, nomor bets, dan tanggal daluwarsa.

Pelaksanaan pemusnahan harus dibuat dengan memperhatikan pencegahan diversi dan pencemaran lingkungan. Kegiatan pemusnahan ini dilakukan oleh penanggung jawab apotek dan disaksikan oleh petugas Balai Besar/Balai POM dan/atau Dinas Kesehatan Kab/Kota setempat. Kegiatan ini didokumentasikan dalam Berita Acara Pemusnahan yang ditandatangani oleh pelaku dan saksi, serta berita acara pemusnahan yang menggunakan pihak ketiga harus ditandatangani juga oleh saksi dari pihak ketiga.(11)

iv) Pelaporan Prekursor

Apoteker Penanggung Jawab Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan serta mengirimkan laporan pemasukan dan pengeluaran obat mengandung Prekursor Farmasi Efedrin dan Pseudoefedrin dalam bentuk sediaan tablet/kapsul/kaplet/injeksi. Pelaporan tersebut dikirimkan kepada Badan POM Direktorat Pengawasan Napza dengan tembusan ke Balai Besar/Balai POM.

Laporannya yaitu sebagai berikut:

a. laporan pemasukan dan pengeluaran obat mengandung Prekursor Farmasi Efedrin dan Pseudoefedrin dalam bentuk sediaan tablet/kapsul/kaplet/injeksi;

b. laporan kehilangan, dan

c. laporan pemusnahan obat mengandung Prekursor Farmasi.

Setiap apotek wajib menyimpan dokumen dan informasi seluruh kegiatan terkait pengelolaan obat mengandung Prekursor Farmasi dengan tertib, akurat dan tertelusur.(11)

2.7.2 Pengelolaan Narkotika

Menurut UU No.35 Tahun 2009, narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan

ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan. Narkotika digolongkan menjadi beberapa golongan, yaitu :

i) Narkotika Golongan I, adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu: opium, tanaman ganja, kokain dan heroin.

ii) Narkotika Golongan II, adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu: morfin, metadon dan petidina.

iii) Narkotika Golongan III, adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contohnya yaitu : kodein dan etilmorfina.(12)

Pengelolaan narkotika meliputi kegiatan: i) Pemesanan Narkotika

Pengadaan narkotika di apotek dilakukan dengan pesanan tertulis melalui Surat Pesanan Narkotika kepada Pedagang Besar Farmasi (PBF) PT. Kimia Farma. Pesanan narkotika bagi apotek ditandatangani oleh APA dengan menggunakan surat pesanan rangkap empat, dimana satu surat pesanan hanya dapat digunakan untuk memesan satu jenis narkotika, surat pesanan tersebut harus dilengkapi dengan nomor SIK apoteker dan stempel apotek.

ii) Penyimpanan Narkotika

Narkotika yang berada di apotek wajib disimpan secara khusus sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam UU No. 35 tahun 2009 pasal 14 ayat (1). Adapun tata cara penyimpanan narkotika diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/MENKES/PER/V/1978 pasal 5 yaitu apotek harus memiliki tempat

khusus untuk menyimpan narkotika. Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. Harus seluruhnya terbuat dari kayu atau bahan lain yang kuat. b. Harus mempunyai kunci ganda yang kuat.

c. Dibagi menjadi 2 bagian, masing-masing bagian dengan kunci yang berlainan. Bagian pertama digunakan untuk menyimpan morfin, petidin dan garam-garamnya serta persediaan narkotika, sedangkan bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika lainnya yang dipakai sehari-hari.

d. Apabila tempat tersebut berukuran kurang dari 40 x 80 x 100 cm, maka lemari tersebut harus dibuat pada tembok dan lantai.(13)

Selain itu pada pasal 6 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/MENKES/PER/I/1978 dinyatakan bahwa:

a. Apotek harus menyimpan narkotika dalam tempat khusus sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan No. 28/MENKES/PER/I/1978 dan harus dikunci dengan baik.

b. Lemari khusus tidak boleh dipergunakan untuk menyimpan barang lain selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri Kesehatan. c. Anak kunci lemari khusus dikuasai oleh penanggung jawab atau

pegawai lain yang diberi kuasa.

d. Lemari khusus diletakkan di tempat yang aman dan tidak boleh terlihat oleh umum.(13)

iii) Pelaporan Narkotika

Apotek wajib menyusun dan mengirimkan laporan narkotika setiap bulan paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, dalam laporan tersebut diuraikan mengenai pembelian / pemasukan dan penjualan / pengeluaran narkotika yang ada dalam tanggung jawabnya dan ditandatangani oleh APA. Laporan tersebut ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kotamadya / Kabupaten dengan tembusan :

a. Kepala Dinkes Tingkat Provinsi. b. Kepala Balai Besar POM Provinsi. c. Arsip.

Laporan penggunaan narkotika tersebut terdiri dari : a. Laporan pemakaian bahan baku narkotika. b. Laporan penggunaan sediaan jadi narkotika.

c. Laporan khusus penggunaan morfin, petidin dan turunannya. iv) Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika(12)

Dalam Undang-Undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika disebutkan: a. Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan / atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. b. Narkotika dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan hanya

berdasarkan resep dokter.

c. Penyerahan narkotika hanya dapat dilakukan oleh: 1. Apotek

2. Rumah sakit

3. Pusat kesehatan masyarakat 4. Balai pengobatan

5. Dokter

d. Apotek hanya dapat menyerahkan narkotika kepada: 1. Rumah sakit

2. Pusat kesehatan masyarakat 3. Apotek lainnya

4. Balai pengobatan 5. Dokter

Beberapa ketentuan lain dalam pelayanan resep yang mengandung narkotika adalah:

a. Apotek dilarang melayani salinan resep yang mengandung narkotika, walaupun resep tersebut baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali.

b. Untuk resep narkotika yang baru dilayani sebagian atau belum dilayani sama sekali, apotek boleh membuat salinan resep tetapi

salinan resep tersebut hanya boleh dilayani oleh apotek yang menyimpan resep aslinya.

c. Salinan resep dari resep narkotika dengan tulisan iter tidak boleh dilayani sama sekali. Oleh karena itu dokter tidak boleh menambah tulisan iter pada resep-resep yang mengandung narkotika.

v) Pemusnahan Narkotika(13)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 28/MENKES/PER/I/1978 Pasal 9 disebutkan bahwa pemegang izin khusus dan atau APA dapat memusnahkan narkotika yang rusak atau tidak memenuhi syarat. Pelaksanaan pemusnahan narkotika di apotek harus disaksikan oleh petugas dari Dinas Kesehatan Daerah Tingkat II. APA yang memusnahkan narkotika harus membuat berita acara pemusnahan narkotika yang memuat :

a. Hari, tanggal, bulan dan tahun pemusnahan. b. Nama APA.

c. Nama seorang saksi dari pemerintah dan seorang saksi lain dari apotek tersebut.

d. Nama dan jumlah narkotika yang dimusnahkan. e. Cara pemusnahan.

f. Tanda tangan penanggung jawab apotek dan saksi-saksi. 2.7.3 Pengelolaan Psikotropika(14)

Menurut Undang-Undang No.5 tahun 1997 tentang Psikotropika, psikotropika adalah zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Psikotropika dibagi menjadi beberapa golongan, yaitu : i) Psikotropika golongan I adalah psikotropika yang hanya dapat

digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya yaitu: LSD (Lisergida), MDMA (Metilendioksi Metamfetamin), Meskalina, Katinona, dan Psilosibina.

ii) Psikotropika golongan II adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya yaitu: Amfetamina, Deksamfetamina, Metamfetamina, Fenmetrazina, Metakualon, dan Sekobarbital.

iii) Psikotropika golongan III adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya yaitu: Amobarbital, Flunitrazepam, Katina, Pentazosina, dan Siklobarbital.

iv) Psikotropika golongan IV adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan untuk terapi dan / atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan. Contohnya yaitu: Allobarbital, Barbital, Alprazolam, Bromazepam, Diazepam, Estazolam, Fenobarbital, Lorazepam, Oksazepam, Oksazolam, dan Triazolam.

Kegiatan-kegiatan pengelolaan psikotropika meliputi: i) Pemesanan Psikotropika

Obat golongan psikotropika dipesan dengan menggunakan Surat Pesanan Psikotropika yang ditandatangani oleh APA dengan mencantumkan nomor SIK. Surat pesanan tersebut dibuat rangkap dua dan setiap surat dapat digunakan untuk memesan beberapa jenis psikotropika.

ii) Penyerahan Psikotropika

Obat golongan psikotropika diserahkan oleh apotek, hanya dapat dilakukan kepada apotek lain, rumah sakit, puskesmas, balai pengobatan dan dokter, dan kepada pasien sesuai resep dokter.

iii) Pelaporan Psikotropika

Apotek wajib membuat dan menyimpan catatan mengenai kegiatan yang berhubungan dengan psikotropika dan wajib melaporkannya kepada Menteri Kesehatan secara berkala. Pelaporan psikotropika dilakukan tiga bulan sekali dengan ditandatangani oleh APA dan paling lambat pada tanggal 10 saat pelaporan, ditujukan kepada Dinas Kesehatan Kotamadya / Kabupaten dengan tembusan :

a. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi b. Kepala Balai Besar POM Provinsi. c. Arsip.

iv) Pemusnahan Psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1997 pasal 53 tentang psikotropika, pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan dalam proses produksi, kadaluarsa atau tidak memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Setiap pemusnahan psikotropika, wajib dibuat Berita Acara Pemusnahan yang secara umum isinya hampir sama dengan Berita Acara Pemusnahan Narkotika.

2.7.4 Daftar Obat Wajib Apotek

Obat yang dapat diberikan tanpa resep dokter oleh apoteker di apotek merupakan obat-obat yang termasuk ke dalam Daftar Obat Wajib Apotek yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.925/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.1 dan Peraturan Menteri Kesehatan RI No.924/MENKES/PER/X/1993 tentang Daftar Obat Wajib Apotek No.2. Ketentuan mengenai Daftar Obat Wajib Apotek (DOWA) diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No.919/MENKES/ Per/X/1993 yang menyebutkan bahwa kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep dokter adalah:

i) Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

ii) Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak memberikan resiko pada kelanjutan penyakit.

iii) Penggunaannya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

iv) Penggunaannya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

v) Obat yang dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.(15)

Dokumen terkait